Etika Khotbah di Gunung Dari Aturan Emas

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

Etika Khotbah di Gunung:

Dari “Aturan Emas” Hingga ke “Nilai Lebih”
Oleh Edisius Riyadi

Pengantar

Etika Khotbah di Gunung1 merupakan irisan dari tiga hal berikut, yaitu etika
atau filsafat moral umum, etika teonom, dan teologi moral (dasar). Penamaan
“teologi moral” biasanya diterapkan di kalangan Katolik, sementara di kalangan
Protestan dinamakan “etika Kristen” saja.2 Khotbah di Gunung dikatakan
merupakan irisan ketiga hal tersebut karena ia mengandung prinsip-prinsip etis
yang dalam teori etika sistematis seperti Immanuel Kant juga menjadi prinsip
fundamental misalnya “manusia tidak boleh menjadi sarana” (prinsip universal),
ia merupakan wahyu Allah melalui Yesus Kristus (teonomi), dan merupakan
subjek refleksi kaitan antara iman dan perbuatan (moralitas berdasarkan teologi).
Etika Khotbah di Gunung adalah “ajaran moral” yang ditimba dari

serangkaian khotbah Yesus di gunung (Mat. 5-7). Khotbah di Gunung adalah
yang pertama dari lima pidato besar Yesus sebagaimana dicatat dalam Injil
Matius (empat lainnya adalah dalam Mat. 10, 13, 18, 24-25).3 Bahkan, inti ajaran



Paper presentasi dan tugas akhir mata kuliah Filsafat Praktis di Program Pascasarjana STF Driyarkara,
Jakarta, 23 April 2008; Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J. Penulis dapat dihubungi di:
+628111878938; Email: ediriyadi.arete@gmail.com, ediriyadi.terre@gmail.com.
1 Tulisan ini sebagian besar mengacu pada buku karangan Bernhard Kieser, Moral Dasar, Kaitan
Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987. Tetapi, dalam penyajiannya, saya tidak mengikuti
sistematika Kieser, dan juga di sana sini menyelipkan tambahan dari sumber lain, baik yang
bersesuaian maupun dalam rangka mengkontraskan. Sumber inspirasi juga berasal dari silabus dan
perkuliahan “Filsafat Praktis” oleh Rm. Franz Magnis-Suseno, semester pertama 2008.
2 Tentang kedua penamaan tersebut, lihat Ronald Preston, “Christian Ethics”, dalam Peter Singer,
ed., A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell, 1997, hlm. 93.
3 Kieser, hlm. 58.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008


1

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

moral Yesus Kristus secara khusus terpusat pada Khotbah di Gunung.4 Etika
Khotbah di Gunung bukanlah sebuah “sistem etika” sebagaimana misalnya kita
memahami sistem etika deontologis Immanuel Kant atau etika utilitarianisme
(John Stuart Mill dan Jeremy Bentham). Juga bukan sebuah “ajaran” dengan
norma-norma yang rinci sebagaimana misalnya kita melihat dalam ajaran Musa
dalam Kitab Taurat.
Secara umum, Etika Khotbah di Gunung memiliki dua karakter yaitu
prespkriptif dan deskriptif. Dimensi preskriptif tampak dalam pembalikan Yesus
terhadap kaidah-kaidah lama dan menganjurkan suatu hidup dengan pola yang
baru. Sementara dimensi deskriptifnya tampak dalam pernyataan-pernyataan
tentang bagaimana adanya dunia berjalan (misalnya tampak jelas dalam Kaidah
Emas: apa yang kita kehendaki orang lain perbuat kepada kita, kita perbuat juga
demikian). Kaidah ini deskriptif, tetapi tampak preskriptif karena yang
“sebagaimana adanya” itu ternyata tidak berjalan sebagaimana adanya atau

