Kajian Kerentanan Perubahan Iklim di Kot (1)

Jurnal Konstruksi
UNSWAGATI CIREBON

ISSN : 2085-8744

JURNAL KONSTRUKSI
Kajian Kerentanan Perubahan Iklim di Kota Tarakan
*Ibnu Sofian **Yackob Astor
*Badan Informasi Geospasial (BIG)
Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong, Bogor. Email: ibnusofian@gmail.com
** Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati)
Jl. Pemuda No.32 Cirebon. Email: yackobastor@yahoo.com

ABSTRAK
Lingkungan pantai merupakan daerah yang sangat rentan terhadap pengaruh aktivitas penduduk dan
kondisi alam terutama pengaruh naiknya tinggi muka air laut akibat pemanasan global (global warming).
Pulau Tarakan yang dikelilingi oleh lautan sangat mudah terpengaruh oleh kenaikan tinggi muka air laut
yang dapat menyebabkan bahaya banjir (ROB), sedimentasi dan erosi. Kondisi ini semakin rentan dengan
tingginya frekuensi terjadinya iklim ekstrim seperti El Niño dan La Niña.
Kajian ini bertujuan untuk memberikan dasar acuan informasi bagi pengembangan daerah pantai di Pulau
Tarakan, juga dijadikan dasar acuan adaptasi untuk mengurangi risiko akibat terjadinya bencana alam

yang berkaitan dengan kenaikan tinggi muka air laut. Metode yang digunakan untuk estimasi kenaikan
tinggi muka air laut dan terjadinya extreme events ( El Niño dan La Niña) dalam penelitian ini adalah
Trend analysis, analisis klimatologi, dan Wavelet analysis. Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
merupakan data elevasi digunakan sebagai dasar pembuatan deliniasi daerah potensi genangan. Hasil
kajian diperoleh bahwa kenaikan tinggi muka air laut dan subsiden di Pulau Tarakan akan menyebabkan
terjadinya genangan terhadap daerah yang mempunyai elevasi ketinggian antara 0 m sampai 4 m pada
tahun 2100. Secara umum daerah pantai di Pulau Tarakan akan tergerus dan tereduksi antara 2km sampai
5km. Pengaruh cuaca ekstrim menyebabkan daerah genangan meluas dengan penambahan tinggi
genangan antara 3m.
Kata kunci: Sea Level Rise, El Niño dan La Niña.

ABSTRACT

Coastal environment is an area that is very susceptible from people activities influence and natural
condition, especially sea level rise due global warming. Tarakan island that surrounded by the sea is very
easily affected by sea level rise, that cause hazards of flooding (ROB), sedimentation and erosion. This
condition is more vulnerable by extreme climate such as El Niño and La Niña. This study aims to provide
basic reference information for development coastal areas in Tarakan island, also used for basic
reference adaptation to reduce risks from natural disasters related sea level rise. The methods used are
Trend Analysis, Climatology Analysis and Wavelet Analysis to estimate sea level rise and extreme events

(El Niño and La Niña). Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) is elevation data used for delineate
potential inundation area. The results found that sea level rise and subsidence in Tarakan island will
cause inundation for the area that has elevation height between 0 m to 4 m in 2100. In general, coastal
areas in Tarakan island will be eroded and reduced between 2km to 5km. Effect from extreme events is
extends inundation area with addition high between 3m.
Keywords: Sea Level Rise, El Niño and La Niña.

Jurnal Konstruksi,Vol. 1, No. 1, April 2013

| 19

Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Di Kota Tarakan

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perubahan iklim global telah meningkatkan suhu
atmosfer global dan berdampak pula pada sistem
hidrologi di bumi. Hal ini pada akhirnya
berdampak negatif terhadap ekosistem alam dan
kehidupan manusia secara luas. Pemanasan

global yang terjadi berdampak pada aspek
lingkungan dan sosial, terutama pada kenaikan
permukaan air laut, perubahan pada pola curah
hujan, serta meningkatnya kejadian-kejadian
cuaca ekstrim. Hal ini terasa juga dampaknya di
Kota Tarakan.
Perlu dirumuskan strategi dan rencana aksi bagi
Negara untuk melindungi warganya dari
bencana alam dan lingkungan yang lebih aman.
Untuk itu, masyarakat harus mengenali dan
memperkuat metode-metode tradisional dan
mencari jalan baru untuk hidup dengan risiko
bencana, dan mengambil langkah-langkah
penting untuk mencegah dan juga mengurangi
dampak dari bencana. Kapasitas untuk
melakukan hal ini sangat memungkinkan. Tata
ruang nasional yang berwawasan nusantara
dijadikan
pedoman
bagi

