Musibah dalam al-Qur'an : studi komparatif penafsiran sayyid qutb dan ibn katsir atas surat al-hadid ayat 22 dan 23

(1)

MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN

(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB

DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD

AYAT 22 DAN 23)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh

MUTMAINAH

NIM: 206034004220

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(4)

MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN

(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB

DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD

AYAT 22 DAN 23)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

MUTMAINAH

NIM: 206034004220

Pembimbing

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.

NIP: 19690822 199703 1 002

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 10 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M. Fils. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.

NIP: 19610827 199303 1 002 NIP: 19690822 199703 1 002

Anggota,

Dr. M. Suryadinata, M. Ag Dr. Lilik Ummi Kultsum, M. Ag

NIP: 19600908 198903 1 005 NIP: 19711003 199903 2 001


(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب

b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م

m em

ن n en

و w we

ه h ha

ء ′ apostrof

ي y ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.


(7)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i

au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas

î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas

Kata sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal


(8)

ABSTRAK

MUTMAINAH

Musibah dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas Surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23)

Skripsi ini membahas tentang musibah dalam al-Qur’an dengan pendekatan studi komparatif terhadap penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23. Karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili tafsir modern yang

menggabungkan metode bi al-rayi dan metode bi al-matsur sementara karya Ibn

Katsîr yang masyhur dan telah diakui kualitasnya dipilih untuk mewakili tafsir

periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tema tentang musibah relevan untuk

diangkat karena banyaknya bencana yang terjadi di tanah air yang mengakibatkan kerugian materi dan immateri yang tidak sedikit termasuk dampak psikologis berupa rasa putus asa dan patah semangat untuk melanjutkan kehidupan yang menunjukkan bahwa sebagian manusia kurang memahami atau lupa tentang hakikat musibah. Kedua mufassir menyatakan bahwa musibah terjadi atas kehendak Allah SWT dan sudah ditetapkan kejadiannya bahkan sebelum penciptaan alam semesta. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Keduanya berasal dari Allah SWT dan merupakan bagian dari perencanaan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta di mana manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang lemah dan membutuhkan kasih sayang dan pentunjuk

dari Allah SWT untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sementara itu Ibn Katsîr

menafsirkan musibah sebagai bencana yang menimpa alam semesta maupun diri manusia yang dapat berupa kemarau panjang, rasa lapar maupun rasa sakit. Definisi musibah oleh Sayyid Qutb lebih mewakili makna musibah dalam

al-Qur’an karena mencakup makna musibah dalam ayat-ayat lain di dalam al-Quran.

Pemahaman yang benar tentang makna musibah dapat memudahkan manusia untuk bersikap sabar ketika tertimpa bencana sebagaimana anjuran kedua penafsir dan dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam memperkuat ketahanan mental untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan tegar dalam menghadapi musibah.


(9)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan al-Quran kepada nabi

Muhammad SAW melalui malaikat-Nya sebagai petunjuk bagi manusia dalam

mengarungi kehidupan, sebagai penjelas dari petunjuk dan sebagai pembeda

antara kebenaran dan kebatilan. Salawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan

kepada imam orang-orang yang bertaqwa, teladan umat Islam, dan penutup para

nabi, rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya

yang setia hingga akhir jaman.

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah

menghendaki penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Selanjutnya, skripsi ini penulis dedikasikan kepada suami dan ananda tercinta

yang telah banyak memberikan pengorbanan dan bantuan selama penulis belajar

dan berusaha menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi

ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Prof. Dr.

Zainun Kamal, M.A., beserta para Pembantu Dekan.

2. Ketua Program Ekstensi Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.


(10)

dan bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A.

4. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku pembimbing yang senantiasa memotivasi, mengarahkan dan meluangkan waktunya

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

5. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah terutama Jurusan Tafsir-Hadis.

6. Kepala perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Kepala Perpustakaan

Ushuluddin yang telah membantu penulis melalui referensi yang

menjadi rujukan penulis.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak tercinta, Tholhah Nuhin, Lc. dan kakak-kakak yang lain yang telah memberikan kasih sayangnya

kepada penulis, yang tidak akan pernah penulis lupakan. (Semoga

Allah memberikan kasih sayang di dalam hidupnya).

8. Kepala Sekolah SDIT Nur Fatahilah Serpong, bapak H. Hasan

Anwar, S.Pd serta rekan-rekan staf dan guru SDIT Nur Fatahillah.

9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Program Ekstensi dan Reguler

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Kalian adalah sahabat

terbaik yang pernah Allah berikan kepada penulis.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu dalam

kata pengantar yang terbatas ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang tidak terhingga.

Terakhir, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...vii

KATA PENGANTAR...viii

DAFTAR ISI...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...6

C. Kajian Pustaka...7

D. Tujuan Penelitian...8

E. Metode penelitian...8

F. Sistematika Penelitian...9

BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR A. Deskripsi Tentang Sayyid Qutb... 11

1. Biografi Sayyid Qutb...11

2. Pemikiran dan Karya-karya Sayyid Qutb...13

3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb...18

B. Deskripsi Tentang Ibn Katsîr...20

1. Biografi Ibn Katsîr...20

2. Pemikiran dan Karya-karya Ibn Katsîr...21

3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr...24

C. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr...25

BAB III MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA A. Pengertian Musibah...28


(12)

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23

A. Pandangan Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah...44

B. Kehendak Allah dalam Kehidupan Manusia...49

C. Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah...54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...63

B. Saran...64


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Hal ini

dinyatakan Allah SWT di dalam al-Qur’an Surat Âli ‘Imrân/3:3-4.

