Ta’wil sufi Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi terhadap ayat-ayat al-qur’an : studi komparatif.

TA’WI>L SUFI AL-GHAZALI DAN IBN ‘ARABI> TERHADAP
AYAT-AYAT AL-QUR’AN
(Studi Komparatif)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:
WAHYUDI
F02515130

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2017

Abstraks
Dalam perkembangan tafsir al-Qur’an ditemui suatu moment tradisi
penafsiran al-Qur’an bersinggungan dengan tradisi tasawwuf. Persinggungan ini
kemudian memunculkan dua aliran tasawuf, sunny dan naz}ari. Persinggungan ini

melahirkan ittijah penafsiran al-Qur’an khas kaum sufi yang biasa dikenal dengan
tafsir sufi. Corak tafsir sufistik ini cukup kontroversial dan kurang mendapatkan
atensi (little-studied genre), namun corak ini telah diakui sebagai corak tafsir
yang berdiri sendiri secara utuh. Di kalangan tokoh tafsir sufi, muncul nama Abu
Hamid al-Ghaza>li> representatif sufi sunni dan Ibn ‘Arabi>> sufi naz}ari. Keduanya
menggunakan metode ta’wi>l dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Merupakan
hal yang menarik untuk dikaji, perihal epistemologi ta’wi>l keduanya, titik
temunya, dan perbedaannya serta mengetahuai posisi bangunan ta’wil mereka
dalam epistemologi, baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni.
Epistemologi ta’wil al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi dibangun atas dasar
dikotomis zahir dan batinn al-Qur’an. Dari sini al-Ghaza>li membuat tingkatan
ilmu al-Qur’an menjadi al-s}adaf dan ilmu al-lub>ab. Dikotomi ini merupakan
sistematika membumbung dari partikuar ke universal dan dari bunyi ke makna.
Jalan untuk menuju ke sana adalah suluk. Sedang dalam perspektif Ibnu ‘Arabi
kala>m terdapat dua tingkatan, kala>m yang tidak perlu substansi (medium yang
dipakai untuk mengungkapkan bahasa), dan kala>m yang terikat dengan substansi.
Ilmu dapat diperoleh melalui kala>m esesnsial. Adapun kala>m yang terikat dengan
substansi hanya melahirkan pemahaman (al-fahm) semata. Untuk menembus
makna batin diperlukan semacam ‚kepolosan‛ (ummy) sebagaimana yang
dimiliki oleh Nabi agar mampu menembus dan menangkap makna-makna hakiki

dari firman-Nya dengan menanamkan taqwa. Dalam timbangan epistemologi, alGhazali menggunakan kolaborasi baya>ni dan ‘irfa>ni. Sementara Ibn ‘Arabi
menggunakan burha>ni dan ‘irfa>ni.
Kata kunci : ta’wi>l, ilm al-s}adaf, ilm al-luba>b, baya>ni, burha>ni, irfa>ni.

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ..................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .............................................................. 6
C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian....................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian..................................................................................... 7
F. Kerangka Teori .......................................................................................... 8
G. Penelitian Terdahulu ................................................................................. 13
H. Metode Penelitian ...................................................................................... 16
I. Sistematika Penulisan ................................................................................ 19
BAB II

TAFSIR SUFI DAN PARADIGMANYA

A. Karakteristik Tafsir Sufi ............................................................................ 21
1. Menggunakan Metode Ta’wi>l ............................................................. 23
2. Berdasarkan Isyarat khafiyah .............................................................. 32

xii


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3. Dilakukan oleh Arba>b sulu>k/sufi......................................................... 36
B. Asumsi dan Paradigma Tafsir Sufi............................................................ 42
C. Tafsir Sufi Dalam Epistemologi Nalar Arab ............................................. 45
BAB III

RIWAYAT HIDUP AL-GHAZA>LI> DAN IBN ‘ARABI>

A. Setting Sosio-Histori dan Karir Intelektual ............................................. 48
1. Al-Ghaza>li ........................................................................................... 48
2. Ibn ‘Arabi> ............................................................................................ 56
B. Pemikiran Al-Ghaza>li dan Ibn ‘Arabi> tentang al-Qur’an ......................... 63
C. Bangunan epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> ........................ 68
BAB IV

ANALISIS EPISTEMOLOGI TA’WI>>L AL-GHAZA>LI> DAN IBN
‘ARABI>

A. Komparasi Epistemologi Tafsir al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi> ..................... 85

1. Tidak Mengingkari z{ahir ayat............................................................. 86
2. Mengakui Penafsiran yang bersumber dari intuisi ............................. 91
B. Posisi bangunan epistemologi al-Ghaza>li dan Ibn ‘Arabi> dalam perspektif
epistemologi burhani, bayani dan ‘irfani> .................................................. 96
BAB V

PENUTUP

C. Simpulan.................................................................................................. 108
D. Saran ........................................................................................................ 109

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111

xiii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam al-Naba>’ al-‘Az}i>m, Abdullah Dara>z mengibaratkan al-Qur’an
dengan batu intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda.1 Dengan
demikian al-Qur’an merupakan kitab suci yang memiliki muatan multiperspektif. Pada gilirannya, dalam perkembangan tafsir al-Qur’an ditemui suatu

moment tradisi penafsiran al-Qur’an bersinggungan dengan tradisi tasawwuf.
Hasil dari persinggungan ini melahirkan ittijah penafsiran al-Qur’an khas kaum
sufi yang biasa dikenal dengan tafsir sufi atau sufistik.
Tradisi sufi yang muncul di Islam menurut Ignaz Goldziher bukan berasal
dari ajaran Islam. Berdasarkan asumsinya tradisi sufisme dalam Islam
berlangsung secara gradual. Pertama gerakan ini muncul sebagai sikap zuhud
secara total dan menjauhi kehidupan dunia. Selanjutnya terpengaruh pemikiran
emanasi yang populer di kalangan neo-platonisme dan akhirnya sampai pada
perasaan (emosi) yang naik ke atas dan berujung pada perasaan rindu kepada
Allah. Ignaz juga beranggapan bahwa ajaran sufisme tidak bersumber dari alQur’an tetapi sumber rujukan dari sufisme adalah paham emanasi NeoPlatonisme. Munculnya tafsir-tafsir al-Qur’an yang bercorak sufi merupakan
upaya para pelaku sufi untuk mencari legitimasi kebenaran atas paham sufi yang

1

Muhammad Abdullah Dara>z, al-Naba>’ al-‘Az}i>m (Kairo: Da>r al-‘Urubah, 1996), 111.


