Unsur Kepentingan Umum di dalam Undang U

Beberapa Aspek dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum

Bambang Prabowo Soedarso
Endra Wijaya
Fadlan Arifa Rahman
Retno Kusumaningsih
Rizza Zia Agusty
Rocky Marbun
Rr. Restisari Joeniarto
Editor: Deni Bram dan Putri Ayu Maharani

i

Judul:
Beberapa Aspek dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Penulis:
Bambang Prabowo Soedarso

Endra Wijaya
Fadlan Arifa Rahman
Retno Kusumaningsih
Rizza Zia Agusty
Rocky Marbun
Rr. Restisari Joeniarto
Editor:
Deni Bram
Putri Ayu Maharani
Kover dan tata letak:
Endra Wijaya
Diterbitkan atas kerja sama antara:

Alamat Lentera Hukum Indonesia:
Jln. Bukit Duri Utara, No. 31, RT. 010, RW. 001
Bukit Duri, Tebet. Jakarta Selatan, 12840.
Tlp.: 021-34723369.
E-mail: lenterahukumindonesia@yahoo.co.id
Hak cipta pada penulis.
Cetakan ke-1: Maret 2013.

ISBN: 978 – 602 – 18033 – 6 – 3
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi
buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk
atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit,
kecuali untuk keperluan pengutipan untuk
membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini
sebagai sumbernya.
Isi buku tidak menjadi tanggung jawab pihak penerbit.

ii

SAMBUTAN
MENTERI PERUMAHAN RAKYAT
PADA ACARA KONSULTASI PUBLIK:
“KONSEP RESTORATIVE JUSTICE VS.
HIDDEN AGENDA KONGLOMERAT”

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke
hadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik dan hidayah yang dianugerahkan-Nya kepada kita semua, sehingga kita dimungkinkan berkumpul di
tempat ini dalam kondisi sehat wal’afiat untuk bersama-sama menghadiri acara konsultasi publik: “Konsep Restorative Justice Vs. Hidden

Agenda Konglomerat,” di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta.
Para hadirin yang saya hormati.
Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul pada era
tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari
pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana.
Terlepas dari kenyataan tersebut, bahwa pendekatan ini masih
diperdebatkan secara teoretis, namun demikian pandangan ini pada
kenyataannya juga berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan
hukum dan praktik di berbagai negara.
Apalagi kalau dibandingkan dengan adanya hidden agenda dari
konglomerat, di mana diakui atau tidak hidden agenda ini akan selalu
kita jumpai dalam setiap proses pembangunan, terutama yang dilakukan oleh para pemilik modal besar di manapun, di negara manapun, termasuk di Indonesia.
Sehingga apabila dalam konsultasi publik ini dipilih tema “Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat,” maka saya
berharap Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mampu
ikut membantu merumuskan konsep kebijakan yang dapat meminimalkan hidden agenda untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa
dan Negara Indonesia.


iii

Hadirin yang saya hormati.
Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah telah tercatat
sebagai salah satu hak asasi manusia warga negara Indonesia. Melalui
keikutsertaan Kementerian Perumahan Rakyat di dalam Panitia Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional diharapkan hal ini dapat
mendorong perkembangan pembangunan perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
Mencermati perkembangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia yang demikian pesat serta kebutuhan
akan perumahan yang semakin meningkat, maka ini memberikan tugas
baru kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah pada khususnya dalam
hal penyediaan tanah untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sektor perumahan dan kawasan permukiman telah menjadi salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional. Peran penting
sektor perumahan dan permukiman dalam perekonomian nasional terkait dengan efek multiplier yang dapat diciptakan, baik terhadap
penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional.
Namun demikian, permasalahan yang menghadang perkembangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia ialah keterbatasan lahan yang akan digunakan sebagai lokasi
pembangunan perumahan. Kondisi itu mengakibatkan kebutuhan perumahan bagi utamanya masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin sulit dipenuhi tanpa campur tangan Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah serta pemangku kepentingan yang lain.
Hadirin yang saya hormati.
Keterbatasan lahan dalam rangka pembangunan perumahan
bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut merupakan tantangan

bagi Pemerintah terutama Pemerintah Daerah, terlebih setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan
urusan perumahan menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah. Hal ini
artinya bahwa Pemerintah Daerah harus menjadikan urusan penyediaan
rumah bagi warganya sebagai program prioritas.
Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman, Pemerintah telah menerbitkan 2 (dua) undangundang sebagai dasar penyelenggaraan bidang perumahan dan kawasan
permukiman di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Undang-Undang
iv

Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, di mana kedua undangundang tersebut telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah
Daerah untuk mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah
untuk pembangunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Hadirin yang saya hormati.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, ini menegaskan kembali peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum yang dimaksud di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tersebut salah satunya ialah digunakan untuk

pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah,
sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 10 huruf o beserta penjelasannya. Hal ini kemudian memberikan arti bahwa Pemerintah dan
negara haruslah memperhatikan kebutuhan akan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tersandung pada permasalahan lahan.
Selain untuk memberikan kepastian lahan yang dapat digunakan
sebagai lokasi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut, pengaturan ini juga sebagai upaya perlindungan bagi masyarakat dari adanya hidden agenda pihak konglomerat yang biasanya melakukan land banking untuk kepentingan
pribadi dan golongan.
Terkait dengan land banking oleh konglomerat yang biasanya
melakukan “pengumpulan tanah” dalam skala besar yang pada akhirnya tidak diberdayakan sesuai izinnya, Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar telah berupaya meminimalisasi hal tersebut.
Maksud dan tujuan dari upaya meminimalisasi itu ialah agar pendayagunaan tanah dapat digunakan sebesar-besarnya bagi warga negara
Indonesia.
Pasal 15 Peraturan Pemerintah itu menyebutkan pula bahwa
tanah-tanah yang terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria dan program strategis negara, yang antara
lain dapat digunakan sebagai pengembangan sektor perumahan.
Pengaturan tersebut di atas merupakan perwujudan kesungguhan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah, dan merupakan bentuk
kepedulian serta perlindungan Pemerintah terhadap warga negara Indonesia dari tindakan oknum-oknum yang melakukan upaya pengayaan
pribadi melalui akuisisi tanah dan lahan strategis.
v

Hadirin yang saya hormati.

Implementasi dari kebijakan Pemerintah mengenai penyediaan
tanah untuk kepentingan umum tidak sepatutnya dijadikan alat untuk
menguasai tanah demi kepentingan pribadi dan/atau golongan, akan
tetapi seyogianya menjadi dasar bagi para pemangku kepentingan untuk lebih peduli kepada terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh warga
negara Indonesia, utamanya masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Dalam praktiknya, pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum memerlukan perhatian, kontrol, dan pengawasan
dari berbagai pihak agar cita-cita yang diamanatkan dapat tercapai.
Konsultasi publik merupakan proses komunikasi dialogis atau
musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Untuk itulah, acara konsultasi publik ini diharapkan dapat memberikan secercah harapan dan kesamaan persepsi mengenai pengadaan
tanah serta pengaturannya dalam memerangi perilaku menyimpang dari
oknum yang tidak bertanggung jawab (hidden agenda ).
Akhirnya, dengan mengucap bismillahirahmannirahim, saya
buka acara konsultasi publik yang mengangkat tema “Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat” ini. Semoga Allah
SWT bersama dan melindungi kita selalu.
Wallaahul muwaafiq Ilaa aqwaamit thariq, wassalamualaikum
warrakhmatullah wabarakaatuh .