perencanaan
pembangunan agar penataan lingkungan hidup
dan pemanfaatan sumber daya alam dapat
dilakukan secara aman, tertib, efisien dan
efektif.
Lingkungan pantai merupakan daerah yang
sangat rentan terhadap perubahan iklim terutama
pengaruh yang diakibatkan oleh naiknya
permukaan air laut, baik akibat ekspansi volume
air laut karena naiknya suhu air laut atau
mencairnya es glasier dan es di kutub utara dan
selatan. Meskipun dampak kenaikan tinggi muka
air laut hanya menjadi wacana di kalangan
ilmuwan, tetapi setiap penduduk terutama yang
tinggal di daerah pantai harus tanggap akan
resiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di
lingkungan pantai akibat naiknya tinggi muka
air laut.
Letak geografis Kota Tarakan antara 117034’
Bujur Barat dan 117038’ Bujur Timur serta

diantara 3019’ Lintang Utara dan 3020’ Lintang
Selatan. Dengan luas daratan 250,80 km² dan
luas laut 406,53 km², disadari sebagai kota pulau
akan sangat rentan terhadap pengaruh kenaikan
tinggi muka air laut terutama terhadap bahaya
banjir (ROB), sedimentasi dan erosi. Kondisi ini
semakin rentan dengan semakin tingginya
frekuensi terjadinya iklim ekstrim seperti El

Nino dan La Nina. Untuk mengatasi perubahan
iklim tersebut, maka pembangunan ekonomi dan
pembangunan lingkungan hidup diperlukan
kebijakan yang berpihak pada upaya pelestarian
alam sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan
iklim tersebut. Tanpa ada visi dan misi yang
jelas tentang bagaimana mengelola dan
mengatasi perubahan iklim global maka tidak
akan menyentuh rasa keadilan, kesejahteraan
masyarakat itu sendiri.
Tantangan yang dihadapi dalam perubahan iklim

global di masa depan adalah bagaimana
memanfaatkan dan memelihara sumberdaya
alam secara berkelanjutan bagi penanggulangan
bencana serta pencegahannya, dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat sejalan
dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, terutama yang berkaitan dengan makin
meluasnya
tuntutan
masyarakat
untuk
memperoleh kualitas lingkungan hidup yang
semakin baik dan adil. Sumber daya alam dan
lingkungan hidup merupakan salah satu aset
utama untuk mendukung terciptanya tujuan
utama pembangunan. Telah dipahami bersama
bahwa ketersediaan sumber daya alam dan
kualitas lingkungan hidup yang baik akan
mendukung kesinambungan pembangunan pada
saat ini dan di masa yang akan datang.

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk
memberikan pemahaman mengenai pentingnya
kajian kerentanan dalam perubahan iklim serta
memperkirakan dampak perubahan iklim pada
sektor yang rentan di Kota Tarakan terutama
pada sektor pesisir dan kelautan. Sedangkan
tujuan penelitian ini adalah:
1. Memberikan
informasi pengembangan
daerah pantai Kota Tarakan yang rentan
terhadap dampak perubahan iklim terutama
terhadap sea level rise (kenaikan TML).
2. Memberikan
gambaran
berupa
peta
rendaman yang dapat dijadikan sebagai
dasar acuan adaptasi untuk mengurasi risiko
akibat terjadinya bencana alam yang

berkaitan dengan kenaikan TML.
1.3 Lingkup Kegiatan
Lingkup dari kegiatan Sosialisasi dan Kajian
Kerentanan Perubahan Iklim di Kota Tarakan
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sektor dan infrastruktur
penting yang rentan terhadap perubahan
iklim.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 20

Ibnu Sofian, Yackob Astor.