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

dianutnya. Meskipun menurut Ignaz proses pencarian pembenaran ini tidaklah
mudah.2
Berbeda dengan Ignaz yang menyatakan bahwa tafsir sufi merupakan
hasil olah pikir kaum sufi guna mencari justifikasi kebenaran pemikirannya,
Massignon seorang pengkaji Islam asal Prancis menyatakan bahwa sumber utama
tafsir sufi adalah riya>da} h dan laku spiritual. Pengetahuan dalam perspektif
tasawuf adalah limpahan ilahiyah (al-fayd} al-Ilahiyyah) yang bersifat
transendental, diturunkan kepada jiwa manusia sesuai dengan tingkatan dan
kesiapan jiwa mereka.3 Dalam hal ini para sufi membangun teori maqa>ma>t dan

ah}wa>l, yang menyatakan bahwa jiwa manusia memiliki maqa>m-maqa>m (check
points) yang didaki satu persatu untuk mencapai ma’rifat.4
Menurut H}usayn al-Dha>haby, kontak teks al-Qur’an dengan sufisme
berlangsung dalam aktifitas exegenis dan eisegesis sekaligus. Hal ini didasarkan
pada pembagian tasawuf menjadi dua ragam, yakni tasawuf naz}ari (teoritis) dan
tasawuf amali (praktis). 5

Pendapat ini didukung oleh penjelasan Abu> al-Wafa> al-Taftaza>ni6 yang
menyebutkan ada dua varian orientasi sufisme yang berkembang mulai abad ke-3
dan 4 Hijriyah ketika status sufisme bergeser dari praktek asketis murni kepada

2

Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>my, Terj. ‘Abd al-H}ali>m al-Najja>r (Kairo: Maktabah
al-Kha>nja>, 1955), 201.
3
Louis Massignon dan Muhammad ‘Abd al-Ra>zaq, al-Tas}awwuf (Beirut: Da>r al-Kitab al-Lubnani,
1984), 55.
4
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill : The University of North
Carolina Press, 1975), 98.
5
Husayn al-Dhaha>by, al-Tafsi>r wa al-Munfasiru>n, Vol II (t.t. : Maktabah Mus}’ab bin ‘Amr alIslamiyah, 2004), 82.
6
Abu Wafa al-Taftaza>ni, al-Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>my, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah li alNashr wa al-Tawzi’, t.th), 99-143.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


3

wacana keilmuan yang terkodifikasi. Orientasi pertama adalah aliran tasawuf
moderat (mu’tadilu>n) yang melandasi doktrinya dengan konfirmasi kepada teks
atau ajaran al-Qur’an dan sunah. Aliran ini selanjutnya dikenal dengan tasawuf

sunny karena para pengikut tasawuf ini berasal dari golongan ahl al-sunnah wa
al-jama’ah atau disebut tasawuf akhla>qy, karena didominasi dengan karakteristik
moralitas. Salah satu perwakilan aliran ini adalah Junayd al-Baghda>dy (w. 298
H). Selanjutnya orientasi ini terus berkembang di abad ke-5 H dengan alQushayry (w. 465 H) dan al-Ghaza>li (w. 505 H).
Orientasi tasawauf lainnya adalah aliran semi-filosofis (shibh falsafy)
yang terpesona dengan konsep fana> (annihilation) dan mengembangkan konsep
terkait hubungan manusia dengan Tuhan seperti hulu>l. Tokoh utama aliran ini
adalah Abu Yazid al-Bustamy (w. 261 H) dan al-Hallaj (w. 301 H). Memasuki
abad ke-5 dan ke 6 H, orientasi ini kemudian menjadi lebih filosofis dengan
masuknya pengaruh ajaran neo-platonisme. Dalam hal ini, orientasi yang semifilosofis menjadi seluruhnya filosofis, sehingga disebut dengan tasawuf falsafy.
Aliran ini merupakan suatu aliran sufisme yang memadukan antara visi mistis
dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat.7Suhra>wardi

(w. 638 H) dengan teori ishra>qiyyah (illuminasi) dan Ibn ‘Arabi>> (w. 638 H)
dengan teori wah}dah al-wuju>d (kesatuan eksistensi) merupakan perwakilan
varian ini.

7

Ibid., 185.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Dhaha>by di atas, terdapat dua varian
corak tafsir sufistik, tafsir sufi naz}ari> dan sufi ishari atau fayd}y. Dalam kasus sufi

naz}ari>, seorang sufi terlebih dahulu membangun dasar-dasar teori sufismenya,
kemudian ia mencari ayat al-Qur’an dan menafsirkannya sesuai dengan
pandangannya tersebut. Tokoh utama aliran ini adalah Ibn ‘Arabi>> dengan paham

wah}dah al-wuju>d-nya. Tafsir isha>ri atau fayd}y, seorang sufi menakwilkan alQur’an dengan berdasarkan kepada beberapa simbol/allegori yang tersembunyi

(isha>rah al-khafiyah) yang hanya bisa dicapai oleh para pengembara rohani
(sa>lik). Kontras dengan sufi naz}ari>, dalam sufi isha>ri seorang sufi berusaha
mendeterminasi makna suatu ayat dengan proses asketis tertentu sampai pada
tahap kashaf, tanpa didahului oleh suatu teori tertentu.8
Dalam sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an tafsir dengan pendekatan
esoterik (sufi), tidak begitu menarik perhatian para ulama Islam. Hal ini terbukti
dengan banyak munculnya kitab-kitab tafsir yang membahas al-Qur’an melalui
pendekat eksoterik dari pada kitab-kitab tafsir yang menggunakan pendekat
esetorik. Selain jumlah produk tafsir eksoterik yang lebih dominan dari pada
produk tafsir esoterik, keberhasilan para ulama Muslim merumuskan beragam
metodologi (manhaj) dan kaidah penafsiran eksoterik dapat menjadi barometer
dominasi pendekatan eksoterik. Para ahli semisal Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> (849-911
H/1445-1505 M) dengan al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Zamakhsary dengan al-

Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n banyak memuat aturan-aturan jelas yang dapat
dikatakan standar baku dalam pendekatan eksoterik. Buku lain misalnya,
8

Husayn al-Dhaha>by, al-Tafsir wa al-Munfasirun, 92.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Mana>hil al-‘Irfa>n yang ditulis oleh Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ny (w.1367 H/1948 M)
menjelaskan metodologi penafsiran pada lafaz al-Qur’an secara jelas, syaratsyarat dan kriteria mufassir.
Bagi kalangan ulama Islam sendiri, penafsiran sufistik masih menjadi hal
yang diperdebatkan. Sebagain ulama seperti al-Zarkashi> tidak mengakui bahwa
hasil penafsiran ulama sufi sebagai produk tafsir al-Qur’an.9 Meskipun corak
tafsir sufistik ini cukup kontroversial dan kurang mendapatkan atensi (little-

studied genre), corak tafsir sufi telah diakui sebagai corak tafsir yang berdiri
sendiri secara utuh. Tafsir sufi telah memiliki skema historis dan epistemologi
tafsir yang kemudian menjadikannya pantas disebuat sebagai corak tafsir
tersendiri.10
Di kalangan tokoh tafsir sufi, nama Abu Hamid al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>
sudah tidak asing lagi. Baik Abu Hamid al-Ghaza>li> maupun Ibn ‘Arabi> samasama menggunakan metode ta’wi>l dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
Meskipun kedua tokoh ini menggunakan metode yang sama, keduanya berbeda
dalam aliran tasawuf. Abu Hamid merupakan representatif dari tasawuf sunny

amaly sedangkan Ibn ‘Arabi> adalah representatif dari sufi naz}ari> falsafi.
Abu Hamid al-Ghaza>li> adalah tokoh sufi yang mengkritik para filosof
dalam buku Taha>fut al-Fala>sifah. Al-Ghaza>li> memberikan dua puluh kritik
terhadap para filosof yang termaktub dalam bukunya tersebut. Sedangkan Ibn
‘Arabi> merupakan seorang sufi naz}ari> yang setuju dengan filsafat.

9

Hasan Ayyu>b, al-Hadi>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n wa al-Hadi>th (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2008), 160.
Asep Nahrul Musada, ‚Tafsir Sufistik Dalam Penafsiran al-Qur’an‛ , Farabi vol 12, No 1 (Juni
2015), 107.

10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Oleh karenanya, penulis beranggapan bahwa penelitian komparatif
terhadap metode ta’wi>l al-Ghaza>li> representatif dari sufi sunni yang cenderung

amaly dan Ibn ‘Arabi> yang merupakan tokoh dari sufi naz}ari> yang pro dengan
pemikiran filsafat menarik untuk diteliti.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari penjelasan di atas penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Epistemologi ta’wi>l al-Qur’a>n al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
2. Metodologi ta’wi>l al-Qur’an menurut al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
3. Metode ta’wi>l perspektif al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an.
4. Kerangka teoritik yang digunakan al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> untuk
menjelaskan sisi bathin ayat-ayat al-Qur’an.
5. Persamaan dan berbedaan epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>
dalam menjelaskan makna batin yang dikandung al-Qur’an.
Dari identifikasi masalah di atas, penulis menfokuskan permasalahan secara
spesifik tentang epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>> serta komparasi
antara keduanya agar dapat dilihat secara jelas perbedaan dan persamaan dari
epistemologi ta’wi>l al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi> ini.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas berdasarkan identifikasi masalah di atas
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana epistemologi ta’wi>l al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara epistemologi ta’wi>l alGhazali dan Ibn ‘Arabi> dalam menjelaskan sisi batin ayat-ayat al-Qur’an?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah, sebagaimana
berikut:
1. Untuk menjelaskan epistemologi ta’wi>l al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
2. Untuk menemukan titik persamaan dan perbedaan dari epistemologi

ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> dalam menjelaskan sisi batin ayat-ayat
al-Qur’an.
E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat, sekurang kurangnya
dalam 2 (dua) hal di bawah ini:
1. Aspek teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya
dan dapat dijadikan bahan untuk memperkaya wawasan ilmiah tentang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

metodologi ta’wi>l ala kaum sufi, serta diharapkan juga sebagai rujukan
ilmiah terkait dengan kajian tafsir sufi.
2. Aspek praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
para calon mufassir dan ulama’ kontemporer memperkaya kazanah ilmu
untuk memahami dan mengkaji maksud Allah pada setiap ayat dalam alQur’an. dan mampu memberi motivasi untuk selalu ingin menjadi
mufassir dan ulama’ yang ideal sebagai mana para salafuna> al-s}a>lih.
F. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan antara
lain untuk membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak
diteliti. Selain itu, kerangka teori juga dipakai untuk memperlihatkan kriteria
yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.11
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ta’wil atau penjelasan
para sufi mengenai ayat-ayat al-Qur’an dapat diterima sebagai tafsir atau tidak.
Sebagain berpendapat tidak dapat diterima, pendapat ini di antaranya
diungkapkan oleh Ibn al-S}ala>h dan al-Zarkashi.12
Al-T}aba>t}aba>’i berpendapat bahwa panfasiran esoterik (ta’wi>l) kaum sufi
dapat diterima dengan syarat:
1. Tidak menafikan makna eksoterik (pengertian tekstual) ayat al-Qur’an.
Persyaratan ini diperlihatkan Al-T}aba>t}aba>’i ketika menjelaskan nisbah

11

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : L-Kis, 2012), 20.
12Badr al-Di>n al-Zarkashi, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Vol. II, (Bairut: Da>r al-Kutu>b al‘Ilmiyah, 2012), 105.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