Jakarta, 13 Desember 2012
Menteri Perumahan Rakyat,
Djan Faridz

vi

SAMBUTAN
PENERBIT
LENTERA HUKUM INDONESIA

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu
masalah yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan,
termasuk kalangan dari bidang hukum. Dalam sistem hukum di Indonesia, masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur
melalui beberapa peraturan perundang-undangan, dan yang terakhir
ialah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut tidak luput pula
dari kritik dan tanggapan dari beberapa pihak. Kritik terhadap undangundang itu, antara lain, tertuju pada keberadaan unsur kepentingan
umum yang diatur di dalamnya, yang oleh sebagian pihak dianggap
berpotensi menjadi “kendaraan kaum pemilik modal” untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis melalui kepemilikan atas lahan

tertentu.
Masalah tersebut di atas tentunya cukup menarik apabila dikaji
lebih lanjut. Kesempatan untuk mengkaji itulah yang kemudian tidak
disia-siakan dan diambil oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta.
Melalui rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-52 Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, kampus ini menyelenggarakan
sebuah diskusi ilmiah yang mengambil tema “Konsultasi Publik Pertanahan: Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat,”
yang diadakan di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada
tanggal 13 Desember 2012.
Untuk lebih menyebarluaskan materi yang didiskusikan dalam
acara tersebut, kemudian Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta bekerja sama dengan Lentera Hukum Indonesia berinisiatif untuk menerbitkan beberapa makalah yang telah dipresentasikan dalam
diskusi ilmiah tadi dalam bentuk buku. Buku itulah yang kini hadir di
hadapan pembaca sekalian.
Lentera Hukum Indonesia sangat menyambut baik upaya
penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih tentunya perlu pula kami
sampaikan kepada pihak Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

vii


Jakarta yang telah bersedia bekerja sama melakukan penerbitan buku
ini. Semoga buku ini bermanfaat. Selamat membaca!

Jakarta, Maret 2013
Ketua Yayasan
Lentera Hukum Indonesia,
Djunaedi Sikumbang, S.H.

viii

SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

Tanah merupakan objek penting yang sekaligus sering menjadi
rebutan bagi banyak pihak, baik itu pihak masyarakat, pemerintah,
ataupun pengusaha (pelaku bisnis). Benturan kepentingan antara pihakpihak itu terkait dengan objek berupa tanah sering pula menjadi
sengketa hukum yang akhirnya harus diselesaikan melalui jalur
pengadilan.

Oleh karena potensi konfliknya sangat besar, maka wajar
apabila kemudian masalah pertanahan ini menjadi objek yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundangundangan yang mengatur masalah pertanahan ini ialah Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Secara garis besar, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
mengatur objek tanah dalam hubungannya dengan proses pembangunan
untuk kepentingan umum. Walaupun demi pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi dalam praktiknya di lapangan, prosesnya justru
sering menghadapi kendala.
Kendala tersebut, salah satunya, ialah disebabkan karena adanya
perbedaan kepentingan di antara pihak-pihak yang terkait dengan objek
tanah dimaksud. Misalnya saja, di satu sisi, anggota masyarakat yang
memiliki sebidang tanah tentu menginginkan agar tanahnya yang akan
dijadikan sebagai lahan pembangunan diberikan ganti kerugian dengan
harga yang tinggi. Namun di sisi yang lain, bisa saja pihak pemerintah
justru keberatan dengan tuntutan ganti kerugian yang diminta oleh
masyarakat.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga pihak pelaku bisnis
(pemilik modal) ikut serta dalam konflik kepentingan terkait dengan
objek tanah tersebut, mengingat tanah ialah salah satu aset yang harganya dapat terus meningkat sehingga sangat menguntungkan dari sisi
bisnis.
Permasalahan tersebut di atas tentunya menarik untuk dikaji
secara akademis. Sebagai institusi pendidikan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta merasa perlu untuk mengambil peran
sebagai pengkaji permasalahan tanah dalam kaitannya dengan proses
ix

pembangunan untuk kepentingan umum. Untuk hal itulah, maka pada
tanggal 13 Desember 2012, bertepatan dengan peringatan Dies Natalis
ke-52, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta telah
menyelenggarakan kegiatan diskusi dan konsultasi publik dengan tema
“Konsultasi Publik Pertanahan: Restorative Justice Vs. Hidden Agenda
Konglomerat.”
Selanjutnya, materi-materi presentasi para narasumber pada kegiatan diskusi dan konsultasi publik tersebut, yang ditambah dengan
beberapa tulisan ilmiah pelengkap, telah disatukan dalam bentuk buku
yang berjudul Beberapa Aspek dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, yang kini sudah pula hadir di hadapan pembaca sekalian.
Buku ini diterbitkan atas kerja sama antara Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan Lentera Hukum Indonesia.
Untuk itu, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta, saya menyampaikan terima kasih kepada pihak Lentera Hukum
Indonesia atas kerja samanya yang baik. Semoga buku ini bermanfaat
bagi pembaca sekalian.