⌧ ⌧ ⌧ ⌧

“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Mahaperkasa

lagi mempunyai balasan (siksa).”1

Menurut Yûsuf al-Qardawî, berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan

sebelumnya al-Qur’an mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya: Pertama,

ia adalah kitab yang dipelihara langsung oleh Allah SWT, sementara kitab-kitab

sebelumnya dijaga oleh orang-orang yang menerimanya. Kedua, ia merupakan

mukjizat terbesar bagi Muhammad SAW. Ketiga, ia mencakup seluruh aspek


(14)

Kelima, ia merupakan kitab yang berlaku untuk seluruh umat manusia.2

Sebagai kitab petunjuk yang diturunkan Pencipta manusia, al-Qur’an berisi

petunjuk yang paling sesuai bagi kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh

kesuksesan hidup apabila mengikuti petunjuk al-Qur’an. Sebaliknya, manusia

akan terjerumus dalam kesesatan apabila mengabaikannya. Rasulullah SAW

mewasiatkan hal ini dalam khutbah Haji Wada’.

ﺎﻤﻬ ﻋ

ﷲا

ﺿر

سﺎ ﻋ

ﻦﺑ

ﻦﻋ

:

لﻮﺳر

نأ

ﻄﺧ

ﻢ ﺳ

و

ﻪﻴ ﻋ

ﷲا

ﷲا

ﻪﺑ

ﻢﺘﻤ ﺘﻋا

نإ

ﻢﻜﻴﻓ

ﺖآﺮ

أ

سﺎ ﻟا

ﺎﻬ أ

لﺎ ﻓ

عادﻮﻟا

ﺔﺠﺣ

سﺎ ﻟا

ﻪﻴ

ﺔ ﺳو

ﷲا

بﺎﺘآ

اﺪﺑأ

اﻮ

ﻦ ﻓ

“Dari Ibn ‘Abbâs r.a Sesungguhnya Rasulullah SAW. berkhutbah di hadapan manusia pada haji Wada’,“Sesungguhnya telah saya tinggalkan kepada kamu, jika kamu berpegang teguh maka kalian tidak akan tersesat

selamanya. Yaitu kitabullah dan sunah Rasulullah.”3

Kesuksesan hidup tidak mudah untuk diraih. Tidak setiap orang dapat

meraih kesuksesan hidup. Upaya manusia untuk meraih kesuksesan dengan

mengikuti petunjuk akan diuji oleh Allah SWT dengan cobaan. Manusia tidak

dibiarkan mengklaim dirinya sebagai orang beriman tanpa diuji sebelumnya.

Allah SWT berfirman tentang hal ini dalam Surat al-‘Ankabût/29 ayat 2:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”

Bahkan para nabi dan rasul pun menerima ujian dari Allah SWT. Ibn

al-Jauzî mengatakan,” Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya tidak

2

Yûsuf al-Qardawî, Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), h. 14.

3


(15)

akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa

para nabi dan orang-orang pilihan.”4 Nabi Adam A.S. diuji oleh Allah SWT

hingga dikeluarkan dari surga, nabi Nuh A.S. diuji kesabarannya dengan

berdakwah selama tiga ratus tahun, dan nabi Ibrahim A.S. diuji dengan bara api

dan penyembelihan putranya sendiri. Allah SWT berfirman tentang beratnya

cobaan bagi para nabi di dalam Surat al-Baqarah/2:214 sebagai berikut:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal

belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Bangsa Indonesia pun mengalami ujian yang datang silih berganti. Salah

satu kejadian yang meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi bangsa ini

adalah peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Kejadian

tersebut telah meluluhlantakkan provinsi Aceh dan sekitarnya dengan kerugian

yang mencapai 4.5 Milyar Dolar Amerika dan ratusan ribu nyawa melayang.5

Peristiwa besar lain yang belum lama terjadi adalah bobolnya tanggul Situ


(16)

Gintung di kecamatan Ciputat menjelang Subuh hari Jumat tanggal 27 Maret

2009.6

Setiap manusia merasakan kepedihan atas terjadinya musibah yang

merenggut kesenangan hidup tersebut. Tetapi manusia menghadapi musibah yang

menimpanya dengan sikap yang berbeda-beda. Sikap manusia terhadap musibah

dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, kelompok yang menganggap

musibah sebagai bagian dari warna kehidupan yang harus diterima. Mereka

meyakini setiap orang akan mengalami musibah dan mereka tidak larut dalam

kesedihan dan melanjutkan hidupnya seperti biasa. Kedua, kelompok yang

menganggap musibah sebagai akibat dari perbuatan orang lain terhadap dirinya.

Sikap ini dapat menciptakan pribadi yang pendendam, cenderung menyalahkan

orang lain dan akan membawa kerugian bagi yang bersangkutan. Ketiga,

kelompok yang menyalahkan dan mempertanyakan keadilan Tuhan Sang

Pencipta. Kelompok ini mengakui bahwa musibah adalah kehendak Sang

Pencipta. Tetapi, pada saat yang sama, mereka merasa tidak layak untuk ditimpa

musibah tersebut. Sikap semacam ini dapat membawa manusia kepada kekufuran.

Pada umumnya, semakin besar kehilangan yang dirasakan semakin sulit bagi

manusia untuk dapat menerimanya.

Berdasarkan uraian di atas, alasan penulis memilih topik musibah dalam

penelitian ini adalah pertama, karena musibah sebagai sebuah ujian dari Allah

SWT selalu menghiasi kehidupan manusia. Terlebih, sejak beberapa tahun

terakhir banyak musibah yang terjadi di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di

atas. Kedua, kebanyakan manusia tidak mengetahui atau lupa tentang hakikat

6


(17)

musibah. Hal ini tampak dari sikap negatif kebanyakan manusia ketika ditimpa

musibah yang menjadikan hidup mereka menjadi terasa semakin sempit. Oleh

karena itu penulis ingin mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang musibah

menurut al-Qur’an. Pemahaman yang benar tentang hakikat musibah diharapkan

dapat membantu melahirkan sikap dan perilaku yang benar ketika musibah

menimpa.