(persentase) antara makna al-Quran yang bersifat esoterik dan eksoterik
(lahir).
2. Penafsiran itu diperkuat dalil syara’ lain. Persyaratan ini dirumuskan dari
metode tafsir esoterik yang dilakukan Al-T}aba>t}aba>’i ketika menafsirkan
ayat antropomorfisme yang diperkuat dengan ayat lainnya.
3. Makna esoterik tidak bertentangan dengan makna esoteriknya, syarat ini
dirumuskan dari pandangan Al-T}aba>t}aba>’i tentang keserasian antara
kedua dimensi makna itu, terutama kritiknya terhadap pendapat yang
mengartikan ta’wi>l sebagai kontradiksi dengan makna eksoterik.
4. Tidak mengacaukan pemahaman orang awam. Syarat ini dirumuskan dari
pandangan Al-T}aba>t}aba>’i tentang perlunya menyampaikan penjelasan
tentang pesan al-Quran kepada orang awam sesuai dengan tingkat
pemahamannya.13
Quraish Shihab berpendapat, tafsir ishari dapat diterima selama :
1. Maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan,
tidak juga dengan lafal ayat.
2. Tidak menyatakan bahwa itulah satu-satunya makna untuk ayat yang
ditafsirkan.
3. Ada korelasi antara makna ishari yang ditarik dengan ayat al-Qur’an
4. Ada dukungan dari sumber ajaran agama yang mendukung makna ishari
tersebut.14

13

Al-T}aba>t}aba>’i, al-Miza>n, Vol. V, (t.tp: t.p, t.th), 281.
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentara Hati, 2013), 370

14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Perlu dicatat bahwa bisa jadi makna yang ditarik oleh penafsir sufi benar
adanya, namun tidak bisa diterima oleh lafaz}. Dalam kasus seperti ini tafsir ishari
tidak dapat diterima oleh sementara ulama. Sebagai contoh, penjelasan sebagian
ulama sufi tentang firman Allah surat al-‘Ankabut ayat 69:
          

dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benarbenar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.15
Sebagian ulama sufi memahami kata lama’a dalam arti memberi cahaya,
padahal kata tersebut bukanlah kata kerja, tetapi ia terdiri dari huruf lam yang
berfungsi sebagai tawkid (pengukuh) dan ma’a yang berarti bersama. Sehingga
ayat tesebut menyatakan bahwa sungguh Allah bersama para pelaku kebaikan.
Seandainya yang dimaksud adalah pemberi cahaya, tentu ayat tersebut berbunyi

lamm’a dangan tashdi>d pada huruf mim.16
Untuk menjelaskan kerangka metode ta’wi>l yang digunakan oleh para sufi
dalam menjelaskan maksud al-Qur’an penulis menggunakan teori al-‘aql al-‘arabi
(nalar Arab) yang disusun oleh Muhammad ‘A>bid al-Ja>biri>.
Dalam kebudayaan Arab-Islam, ada tiga epistemologi yang berkembang
yaitu, baya>ni, burha>ni dan ‘irfa>ni yang memiliki kriteria berbeda satu sama lain.

Baya>ni menggunakan teks suci, ijma’ dan ijtihad sebagai sumber otoratif utama
yang bertujuan mengkonstruksi konsepsi tentang alam dengan menggunakan

Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Karya Agung, 2006), 569.
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir ., 371.

15
16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

akidah Islam. Burha>ni menggunakan kekuatan pengetahuan alamiah manusia
berupa indera, eksperimen dan hukum akal murni untuk mendapatkan
pengetahuan secara universal atau partikular untuk mengkonstruksi tentang
alam.17 Sedangkan ‘irfa>ni secara umum menggunakan kashf dan ilha>m sebagai
metode memperoleh pengetahuan serta bertujuan menyatu dengan Tuhan.18
Tiga epistemologi ini saling berbenturan satu sama lain, benturanbenturan epistema ini merupakan perdebatan antagonistik seperti : fuqaha’ vis a

vis kaum sufi (baya>ni bs ‘irfa>ni), fuqaha’ vis a vis filosof (baya>ni vs burha>ni),
filosof vis a vis kaum sufi (burha>ni vs ‘irfa>ni). Benturan-benturan itu dianggap
sebagai ekspresi basis epistemologi pada abad ke-5 Hijriah.19
Untuk meredam dan menjembatani krisis basis epistemologi ini, kaum
sufi sunni dan kaum filosof berupanya melakukan harmonisi elektik. Suhrawardi
mencoba mensintesikan antara tradisi burha>ni dan ‘irfa>ni dengan hikmah al-

Ishra>qiyyah-nya yang kemudian dikenal dengan madhhab tasawuf falsafi-nya.
Muha>sibi juga mencoba mengharmonisasikan secara elektif antara nalar baya>ni
dan ‘irfa>ni yang kemudian dikenal dengan madhhab tasawuf sunni.
Upaya harmonisasi ini tidak melepaskan nalar ‘irfa>ni sebagai basic utama
epistemologi kaum sufi. Pengetahuan ‘irfa>ni tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah rohani dan dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan

pengetahuan

secara

langsung

kepadanya.

Secara

umum

17

Muhammad Subhan Zamzami, ‚Pendekatan Burha>ni dalam Studi al-Qur’an‛, El-Furqania, Vol
2, No 01, (Februari 2016), 2.
18
Muhammad ‘Abid al-Ja>biri>, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby> (Bairut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al‘Arabiyyah, 2009), 251.
19
Waryani Fajar Riyanto, ‚Antisinonimitas Tafsir Sufi Kontemporer‛, Epistema Vol 9, No 1,
(Juni 2014), 145.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

pengetahuan ‘irfa>ni diperoleh melalui tiga tahapan, persiapan, penerimaan dan
pegungkapan dengan lisan atau tulisan (takhalli, tah}alli dan tajalli).20
Dalam khazanah filsafat Barat pengetahun ‘irfa>ni ini disbeut dengan
istilah knowledge of (pengetahuan tentang) yaitu pengetahuan intuitif yang
diperoleh secara langsung. Berbeda dengan knowledge about (pengetahuan
mengenai) yang merupakan pengetahuan diskursif yang diperoleh melalui
perantara indra atau rasio.21
Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, fitri,

hanafiyyah samhah dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan bahasa
inilah yang disebut dengan istilah al-‘ilm al-hudury (direct experince) oleh tradisi
ishraqy di Timur atau preverbal, prereflective consciousness atau prelogical

knowledge oleh tradisi eksistensial Barat. Validitas kebenaran epistemologi irfa>n
hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung (direct experience), intuisi
atau psiko-gnosis.22
Ada tiga cara untuk mengungkapkan makna atau dimensi batin yang
diperoleh dari kashf, yakni :
Pertama, diungkapkan dengan cara i’tibar atau qiyas ‘irfa>ni. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kashf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua diungkapkan dengan shat}ah}at suatu ungkapan lisan tentang
perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya.