tidak berjalan normal, karena itu pernyataan itu kemudian seolah dibaca
“seharusnya” dan karena itu preskriptif-normatif.5 Dengan kata lain, Yesus
sebenarnya tidak sedang mengajarkan norma-norma yang baru sama sekali,
melainkan mengajarkan nilai-nilai yang sewajarnya dijalankan manusia sebagai
manusia tetapi sudah dilupakan karena martabat manusia teralienasi oleh dosa
dan kejahatan. Artinya, ajaran Yesus adalah ajaran tentang pengingatan kembali
(anamnesis) akan moralitas asasli manusia sebelum jatuh ke dalam dosa dan
kejahatan. Dengan demikian, mengajarkan kasih, misalnya, tidak berarti Yesus
memaksakan suatu konsep baru, melainkan menghidupkan kembali potensi
yang telah mati dalam diri manusia, yaitu kekuatan untuk mengasihi,
mengampuni, dan mengubah hidup (metanoia) dari manusia lama ke manusia
baru, yaitu manusia asali pra-kejatuhan ke dalam dosa dan kejahatan).
Georgo V. Lobo, S.J., Guide to Christian Living, a New Compendium of Moral Theology, Maryland:
Christian Classics, Inc., Cetakan Kedua, 1985, hlm. 46.
5 Tentang dimensi deskriptif dari etika atau ajaran Yesus ini silahkan baca: Jim Grote dan John
McGeeney, Cerdik Seperti Ular, Etika Bisnis dan Politik Kantor (terjemahan dari Clever as Serpents:
Business Ethics and Office Politics, Minnesota: The Liturgical Press, 1997, oleh Eddie S. Riyadi),
Yogyakarta: Kanisius, 2002.

4


Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

2

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

Struktur dan Pokok-Pokok “Ajaran” Etika Khotbah di Gunung

Struktur Khotbah di Gunung adalah sebagai berikut:6


Narasi Pangantar (Mat. 5, 1-2): sejumlah besar orang berbondongbondong mengikuti Yesus karena Ia menyembuhkan banyak orang sakit
dan membuat pelbagai mujizat, sehingga Ia naik ke gunung dan





berkhotbah.
Sabda Bahagia (Mat. 5: 3-12), yang menggambarkan karakter rakyat (anakanak) dari Kerajaan Allah.
Metafora tentang Garam dan Terang (Mat. 5: 13-16) yang membentuk
suatu kesimpulan tentang gambaran anak-anak Allah yang dinyatakan



dalam sabda bahagia, sekalian juga pengantar untuk bagian berikutnya.
Uraian tentang Hukum (Mat. 5: 17-48): sebuah penggenapan dan
reinterpretasi terhadap Hukum Musa dan secara khusus terhadap
Sepuluh Perintah Allah, pengkontrasan antara “apa yang telah kamu
dengar” dengan “tetapi saya berkata kepadamu”,7 yang dikenal juga



sebagai antitesis.8
Uraian tentang Hidup Baik sebagai Anak Allah (Mat. 6), di mana Yesus
mengkritik “perbuatan baik” dalam hal memberi sedekah, berdoa dan
berpuasa (tiga hal fundamental dalam hal ketaatan sebagai anak Allah)
jika semuanya itu hanya dilakukan sebagai pameran saja dan bukan


Dikutip
dari
Wikipedia,
“Sermon
on
the
Mount”,
http://en.wikipedia.org/wiki/Sermon_on_the_Mount. Bandingkan juga dengan Bernhard Kieser,
hlm. 55-56.
7 Tentang kontras ini dan penekanan pada “perintah baru” dari Yesus Kristus sebagai penggenapan
sekaligus sebagai perbaikan terhadap perintah lama (dalam Perjanjian Lama), juga diuraikan dalam
Lobo, hlm. 46-51.
8 Karena itu, banyak pakar memandang Yesus Kristus sebagai “the new Moses”. Lihat Lobo, hlm. 46.
6

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

3


Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

sebagai ungkapan tulus dari hati. Dalam bagian ini, Yesus juga mengkritik
sikap materialis dan meneguhkan para muridNya untuk tidak khawatir
tentang kebutuhan hidup, namun pertama-tama harus mencari Kerajaan
Allah terlebih dahulu. Dalam bagian ini juga terkandung Doa Bapa Kami,
yang oleh penginjil Matius ditampilkan sebagai sebuah contoh doa yang


benar.
Uraian tentang Hal Menghakimi (Mat. 7:1-6): Yesus mengkritik orangorang yang dengan mudahnya menghakimi orang lain tetapi tidak



didahului dengan penghakiman terhadap diri sendiri.
Uraian tentang Kesucian (Mat. 7:7-29), yang mengandung kesimpulan
ringkas dari keseluruhan khotbah, yang mengingatkan akan bahaya
munculnya nabi-nabi palsu, dan mengingatkan akan sulitnya melakukan

perbuatan yang benar.

