Tradisi Rantangan Sebagai Modal Sosial di Kalangan Suku Jawa (Studi Kasus di Desa Urung Pane, Kabupaten Asahan)

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Modal Sosial

Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu dapat bekerjasama untuk memperoleh hal-hal yang tercapai sebelumnya serta meminimalisasikan kesulitan yang besar. Modal sosial menentukan bagaimana orang dapat bekerja sama dengan mudah.

Hakikat modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Hubungan sosial mencerminkan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan jaringan, pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya, termasuk nilai dan norma yang mendasari hubungan sosial tersebut (Ibrahim, 2006:110).

Modal sosial tidak hanya terbatas pada kajian kehidupan sosial semata. Ide sentral dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu asset yang bernilai. Jaringan-jaringan menyediakan suatu basis bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal secara langsung agar saling menguntungkan. Keanggotaan jaringan-jaringan dan seperangkat nilai-nilai yang dibagi bersama merupakan inti dari konsep modal sosial (Field, 2005:16).

Pierre Bourdieu (Dalam Field, 2005:16) menjelaskan bahwa pusat perhatian utamanya dalam modal sosial adalah tentang pengertian “tataran sosial”.


(2)

Menurutnya bahwa modal sosial berhubungan dengan modal-modal lainnya, seperti modal ekonomi dan modal budaya. Ketiga modal tersebut akan berfungsi efektif jika kesemuanya memiliki hubungan. Modal sosial dapat digunakan untuk segala kepentingan dengan dukungan sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya yang dimiliki, begitu pula sebaliknya.dalam konteks hubungan sosial, eksistensi dari ketiga modal (modal sosial, modal ekonomi dan budaya) tersebut merupakan garansi dari kuatnya suatu ikatan hubungan sosial.

Modal sosial atau Social Capital merupakan sumber daya yang dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya yang digunakan untuk investasi, disebut dengan modal. Modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial disini tidak diartikan dengan materi, tetapi merupakan modal sosial yang terdapat pada seseorang. Misalnya pada kelompok institusi keluarga, organisasi, dan semua hal yang dapat mengarah pada kerjasama. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok, dengan ruang perhatian pada kepercayaan, jaringan, norma dan nilai yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.

Pemanfaatan modal sosial yang saling menguntungkan antar sesama suku Jawa melalui rantangan merupakan tali pengikat antara satu sama lain. Artinya, terpenuhinya kepentingan-kepentingan setiap individu-individu dalam memeperoleh keuntungan ekonomi melalui tradisi rantangan tersebut.

Hubungan-hubungan yang terjalin atas dasar kepercayaan akan menghasilkan suatu ikatan yang memiliki nilai-nilai yang disepakati bersama. Tumbuh berkembangnya suatu hubunganakan menciptakan jaringan-jaringan


(3)

yang semakin solid. Keterkaitan dan konsintensi elemen-elemen modal sosial pada suatu interaksi sosial akan berpengaruh positif terhadap penciptaan koordinasi-koordinasi dan kerjasama yang akan menguntungkan satu sama lainnya.

Nilai-nilai sosial yang positif dapat dilihat dari besarnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat dan organisasi sosial yang bertahan. Nilai-nilai sosial yang positif tersebut antara lain adalah kepercayaan (trust), jaringa n soaial (social network), dan pranata sosial (institutionts) yang merupakan elemen-elemen pokok dalam modal sosial. Modal sosial dapat dilihat dan ditemukan dalam masyarakat yang antar individunya terjalin interaksi dan komunikasi.

Lubis, dalam (Badaruddin, 2005:31) menjelaskan bahwa modal sosial adalah sumber daya yang berintikan elemen-elemen pokok yang mencakup : (1) Saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egaliterianisme), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity), (2) Jaringan sosial (network), yang meliputi adanya partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (resiprocity), solidaritas (solidarity), kerja sama (cooperation), keadilan (equity), (3) Pranata (institution), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions) dan aturan-aturan (rules).

Rudi Syahra, dkk. dalam (Kristina, 2003:60) menyebutkan bahwa modal sosial dapat dilihat dari :

1. Kepercayaan (trust) adalah kecenderungan untuk menepati sesuatu yang telah dikatakan baik secara lisan maupun tulisan. Adanya sifat kepercayaan ini merupakan landasan utama bagi seseorang untuk menyerahkan sesuatu kepada


(4)

orang lain, dengan keyakinan bahwa yang bersangkut an akan menepati janji atau memenuhi kewajibannya.

2. Solidaritas, kesediaan untuk secara sukarela ikut menanggung suatu konsekuensi sebagai wujud adanya rasa kebersamaan dalam menghadapi suatu masalah.

3. Toleransi, kesediaan untuk memberikan konsesi atau kelonggaran, baik dalam bentuk materi maupun non-materi sepanjang tidak berkenaan dengan hal-hal yang bersifat prinsipil.

Modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interelasi timbal balik dan Saling menguntungkan dan dibangun atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama.

2.2.1. Jaringan Sosial (social networks)

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun informal. Hubungan sosial adalah cerminan dari kerjasama dan koordinasi antarwarga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Ibrahim, 2002:67)

Hubungan manusia sangat berarti baginya sebagai individu. Dapat dikatakan bahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui siapa yang kita


(5)

kenal. Secara lebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia juga berperan sebagai dinding pembatas bagi struktur-struktur sosial yang lebih luas.

Jaringan lebih mobel dari pada hirarki. Dalam alokasi sumber daya ala jaringan, transaksi terjadi tidak melalui pertukaran yang terpisah atau restu administratif, tetapi melalui jaringan-jaringan individu yang terlibat dalam aksi-aksi timbal balik, saling mengutamakan, dan saling mendukung. Jaringan dapat bersifat kompleks; mereka tidak menerapkan kriteria pasar yang ekplisit, juga tidak memakai paternalisme yang biasanya terdapat dalam hirarki. Sebuah asumsi dasar dari hubungan jaringan adalah bahwa satu pihak tergantung pada sumber-sumber yang dikontrol oleh pihak lain, dan bahwa ada keuntungan yang bisa diperoleh dari penggabungan sumber daya. Intinya, pihak-pihak dalam jaringan setuju untuk tidak mengejar kepentingan diri sendiri dengan jalan merugikan yang lainnya. Powell ( dalam Hamilton, 1996:270)

Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari modal sosial. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri


(6)

pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.

Pada dasarnya modal sosial merupakan kerjasama yang dibangun dengan untuk mencapai tujuan. Kerjasama yang terjalin tercipta ketika telah terjadinya hubungan interaksi sosial sehingga menghasilkan jaringan kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya dan terbentuknya nilai dan norma dalam hubungan interaksi tersebut.

2.2.2. Kepercayaan (Trust)

Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa trust itu berasal dari sebuah jaringan sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya trust. Dalam pandangan Francis Fukuyama, trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Fukuyama berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30469/3/Chapter%20II.pdf/diaks es pada tanggal 28 Januari 2013)

Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan


(7)

atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan membentuk kekayaan modal sosial.

Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut (resiprositas). Menurut Homans dalam Munandir Soelaeman (2001:56-57) dikenal dengan teori pertukaran (exchange theory) antar pribadi. Antar-pribadi terjadi pertukaran karena keadaan internal (tidak mampu mengatasi keinginan atau kondisi), dan keadaan eksternal (ada konsensus nilai, pelembagaan). Dasar psikologis pertukaran, karena dukungan sosial dan faktor penguat, sehingga terjadi transaksi atau saling memberi, timbal balik, memperoleh keseimbangan emosional atas dasar pribadi. Dan dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali (repaid an balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.

Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya


(8)

melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).

Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan adanya dan terjaganya trust (amanah atau kepercayaan) dari pihak-pihak yang terlibat. Artinya hubungan transaksi antara manusia sebagai individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

2.2.3. Nilai dan Norma Sosial

Nilai sosial (Social Value) adalah suatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat (Hasbullah, 2006). Setiap kehidupan sosial senantiasa ditandai dengan adanya aturan-aturan pokok yang mengatur prilaku anggota-anggota masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan sosial tersebut. Dalam kehidupan manusia terdapat seperangkat pola hubungan tertata yang tidak disamai dengan mahluk lain. Pola-pola tersebut meliputi (a) segala sesuatu yang menjadi dasar-dasar tujuan kehidupan sosial ideal atas dasar pola-pola yang terbentuk di dalam realitas sosial tersebut. Sesuatu yang menjadi dasar tujuan kehidupan sosial tersebut merupakan awal lahirnya sistem nilai, yaitu sesuatu yang menjadi patokan di dalam kehidupan yang biasanya


(9)

menjadi tujuan kehidupan bersama, (b) Sesuatu yang menjadi pola-pola pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial, yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berikut sanksinya yang dinamakan sistem norma.

Norma-norma sosial (Social Norms) akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas (kelompok) tertentu. Norma-norma ini terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, akan tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

Aturan-aturan kolektif itu misalnya menghormati orang lain, tidak mencurangi orang lain, kebersamaan dan lainnya. Apabila di dalam suatu komunitas masyarakat, asosiasi, group, atau kelompok, norma-norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat, maka akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Inilah alasan mengapa norma-norma sosial merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial yang hidup dan kuat.


(1)

orang lain, dengan keyakinan bahwa yang bersangkut an akan menepati janji atau memenuhi kewajibannya.

2. Solidaritas, kesediaan untuk secara sukarela ikut menanggung suatu konsekuensi sebagai wujud adanya rasa kebersamaan dalam menghadapi suatu masalah.