Allah Mahakuasa atas hidup manusia. Tidak ada yang berlaku di muka bumi

ini kecuali atas kehendak-Nya, termasuk di dalamnya musibah yang menimpa

seseorang di belahan manapun di dunia ini. Allah SWT sebagai pencipta manusia

mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Rahmat dan kasih sayang Allah SWT

jauh lebih banyak dari ujian yang diberikan. Semua peristiwa yang terjadi adalah

atas kehendak Allah SWT dan sudah ditulis di dalam kitab di al-Lauh al-mahfuz.

Hal ini telah dinyatakan Allah SWT dalam Surat al-Hadîd ayat 22-23 sebagai

berikut:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauh al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”


(18)

yang menimpa manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT dan ditulis di dalam

kitab di al-Lauh al-Mahfuz. Selanjutnya ayat tersebut menyatakan bahwa

semestinya manusia tidak putus asa apabila ditimpa musibah dan sebaliknya

semestinya manusia tidak terlalu bergembira dan menjadi lupa diri ketika meraih

prestasi dalam hidupnya. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat lain yang

berbicara tentang musibah, tetapi Surat al-Hadîd ayat 22-23 di atas secara tegas

menerangkan tentang hakikat musibah. Sedangkan ayat-ayat lain menjelaskan

aspek-aspek lain dari musibah, di antaranya Surat al-Hajj ayat 11 menjelaskan

tentang sikap manusia ketika ditimpa musibah.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”

Dengan alasan di atas penulis memilih Surat al-Hadîd ayat 22-23 untuk

memahami lebih jauh hakikat musibah. Penelitian terhadap kedua ayat tersebut

akan mengacu kepada kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan kitab

Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Ibn Katsîr.

Kedua kitab tafsir tersebut dipilih dengan alasan keduanya mewakili periode

dan metode penafsiran yang berbeda. Karya Sayyid Qutb dipilih dan didahulukan

dalam pembahasan karena karya ini termasuk dalam kategori tafsir periode


(19)

penafsirannya lebih sesuai dengan kehidupan masa kini. Tafsir Sayyid Qutb kaya

dengan pemikiran sosial kemasyarakatan dan mengkaji masalah-masalah sosial

serta memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat. Sementara karya Ibn Katsîr

dipilih untuk mewakili tafsir periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tafsir

ini menyajikan penafsiran berdasarkan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya.

Tafsir Ibn Katsîr lebih dipilih daripada kitab klasik yang lain karena kitab ini

adalah salah satu kitab tafsir klasik bi al-ma’tsur yang masyhur dan telah diakui

kualitasnya. Dengan menggunakan dua kitab tersebut diharapkan dapat diperoleh

pemahaman yang lebih komprehensif tentang hakikat musibah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian tentang hakikat musibah dalam al-Qur’an ini akan dibatasi

dengan meneliti ayat al-Qur’an Surat al-Hadîd ayat 22-23. Penelitian tentang

makna ayat-ayat tersebut akan dibatasi dengan memilih dua buah kitab tafsir.

Kitab Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili karya tafsir

modern, sementara kitab Tafsîr Al-Qur’ân ‘Azîm karya Imâm Dîn abî

al-Fida’ Ismâ’îl bin Katsîr yang lebih dikenal dengan nama Ibn Katsîr dipilih

mewakili karya tafsir klasik. Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan,

permasalahan yang akan dibahas dirumuskan dengan pertanyaan berikut:

Bagaimana Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang musibah yang ada dalam Surat al-Hadîdayat 22-23 ?

C. Kajian Pustaka


(20)

yang membahas tentang musibah dalam al-Qur’an. Penulis menemukan sebuah

skripsi yang berjudul “Musibah Menurut Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 155-157”

karya Layli, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah tahun 2003. Skripsi tersebut lebih banyak membahas tentang

bentuk-bentuk musibah sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an

yang menjadi topik utama penelitian, dan janji Allah SWT bagi mereka yang sabar

menghadapi musibah. Demikian juga karya-karya lain seperti karya Muhammad

al-Manjibi al-Hanbali yang berjudul “Menghadapi Musibah Kematian”, lebih

banyak membahas tentang musibah kematian secara khusus.

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

penelitian ini menfokuskan penelitian pada Surat al-Hadîd ayat 22-23 dan

membahas tentang hakikat musibah dengan membandingkan penafsiran tokoh

pergerakan Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb, dan seorang ulama tafsir klasik, Ibn

Katsîr. Sementara penelitian sebelumnya mengangkat Surat al-Baqarah ayat

155-157 yang membahas tentang macam-macam musibah dan tidak menfokuskan

penelitian pada tafsir tertentu.

D. Tujuan Penelitian

Diharapkan, dengan penelitian ini dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai

berikut:

• Memahami makna musibah.

• Mengetahui sikap yang benar dalam menghadapi musibah

• Mengetahui pengaruh positif penyikapan yang benar terhadap musibah

dalam kehidupan seorang muslim.