Secara umum isi Khotbah di Gunung sangat kaya dan mencakup pelbagai
hal untuk kehidupan personal maupun sosial, dalam hubungan horizontal
dengan sesama manusia maupun vertikal. Keseluruhannya dirangkum dengan
sangat indah dan padatnya dalam doa Bapa Kami. Isu-isu yang dirangkum
dalam Khotbah di Gunung antara lain adalah tentang kebahagiaan sebagai anakanak Allah, tentang memaafkan dan bahkan mengasihi musuh, tentang berdoa,
tentang kesucian tubuh, tentang perceraian, tentang zinah, tentang harta, tentang
dasar hidup sebagai anak Allah, dsb.
Gagasan utama di balik semua dan seluruh ajaran Yesus terutama yang
terdapat dalam “Khotbah di Gunung” adalah tentang Kerajaan Allah dan
kehadiran kerajaan itu bagi manusia. Kerajaan itu semata-mata berisikan
kebahagiaan. Kerajaan Allah adalah kerajaan kebahagiaan anak-anak Allah (Mat.
5: 3-12).9 Intinya adalah bahwa manusia harus menerima “kerajaan Allah” itu
dan semuanya yang terkandung dalam kerajaan Allah itu akan menjadi
miliknya. Dimensi etis dari ajaran ini adalah bahwa orang harus hidup sebagai
9

Libat Lobo, hlm. 44-45.


Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

4

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

warga kerajaan Allah. Dengan hidup sebagai warga kerajaan Allah, maka orang
akan selamat, hidup baik, hidup bahagia; bukan sebaliknya yaitu bahwa dengan
hidup baik, hidup selamat, hidup bahagia, maka orang akan menjadi warga
kerajaan Allah. Dengan kata lain, hidup baik bukanlah untuk mendapatkan
keselamatan dalam kerajaan Allah, melainkan bahwa keselamatan dari kerajaan
Allah itu memancar dalam hidup yang baik, hidup yang bahagia, hidup yang
penuh sukacita.
Bagaimanakah hidup sebagai warga kerajaan Allah itu? Hiduplah sebagai
terang dan garam dunia (Mat. 5: 13-16). Manusia bukan mengasinkan supaya
diketahui sebagai garam, melainkan implikasi dari eksistensinya sebagai garam
adalah bahwa ia mengasinkan. Begitu juga, implikasi dari eksistensinya sebagai
terang adalah bahwa ia menyinari kegelapan. Artinya, rahmat sebagai warga

kerajaan Allah itu berimplikasi pada tindakan “mengasinkan” dan “menerangi”.
Itulah dimensi etis dari eksistensi sebagai warga kerajaan Allah. Tindakan
mengasinkan dan menerangi pada gilirannya akan mendatangkan pujian bagi
Allah dalam hati orang yang melihat dan merasakannya.
Hidup sebagai warga kerajaan Allah berarti meninggalkan status lama
yang misalnya terikat oleh hukum Taurat. Sebagai warga kerajaan Allah,
seseorang harus hidup dengan melancarkan antitesis terhadap tesis-tesis
“manusia lama” dalam hukum Taurat itu. Antitesis-antitesis itu antara lain:10

(1) Jangan membunuh. Yang ditekankan Yesus bukan cuma membunuh
sebagai kejahatan yang harus dihukum, melainkan bahwa marah, benci,
mengumpat,

sudah

merupakan

kejahatan

yang


setara

dengan

pembunuhan. Yang ditekankan Yesus di sini adalah bahwa perbuatan
seseorang itu baik atau jahat bukan sekadar dilihat dari tampilan fisiknya,
melainkan dari segi niat dan motifnya.11