2. Memprediksi kenaikan muka air laut sebagai
salah satu ancaman perubahan iklim.
3. Menganalisa sektor yang rentan dan
diperkirakan terkena dampak perubahan
iklim dalam hal ini sektor kelautan dan

pesisir.
4. Membuat peta rendaman akibat kenaikan
muka air laut.
1.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kota Tarakan
yang difokuskan pada daerah pesisir dan
kelautan yang memiliki nilai strategis, seperti
kawasan pariwisata, permukiman, pusat kegiatan
ekonomi, serta infrastruktur penting seperti
pelabuhan, bandara udara, serta jalan lingkar
(Ring Road). Ilustrasi pantai dan Kota Tarakan
seperti pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kota Tarakan (Sumber: Bappeda
Kota Tarakan, 2008)

1.5 Kemanfaatan Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini,
antara lain:
1. Hasil kajian kerentanan perubahan iklim di

Kota Tarakan berupa skenario kenaikan
permukaan air laut di kota Tarakan. Hasil
kajian ini dapat digunakan sebagai acuan
kebijakan perubahan iklim oleh para
pemangku kepentingan. Selanjutnya hasil
kajian ini, tidak hanya berisi kajian ilmiah
seputar perubahan iklim, tetapi juga memuat
data-data terkini iklim di Kota Tarakan.
Sebagai penutup, kajian ini juga memuat
skenario perubahan iklim selama beberapa
puluh tahun, sampai tahun 2100.
2. Peta rendaman kawasan pesisir dengan
berbagai proyeksi hingga tahun 2100. Dari
peta yang dihasilkan diharapkan dapat
memberikan informasi berupa prediksi

lokasi wilayah-wilayah yang akan terendam
akibat terjadinya kenaikan permukaan air
laut dalam jangka waktu 100 tahun kedepan.
Hasil pemeraan ini sangat bermanfaat bagi

para pembuat kebijakan dan lembaga
lainnya agar dapat memberikan dukungan
yang lebih tepat sasaran bagi usaha-usaha
penanganan perubahan iklim di wilayahwilayah tersebut.
Data dan Metode
1.6 Data
Data tinggi muka air laut yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi:
1. Data historis yang terdiri dari:
 Data pasang surut (pasut), yang diambil
dari data pasut di Bitung, Tawau dan
Sadakan. Penghitungan MSL (mean sea
level, rata-rata ketinggian muka air laut).
Data pasang surut diperoleh dari UHSLC
(University of Hawaii Sea Level Center ).
 Data satelit altimeter yang merupakan
gabungan (merger ) dari beberapa satelit
altimeter seperti TOPEX/Poseidon (T/P),
GFO, Envisat, ERS-1 dan 2, serta Jason-1,
yang tersedia sejak Oktober 1992, sampai
Oktober 2008. Data altimeter ini diperoleh
dari AVISO (AVISO, 2004).
2. Data hasil permodelan sampai tahun 2100
diperoleh dari permodelan IPCC berdasarkan
scenario Special Report on Emission
Scenario (SRES) b1, a1b dan b2, dengan
proyeksi konsentrasi CO2 pada tahun 2100
sebesar 720ppm (part per million) dan
540ppm. Data model IPCC yang digunakan
adalah data suhu permukaan laut dan data
ketinggian muka air laut.
3. Data penunjang yang digunakan dalam kajian
ini, meliputi:
 Data suhu permukaan laut (SPL), yang
berasal
dari
NOAA
(National
Oceanography and Atmospheric Agency)
OI (Optimal Interpolation) (Reynolds,
1994) dari tahun 1981 sampai 2008.
 Data konsentrasi klorofil-a hasil estimasi
dengan menggunakan satelit MODIS, dan
SeaWifs.
2. Metodologi Kajian
Metode yang digunakan untuk estimasi kenaikan
tinggi muka air laut dan terjadinya extreme
events (iklim ekstrim) yang terdiri dari

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 21

Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Di Kota Tarakan

El Niño dan La Niña, dalam penelitian ini terdiri
dari:
1. Trend analysis yang digunakan untuk
mengetahui kecendrungan serta tingkat
kenaikan tinggi muka air laut berdasarkan
data historis yang meliputi data satelit
almeter, maupun data hasil model IPCC.
Dalam hal ini, trend analysis merupakan
analisa regresi linier tinggi muka air laut
terhadap waktu dalam bulan, dengan
persamaan matematis y = a + bt. Dimana y
adalah tinggi muka air laut, t waktu dalam
bulan, a offset, dan b adalah tingkat
kenaikan (slope, trend). Detail diagram alir
penghitungan kenaikan tinggi muka air laut
dengan menggunakan trend analysis seperti
terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.2 Klimatologi tinggi muka air
laut berdasarkan data pasut, altimeter
dan model

Gambar 2.3 Wavelet Morlet
Gambar 2.1 Diagram alir estimasi kenaikan tinggi
muka air laut dengan menggunakan data historis
dan model IPCC.