(21)

Selain itu, secara akademik, penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi

sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata I.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dengan metode

kajian pustaka menggunakan kitab tafsir, buku, majalah, jurnal dan artikel yang

relevan dengan tema pembahasan. Adapun sumber data primer untuk penelitian

ini adalah al-Qur’an, baik berupa mushaf maupun perangkat lunak (software)

komputer, kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan Tafsîr Al-Qur’ân

al-‘Azîm karya Ibn Katsîr, dan hadis nabi SAW, baik berupa kitab maupun perangkat lunak (software) komputer. Sedangkan sumber data sekunder yang

digunakan antara lain adalah buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang

al-Qur’an, buku-buku Islam yang membahas tentang musibah, dan sumber-sumber

lain yang relevan dengan topik pembahasan.

Pengolahan data akan dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Metode

deskriptif digunakan untuk menggambarkan data terpilih yang relevan secara

obyektif dan apa adanya. Selanjutnya metode analitis dipakai untuk menganalisis

secara kritis data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan realita yang ada

untuk dapat memberikan jawaban kepada permasalahan yang dibahas.

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Hamid Nasuhi dkk. dan

diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada


(22)

F. Sistematika Penulisan

Supaya penelitian lebih terarah dan hasilnya dapat dengan mudah dipahami

oleh para pembaca, penulisan skripsi ini dilakukan dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II menerangkan tentang dua orang mufassir, yaitu Sayyid Qutb dan Ibn

Katsîr, yang karyanya dijadikan acuan dalam penelitian ini dan meliputi biografi,

pemikiran dan karya-karya yang dihasilkan, metode serta corak tafsir yang

digunakan, dan perbandingan antara tafsir Sayyid Qutb dan tafsir Ibn Katsîr.

Bab III membahas tentang pengertian musibah, macam-macam musibah dan

pendapat para ulama tentang musibah.

Bab IV secara rinci membahas surat al-Hadîd ayat 22-23 dengan

membandingkan pendapat Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang definisi musibah,

kehendak Allah dalam kehidupan manusia dan pengaruh keimanan dalam

menghadapi musibah.

Bab V merupakan Penutup yang berisi kesimpulan yang didapat dari

pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan pada perumusan masalah


(23)

(24)

BAB II

DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB

DAN IBN KATSÎR

A. Deskripsi Tentang Sayyid Qutb 1. Biografi Sayyid Qutb

Sayyid Qutb mempunyai nama lengkap Sayyid Qutb Ibrâhîm Husain Syadzili. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Mausyah, sebuah wilayah di Provinsi Asyut, di dataran tinggi Mesir.1

Kakek keenam beliau, Abdullah, berasal dari India. Abdullah menetap di Mausyah setelah selesai melaksanakan ibadah haji di Mekah dan merasa takjub dengan pemandangan dan kesuburannya. Ayah Sayyid Qutb adalah orang terpandang dengan status sosial yang tinggi di lingkungannya.

Sayyid Qutb menempuh pendidikan dasar di desanya. Sayyid menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 10 tahun.2 Setelah Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919 Sayyid pindah ke Kairo dan tinggal di rumah pamannya, Ahmad Husain ‘Utsmân. Melalui pamannya inilah Sayyid berkenalan dengan seorang sastrawan besar, ‘Abbas Mahmûd al-‘Aqqâd. Sayyid banyak mempelajari berbagai hal melalui perpustakaan yang dimiliki al-‘Aqqâd disamping berdiskusi dengannya. Selain itu, Sayyid dikenalkan

1

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Intermedia, 2001), Cet. Ke-1, h. 23.

2

Republika, “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”, Republika Online, artikel diakses pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910


(25)

pula dengan Partai Wafd.3 Di kemudian hari Sayyid keluar dari Partai Wafd

karena menganggap partai tersebut memihak kepada pemerintah Inggris dan bergabung dengan Partai Sa’diyyin selama dua tahun sebelum mengundurkan diri dari politik praktis secara total.

Pada tahun 1930, Sayyid menjadi mahasiswa di Institut Darul Ulum dan meraih gelar Lc. dalam bidang sastra dan Diploma dalam bidang pendidikan pada tahun 1933. Selama menjadi mahasiswa Sayyid terlibat dalam kegiatan sastra, politik dan pemikiran melalui sejumlah penerbitan dan forum-forum diskusi.4

Setelah lulus, Sayyid bekerja di Departemen Pendidikan sebagai pengajar selama enam tahun kemudian sebagai pengawas selama delapan tahun. Pada tahun 1948 Departemen Pendidikan mengirimkan Sayyid ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikannya. Sayyid tinggal di Amerika selama dua setengah tahun untuk belajar di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan. Sayyid kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pengawas pendidikan karena tidak cocok dengan kebijakan pemerintah Mesir yang dianggapnya terlalu menuruti kemauan pemerintah Inggris.

Pengalaman hidupnya di Amerika Serikat telah membuka mata Sayyid akan kekurangan peradaban barat yang maju di bidang teknologi. Pada saat yang sama Sayyid mulai tertarik dengan pemikiran Hasan Al-Bana dan Abul


(26)

A’la Maududi dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sejak itu Sayyid mulai memasukkan nilai-nilai Islam dalam karyanya.

Ketika Ikhwanul Muslimin menentang kebijakan pemerintah pada awal tahun 1954, Sayyid termasuk yang ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama lima belas tahun. Atas desakan pemimpin Irak, Abd al-Salam Arif, Sayyid dibebaskan setelah sepuluh tahun mendekam di penjara. Namun pada tahun 1965, Sayyid kembali ditangkap atas tuduhan makar terhadap pemerintah dan dijatuhi hukuman mati. Sayyid menolak mengakui kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya untuk kemudian mendapatkan ampunan dari penguasa. Beliau mengatakan:”Sesungguhnya jari telunjuk yang tunduk kepada Allah SWT dengan menunjukkan keesaan-Nya dalam shalat sudah pasti menolak untuk menuliskan satu huruf pun untuk mengakui kekuasaan tiran.”5 Pada tanggal 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb menjalani eksekusi hukuman gantung bersama al-‘Abd al-Fattâh Ismaîl dan Muhammad Yûsuf Hawwâsy.