Uraian tentang antitesis-antitesis ini sebagian besar mengacu pada Kieser, hlm. 64-71.
Tentang betapa fundamentalnya dimensi motif dalam ajaran moral Yesus, lihat Preston, hlm. 9394. Dalam hukum pidana internasional dan dalam teori hukum pidana pada umumnya, hal ini
10

11

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

5

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

(2) Jangan berzinah. Bagi Yesus, perzinahan bukan sekadar melakukan
hubungan seks yang dilarang oleh hukum taurat, melainkan bahwa
berniat untuk melakukannya sudah merupakan perzinahan. Di sini
tampak bahwa, sebagaimana dikatakan Kiesser, “perzinahan bukan
pelanggaran hukum melainkan perbuatan moral.”12 Di sini tampak
pendirian Yesus bahwa persoalan etis melampaui persoalan legal,
persoalan aturan.

(3)

Tentang

diperbolehkan

perceraian.

Kalau

berdasarkan

dalam

hukum

kondisi-kondisi

Taurat

tertentu,

perceraian

maka

dalam

pendirian Yesus, perceraian sama sekali tidak boleh. Karena dua manusia
yang menikah itu dipersatukan oleh Allah, dan apa yang dipersatukan
oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Perceraian hanya terjadi
karena perzinahan. Dan hubungan seks dengan orang yang telah bercerai
adalah zinah. Itu berarti, perceraian dipandang sama dengan perzinahan.
Dengan demikian, perzinahan yang dalam Taurat dilekatkan pada
perempuan, kini dalam pendirian Yesus juga dilekatkan pada pria. Yang
ditekankan di sini adalah bahwa hubungan suami istri perlu dilandasi
sikap saling setia. Itulah dimensi etis di balik penghormatan terhadap
perkawinan dan sekaligus penolakan terhadap perceraian.

(4) Tentang kejujuran. Kalau dalam Taurat ditekankan kesetiaan terhadap
sumpah dan janji, dan larangan keras terhadap sumpah palsu, maka
dalam pendirian Yesus, justru sumpah sama sekali tidak diperbolehkan.
Sumpah seolah-olah mencerminkan keraguan akan kebenaran. Kebenaran
adalah kebenaran, tanpa atau dengan sumpah. Jaminan relasi manusia
dengan sesamanya tidak terletak dalam sumpah, melainkan dalam
menjadi unsur yang sangat fundamental dalam menentukan sesuatu termasuk kejahatan atau
bukan. Istilah yang lazim dikenal adalah mens rea = mental state, atau unsur niat.
12 Kiesser, hlm. 66.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

6

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

penghayatan kebenaran sebagai kebenaran, baik dalam speech (wicara)
maupun dalam action (tindakan).
(5) Bukan cuma tidak boleh membalas dendam, melainkan berbuat “lebih” secara
positif. Kalau dalam kitab Taurat ada ketentuan tentang pembalasan
dendam, maka dalam pendirian Yesus hal itu bukan hanya dilarang,
melainkan bahwa orang harus melakukan sesuatu yang “lebih”. Secara
keseluruhan, ajaran “nilai lebih” ini merupakan salah satu inti ajaran
Yesus. Bagi Yesus, menjadi warga kerajaan Allah, menjadi murid Yesus
berarti menjadi manusia yang hidup berdasarkan semangat “nilai lebih”:
mengasihi orang yang tidak mengasihi kita, mentraktir makan orang yang
tidak bisa membalas baik secara langsung maupun tidak, memberi pipi
kanan kepada orang yang menampar pipi kiri kita, memberikan jubah
sebagai tambahan bagi orang yang meminta baju dalam kita, dsb.