20

Ibid.
Loius O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2004), 141.
22
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 208-209.

21

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Pendekatan ini kemudian yang penulis gunakan sebagai landasan teori dalam
meneliti pemikiran ta’wi>l

al-Ghaza>li dan Ibn ‘Arabi>. Ketiga, dengan

menggunakan simbol-simbol. Menurut al-Ghaza>li> pengungkapan pengetahuan
irfan dengan simbol-simbol ini dilakukan

berdasarkan adanya kesulitan

menjelaskan pengalaman spiritual kepada orang lain yang belum tentu ada
padanannya dalam dunia empirik. Menurutnya, pengelaman spiritual sufisme
sangat dalam rumit sehingga kata-kata yang berusaha menjelaskannya pasti akan
salah dan tidak tepat.
G. Penelitian Terdahulu
Penulis sebenarnya bukanlah orang pertama yang mengkaji tentang
pemikiran ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>. Penelitian mengenai dua tokoh ini
telah dilakukan oleh para peneliti sebelum penulis, berikut penelitian yang
berkaitan dengan kedua tokoh ini :
1. Abu Sujak, Metode dan Corak Tafsir al-Qur’an al-Karim Muhyiddin Ibnu

‘Arabi, skripsi Jurusan Ilmu Syariah pada fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel tahun 1986. Secara umum, skripsi ini menjelaskan tentang
metodologi serta corak tafsir Ibn ‘Arabi>, tidak dijelaskan bagaimana
proses penyebrangan dari zahir teks ke batin teks (metode ta’wi>l Ibn
‘Arabi>).
2. Ibn Ali, Konsep Emanasi dalam Tasawuf Ibnu ‘Arabi : Studi

Hermeneutika dalam Kitab Shajarat al-Kawn, tesis prodi Ilmu Keislaman
Kosentrasi Filsafat Agama UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2014.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Dalam tesis ini uraian tentang metode ta’wi>l Ibn ‘Arabi tidak diuraikan,
mengingat kajian pada penelitian ini terbatas pada satu karya Ibn ‘Arabi>.
3. Nihayatul Husna, Tafsir Sufistik Ibn ‘Arabi> : Kajian Semantik Terhadap

Ayat-Ayat Hubb dalam Kitab al-Futuhat al-Makiyyah, tesis Prodi Studi
Agama dan Filsafat Kosentrasi al-Qur’an dan Hadis, pasca UIN Sunan
Kalijogo tahun 2015. Dalam tesis ini dijelaskan makna hubb yang
merupakan maqa>m ila>hi> yang tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
material, melainkan cinta natural dan spiritual dan belum menyinggung
tentang metode ta’wi>l Ibn ‘Arabi>.
4. Skripsi di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul Manhaj Ta’wi>l al-

Qur’a>n ‘Inda al-Ima>m al-Ghaza>li>. Ditulis oleh Mahbub Ghazali, tahun
2011, jurusan Tafsir Hadis kelas khusus. Skripsi ini menguraikan tentang
metode ta’wi>l yang ditawarkan al-Ghaza>li>. Dalam skripsi ini dijelaskan
lima wujud perspektif al-Ghaza>li>. Yakni wujud esensial (dhati), indra
(hissi), khayal, rasional (aqli), dan wujud metaforis (shibhi). Menurut alGhaza>li> barang siapa yang mengakui apa yang diberitakan oleh Rasulullah
dengan salah satu segi wujud dari wujud yang lima ini, maka ia bukan
tergolong orang yang mendustakan Rasulullah. Dalam Skripsi ini tidak
dibahas mengenai klasifikasi ilmu sebagai dasar pemahamana metode

ta’wi>l al-Gha>zali>.
5. Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Hermeneutika al-

Ghaza>li> dan Ricoeur (Studi Komparatif Teori Makna dan Pemahaman AlGhaza>li> dan Ricouer Serta Relevansinya Terhadap Pengembangan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

Pemahaman Kitab Suci). Ditulis oleh Ari Hendri tahun 2011 program
studi Agama dan Filsafat konsentrasi Studi al-Qur’an dan Hadis. Dalam
pembahasannya, dia berupaya merelevansikan hermeneutika al-Ghaza>li>
dan Ricoeur terhadap pengembangan penafsiran kitab suci. Meskipun
sama-sama menggunakan metode komperatif, akan tetapi objek yang
dijadikan

perbandingan

membandingkan

antara

berbeda.
Ricour

Dalam
dan

tesis

al-Ghaza>li>

ini

Ari

Hendri

sedang

penulis

membandingkan antara al-Ghaz>ali> dan Ibn ‘Arabi> yang notabenya samasama dari kalangan sufi.
6. Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul Hermeneutika

Imajinasi Sufistik; Studi Terhadap Metodologi Ta’wi>l Ibnu ‘Arabi>.
Ditulis oleh Nur Qamari tahun 2016 program studi ilmu al-Qur’an dan
Tafsir. Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana metodologi ta’wi>l Ibn
‘Arabi>> yang berciri khas pendekatan nalar ‘irfa>ni. Namun dalam skripsi
ini Nur Qomari tidak melakukan upaya komparatif ta’wi>l sufi Ibn ‘Arabi>
dengan tokoh lain yang sama-sama berangkat dari pemahaman kaum sufi,
semisal al-Ghaza>li>.
Dari telaah pustaka yang telah penulis lakukan, terlihat belum ada
pemikir yang mencoba membahas secara khusus mengenai metode ta’wi>l kaum
sufi yang digunakan oleh al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi> dengan perspektif analisis
komparatif. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan guna
melihat secara komparatif tentang model ta’wi>l sufi perspektif dua tokoh
tersebut.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