2. Pemikiran dan karya-karya Sayyid Qutb

Merujuk kepada pendapat Abu al-Hasan al-Nadawi dan Al-Khalidi, fase pemikiran dan kehidupan Sayyid dapat dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Fase tradisi keislaman di rumah dan di desa.

2. Fase kebimbangan hakikat agama yang terjadi setelah Sayyid pindah ke Kairo dan terlepas dari tradisi-tradisi keislaman di kampung halaman.

5


(27)

3. Fase keislaman bernuansa seni.

4. Fase keislaman umum. Pada fase ini Sayyid tertarik kepada konsep keadilan dan reformasi sosial dalam Islam dan relevan dengan situasi Mesir pada saat itu.

5. Fase keislaman terorganisasi dan haraki. Pada fase ini Sayyid bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sekembalinya dari Amerika Serikat hingga pertentangannya dengan pemerintah Mesir yang berakhir dengan hukuman mati bagi Sayyid.6

Sayyid merupakan seorang pemikir yang produktif menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Diantara karyanya adalah sebagai berikut.7

1. Bidang Sastra

a. Muhimmat al-Sya‘îr fî al-Hayah wa Syi‘r al-Jil al-Hadhir (Peran Penyair dalam Kehidupan dan Syair Generasi Kontemporer, diterbitkan tahun 1933)

b. Al-Syathi’ al-Majhul (Pantai yang Tak Dikenal, sebuah kumpulan sajak, diterbitkan tahun 1935)

c. Naqd Kitab “Mustaqbâl al-Tsaqafah fî Mishr” li al-Duktur Taha Husain (Kritik Buku: Masa Depan Budaya di Mesir karya Dr. Taha Husain, diterbitkan tahun 1939)


(28)

d. Al-Atyâf al-Arba‘ah (Empat Jiwa, sebuah karya bersama dengan saudara-saudaranya; Aminah, Muhammad dan Hamidah, diterbitkan tahun 1945)

e. Tifl min al-Qaryah (Anak dari Desa, berisi gambaran tentang desanya dan catatan masa kecilnya di desa, diterbitkan tahun 1946)

f. Al-Madînah al-Mansurat (Kota yang Indah, sebuah buku cerita fiksi seperti cerita Seribu Satu Malam, diterbitkan tahun 1946) g. Raudat al-Tifl (Taman Anak)

h. Asywak (Duri-Duri, diterbitkan tahun 1947)

i. Al-Jadîd fî al-Lughah al-‘Arabiyah (Yang Baru dalam Bahasa Arab)

j. Al-Jadîd fî al-Mahfûzhât (Yang Baru dalam Mahfudzat)

k. Kutub wa al-Syakhsyiyah (Buku dan Pengarangnya, sebuah studi Sayyid terhadap karya-karya pengarang lain, diterbitkan tahun 1946)

2. Bidang Keislaman Umum

a. Al-Qasas al-Dînî (Kisah-Kisah Agama, disusun bersama Aminah al-Sa’id dan Yusuf Murad, diterbitkan dalam dua edisi)

b. Al-Taswîr al-Fanni fî al-Qur’ân (Ilustrasi Artistik dalam Al-Qur’an, merupakan buku keislaman yang pertama, diterbitkan tahun 1945)

c. Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur’ân (Bukti-Bukti Kiamat dalam Al-Qur’an, diterbitkan tahun 1947)


(29)

d. Al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Islâm (Keadilan Sosial dalam Islam, buku pertama dalam pemikiran Islam, diterbitkan tahun 1949)

e. Ma’rakat al-Islâm wa al-Ra’s al-Maliyah (Perang antara Islam dan Kapitalisme, diterbitkan tahun 1951)

f. Al-Salâm al-‘alami wa al-Islâm (Perdamaian Dunia dan Islam, diterbitkan tahun 1951)

3. Bidang Pergerakan Islam

a. Fî Zilâl al-Qur'ân (Di Bawah Naungan Al-Qur’an, cetakan pertama juz pertama, 1952)

b. Dirâsat Islâmiyah (Studi Islam, berisi kumpulan berbagai artikel, dihimpun oleh Muhib al-Din al-Khatib, diterbitkan tahun 1953) c. Al-Mustaqbâl lî Hâdzâ al-Dîn (Masa Depan di Tangan Islam,

penyempurnaan dari Hâdzâ al-Dîn, diterbitkan setelah tahun 1954)

d. Al-Islâm wa Musykilât al-Hadhârah (Islam dan Problematika Peradaban, diterbitkan setelah tahun 1954)

e. Khasâis al-Tasawwûr al-Islâm wa Muqawwimâtuhu

(Karakteristik Islam dan Pilar-Pilarnya, diterbitkan tahun 1960) f. Ma‘âlim fî al-Tarîq (Petunjuk Jalan, berisi ringkasan pemikiran

Sayyid yang menyebabkan penulisnya dijatuhi hukuman gantung, diterbitkan tahun 1964)


(30)

Penulisan tafsir Fî Zilâl al-Qur'ân dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan politik Mesir setelah Perang Dunia ke-2 dan terjadinya kudeta militer tahun 1952 serta perubahan fase pemikiran Sayyid Qutb. Penulisan tafsir ini dapat dibagi menjadi beberapa tahap sesuai dengan perkembangan kondisi sosial politik saat itu yang mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb.8