(6) Mencintai dan mendoakan musuh sebagai bukti tertinggi cinta yang radikal
dan cinta dengan “nilai lebih”. Mencintai orang yang mencintai kita dan
yang memang layak untuk kita cintai adalah hal yang lumrah. Ajaran
Yesus keluar dari kelumrahan itu. Ia menekankan nilai lebih berupa cinta
yang radikal dan tak terbatas. Nilai lebih itu tampak dalam tindakan
mencintai bukan hanya orang yang tidak mencintai kita dan tidak layak
untuk dicintai, yaitu musuh kita. Bukti cinta itu bukan hanya dalam
perbuatan melainkan terutama dalam doa. Ada sebuah ungkapan:
“Sebelum Anda mendoakan orang yang menyakiti hati Anda, terlepas
dari seberapa pun besar tindakan lahiriah Anda untuk menunjukkan
Anda telah memaafkannya, mengasihinya, Anda belum benar-benar
memaafkannya, belum benar-benar mengasihinya.” Doa adalah bukti
paling autentik bahwa kita benar-benar mengasihi orang lain. Orang bisa
saja memberikan kado atau senyum kepada orang yang menyakiti hatinya
dengan masih memendam sakit dan dendam dalam hatinya, tetapi orang
Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

7

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

tidak mungkin bisa berdoa bagi orang lain dengan tetap memendam hal
itu dalam hatinya.

Kesimpulan sementara. Dari keenam antitesis di atas, paling tidak terdapat
dua hal penting sebagai prinsip moral dasar bagi hidup para warga kerajaan
Allah yaitu kasih dan kesucian. Keduanya merupakan emanasi dari hakikat
Allah itu sendiri yang pengasih dan kudus. Kedua hal itulah yang
“membedakan” para warga kerajaan Allah dari yang bukan atau belum,
sekaligus mencerminkan “nilai lebih” mereka.
Tentang karya kesucian di hadapan Allah (tentang memberi sedekah, berdoa dan
berpuasa), yang ditekankan Yesus adalah bahwa hendaknya itu semua dilakukan
bukan untuk mendapat pujian atau untuk dilihat orang lain, melainkan untuk
memuliakan Allah. Pujian penuh suka cita akan kemuliaan Allah itu terpancar
atau menjadi pendorong bagi tindakan kasih, doa, dan puasa, dll. Singkatnya,
segala apa yang dilakukan dengan motivasi memuliakan Allah akan
mendatangkan kegembiraan, ketulusan, dan suka cita, serta tentu saja
keselamatan.
Tentang Doa Bapa Kami, doa ini terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian
vertikal yang memuliakan Allah yang bertahta di Sorga dan penyerahan diri
tanpa syarat kepadaNya dan bagian horizontal yang melingkupi diri kita sendiri
dan orang lain. Pada bagian bagian horizontal terdapat permintaan akan hidup
yang berkecukupan, pengakuan akan keberdosaan dan karena itu dibutuhkan
pengampunan, dan pengampunan itu juga nyata dalam tindakan saling
mengampuni di antara sesama manusia, serta permohonan peluputan dari
percobaan dan kejahatan. Lagi-lagi, dimensi etis dari doa Bapa Kami ini adalah
bahwa kasih sebagai motif dalam tindakan terhadap sesama, sebagaimana Allah
adalah kasih itu sendiri.
Selain itu semua, Khotbah di Gunung juga berisi tentang hidup tanpa
kekhawatiran karena semuanya disediakan Allah. Karena itu, yang penting
adalah hidup untuk mengumpulkan harta di sorga, bukan harta di bumi. Yang
Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

8

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

paling penting adalah hidup untuk “mencari kerajaan Allah dan kebenarannya”,
dan semua hal lain yang diperlukan dalam hidup akan diberikan. Khotbah di
Gunung juga melarang tindakan menghakimi, menuduh, mempersalahkan,
karena persis orang yang kita hakimi sebenarnya tidak beda jauh dari kita.
Bagaimana mungkin penjahat mengadili penjahat? Hanya satu yang berhak
menghakimi, yaitu Allah sendiri.
Khotbah di Gunung juga mengandung sesuatu yang dikenal sebagai
aturan emas: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7: 12). Ini
merupakan salah satu nas Khotbah di Gunung yang paling banyak dijadikan
rujukan baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam teori etika
(misalnya Kant, dll.). Isinya adalah bahwa kita harus melakukan apa kita
kehendaki supaya orang perbuat kepada kita. Rumusannya positif. Tetapi, kita
juga bisa merumuskannya secara negatif: apa yang saya tidak ingin orang
lakukan kepada saya, maka saya tidak boleh melakukannya kepada orang lain.
Hal itu misalnya terdapat dalam ucapan Yesus: “Janganlah kamu menghakimi,
supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7: 1). Tetapi, kiranya maksud Yesus jelas
bahwa kasih itu bersifat proaktif, dan tidak pasif, karena itu rumusannya adalah
positif dan tidak negatif.