2. Pembuatan
data
klimatologi
untuk
mengetahui pengaruh monsun terhadap
karakteristik klorofil-a, curah hujan, SPL, dan
ketinggian muka air laut. Hasil analisa
klimatologi juga digunakan untuk mendeteksi
konsistensi model terhadap data historis.
Gambar 2.2 menunjukkan komparasi data
klimatologis antara hassil model dengan data
historis di perairan Pulau Tarakan dengan
menggunakan data tinggi muka air laut. Data
model MRI (Marine Research Institute)
Jepang, mempunyai karakter yang sama
dengan data pasut dan data altimeter, dengan
tinggi muka air laut terendah pada bulan
Agustus sampai september, dan tinggi muka
air laut tertinggi terjadi pada bulan Januari
sampai April. Berdasarkan uji komparassi ini,
maka data SPL dari model MRI digunakan
sebagai acuan untuk mendeteksi terjadinya
extreme events.

3. Wavelet
analysis
digunakan
untuk
mendeteksi waktu dan terjadinya El Niño dan
La Niña dari tahun 2000 sampai 2100. Detail
deskripsi dan algoritma numerik yang
digunakan dalam analisa wavelet dapat
dilihat di Torrence and Compo (1999).
Wavelet analysis juga dikenal sebagai salah
satu metode untuk melakukan analisa Timefrequency. Wavelet model yang digunakan
untuk mendeteksi waktu dan frekuensi El
Niño dan La Niña (ENSO, El Niño Southern
Oscillation) adalah fungsi Morlet pada orde
6. Fungsi Morlet dapat diilustrasikan seperti
pada Gambar 2.3 Transformasi wavelet
mempunyai
beberapa
keunggulan
dibandingkan dengan transformasi Fourier
yang sering digunakan.
Transformasi wavelet digunakan untuk
mendeteksi fenomena yang non-stationary
(sinyal yang informasi frekuensinya berubahubah). Sementara transformasi Fourier hanya
dapat digunakan untuk mendeteksi fenomena
yang stationary (sinyal yang informasi
frekuensinya tidak berubah). Berdasarkan
kemampuan

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 22

Ibnu Sofian, Yackob Astor.

transformasi wavelet ini, maka analisa
wavelet digunakan untuk mendeteksi waktu
dan frekuensi terjadinya ENSO sampai tahun
2100. Untuk mendeteksi waktu dan frekuensi
terjadinya
ENSO
dilakukan
dengan
implementasi analisa wavelet pada SPL di
daerah Pasifik Timur yang didefinisikan
antara 150°BB (bujur barat) sampai 90°BB
dan dari 5°LU (lintang utara) sampai 5°LS
(lintang selatan), atau yang disebut daerah
Nino3.
4. Secara umum proses estimasi rendaman air
laut dapat dilihat pada Gambar 2.4 Data
proyeksi TML berdasarkan data model,
altimeter dan pasut. Sementara data pasut
tertinggi bulanan berdasarkan data hasil
permodelan OTIS (Ocean Tidal Inverse
Solutions). Data Shuttle Radar Topographic
Mission (SRTM) yang merupakan data
elevasi (Digital Elevation Model, DEM)
digunakan sebagai dasar pembuatan dasar
deliniasi daerah potensi genangan.

Gambar 2.4 Diagram alir proses dan metode
umum untuk estimasi daerah genangan air laut
pada tahun 2100

3. Proyeksi Daerah Rendaman
Secara umum proses estimasi daerah rendaman
karena kenaikan TML menggunakan data
Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
dengan resolusi spasial 90m, dan menggunakan
data TML, serta prediksi level penurunan
permukaan tanah (level subsidens). Disamping
data tersebut diatas, juga digunakan data pasang
surut tertinggi bulanan akibat gaya gravitasi,
kenaikan TML akibat La Nina, serta ketinggian
gelombang pada cuaca ekstrim.
3.1 Estimasi Daerah Rendaman
Gambar 3.3 menunjukkan daerah yang
berpotensi tergenang air laut (inundasi) pada
tahun 2100, saat kondisi tenang, hanya pengaruh
pasang surut bulanan, dengan menggunakan
persamaan seperti berikut:
T= MSL+ SL + Hps + L+ Wh
Dimana:

T = tinggi muka air laut
SL = level subsidens
Hps = tidal forcing
dengan MSL =1m, SL =1m, Hps=1,2m

Nilai subsiden level merupakan nilai asumsi
awal dengan nilai rendah, dengan subsidens
level yang uniform di seluruh Pulau Tarakan
untuk
memudahkan
perhitungan.
Maka
didapatkan daerah genangan dengan tinggi
maksimum sebesar 3,2m, dengan pembulatan
menjadi 4m dengan asumsi terjadi modulasi
pada tinggi pasang suruh karena kenaikan TML.
Data genangan estimasi SRTM ditandai dengan
warna biru, dan hasil interpolasi titik tinggi dan
kontur peta rupa bumi Bakosurrtanal skala
1:50.000
menggunakan
warna
oranye.
Penggunaan data titik tinggi, disebabkan karena
limitasi data SRTM karena overestimasi
pengukuran radar untuk daerah yang bervegetasi
tinggi. Proyeksi daerah rendaman air laut pada
kondisi normal, terlihat seperti Gambar 3.1.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 23

Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Di Kota Tarakan

penambahan
daerah
rendaman
dengan
mundurnya garis pantai sebesar 2km sampai
5km. Tarakan Timur dan Tengah akan terpisah
dengan nainya rendaman air laut. Lebih lanjut,
risiko banjir akan semakin meningkat, terutama
pada saat musim penghujan dan cuaca ekstrim,
dan diperkirakan banjir akan menggenangi
daerah di pantai dengan ketinggian antara 6m
sampai 10m, sementara daerah dengan elevasi
0m sampai 6m akan terendam air laut.
Berdasarkan kondisi tersebut, adaptasi terhadap
perubahan iklim, termasuk kenaikan tinggi muka
laut menjadi sangat penting untuk mengurangi
risiko bencana banjir yang akan terjadi jika tidak
dilakukan adaptasi yang benar.

Gambar 3.1 Proyeksi rendaman air laut pada
cuaca tenang tahun 2100, dengan kenaikan TML
sebesar 1m, level subsiden 1m, dan pasang surut
1,2m.

Daerah yang terendam paling luas adalah
Tarakan Barat, dengan beberapa jalan utama
terendam, jalur ring road di Tarakan Utara
sebagian ruas jalan terendam, existing tambak
udang akan terendam. Sementara itu intrusi air
laut akan meninggi, dengan bertambah tingginya
TML. Risiko banjir semakin tinggi karena
penurunan kecepatan aliran sungai akibat
penurunan selisih tinggi sungai dan tinggi muka
laut (penurunan energy potensial), terutama
daerah di sepanjang aliran sungai.
Sementara itu estimasi daerah genangan pada
saat terjadi cuaca ekstrim yang disertai dengan
gelombang ekstrim terlihat seperti pada Gambar
7. Tinggi rendaman dihitung berdasarkan
persamaan seperti berikut:
T= MSL+ SL + Hps + L+ Wh

Dimana:T
SL
Hps
L
Wh

= tinggi muka air laut pada saat
cuaca ekstrim
= level subsidens
= tidal forcing
= La Niña
= Wave height

dengan MSL =1m, SL =1m, Hps=1,2m, L=0.2m
dan Wh=2.2m
Hasil estimasi menunjukkan bahwa daerah
Tarakan Utara tidak mengalami perubahan yang
signifikan, meskipun terjadi perluasan daerah
rendaman. Kota Tarakan terendam dengan

Gambar 3.2 Proyeksi rendaman air laut pada
cuaca ekstrim tahun 2100, dengan kenaikan TML
sebesar 1m, level subsiden 1m, pasang surut 1,2m,
La Nina 0,2m dan tinggi gelombang sebesar 2,2m.

Sebagai tambahan berikut ini ditampilkan peta
3-dimensi prosen perendaman air laut di Kota
Tarakan dengan kenaikan TML dari 0 m sampai
6m pada Gambar 3.3 Terlihat tinggi genangan
kritis di 3m, apabila tinggi muka laut termasuk
run-up gelombang lebih dari 3m, mulai terlihat
peningkatan daerah rendaman yang signifikan,
dan Kota Tarakan hampir tenggelam seluruhnya
pada tinggi rendaman 6m atau lebih. Kondisi
tersebut diasumsikan bahwa tidak ada aksi
adaptasi dalam menghadapi naiknya TML akibat
pemanasan global.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 24

Ibnu Sofian, Yackob Astor.

