KH Hisyam Peletak Dasar Organisasi Modern
KH Hisyam Peletak Dasar Organisasi Modern
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga adalah Kiai Haji Hisyam. Ia dipilih dan
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid langsung dari KH Ahmad Dahlan, yang juga
adalah seorang abdi dalem ulama dalam Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
KH Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883 dan wafat pada
tanggal 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhammadiyah selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih
dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam
Kongres Muhammadiyah ke 24 di Banjarmasin pada tahun 1935. Dan berikutnya dipilih kembali
dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen
organisasi pada zamannya. Ketertiban administrasi dan manajmen organisasi ini merupakan ciriciri Organisasi Modern. Selain itu, KH Hisyam juga memperhatikan Sumber Daya Manusia
(SDM) kader Muhammadiyah khususnya dan Bangsa umumnya dengan penyebaran sekolah
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Sebagai konsekuensinya, ketika kader yang dididiknya
telah matang untuk memimpin persyarikatan maka dengan sukarela ia memberikannya meski
sebetulnya ia masih dipercaya oleh peserta Kongres untuk memimpin Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada
masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Pada
periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun
(volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana
volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai
lanjutannya. Dengan demikian maka bermunculan volkschool dan vervolgschool
Muhammadiyah di Indonesia, terutama di jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka
standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan
sekolah yang semacam itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche
School met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah
mendirikan Hollands Inlandsch met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi
sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai
oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang
ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya
ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah
mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah
pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara
pendidikan agama bagi putra-putri
mereka.Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapat pengakuan danj persamaan dari
pemerintah kolonial saat itu.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada
akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 standaardschool, 69
Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelsschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan
menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan SMP saat
ini, bagi murid tamatan vervolgshool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah
Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolahsekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan
pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah
Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Banyak hal yang pantas dicatat sebelum pergantian kepemimpinan kepada Mas Mansur sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan
angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang
terlalu mengutamakan pendidikan yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah
Muhammadiyah tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda
Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai
oleh tiga tokoh tua yaitu KH Hisyam (Ketua Pengurus Besar), KH Mukhtar (wakil Ketua), dan
KH Syuja’ sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhamadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun
1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua
tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah
terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri demi keutuhan dan kemajuan
Muhammadiyah..(lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 14 2004
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga adalah Kiai Haji Hisyam. Ia dipilih dan
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid langsung dari KH Ahmad Dahlan, yang juga
adalah seorang abdi dalem ulama dalam Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
KH Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883 dan wafat pada
tanggal 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhammadiyah selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih
dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam
Kongres Muhammadiyah ke 24 di Banjarmasin pada tahun 1935. Dan berikutnya dipilih kembali
dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen
organisasi pada zamannya. Ketertiban administrasi dan manajmen organisasi ini merupakan ciriciri Organisasi Modern. Selain itu, KH Hisyam juga memperhatikan Sumber Daya Manusia
(SDM) kader Muhammadiyah khususnya dan Bangsa umumnya dengan penyebaran sekolah
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Sebagai konsekuensinya, ketika kader yang dididiknya
telah matang untuk memimpin persyarikatan maka dengan sukarela ia memberikannya meski
sebetulnya ia masih dipercaya oleh peserta Kongres untuk memimpin Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada
masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Pada
periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun
(volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana
volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai
lanjutannya. Dengan demikian maka bermunculan volkschool dan vervolgschool
Muhammadiyah di Indonesia, terutama di jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka
standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan
sekolah yang semacam itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche
School met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah
mendirikan Hollands Inlandsch met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi
sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai
oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang
ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya
ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah
mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah
pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara
pendidikan agama bagi putra-putri
mereka.Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapat pengakuan danj persamaan dari
pemerintah kolonial saat itu.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada
akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 standaardschool, 69
Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelsschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan
menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan SMP saat
ini, bagi murid tamatan vervolgshool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah
Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolahsekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan
pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah
Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Banyak hal yang pantas dicatat sebelum pergantian kepemimpinan kepada Mas Mansur sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan
angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang
terlalu mengutamakan pendidikan yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah
Muhammadiyah tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda
Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai
oleh tiga tokoh tua yaitu KH Hisyam (Ketua Pengurus Besar), KH Mukhtar (wakil Ketua), dan
KH Syuja’ sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhamadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun
1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua
tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah
terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri demi keutuhan dan kemajuan
Muhammadiyah..(lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 14 2004