Pertama, Penulisan Zilâl dalam Majalah Al-Muslimun. Penulisan ini adalah atas permintaan pemilik majalah, yaitu Sa’id Ramadhan kepada Sayyid Qutb untuk menulis artikel bulanan dalam sebuah rubrik pada majalah tersebut. Sayyid menamakan rubrik tersebut Fî Zilâl al-Qur'ân dan menulis tafsir Qur’an selama tujuh episode dari Surat Fâtihah/1 hingga Surat al-Baqarah/2:103. Kedua, Penulisan Zilâl sebelum Sayyid masuk penjara. Setelah penerbitan dalam majalah sejumlah tujuh episode, Sayyid memutuskan untuk menerbitkan Zilâl secara utuh dalam bentuk kitab tafsir dan diluncurkan secara berkesinambungan juz demi juz. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah hingga juz ke-16. Ketiga, Penulisan

Zilâl ketika Sayyid dalam penjara. Selama di dalam penjara, Sayyid menyelesaikan penulisan tafsir sampai dengan juz 27, yaitu juz tujuh belas dan delapan belas pada masa penahanan pertama selama empat bulan dan juz-juz berikutnya pada masa penahanan kedua selama sepuluh tahun.

Kesempatan merenung yang cukup lama dan siksaan yang berat selama masa penahanan kedua mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb, termasuk pendekatan beliau dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini mempengaruhi penafsiran beliau pada tahap berikutnya yang dimulai pada juz 28 sampai

8


(31)

dengan 30 dan penafsiran ulang juz satu hingga tigabelas. Sayyid Qutb tidak dapat melakukan penulisan ulang juz empat belas hingga 27 karena menjalani eksekusi hukuman mati.

Bagi Sayyid Qutb, menulis tafsir bukan bertujuan untuk berkhidmat kepada ilmu tafsir itu sendiri, seperti yang dinyatakan al-Syaukani, penulis tafsir Fath al-Qadîr, ataupun Sayikh al-Maraghi.9 Tetapi beliau bermaksud menjadikan tafsir beliau sebagai sarana untuk mendekatkan ummat Islam kepada al-Qur’an dan mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan ummat. Tentang hal ini beliau mengatakan sebagai berikut.

”Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zilâl jangan sampai Zilâl ini yang menjadi tujuan mereka, akan tetapi hendaklah mereka membaca Zilâl agar bisa dekat kepada al-Qur’an. Selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara hakiki dan membuang Zilâl ini. Mereka tidak akan bisa mengambilnya secara hakiki kecuali jika mereka menjadikan seluruh kehidupan mereka untuk mewujudkan kandungan-kandungannya dan juga untuk berperang melawan kejahiliyahan dengan nama al-Qur’an dan di bawah benderanya.”10

3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb

Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahliliy11, yaitu sebuah metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an

9

al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 122. 10

al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 128. 11

Dr. Abd al-Hayy membagi metode penafsiran menjadi empat: 1. al-Ijmali (global) yaitu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 2.

Tahliliy (Analisis) yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menyampaikan semua aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir. 3. Muqarin (komparatif) yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat


(32)

meliputi seluruh aspeknya, yaitu aspek bahasa, kosakata, makna global, munasabah (korelasi) ayat, asbab al-nuzûl dilengkapi dengan sunnah Nabi SAW, pendapat sahabat, tabi’in dan pendapat mufasir sendiri.

Keunikan tafsir Sayyid Qutb terletak pada corak tafsirnya yang dipengaruhi oleh latar belakang beliau sebagai sastrawan, keadaan masyarakat Mesir pada waktu itu dan keterlibatan beliau dalam Ikhwanul Muslimin. Kepakaran Sayyid di bidang sastra membuat bahasa yang digunakan dalam tafsirnya menjadi indah dilengkapi dengan penggambaran yang terasa hidup dan nyata. Keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat saat itu mendorongnya untuk menulis tafsir ijtima’i sebagai solusi bagi permasalahan masyarakat. Sedangkan keterlibatannya dalam Ikhwanul Muslimin dan pertentangannya dengan kebijakan pemerintah Mesir pada saat itu membuatnya menuliskan tafsir bernafaskan haraky atau pergerakan. Dengan demikian, tafsir Sayyid Qutb dapat disebut sebagai tafsir tahlily

yang bercorak adabi ijtima’iharaky.

Dalam menuliskan tafsirnya Sayyid Qutb menggunakan pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran sebagai rujukan utama. Adapun sumber-sumber rujukan lain yang bersifat sekunder meliputi kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur (tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Thabari, tafsir al-Tsa’labi, tafsir al-Baghawi, tafsir al-Qurtubi, dll.), kitab-kitab sirah karya Ibn Hisyam, al-Maqrizi, Ibn Hazm, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah umat Islam dan dunia Islam masa kini, buku-buku ilmiah, kelimuan Islam,

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadis, maupun pemikiran rasional. Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, Bidâyah fî Tafsîr Al-Maudhu’iy (Kairo:Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977), Cet.II, h. 23.


(33)

pengetahuan dan pengalaman pribadi serta pemikiran yang bersumber dari jamaah Ikhwanul Muslimin.12

B. Deskripsi Tentang Ibn Katsîr 1. Biografi Ibn Katsîr

Ibn Katsîr dilahirkan di Bashra pada tahun 700 H (1300 M) dengan nama lengkap Imâduddîn Abu al-Fida’ Ismâîl bin ‘amir bin Katsîr. Beliau wafat di Damaskus pada tahun 774 H. Beliau dikenal sebagai ahli tafsir, hadis, sejarah dan fiqh.13 Keluarga Ibn Katsîr merupakan keluarga terhormat di masanya. Ayahnya, Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr Ibn Dhaw’ Ibn Zara’ al-Quraisy adalah seorang ulama terkemuka.