Khotbah di Gunung sebagai (Sumber) Ajaran Moral

Sebagaimana dikemukakan oleh Georgo Lobo, pusat ajaran moral Yesus Kristus
adalah pada Khotbah di Gunung.13 Khotbah di Gunung, menurut Bernhard
Kieser, memperlihatkan paling tidak tiga hal mendasar, dan salah satunya adalah
“pewartaan tuntutan ilahi oleh Yesus sebagai norma moral,” Dua yang lainnya
adalah tentang “hubungan antara Kerajaan Allah dan hidup di dunia ini” dan
“antropologi serta kamampuan manusia untuk memenuhi tuntutan Allah yang

13

Lobo, hlm. 46.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

9

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

mutlak.”14 Khotbah di Gunung sebagai ajaran moral merangsang satu
pertanyaan pokok, yaitu: Bagaimana Khotbah di Gunung sebagai pewartaan
Kerajaan Allah menyapa dan mengikat orang Kristen dalam hidupnya?
Ajaran Yesus dalam Khotbah di Gunung sangat kental memperlihatkan
dimensi eskatologis, kehidupan akhir zaman. Tetapi, dimensi eskatologi itu
sendiri tidak hanya memuat unsur “mendatang”, melainkan juga unsur “sudah”.
Karena itu, kehidupan yang diarahkan dengan ajaran tentang “kehidupan yang
akan datang” (kehidupan eskatologis) selalu dihayati dalam rangkaian dengan
waktu yang sudah lewat. Karena itu, tuntutan-tuntutan moral yang diarahkan ke
kehidupan yang akan datang itu justru baru mendapatkan pemenuhannya
sejauh mereka dihayati dalam kehidupan sekarang ini di sini.15
Sebagai ajaran moral yang mengikat orang Kristen dalam hidupnya,
apakah ajaran itu real dalam arti rasional dan konkret? Ajaran dalam Khotbah di
Gunung rasional dan konkret justru karena wataknya yang bukan hanya
preskriptif melainkan deskriptif. Meskipun etika Khotbah di Gunung selalu
menekankan “ajaran nilai lebih”, dan seolah-olah selalu tidak puas dengan
capaian yang sudah dilakukan, tetapi watak deskriptifnya memperlihatkan
bahwa tuntutan tindakan moral itu bisa dilakukan oleh manusia. Yang dituntut
bukanlah sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan manusia, melainkan
sesuatu yang ada dalam kapasitas kemanusiaan itu sendiri.
Khotbah di Gunung menuntut tindakan lahiriah yang didorong oleh
disposisi batin yang tulus. Karena itu, autonomi dan peran suara hati sangat
fundamental. Etis atau tidaknya perbuatan manusia bukan semata diukur dari
tampakan lahiriahnya (legalitas) melainkan dari dimensi batiniahnya (moral).
Apa jaminan terhadap tindakan yang “tidak kelihatan” itu? Allah sendirilah
saksinya. Tuhan melihatnya.
Radikalitas etika Khotbah di Gunung terletak pada pada kritisisme
terhadap kepatuhan formal atau tindakan lahiriah semata di satu sisi, dan

14
15

Lihat Kieser, hlm. 53.
Lihat Lobo, hlm. 49-50.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

10

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

mendasarkan tindakan kita di atas dorongan batin yang tulus. Etika Khotbah di
Gunung merupakan kritik radikal terhadap etika peraturan, legalitas, dan
banalitas.