Jakarta, Maret 2013
Dekan,
Budianto, S.H.,M.H.

x

DAFTAR ISI

Sambutan Menteri Perumahan Rakyat pada
Acara Konsultasi Publik:
“Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat”

iii

Sambutan Penerbit Lentera Hukum Indonesia

vii

Sambutan Dekan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

ix

Daftar Isi

xi

Politik Hukum Pertanahan di Indonesia
~ Bambang Prabowo Soedarso

1

Tanah dalam Sistem Hukum di Indonesia
~ Fadlan Arifa Rahman

7

Konsep Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan
~ Rizza Zia Agusty

18

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
~ Rr. Restisari Joeniarto

26

Unsur Kepentingan Umum di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Kaitannya
dengan Hak Gugat yang Dimiliki oleh Masyarakat
~ Endra Wijaya
41
Kajian Yuridis Terhadap Sistem Konsinyasi dalam
Sengketa Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
(Tinjauan Perspektif Utilitarianisme dan Critical Legal Studies)
~ Retno Kusumaningsih dan Rocky Marbun

48

Lampiran

69

xi

UNSUR KEPENTINGAN UMUM DI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA, DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
DALAM KAITANNYA DENGAN HAK GUGAT
YANG DIMILIKI OLEH MASYARAKAT 1
Endra Wijaya2

A. Pendahuluan
Aktivitas (tindakan) dari pihak pemerintah terus-menerus
mengalami dinamika, dan semakin hari makin bertambah kompleks.
Banyak dari tindakan pemerintah itu bersinggungan pula dengan kepentingan masyarakat, sehingga potensi timbulnya perselisihan antara
pemerintah dan masyarakat juga semakin terbuka lebar.
Untuk mengantisipasi atau merespons perselisihan antara pemerintah dan masyarakat, maka dirumuskanlah norma-norma hukum yang
mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat, yang hal ini
tidak lain ialah Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam perspektif
HAN, dalam menjalankan hubungannya dengan masyarakat, pihak pemerintah selalu diawasi aktivitasnya, salah satunya, melalui lembaga
kontrol yuridis yang disebut Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan
TUN).3
Maksud dibentuknya Peradilan TUN tersebut, pada prinsipnya,
bertujuan untuk mengupayakan terjadinya keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan

1

Disampaikan pada acara diskusi dalam rangka Dies Natalis ke-52 Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. Acara diselenggarakan di kampus
Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2012.
2
Penulis ialah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, serta peneliti pada Yayasan
Lentera Hukum Indonesia.
3
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum
terhadap Pemerintah (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986), hlm. xvii.

41

masyarakat atau kepentingan umum.4 Dari itu dapat dipahami pula bahwa kehadiran Peradilan TUN sebenarnya erat berkaitan dengan unsur
kepentingan umum (kepentingan masyarakat luas).
Sehubungan dengan perihal kepentingan umum, maka di dalam
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur mengenai unsur kepentingan umum tersebut, misalnya saja seperti yang
dimuat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Menariknya, unsur kepentingan umum ini sering pula “dipertentangkan” dengan perlindungan kepentingan (hak-hak) perseorangan,
atau ia sering juga dicurigai sebagai “kendaraan”-nya pihak tertentu
yang ingin memperoleh keuntungan secara ekonomis dari suatu lahan
milik orang lain (kepentingan konglomerat). Lalu, bagaimanakah hukum positif di Indonesia meresponsnya?
B. Tinjauan terhadap Unsur Kepentingan Umum di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Pada prinsipnya, Peradilan TUN5 dibentuk dengan tujuan untuk:
mengawasi pelaksanaan kewenangan pejabat TUN, agar ia tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan masyarakat;6 dan untuk
menyelesaikan sengketa TUN antara badan/pejabat TUN dan masyarakat, yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan
pemerintah, yang diwujudkan dalam bentuk keputusan TUN, yang dianggap melanggar hak-hak masyarakat.7
4

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm. 25.
5
Pengaturan masalah Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia telah
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
ke Dua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
6
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia , (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), hlm. 158.
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara , UU
No. 5 Tahun 2008, ps. 47.