3. Toleransi, kesediaan untuk memberikan konsesi atau kelonggaran, baik dalam bentuk materi maupun non-materi sepanjang tidak berkenaan dengan hal-hal yang bersifat prinsipil.

Modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interelasi timbal balik dan Saling menguntungkan dan dibangun atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama.

2.2.1. Jaringan Sosial (social networks)

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun informal. Hubungan sosial adalah cerminan dari kerjasama dan koordinasi antarwarga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Ibrahim, 2002:67)

Hubungan manusia sangat berarti baginya sebagai individu. Dapat dikatakan bahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui siapa yang kita


(2)

kenal. Secara lebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia juga berperan sebagai dinding pembatas bagi struktur-struktur sosial yang lebih luas.

Jaringan lebih mobel dari pada hirarki. Dalam alokasi sumber daya ala jaringan, transaksi terjadi tidak melalui pertukaran yang terpisah atau restu administratif, tetapi melalui jaringan-jaringan individu yang terlibat dalam aksi-aksi timbal balik, saling mengutamakan, dan saling mendukung. Jaringan dapat bersifat kompleks; mereka tidak menerapkan kriteria pasar yang ekplisit, juga tidak memakai paternalisme yang biasanya terdapat dalam hirarki. Sebuah asumsi dasar dari hubungan jaringan adalah bahwa satu pihak tergantung pada sumber-sumber yang dikontrol oleh pihak lain, dan bahwa ada keuntungan yang bisa diperoleh dari penggabungan sumber daya. Intinya, pihak-pihak dalam jaringan setuju untuk tidak mengejar kepentingan diri sendiri dengan jalan merugikan yang lainnya. Powell ( dalam Hamilton, 1996:270)

Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari modal sosial. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri


(3)

pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.

Pada dasarnya modal sosial merupakan kerjasama yang dibangun dengan untuk mencapai tujuan. Kerjasama yang terjalin tercipta ketika telah terjadinya hubungan interaksi sosial sehingga menghasilkan jaringan kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya dan terbentuknya nilai dan norma dalam hubungan interaksi tersebut.

2.2.2. Kepercayaan (Trust)

Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa trust itu berasal dari sebuah jaringan sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya trust. Dalam pandangan Francis Fukuyama, trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Fukuyama berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30469/3/Chapter%20II.pdf/diaks es pada tanggal 28 Januari 2013)

Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari skripsi: modal sosial pada

pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu

pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan


(4)

atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan membentuk kekayaan modal sosial.

Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut (resiprositas). Menurut Homans dalam Munandir Soelaeman (2001:56-57) dikenal dengan teori pertukaran (exchange theory) antar pribadi. Antar-pribadi terjadi pertukaran karena keadaan internal (tidak mampu mengatasi keinginan atau kondisi), dan keadaan eksternal (ada konsensus nilai, pelembagaan). Dasar psikologis pertukaran, karena dukungan sosial dan faktor penguat, sehingga terjadi transaksi atau saling memberi, timbal balik, memperoleh keseimbangan emosional atas dasar pribadi. Dan dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali (repaid an balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.

Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya


(5)

melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).

Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan adanya dan terjaganya trust (amanah atau kepercayaan) dari pihak-pihak yang terlibat. Artinya hubungan transaksi antara manusia sebagai individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

2.2.3. Nilai dan Norma Sosial

Nilai sosial (Social Value) adalah suatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat (Hasbullah, 2006). Setiap kehidupan sosial senantiasa ditandai dengan adanya aturan-aturan pokok yang mengatur prilaku anggota-anggota masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan sosial tersebut. Dalam kehidupan manusia terdapat seperangkat pola hubungan tertata yang tidak disamai dengan mahluk lain. Pola-pola tersebut meliputi (a) segala sesuatu yang menjadi dasar-dasar tujuan kehidupan sosial ideal atas dasar pola-pola yang terbentuk di dalam realitas sosial tersebut. Sesuatu yang menjadi dasar tujuan kehidupan sosial tersebut merupakan awal lahirnya sistem nilai, yaitu sesuatu yang menjadi patokan di dalam kehidupan yang biasanya


(6)

menjadi tujuan kehidupan bersama, (b) Sesuatu yang menjadi pola-pola pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial, yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berikut sanksinya yang dinamakan sistem norma.

Norma-norma sosial (Social Norms) akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas (kelompok) tertentu. Norma-norma ini terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, akan tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

Aturan-aturan kolektif itu misalnya menghormati orang lain, tidak mencurangi orang lain, kebersamaan dan lainnya. Apabila di dalam suatu komunitas masyarakat, asosiasi, group, atau kelompok, norma-norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat, maka akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Inilah alasan mengapa norma-norma sosial merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial yang hidup dan kuat.