Penutup: Refleksi Kritis

Etika Khotbah di Gunung mengandung suatu asumsi antropologis tertentu
terhadap manusia, yaitu manusia sebagai citra Allah, sebagai anak Allah, sebagai
warga kerajaan Allah. Sebagai anak Allah dia telah diperlengkapi dengan rahmat
dan belaskasihan. Rahmat itu menjadi kekuatannya dalam menjalani hidup
selama di dunia bersama orang lain untuk kembali ke sorga menikmati segala
rahmat dalam segala kepenuhannya.
Karena itu, pengandaian dasar tindakan moral tidak lain tidak bukan
adalah kebaikan Allah sendiri yang telah disematkan dalam diri manusia.
Dengan kata lain, kebaikan Allah dalam diri manusialah yang menjadi dasar
potensi kebaikan manusia; kasih Allah yang telah merasuk dalam diri
manusialah yang menjadi kondisi kemungkinan bagi manusia dalam mengasihi;
kekudusan Allah yang telah mengemanasi dalam jiwa manusialah yang menjadi
dasar manusia dalam pengudusan dirinya. Tanpa potensi kebaikan, kasih dan
kekudusan dari Allah dalam diri manusia itu, tindakan moral bukan cuma tidak
mungkin melainkan juga tidak bermakna. Dikatakan tidak mungkin karena
seluruh perangkat kebaikan itu merupakan implikasi sekaligus inkarnasi dari
seluruh perangkat kebaikan Allah, dan tak satu pun yang berasal dari manusia
itu sendiri. Dikatakan tidak bermakna karena rahmat dan kebaikan Allah adalah
fondasi atau semacam kondisi kemungkinan bagi tindakan moral manusia; tanpa
rahmat dan kebaikan Allah itu tindakan baik manusia tidak dapat dimengerti
sebagai kebaikan. Rahmat dan kebaikan Allah menjadi semacam kategori
transendental ala Immanuel Kant bagi dipahaminya tindakan moral manusia.
Tanpa itu, perbuatan manusia tidak pernah bisa dipahami sebagai etis atau tidak.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

11

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

Etika Khotbah di Gunung mendasarkan tuntutannya pada sebuah prinsip
“yang harus dilakukan adalah yang bisa dilakukan.” Artinya, segala tuntutan
moral dalam etika Khotbah di Gunung, baik yang berupa ajaran “aturan emas”nya, bahkan ajaran “nilai lebih”-nya dan aspek radikalnya, adalah rasional dan
real. Tuntutan-tuntutan itu tidak berada di luar jangkauan kemampuan manusia,
tetapi memang dibutuhkan usaha yang sedikit lebih keras. Karena itu, etika
Khotbah di Gunung bukanlah etika yang utopis, melainkan realistis.
Etika Khotbah di Gunung menekankan prinsip “nilai lebih”, bukan
sekadar hidup dengan “aturan emas”, yang membedakan secara distingtif para
warga kerajaan Allah dari yang bukan atau belum. Setiap orang yang mengikuti
Yesus dituntut untuk menjalani hidup dengan “nilai lebih” itu. Artinya, tanpa
itu, ia tidak dapat dikatakan sebagai murid Yesus, sebagai anak Allah, sebagai
warga kerajaan Allah. Prinsip nilai lebih berimplikasi pada sikap radikal pada
keberpihakan pada yang lemah (preferential option for the poor).
Etika Khotbah di Gunung juga merupakan etika yang radikal. Dikatakan
radikal karena etika ini, bukan sekadar menuntut nilai lebih, melainkan
menuntut kritisisme terhadap tatanan dan norma-norma yang sudah berlaku
umum, serta perilaku kepatuhan yang “membebek-membeo” tanpa daya kritis
sama sekali. Kritisisme itu bukan semata-mata dimaksudkan untuk diganti
dengan suatu aturan atau norma yang baru, melainkan terutama untuk kembali
melihat unsur ketulusan di dalam tindakan mengikuti aturan atau norma itu.
Kritik berarti mengingat kembali dan selalu akan motivasi kita melakukan
sesuatu. Tanpa kritik, tindakan itu tidak bermakna, karena tercerabut dari unsur
fundamentalnya, yaitu motif atau niat. Kritisisme dalam etika Khotbah di
Gunung menunjukkan pentingnya suara hati dalam tindakan moral manusia.
Jika Etika Khotbah di Gunung ini mau dikaitkan dengan paling tidak dua
sistem etika besar sepanjang zaman, yaitu sistem Eudaimonisme Aristotelian dan
Deontologi Kantian, maka tampak jelas bahwa Etika Khotbah di Gunung
mengandung kedua-duanya. Dengan Eudaimonisme Aristotelian ia berkaitan
karena pusat ajaran tentang kebahagiaan. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