42

Selain itu, secara filosofis, jika dihubungkan dengan falsafah
negara Pancasila, maka Peradilan TUN ini dibentuk dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan
hak-hak masyarakat secara serasi, seimbang, dan selaras antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum tersebut.8
Dalam rangka mencapai tujuan semacam itulah, maka aktivitas
dari pihak badan/pejabat TUN yang diwujudkan dalam bentuk keputusan TUN (beschikking) akhirnya menjadi objek “pengawasan” dari
pengadilan-pengadilan yang berada dalam lingkungan Peradilan TUN
(Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN).
Untuk dapat menjadi objek sengketa TUN, suatu produk hukum
yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN harus memenuhi persyaratan
sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menjelaskan unsur-unsur yang
sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi agar suatu produk hukum
dari badan/pejabat TUN dapat dijadikan objek sengketa oleh individu
atau badan hukum perdata. Unsur-unsur tersebut ialah:
1. suatu penetapan tertulis;
2. yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN;
3. yang berisi tindakan hukum tata usaha negara;
4. yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. yang bersifat konkret, individual, dan final;
6. yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Selain ketentuan Pasal 1 angka 9 tersebut, di dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, juga terdapat lagi pasal lain yang mengatur mengenai objek sengketa TUN, yaitu:
1. Pasal 3, yang pada intinya mengatur mengenai dapat digugatnya sikap diam badan/pejabat TUN yang tidak mau menjawab
permohonan yang diajukan, padahal ia wajib menjawabnya.
Sikap diam dari badan/pejabat TUN yang demikian dapat

8

S.F. Marbun, op.cit., hlm. 25.

43

dijadikan sebagai objek sengketa TUN (keputusan TUN yang
fiktif negatif).
2. Pasal 2, yang pada intinya mengatur pengecualian dari beberapa bentuk produk hukum, sehingga produk-produk hukum
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa TUN.
Produk hukum yang dimaksud, antara lain, berupa keputusan
TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, keputusan
TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan
KUHAP, dan keputusan Komisi Pemilihan Umum mengenai
hasil pemilihan umum.
3. Pasal 49, yang pada intinya juga mengatur pengecualian dari
beberapa bentuk keputusan TUN, sehingga produk-produk
hukum yang berbentuk keputusan TUN tersebut tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa TUN. Dalam kaitannya dengan
keberadaan Pasal 49 ini, maka keputusan TUN yang tidak bisa
dijadikan sebagai objek sengketa TUN ialah keputusankeputusan TUN yang dikeluarkan dalam keadaan perang,
bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan
umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan judul yang diangkat dalam tulisan kali ini,
maka fokus pembahasan lebih lanjut akan penulis arahkan kepada masalah unsur kepentingan umum yang tercantum di dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menegaskan
bahwa: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (huruf
miring dari penulis).
Kemudian, Penjelasan Pasal 49 memaparkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan
pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
44

Ketentuan yang dimuat di dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 telah menjadikan beberapa keputusan TUN bukan sebagai objek sengketa TUN, sehingga apabila ia diterbitkan oleh
badan/pejabat TUN dan ia dianggap menimbulkan kerugian bagi masyarakat, maka masyarakat itu akan kehilangan hak gugatnya terhadap
keputusan TUN tersebut.
Oleh karena itulah, menurut Philipus M. Hadjon, ketentuan
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ini sebenarnya telah
membatasi (mempersempit) kompetensi absolut Peradilan Administrasi
(Peradilan TUN).9 Yang seharusnya sebuah keputusan TUN dapat
digugat, tetapi karena ia dikeluarkan dalam keadaan yang dimaksud
Pasal 49 huruf a dan b, maka akhirnya ia tidak bisa diganggu-gugat
melalui jalur Peradilan TUN.10
C. Tinjauan terhadap Unsur Kepentingan Umum di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Pendekatan yang berbeda terhadap unsur kepentingan umum
terkait dengan hak gugat yang dimiliki oleh masyarat melalui sistem
Peradilan TUN justru hadir di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 23 ayat (1)
yang menjelaskan bahwa: “Dalam hal setelah penetapan lokasi
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dan
Pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap
penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya penetapan lokasi” (huruf miring dari penulis).
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, ternyata unsur
kepentingan umum bukanlah menjadi sesuatu yang tidak bisa “diganggu gugat.” Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 23 ayat (1) tersebut,
maka dapat dipahami bahwa suatu penetapan yang dikeluarkan oleh
pejabat TUN dalam konteks untuk kepentingan umum tetap dapat
digugat oleh masyarakat (yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 disebut dengan “Pihak yang Berhak”).
9

Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi
(Peradilan Tata Usaha Negara) (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm.
14.
10
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hlm. 14-15.

45

Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan
terhadap hasil penetapan pejabat TUN (dalam hal ini ialah penetapan
dari gubernur mengenai lokasi pembangunan), yang gugatannya itu
diajukan ke Pengadilan TUN. Padahal, penetapan seperti itu ialah
penetapan yang padanya melekat sifat untuk kepentingan umum.
Hal seperti yang telah dijelaskan di atas tentunya merupakan
titik pembeda antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah memposisikan
keputusan TUN yang dikeluarkan dalam keadaan untuk kepentingan
umum sebagai suatu produk hukum yang tidak bisa dijadikan sebagai
objek sengketa TUN (sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986).
Dalam perspektif teori HAN, apa yang diatur di dalam Pasal 23
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut telah mencerminkan perwujudan salah satu “fungsi ganda” dari HAN, yaitu
sebagai pelindung masyarakat dari tindakan pihak pemerintah,
sebagaimana pendapat dari Sjachran Basah yang menyatakan bahwa:11
“... hakikat Hukum Administrasi Negara bersifat ganda, yaitu: pertama,
memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya; ke
dua, melindungi warga negara terhadap sikap-tindak administrasi itu
sendiri.”
D. Catatan Penutup
Terlepas dari kritik yang telah diajukan oleh beberapa pihak
terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dari
perspektif HAN, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini sebenarnya
dapat dianggap sebagai produk hukum yang telah menyediakan mekanisme perlindungan bagi warga masyarakat, setidaknya dalam bentuk
disediakannya mereka peluang untuk dapat menggugat penetapan
pejabat TUN mengenai lokasi pembangunan yang dikeluarkan dalam
rangka kepentingan umum.
Namun demikian, keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 ini, terutama dalam kaitannya dengan hak masyarakat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN, masih menyisakan persoalan
yang perlu dicari solusinya.

11

Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu
Perbandingan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 17.

46

Persoalan tersebut, antara lain, berhubungan dengan masalah
jumlah ganti kerugian. Dalam mekanisme hukum acara Peradilan TUN,
jumlah ganti kerugian dibatasi, yaitu minimal Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada
Peradilan Tata Usaha Negara
Hal yang telah disinggung di atas tentu harus diperhatikan
dalam konteks gugatan melalui Pengadilan TUN seperti yang dimaksud
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, karena justru
sengketa (keberatan) yang diajukan oleh masyarakat (Pihak yang
Berhak) potensial mengandung tuntutan ganti rugi yang jumlahnya
melebihi apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991. Apabila masalah ini tidak dicarikan solusinya, dikhawatirkan akan banyak gugatan TUN dari masyarakat awam yang akan
“kandas” saat masuk ke Pengadilan TUN, karena apa yang mereka
tuntut dalam petitum-nya ternyata bertentangan dengan mekanisme
yang berlaku pada sistem hukum acara Peradilan TUN. * * *

Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi
Hukum terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer,
1986.
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif
di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press, 2011.
Setiadi, Wicipto. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu
Perbandingan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Wijoyo, Suparto. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi
(Peradilan Tata Usaha Negara). Surabaya: Airlangga University
Press, 2005.
Wiyono, R. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.

47