0 meter

5 meter

1 meter
6 meter
Gambar 3.3 Evolusi daerah rendaman di Tarakan
Kota pada tahun 2100

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

2 meter

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan
dampak pemanasan global terhadap tinggi muka
laut (TML), SPL dan iklim ekstrim yang terdiri
dari El Nino dan La Nina, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Berdasarkan data observasi, rata-rata tren
kenaikan SPL di Perairan tingkat kenaikan
SPL di perairan Pulau Tarakan berkisar antara
0,4°C/abad sampai 0,7°C/abad, dengan ratarata kenaikan SPL mencapai 0.5°C/abad. Tren
kenaikan ini cenderung lebih rendah daripada
tren kenaikan SPL nasional, maka digunakan
tren kenaikan rata-rata secara nasional sebagai
nilai tengah, sebagai berikut:

3 meter

4 meter

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 25

Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Di Kota Tarakan

Item

2020
0.5°C

SRESa1b
SRESa2

0,3±0,1°
C

SRESa1
b
SRESa2
SRESb1

0.1°C

1.1°C
0.75±0.25°
C

0.5°C

SRESb1

Item

2050

0.6°C

2080

2100
1.5°C

1,25°C±0,40°
C

0.8°C

1.4°C

2.1°C
1,5°C±0,5°
C

0.5°C

2.2°C
0.4°C

Gray: menunjukkan hasil observasi
2. Hasil estimasi model relatif sama dengan
estimasi berdasarkan data observasi,
meskipun SPL hasil estimasi model
cenderung lebih tinggi, dengan rentang yang
rendah antara tren tertinggi dan terendah,
sebesar 0.07 ºC/tahun.
3. Kenaikan SPL yang tinggi akan membawa
dampak terhadap potensi tangkapan ikan
dan kerusakan terumbu karang. Daerah
tangkapan ikan akan berpindah dari daerah
tropis termasuk Samudera Indonesia dan
Laut Banda serta Flores ke daerah sub-tropis
dengan suhu yang lebih rendah. Sementara
itu, jika tingkat kenaikan (rate) SPL masih
dalam batas adaptasi terumbu karang dan
habitat biota pantai lain, maka kerusakan
biota pantai akibat peningkatan SPL, dapat
dihindari.
4. Pola arus musiman dan ITF mungkin akan
terpengaruh dengan adanya kenaikan TML
yang tidak seragam, dengan kenaikan TML
di
Samudera
Pasifik lebih
tinggi
dibandingkan dengan kenaikan TML di
Samudera Hindia. Pada akhirnya pola arus
geostrofik
akan
lebih
mendominasi
dibandingkan dengan kondisi sekarang.
Perubahan pola arus ini dapat meyebabkan
semakin intensifnya abrasi dan erosi di
pantai timur Pulau Tarakan yang didominasi
oleh pengaruh arus di Selat Makassar.
5. Berdasarkan data pasut, Kenaikan TML
bervariasi antara 0.45cm/tahun sampai
0.62cm/tahun. Nilai rata-rata kenaikan TML
di perairan sekitar Tarakan antara
0.55cm/tahun
sampai
0.57cm/tahun.
Proyeksi kenaikan TML pada tahun 2030
diperkirakan mencapai 16cm±3cm relatif