H. Metode Penelitian
1. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yaitu jenis
penelitian berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat
di balik fakta. Kualitas hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui

linguistic atau bahasa.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan library research (penelitian kepustakaan).
yaitu

penelitian

yang

memanfaatkan

sumber

perpustakaan

untuk

memperoleh data penelitiannya.23. dalam hal ini data-data yang diteliti
berupa bahan-bahan kepustakaan, khususnya yang terkait dengan metode

ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>.
3. Sumber Data
Sebagaimana diketahui penelitian ini termasuk kepustakaan (library

research) yang berisi buku-buku sebagai bahan bacaan dan bahasan serta
sumber datanya. Sehingga data kepustakaan yang diambil dalam penelitian
ini terdiri dari:
a. Bahan primer yaitu sumber yang berfungsi sebagai sumber utama yang
terpenting dalam penelitian ini. Bahan primer yang dalam penelitian ini
adalah Jawa>hir al-Qur’a>n karya Abu> Ha>md al-Ghaza>li>, Qa>nu>n al-Ta’wi>l
karya Abu> Ha>md al-Ghaza>li, Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n karya Abu> Ha>md al-

23

Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 16.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Ghaza>li, Fus}u>s} al-H}ikam karya Ibn ‘Arabi>, Futu>hat al-Makiyyah karya Ibn
‘Arabi> dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ibn ‘Arabi>>.
b. Bahan sekunder yaitu buku penunjang yang dapat melengkapi data
sumber bahan primer dan dapat membantu dalam studi analisis. Dalam
hal ini adalah buku referensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
Sumber data yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
1) Qa>nu>n al-Ta’w>il karya Abi> Bakr Muhammad bin Abdullah
1) Teks Otoritas Kebenaran karya Nasr Hamid Abu Zaid
2) Hermenutika Al-Qur’an dan Hadis karya Kurdi dkk.
3) Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an karya Nasr
Hamid Abu Zaid
4) Risa>lah fi> Haqi>qah al-Ta’wi>l karya Abdurahman bin Yahya
5) Ibn ‘Arabi> Hayatuhu wa madhabuhu karya Miguel Asin Palacios
Terj. Abd Rahman Badawi
6) Demikian Kaum Sufi Berbicara karya Sara Sviri terj. Ilyas Hasan
7) Tafsir wa al-Munfasirun karya Husayn al-Dhahaby
8) Falsafah Ta’wi>l karya Nasr Hamd Abu> Zaid
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
dengan teknik dokumentasi.24 mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan fokus pembahasan berupa buku, kitab, catatan dan lain sebagainya.
Dengan teknik pengumpulan data dokumentasi, diperoleh data-data yang
24

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2010), 240.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
5. Teknik Pengolahan Data
a. Editing, yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan
keragamannya.
b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikakan data-data
yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan
sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.
6. Teknis Analisis Data
Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data. Analisis dengan mempelajari seluruh data dari berbagai sumber setelah
itu mengadakan reduksi data dengan membuat rangkuman inti, langkah
selanjutnya menyusun dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan
dalam satu kelompok yang sama, kemudian pemeriksaan keabsahan data dan
tahap yang terakhir disimpulkan. 25
Mengingat data yang dikumpulkan adalah data kualitatif, maka data
tersebut akan dianalisis secara kualitatif pula. Data kualitatif yang telah
didiskripsikan ditelaah menggunakan teknik content analysis, yaitu teknik
sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolahnya. Data kualitatif
25

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),
248.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

yang diteliti dengan teknik content analysis tersebut kemudian di
komparasikan sehingga dapat diketahui secara jelas perbedaan dan
persamaan dari epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>.

Dengan

demikian dapat diketahui kelebihaan dan kekurangan epistemologi yang
dibangun oleh al-Ghaza>li> dan Ibn ‘Arabi>.
I. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam tesis ini, maka penulisan ini
disusun atas lima bab sebagai berikut :
Bab pertama berisikan pendahuluan yang meliputi; latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian manfaat
penelitian, kerangka teori, penelitian terdahulu, metodologi penelitian, lalu
kemudian dilanjutkan dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua secara umum berisikan tentang landasan teori, dalam hal ini
penulis akan menjelaskan tentang karakteristik tafsir sufi, asumsi paradigma
tafsir sufi dan terakhir tafsir sufi dalam timbangan epistemologi nalar arab
(baya>ni, Burha>ni dan ‘irfan>i).
Bab ketiga gambaran umum tentang riwayat hidup al-Gaza>li dan Ibn
‘Arabi> meliputi, biografi, latar belakang intelektual dan karya-karyanya,
pembahasan tentang pemikiran-pemikiran kedua tokoh tentang al-Qur’an dan

ta’wi>l al-Qur’an. Selanjutnya membahas tentang epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li>
dan Ibn ‘Arabi>.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

Bab keempat berisikan analisis tentang epistemologi ta’wi>l al-Ghaza>li
dan Ibn ‘Arabi> guna mengemukakan perbedaan dan titik temu diantara dua tokoh
ini. Bab kelima berisikan penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TAFSIR SUFI DAN PARADIGMANYA
A. Definisi Tafsir Sufi dan Karakteristiknya
Dalam mengidentifikasi karakteristik tafsir sufi hal yang perlu dilakukan
adalah dengan mengetahui definisi tafsir sufi menurut para ulama. Definisidefinisi tersebut kemudian dijadikan barometer dalam menentukan karakteristik
tafsir sufi yang membedakan dengan corak tafsir lainnya. Banyak definisi yang
diungkapkan ulama untuk mendiskripsikan pengertian tafsir sufi. Diantaranya
menurut al-Zarqa>ni> :