Setelah orang tuanya wafat, dalam usia tujuh tahun Ibn Katsîr pergi ke Damaskus bersama sudaranya untuk menimba ilmu.14 Pesatnya kemajuan pusat-pusat studi Islam di bawah pemerintah dinasti Mamaluk pada masa tersebut menguntungkan Ibn Katsîr yang sedang menuntut ilmu. Banyak ulama ternama yang menjadi tempat beliau berguru.15 Guru utama Ibn Katsîr adalah Bahrudin al-Farazi (660-729 H) dan Kamal al-Din Ibn Qadi Syuhbah. Dari keduanya beliau mempelajari ilmu fiqih dengan menelaah kitab al-Tanbih karya al-Syirazi dan Mukhtashar Ibn Hajib hingga menjadi ahli fiqih yang menjadi rujukan para penguasa dalam persoalan hukum.16

12

al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 182. 13

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), h. 242.

14


(34)

Kemudian beliau berada dalam bimbingan Ibn Taimiyah (wafat 728 H). Ibn Katsîr menyelesaikan hafalan al-Qur’an pada usia sebelas tahun dan memperdalam qira’at dan studi tafsir dari Ibn Taimiyyah.

Ibn Katsîr berguru hadis kepada para ulama Hijaz dan mendapatkan ijazah dari al-Wani. Beliau menghafal 100.000 hadits dan mendapat gelar al-Hafîz.17

Ibn Katsîr juga mendapat sebutan al-Mu’arrikh karena kepakarannya dalam bidang sejarah. Guru beliau dalam bidang ini adalah Al-Hafîz al-Birzali (w.739 H), seorang sejarawan dari kota Syam. Kitab sejarah al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibn Katsîr banyak merujuk kepada karya gurunya tersebut.18

Imam al-Dzahabi menilai Ibn Katsîr sebagai “Imam, mufti, dan pakar hadis. Spesialis fiqih, ahli hadis yang cermat dan mufassir yang kritis.” Setelah al-Dzahabi wafat, Ibn Katsîr menggantikannya sebagai syaikh di Um Shaleh. Beliau juga memimpin Dar Hadits Syarafiyyah setelah al-Subki meninggal dunia.19

2. Pemikiran dan karya-karya Ibn Katsîr

Ibn Katsîr memandang perbedaan para ulama dalam penafsiran al Qur’an bukanlah perbedaan prinsipil dan masih menyisakan banyak persamaan sehingga dapat dikompromikan. Kitab tafsir yang disusun oleh belaiu merangkum dan mengkompromikan banyak pendapat ahli tafsir. Tentang sikap kompromi ini beliau menyatakan sebagai berikut.

17

Muhammad Ajjaj al-Khatib, UUsul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), h. 448.

18

Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIV, h.148. 19


(35)

”Memang sering dijumpai perbedaan pengungkapan dalam banyak pernyataan mereka. Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan yang prinsipil. Mereka yang tidak memahami berkesimpulan tentang adanya perbedaan. Kemudian menyatakan perbedaan-perbedaan tersebut dan mengesankannya sebagai pendapat-pendapat yang berbeda. Padahal kesemua pendapat tersebut memiliki kesamaan dalam banyak hal. Namun kesamaan yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mampu memahami.”20

Beliau juga berpendapat bahwa penafsiran bi al-ra’yi dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai disiplin ilmu bahasa dan syariat dan melarang mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan tentang tafsir.21

Pemikiran beliau di bidang tafsir telah menempatkan karya tafsirnya sebagai salah satu tafsir terbaik yang menjadi rujukan banyak ulama sesudahnya.

Ibn Katsîr dikenal tidak hanya sebagai ahli tafsir, tetapi juga sebagai ahli hadis, fiqh dan sejarah. Karena itu, karya-karya beliau pun cukup beragam. Diantaranya adalah:

1. Bidang Al-Qur’an.

a. Fadhâ’il al-Qur’ân (Keutamaan al-Qur’an, berisi ringkasan sejarah al-Qur’an, banyak dipengaruhi kitab Siyasah al-Syari’ah karya Ibn Taimiyah)

b. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm (lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn Katsîr, diterbitkan pertama kali di Kairo pada tahun 1342 H atau 1923 M).


(36)

a. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan22 yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H, sejarah dalam kitab ini dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian Muhammad SAW. dan kedua, sejarah Islam mulai dari periode Nabi SAW. di Makkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian. Kitab ini terdiri dari 14 jilid)

b. Al-Fusulât fî Sirât al-Rasul (Sirah Nabi) c. Tabaqât al-Syafî ‘iyah

d. Manâqib al-Imâm al-Syafî‘i. 3. Bidang Fiqih

a. Al-Ijtihâd bi Talab al-Jihâd (ditulis untuk menggelorakan semangat jihad mempertahankan pantai Libanon dari serbuan Raja Franks dari Ciprus, ditulis tahun 1368-1369 M)

b. Kitab Ahkâm (Kitab Hukum, berisi hukum-hukum fikih) c. Al-Ahkâm ‘ala Abwab al-Tanbîh.

4. Bidang Hadis

a. Al-Takmîl fî Ma‘rifat al-Tsiqah wa al-Du‘afa’ wa al-Majâhil

(Pelengkap Mengenal Perawi Tsiqah, Lemah dan Kurang Dipercaya, berisi riwayat perawi hadis, terdiri dari lima jilid)

22

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2006), cet. Ke-5, h. 528.


(37)

b. Jami‘ al-Masânid wa al-Sunan (Kumpulan Musnad dan Sunan, berisi nama para sahabat yang meriwayatkan hadis dalam musnad Imam Hanbali, terdiri dari delapan jilid)

c. Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîts

d. Takhrij ahâdîts adillah al-Tanbîh li ‘ulûm al-Hadîts

e. Syarah Shahih Bukhari (dilanjutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani).