terhadap TML di tahun 2000. Selanjutnya
TML akan bergerak naik seiring dengan
peningkatan SPL. TML akan naik sebesar
28cm±5cm dan 45cm±9cm, masing-masing
pada tahun 2050 dan 2080. Pada akhirnya
TML akan naik sebesar 55cm±10cm di
tahun 2100. Sebagai tambahan, kenaikan
TML ini berkaitan erat dengan kenaikan
SPL, dengan asumsi kenaikan setiap 1°C
SPL meningkatkan TML sebesar 20cm
sampai 40cm, maka kenaikan TML akan
mencapai 45cm sampai 80cm berdasarkan
tingkat kenaikan SPL sebesar 1.5°C sampai
2°C pada tahun 2100. Model IPCC
menunjukkan bahwa tingkat kenaikan TML
berkisar
antara
0.7cm/tahun
sampai
0.8cm/tahun. TML naik 22.5±1.5cm pada
tahun 2030 relatif terhadap TML tahun
2000, selanjutnya akan berkisar antara 35cm
sampai 40cm pada tahun 2050. TML akan
terus naik dan mencapai 56cm sampai
60±4cm pada tahun 2080, dan mencapai
75±5cm pada tahun 2100.
6. Berdasarkan hasil penelitian sejak tahun
2006, dengan memasukkan perubahan
massa es dinamis dari mencairnya es di
Greenland dan Antartika, didapatkan bahwa
tingkat kenaikan TML akan mencapai
175cm pada tahun 2100 relatif terhadap
TML tahun 2000. Sementara itu TML pada
tahun 2030 naik sebesar 52.5cm, tahun 2050
naik sebesar 87.5, dan naik 140cm pada
tahun 2080. Kecendrungan ini mendorong
makin tingginya abrasi, erosi dan genangan
air laut, tidak hanya disebabkan oleh makin
tingginya TML, tapi juga oleh gelombang
badai, pasang surut akibat gravitasi bulan
dan matahari, serta iklim ekstrim seperti La
nina yang termodulasi dengan tingginya
TML terrsebut.
7. Hasil analisa kejadian extreme events
(ENSO) sampai tahun 2100 dengan
menggunakan hasil model untuk SPL di
daerah NINO3, menunjukkan terjadinya
kenaikan frekuensi ENSO dari 3 sampai 7
tahun sekali, menjadi 2 tahun sekali.
8. Pada saat terjadi El Niño, TML akan
terdepresi sebesar 20cm dibawah normal,
dan pada periode La Niña akan terelevasi
sebesar 10cm sampai 20cm. Hal ini
berpengaruh terhadap resiko erosi, abrasi
dan genangan air laut terutama pada saat
terjadi La Niña, dengan intensitas hujang
yang
lebih
tinggi.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 26

Ibnu Sofian, Yackob Astor.

9. La Niña dan El Niño mengakibatkan
terjadinya gelombang pasang dengan variasi
antara 1.7m sampai 2.25m. Tingginya
gelombang laut pada fase El Niño dan La
Niña akan mempertinggi intensitas erosi dan
abrasi, dengan tingkat kerusakan yang tinggi
pula. Pada akhirnya, dengan intensitas El
Niño dan La Niña yang semakin tinggi,
dapat mengakibatkan tingkat perubahan
garis pantai yang semakin tinggi pula,
meskipun tingkat kenaikan TML hanya
1cm/tahun.
10. Kenaikan tinggi muka air laut dan subsidens
di Pulau Tarakan, akan menyebabkan
terjadinya genangan terhadap daerah yang
mempunyai elevasi ketinggian antara 0m
sampai 4m pada tahun 2100. Secara umum
daerah pantai di Pulau tarakan, akan tergerus
dan tereduksi antara 2km sampai 5km.
Pengaruh cuaca ekstrim, daerah genangan
meluas dengan penambahan tinggi genangan
antara 3m.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan diatas,
maka rekomendasi adaptasi yang mungkin
dilakukan untuk mengurangi dampak pemasan
global terhadap sektor kelautan dan pesisir
seperti dibawah ini:
1. Peningkatan sumberdaya manusia meliputi
pendidikan, keahlian dan pengalaman dalam
pengelolaan kawasan pesisir dan lahan
basah (wetland).
2. Pembangunan ekologi pantai meliputi
konservasi pantai, wetland dan lain-lain.
3. Memperkuat Disaster Warning System
(DWS)
dalam
antisipasi
terjadinya
gelombang pasang, maupun storm surges,
terutama untuk sektor transportasi.
4. Memperkuat manajemen pengelolaan pantai
yang meliputi manajemen data yang akurat,
baik data TML, maupun data kejadian
ekstrim yang terdiri dari banjir dan
gelombang pasang, yang akan digunakan
untuk monitoring dampak pemanasan global
yang berkelanjutan,
5. Pembuatan bangunan penahan gelombang,
atau
penanaman
mangrove
untuk
mengurangi dampak gelombang ekstrim.