12

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah suatu tujuan yang bernilai dari dirinya
sendiri. Hidup yang baik adalah hidup yang terarah pada pemenuhan tujuan
tersebut, yaitu kebahagiaan. Bagi Yesus Kristus, tujuan hidup bukanlah
kebahagiaan per se, melainkan Kerajaan Allah. Orang yang bahagia belum tentu
berada dalam Kerajaan Allah, tetapi orang yang telah masuk dan menjadi warga
Kerajaan Allah pastilah bahagia, karena Kerajaan Allah itu tiada lain adalah
kebahagiaan itu sendiri. Jadi, kebahagiaan yang dipahami Aristoteles lebih
dalam pengertian hidup manusia di dunia, tetapi bagi Yesus Kristus adalah
kebahagiaan hidup di dunia yang mengalami kesempurnaannya pada
kehidupan yang akan datang.
Etika Khotbah di Gunung juga mengandung dimensi deontologis Kantian
terutama dalam pengertian bahwa tuntutan-tuntutan Yesus adalah tuntutantuntutan imperatif kategoris, bukan imperatif hipotetis. Bahkan, tuntutantuntutan Yesus merupakan imperatif eksistensial, kalau boleh kita namakan
demikian. Artinya, imperatif itu merupakan ekspresi dari hakikat eksistensial
manusia sebagai citra Allah, sebagai anak Allah, sebagai warga Kerajaan Allah.
Kalau imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat, tetapi tampak
sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia, maka imperatif eksistensial
adalah perintah tak bersyarat dan ketakbersyaratannya itu tidak bisa ditampik
persis karena eksistensi manusia sebagai citra Allah itu sendirilah yang menjadi
basis ontologis atau asumsi metafisiknya. Pelaksanaan perintah itu bukan
merupakan syarat untuk menerima keselamatan (meskipun dalam taraf tertentu
bisa demikian), melainkan pelaksanaan hidup sesuai ajaran itu adalah ekspresi
eksistensial, sebagai pancaran, dari status seseorang sebagai anak Allah, citra
Allah. Hakikat itu harus manifes dalam menjalankan perintah yang digambarkan
Yesus dalam Khotbah di Gunung.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

13

Paper Akhir MK “Filsafat Praktis”

Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.

Daftar Pustaka:

Bernhard Kieser, S.J., Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius,
1987.
Franz Magnis-Suseno, S.J., “Silabus Filsafat Praktis”, Pasca-sarjana STF Driyarkara,
Jakarta, semester pertama, 2008.
Georgo V. Lobo, S.J., Guide to Christian Living, a New Compendium of Moral Theology,
Maryland: Christian Classics, Inc., Cetakan Kedua, 1985.
Jim Grote dan John McGeeney, Cerdik Seperti Ular, Etika Bisnis dan Politik Kantor
(terjemahan dari Clever as Serpents: Business Ethics and Office Politics,
Minnesota: The Liturgical Press, 1997, oleh Eddie Sius Riyadi L.),
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Ronald Preston, “Christian Ethics”, dalam Peter Singer, ed., A Companion to Ethics,
Oxford: Blackwell, 1997.
Wikipedia,
“Sermon
on
the
http://en.wikipedia.org/wiki/Sermon_on_the_Mount.

Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, 23 April 2008

Mount”,

14