‫ف ومك اجمع بينها وب‬

‫ت و ال رآن ب ظا ر ا ارة فية تلهر ْرباا السل ا وال‬
1

‫اللا ر وامراا أ ا‬

Menakwilkan al-Qur’`an secara batin dengan bertumpu pada isyarat samar
yang hanya dapat ditangkap oleh ahli suluk dan tasawuf kemudian
mengkompromikan makna antar keduanya.
Husayn al-Dhahabi:

‫ارات فية تلهر ْرباا‬

‫اف ما لهر منها‬
2

‫ت و آ ات ال رآن الكرم عل‬

‫ ومك ال طبيق بينها وب اللا ر امرااة‬،‫السل ا‬

1

Muhammad ‘Abd ‘Az}im al-Zarqa>ni, Mana>h}il al-‘Irfan, Vol. II (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 78.
Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Munfassiru>n, Vol. II (ttp: Maktabah Mus}’ab ibn
‘Amr al-Islamiyah, 2004), 92.
2

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Menakwilkan al-Qur’`an dengan sesuatu di balik makna dzahir sesuai
dengan isyarat samar yang ditangkap oleh ahli suluk kemudian berusaha
memadukan antara keduanya.
Nurudin ‘Itr :

‫ارات فية تلهر ْرباا‬

،‫ت و آ ات ال رآن الكرم عل معى غ ما لهر منها‬
‫ ومك ال طبيق بينها وب الل ا ر امرااة‬،‫السل ا‬

3

Menakwilkan al-Qur’`an dengan sesuatu di balik makna dzahir sesuai
dengan isyarat samar yang ditangkap oleh ahli suluk kemudian berusaha
memadukan antara keduanya.
‘Ali al-S{abuni mendefinisikan tafsir sufi atau tafsir ishari lebih rinci jika
dibanding dengan tiga ulama sebelumnya, beliau mendefinisikannya dengan:

ِ ْ ِ‫لِْل َعا ِر‬

ِ ‫تَْ ِو الْ ُرأ َِن علَ ِ َا‬
ِ ‫ف ظَا ِ ِرِ ِِ َ ار‬
ِ ‫ات َ ِفي ِة تَلْ ِه ُر لبَ ْع‬
‫ض أ ُْوِِ العِْل ِم أ َْو تَلْ ِه ُر‬
َ ْ ُ ْ َُ
َ

ِ ِ ‫اا السلُ ِا و ام اَ ةِ لِلن ْف‬
ِ
ِ
ِ ‫باِهِ ِم اَرب‬
‫الع ِلْي ِم اَْو‬
ََ
ْ ‫س ِ ْ نَ َر اهُ بَ َائَرُ ْم َ َْا َرُ ْا أ‬
َ ‫َسَر َار ال ُ ْرأَن‬
َْ ْ
ْ
َ
ُ
ُ
ِ ‫ن حت َِِ أ ْ اِِِم ب عض امع ِاِ الَ ِي َ ِة بِ ِاسطَِة اِ َْاِ ا ِ َِ اَ ِو ال َفْ ِح الرب ِاِ مع ام َك‬
‫ان اجَ ْم ِع‬
َ
ْ َ َ ََ
ََ ْ َ ْ َ
َ ْ
ِ َْ‫ب ي نَ ها و ب ظَا ِ ِر امر ِاا ِم ا‬
‫ات ال َك ِرمْة‬
َ ْ َ َ َ َْ
َ َ َُ



Men-ta’wi>l-kan al-Qur’an berbeda dengan z}ahirnya tentang isyaratisyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu
laduni atau orang-orang yang arif billah seperti ahli suluk dan
bermujahadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka
3

Nur al-Di>n ‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, (Damaskus: Mat}ba’ah al-S}aba>h, 1993), 97.
M. Ali al-S}abuni, al-Tiby>an f>i Ulu>m al-Qur’an (Bairut: Alam al-Kutub, 1958), 171.

4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia alQur’an al-Az{im. Atau mereka yang telah digoresi fikirannya dengan
sebagian makna yang dalam melalui ilham ilahi atau futuh{ rabbani yang
memungkinkan baginya untuk memadukan dengan yang z{ahir yang
dimaksut dari ayat-ayat yang mulia.
Dari definisi di atas dapat diketahui diantara karakteristik dari tafsir sufi
adalah :
1. Menggunakan metode Ta’wi>l

Ta’wi>l secara etimologi merupakan bentuk mas{dar dari kata awwala
yang berarti ruju>’ ila as}l (kembali kepada pokok).5 Makna ini diambil dari
penjelasan Nabi Muhammad saw ketika ditanya mengenai surat al-An’am ayat
656:

ِ ََْ ‫الْ َ ِاار علَ أَ ْن ب ع َ علَي ُكم ع َ ابا ِم َ ِ ُكم أَو ِم‬
‫ت أ َْر ُ لِ ُك ْم‬
َ ُ
ْ ْ ْ ْ ْ ً َ ْ ْ َ َ َْ
َُ ْ ُ
Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu,
dari atas kamu atau dari bawah kakimu.7
Rasul menjelaskan ayat di atas dengan:

ِ ْ ََ‫ و‬،ٌ‫أَما ِن ها َ ائِنَة‬
ُ ‫ت تَْ ِو لُ َها بَ ْع‬
َ َ
ََْ
Ingatlah, hal itu pasti terjadi tetapi masih belum tiba masa ta’wi>l-nya.8

Penjelasan Rasulullah tentang surat al-An’am ayat 65 di atas, kata

ta’wi>l bermakna al-marji’ dan al-mas{ir.9

5

Manna’ Al-Qat{t{an, Maba>his f>i Ulu>m (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 317.
Muhammad bin Abd Allah ibn al-Arabi, Qa>nu>n al-Ta’wi>l (Bairut: Muassasah ‘Ulu>m al-Qur’an,
1986), 232.
7
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Karya Agung, 2006), 182.
8
Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur’a>n al-Az{i>m, Vol. 2, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 128.
6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Ta’wi>l dengan arti al-tarji’ berarti menggiring kembali atau membawa
kembali kepada asalnya. Maka orang yang mempraktikan ta’wi>l adalah orang
yang membelokan apa yang ditampakan sisi zahirnya (aspek eksoterik) dan
mengembalikannya kepada kebenaran hakikatnya. Inialah ta’wi>l sebagai
tafsir spiritual batiniah, sebuah tafsir yang simbolik dan esoterik10
Sebagain pakar juga menyatakan bahwa takwil berasal dari kata ma’al
yang berarti berkesudahan.11 Dalam kamus Lisa>n al-‘Ara>b disebutkan, awwal

al-kala>m

wa

ta’awwalahu

yang

artinya

adalah

merenungkannya,

memperkirakan maknanya. Awwalahu dan ta’awalahu sama artinya dengan

fassarahu.12
Ada yang menyatakan bahwa asal usul kata ta’wi>l adalah iyalah yang
berarti siyasah. Dengan begitu orang yang men-ta’wi>l-kan sebuah perkataan
adalah orang yang mensiasati perkataan itu dan menempatkannya pada posisi
selayaknya.