DAFTAR PUSTAKA
Bamber J.L., R.L. Layberry, and S.P. Gogenini,
2001, A new ice thickness and bedrock data
set for the Greenland ice sheet, JGR
Atmospheres, 106, D24: 33773-33780.
Bindoff, N.L., Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B.
Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller, 2007:
Observations: Oceanic climate change and
sea level. In: Climate Change 2007: The
Physical Science Basis. Contribution of
Working Group I to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Cambridge University
Press, Cambridge, United Kingdom, 385432.
Coles, S. L., and B.E. Brown, 2003, Coral
bleaching—capacity for acclimatization and
adaptation, J. Adv. Mar. Bio., Vol. 86, pp.
183-223.
Egbert, G. D., A. F. Bennett, and M. G. G.
Foreman, 1994: TOPEX/Poseidon tides
estimated using a global inverse model. J.
Geophys. Res., 99, 24 821–24 852.
Folland, C.K., N.A. Rayner, S.J. Brown, T.M.
Smith, S.S.P. Shen, D.E. Parker, I.
Macadam, P.D. Jones, R.N. Jones, N.
Nicholls and D.M.H. Sexton (2001). "Global
temperature change and its uncertainties
since 1861". Geophysical Research Letters
28: 2621-2624.
Hoegh-Guldberg, O., 1999, Climate change:
coral bleaching and the future of the world’s
coral reefs, J. Mar. and Fresh. Res., Vol. 50,
pp. 839-866.
Intergovernmental Panel on Climate Change,
2007, Climate Change 2007 - The Physical
Science Basis: Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of
the
IPCC.
Cambridge,
Cambridge
University Press.
Knutti, Reto and T. F. Stocker, 2000, Influence
of the Thermohaline Circulation on
Projected Sea Level Rise, Journal of
Climate 13, 12: 1997-2001.
Lythe, B. Matthew, D. G. Vaughan and the
BEDMAP Consortium, 2001, BEDMAP: A
new ice thickness and subglacial
topographic model of Antarctica, J. Geo.
Res. 106, B6: 11335–11351.
Marshall, P., and H. Shuttenberg, 2006, A Reefs
Manager’s Guide to Coral Bleaching, Great
Barrier Reef Marine Park Authority, 1-166
pp.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 27

Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Di Kota Tarakan

Meehl, G. A., Solomon, S., D. Qin, M. Manning,
Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.
Tignor, and H.L. Miller in: Climate Change
2007: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the
Fourth
Assessment
Report
of the
Intergovernmental Panel on Climate
Change, Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom, 748-845.
Rahmstorf, S., 2007: A semi-empirical approach
to projecting future sea-level rise. Science,
315, 368-370.
Rayner, N. A., D. E. Parker, E. B. Horton, C. K.
Folland, L. V. Alexander, and D. P. Rowell,
2003,
Global analyses of sea surface
temperature, sea ice, and night marine air
temperature since the late nineteenth
century, J. Geph. Res., VOL. 108, NO. D14,
4407.
Ridley, J.K., P. Huybrechts, J.M. Gregory, and
J.A. Lowe, 2005: Elimination of the
Greenland ice sheet in a high CO2 climate.
Journal of Climate, Vol 18, 3409-3427.
Rignot, Eric and P. Kanagaratnam, 2006,
Changes in the Velocity Structure of the
Greenland Ice Sheet, Science, 311, 5763:
986-990.
Sofian, I, 2009, Kajian Dasar (Scientific Basis)
dalam Pengarusutamaan Perubahan Iklim di
Indonesia: Proyeksi Sea Level Rise dan
Extreme Events, Bappenas-GTZ (in press).
Steffen, K., P. U. Clark., J. G. Cogley, D.
Holland, S. Marshall, E. Rignot, and R.
Thomas, 2009, Rapid Changes in Glaciers
and Ice Sheets and their Impacts on Sea
Level in: Abrupt Climate Change, Final
Report, Synthesis and Assessment Product
3.4, U. S. Geological Survey.
Timmermann, A., M. Latif, A. Bacher, J.
Oberhuber, E. Roeckner, 1999, Increased ElNiño, Nature, 398, 694-696.
Timmermann, A., 2001, Changes of ENSO
stability due to Greenhouse Warming,
Geophysical Research Letters, 28, 8: 20642066.
Torrence, C. and G. P. Compo., 1999, A
Practical Guide to Wavelet Analysis,
Bulletin of the American Meteorological
Society, 79, 1:61–78.

Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013

| 28