Ahmad Sujino, Orang Desa Menyebutnya Kya... 32KB Jun 13 2011 06:28:15 AM

Ahmad Sujino, Orang Desa Menyebutnya Kyai Tiban
Salah seorang santri Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah terjun ke lapangan
mengikuti mubaligh hijrah di daerah tandus perbukitan Gunung Kidul. Sejak tahun l999
hingga sekarang malang melintang dari desa ke desa melakukan dakwah Islam, daerah
yang gersang tidak mematahkan semangat dalam menjalankan misi dakwah
Muhammadiyah, yakni menghilangkan perbuatan musyrik, tahayul, syirik, percaya pada
jimat, mistik dan ajaran kristenisasi. Semua perbuatan yang seperti itu dia ganti dan ia
pun giat berjuang mengembalikan kepada ajaran Islam yang murni dengan melawan
kemusyrikan dan pemurtadan.. Perbuatan dan amalan seperti itu telah berjalan bertahuntahun dan berkembang di masyarakat Gunung Kidul khususnya di kecamatan Rongkop
dan Giri Subo yang masih tergolong daerah terisolir dengan jumlah penduduknya sekitar
59.573 jiwa, letaknya arah tenggara Kabupaten Gunung Kidul kurang lebih 35 Km dari
kota Wonosari.
“Banyak tantangan dan hambatan muncul ketika melakukan dakwah di desa terpencil,
karena tradisi masyarakat disana masih mepercayai mahluk halus, mengkeramatkan keris,
pusaka, kuburan, pohon beringin, pohon asem, sungai dan laut selatan,” kata Ahmad
Sujino Ibnu Syariat kelahiran l6 Mei l977 di Ogan Kemiring ulu, Sumsel.
Putra ke lima dari 8 bersaudara ini setelah menamatkan sekolah Madrasah Aliyah
Muhammadiyah (MAM) Metro Lampung Tengah, langsung hijrah ke Yogyakarta masuk
Pendidikan Ulama Tarjih sekarang memasuki semester IV, dan menjabat sebagai ketua
Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah serta sebagai anggota Corp Dakwah Pedesaan
(CDP). Yang paling terkesan adalah ketika dirinya dijuluki Kyai tiban oleh masyarakat

setempat, karena bisa mengobati berbagai penyakit, liver, paru-paru, darah tinggi, masuk
angin dan kesurupan dan mengusir lelembut serta setan. Dengan melafalkan doa, ayat
kursi, surat Yasin, al-Alaq, Annas, dan al-Ikhlas. Tak cuma itu Ahmad Sujino juga
dipercaya oleh ibu-ibu yang sedang hamil antara 6- 8 bulan untuk memberikan nama –
nama yang Islami kepada anaknya yang akan dilahirkan. Ada lima bayi yang dia beri
nama : Fachrul Arifin, Lutfi Rasyidah, Cholisatun Nikmah, dan dua bayi kembar bernama
Chofifah dan Afifah. Kegiatan lain adalah mensyahadatkan massal bagi penduduk desa
Semugih, Petir, Nglindur, Tileng, Jeruk Wudel, Karangawen, Jepitu, Bohol, dan Pucung.
Di samping itu juga mempelopori walimahan atau pernikahan yang Islami, temanten
lelaki dan perempuan sebelum bersanding dihadapan naib, harus bisa menghafal 10 surat
Jus Amma.
Bahkan Sujino bekerjasama dengan Corp Dawah Pedesaan (CDP), dalam memperingati
hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isro’Mi’roj dengan mengadakan khitanan massal,
bantuan air bersih dan training ibadah praktis bagi remaja dan pemuda seperti praktek
memandikan jenazah, mengkafani dan menshalatkan, kursus jadi imam dan khatib,
pemberantasn judi dan Narkoba kerjasama dengan Polsek Rongkop bakti sosial berupa
pembagian alat sholat, berupa sarung, rukuh, peci dan sajadah dan lain sebagainya.
Yang menjadi tantangan nyata adalah wilayah yang dia garap secara geografis termasuk
wilayah yang gersang, rawan konflik, masyarakatnya masih takut dengan Islam
(Islamophobia), berkembangnya sinkritisme bagi penduduk desa, dan adanya misi Hindu

kejawen yang motori oleh seorang profesor, misi Kristen yang dipelopori para misiorais

dan Mahasiswa KKN dari Universitas Katolik Atmajaya, serta misi door to door dari
yayasan Gloria.”Misi dakwah yang kami jalankan sering bersinggungan dengan
kelompok mereka. Tapi berkat bantuan dari tokoh masyarakat setempat, dari PCM
Rongkop, PDM Gunung Kidul masih dibekali surat Tugas dari PUTM, surat izin
mubaligh dari Kanwil Depag DIY dan surat jalan dari Kantor Polsek setempat, kami
tidak ragu-ragu lagi dalam berdakwah,” katanya.
Untuk terjun ke desa, Sujino mendapat pinjaman sepeda motor milik Bapak Sukasno,
BA, pegawai Depnaker dan ketua Majelis Tabligh PDM Gunung Kidul sejak l999sekarang. Bahkan dari CDP juga memberikan subsidi uang makan, minum dan
transportasi sebesar Rp 10.000,-per hari.
Kendala yang sering dihadapi adalah hujan, ban kempes malam hari, terkadang harus
menuntun motor sejauh 5-8 Km jalan berbatu, bekal habis, masih dicela masyarakat
sekitar yang tidak setuju dengan kegiatannya berdakwah. Biasanya Sujino menginap dan
menyusun jadwal dakwah di Giri Subo atau di Rongkop. Tentu saja aktivitas Sujino di
lapangan ini selalu dipantau oleh Drs. H. Gozali Mukri Direktur PUTM dari kampusnya
di Daengan, Gedong Kiwo MJ I/735 B Yogyakarta. Ton Martono
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002