13

Menurut al-Zarqa>ni> ta’wi>l secara etimologi memiliki arti sama

dengan tafsir.14 Makna ta’wi>l yang serupa dengan tafsir ini sudah dikenal dan
digunakan sejak masa Rasulullah,15 sebagaiamana sabda Rasulullah ketika
mendoakan Ibn ‘Abbas:

ِ
ِ
ِ
ُ
َ ‫ َو َعل ْمهُ ال ْو‬، ِ ِ ‫اللهم َ ِه ِ ال‬
9

Ibn al-‘Arabi, Qa>nu>n al-Ta’wi>l (Bairut: Muassasah Ulu>m al-Qur’an, 1986.) 232.
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy Terj. Liadain Sherrard (London: The Institute of
Ismaili Studies, t.th), 12.
11
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang, Lentera Hati, 2013), 219.
12
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-Ara>b, Vol. XXI (Bairut: Da>r S}a>dr, t.th), 33.
13
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah: Studi Perbandingan Aqidah & Tafsir, penj.
Bisri Abdussomad, dkk (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2001), 346.
14
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n, Vol, II, 4.
15
Muhammad bin Abd Allah ibn al-‘Arabi, Qa>nu>n al-Ta’wi>l (Bairut: Muassasah Ulu>m al-Qur’an,
1986), 232.
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

Ya Allah pahamkanlah dia akan ilmu agama dan ajarilah dia ta’wi>l.16

Menurut Nas}r Hamd Abu Zaid istilah ta’wi>l sudah dikenal pada masa
pra-Islam. Namun dalam perkembangannya istilah ta’wi>l menjadi menjadi
istilah ‚yang tidak disukai‛ demi menjaga kemurnian istilah ‚tafsir‛.17 Dan
memberi kesan seolah-olah ta’wi>l adalah sesuatu yang buruk jika diterapkan
pada firman-firman Allah dengan dalih :

‫ََما ال ِ َ ِِ ُلُ ِِِ ْم َ ْ ٌغ َيَ بِعُ َن َما تَ َشابَهَ ِمْنهُ ابِْ َا َ الْ ِفْ نَ ِة َوابِْ َا َ تَْ ِو لِ ِه‬
Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya cenderung kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh sebagian
ayat-ayat yang mustashabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari dengan sungguh-sungguh ta’wi>-lnya.18
Kata ta’wi>l dalam al-Qur’an muncul tujuh belas kali19 sebaliknya kata
tafsir dalam al-Qur’an hanya disebut satu kali. Hal ini menunjukan bahwa kata

ta’wi>l lebih populer pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya dan dalam
teks pada khususnya dibanding dengan kata tafsir.20
Sedang ta’wi>l secara terminologis terdapat perbedaan pendapat di
antara ulama mutaqaddimin (salaf) dan ulama muta’akhirin (khalaf). Menurut
ulama mutaqaddimin ta’wi>l memiliki dua pengertian;
Pertama, menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya baik
penjelasan itu sesuai ataupun tidak dengan z}ahirnya.21 Dengan demikian

16

Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad (Riyad}: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), 271.
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron
Nahdliyyin (Yogyakarta: Lkis, 2011), 297.
18
Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya ,63.
19
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: Lkis,
2012), 192.
20
Nas}r Hamd Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulumul Qur’an , 308.
21
Abu> Hamd al-Ghaza>li>, Qa>nu>n al-ta’wi>l (tk: tp, 1992), 5.
17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

dalam pandangan ulama mutaqaddimin ta’wi>l dan tafsir memiliki kedekatan
makna dan hakikatnya sama saja.22 Kedua, ta’wi>l adalah makna atau subtansi
yang dimaksud dalam sebuah perkataan. Jika perkataan bernada t{alab
(permintaan) maka ta’wi>l -nya adalah pekerjaan diminta. Apabila perkataan
itu berbentuk berita maka yang dimaksud adalah subtansi dari suatu yang di
informasikan.23
Menurut ulama mutaakhiri>n dari kalangan ahli fikih, ahli kalam, ahli
hadis dan kaum sufi, ta’wi>l adalah memalingkan makna dari yang ra>jih
kepada marju>h karena ada indikasi untuk itu. Dalam definisi ini tampak
dengan jelas bahwa para ulama mutaakhiri>n lebih banyak memberikan
peranan akal dibanding ulama salaf, sebab kata memalingkan pada definisi
tersebut melibatkan peran rasio.24
Al-Said al-Jurjany mendefinisikan ta’wi>l Selaras dengan definisi ta’wi>l
yang diungkapkan ulama mutaakhiri>n akan tetapi al-Jurjany memberi batasan,
ia mendefinisikan ta’wi>l dengan:

‫ف الل ْفظ َع ِ َم ْعنَا ُ اللا ِ ِر ِِ َم ْعنَا ُ َُُْ ِملُهُ ِ َا َ ا َن الْ ُمحَ ِم ُ ال ِ ْ ََرا ُ ُم ا ِ ً ا‬
ُ ‫ص ْر‬
َ
25

‫باِلْ ِك اا والس ِنة‬

22

Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah, al-Ikli>l fi> al-Muta>shabih wa al-Ta’wi>l (Iskandariayah: Dar alIman, t.th.), 28.
23
al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Vol I., 1