Karakteristik tafsir Ibn Katsîr adalah adanya rangkuman pendapat yang luas dari para mufassir terdahulu dan usaha beliau untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang kelihatan berbeda. Apabila tidak mungkin untuk digabung, maka beliau akan melakukan tarjih diantara pendapat-pendapat tersebut. Oleh karena itu tafsir ini diletakkan sebagai tafsir terbaik kedua setelah tafsir al-Thabari.23 Kelebihan lain dari tafsir Ibn Katsîr adalah sikap kritis beliau terhadap riwayat dan cerita israiliyat sehingga disebut sebagai pengguna cerita israiliyat terbaik.24

3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr

Seperti halnya Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menggunakan metode tahliliy25

dalam menafsirkan al-Qur’an. Tafsir Ibn Katsîr termasuk jenis tafsir bi al-ma’tsur, dengan urutan prioritas rujukan penafsiran sebagai berikut:26

1. Penafsiran sebuah ayat dengan ayat yang lain, sebab banyak ayat al-Qur’an yang bersifat umum dijelaskan secara lebih rinci dalam ayat


(38)

yang lain.

2. Apabila tidak dijumpai penjelasan dari ayat lain, maka dilakukan penafsiran dengan hadits nabi SAW. Dalam hal ini beliau mengutip pendapat imam syafi‘i yang mengatakan: “Setiap hukum yang ditetapkan rasulullah SAW merupakan hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an.”27

3. Apabila tidak ditemukan penjelasan dari kedua sumber di atas, maka penafsiran merujuk kepada pendapat para sahabat nabi SAW. Hal ini karena para sahabat menyaksikan secara langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat serta kualitas mereka dari sisi pemahaman, keilmuan dan amal shaleh. Diantara mereka yang terkenal adalah empat khalifah pertama, ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd, dan ‘Abd Allâh Ibn ‘Abbâs.

4. Rujukan selanjutnya adalah pendapat para tabi’in yang mendapatkan informasi langsung dari para sahabat nabi SAW, seperti Mujâhid bin Jabr, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, Atha’ bin Rabbah, Hasan al-Basri, Sa’id bin al-Musayyab, Rabi’ bin Anas dan Dahhak bin Muzahim.

C. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Tafsir Ibn Katsîr

Setelah melakukan kajian terhadap kedua tafsir di atas, yaitu tafsir Fî Zilâl al-Qur'ân dan Ibn Katsîr akan terlihat perbedaan antara keduanya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang, lingkungan dan kondisi saat itu. Tafsir Sayyid Qutb merupakan tafsir kontemporer yang aktual dengan pendekatan sosial kemasyarakatan sehingga membahas dan

27


(39)

memberikan solusi secara langsung atas problematika umat. Kitab tafsir ini mewakili pemikiran Jamaah Ikhwanul Muslimin dalam memahami al-Qur’an sebagai petunjuk yang harus diimplementasikan dalam kehidupan. Dalam tafsir Sayyid Qutb ini tidak banyak terdapat pengulangan pendapat ulama tafsir sebelumnya. Hal ini membuatnya menjadi tidak selengkap tafsir Ibn Katsîr.

Tafsir Ibn Katsîr merupakan yang terbaik di antara tafsir yang ada pada zaman ini karena mengandung beberapa keistimewaan yang nyaris tidak dimiliki oleh tafsir lainnya. Di antara keistimewaan itu adalah ia merupakan penafsiran al-Qur’an dengan al-al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat ulama salaf , dan berpegang teguh pada semantik bahasa Arab. Tafsir Ibn Katsîr

tidak mengandung permusuhan diskusi, golongan, dan mazhab. Ibn Katsîr memilih kebenaran dan membelanya pada siapa saja kebenaran itu berada. Dia mengajak kepada persatuan dan menjauhkan perpecahan. Tafsir ini banyak memuat pendapat ulama tafsir terdahulu dan mencoba menyatukan perbedaannya. Walaupun demikian tafsir ini tidak terlepas dari hal-hal yang mengeruhkan dalam mengkaji kejernihannya. Di antara yang mengeruhkan itu ialah adanya hadis da‘if, pengulangan hadis sahih dan adanya cerita israiliyat.

Kedua mufassir mempunyai kelebihan masing-masing dalam menafsirkan al-Qur’an. Gaya bahasa dan pendekatan yang dipilih oleh Sayyid Qutb mempunyai kekuatan lebih untuk menyentuh hati pembaca. Sementara pendekatan Ibn Katsîr memberikan informasi yang lebih lengkap karena merangkum pendapat para ulama sebelumnya. Tetapi keluasan pendapat tersebut tidak dapat ditemukan di setiap kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasarnya.


(40)

yang akurat tentang karya seseorang perlu diambil data-data primer dari sumber-sumber rujukan yang asli, bukan versi mukhtasar atau ringkasan, baik dalam bahasa asli (dalam hal ini bahasa Arab) maupun bahasa terjemahan. Untuk mengetahui lebih lanjut lingkup pengurangan yang dilakukan oleh versi ringkasan terhadap versi lengkap pada penafsiran sebuah ayat, perlu dilakukan perbandingan secara langsung penafsiran yang terdapat pada naskah lengkap dan naskah ringkasannya. Namun demikian, versi ringkasan layak dibaca bagi pembaca yang tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin mendapatkan pemahaman dengan mudah. Keberadaan versi ringkasan edisi terjemahan telah membantu memudahkan masyarakat untuk memahami al-Qur’an dengan lebih mudah.


(41)

BAB III

MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

A. Pengertian Musibah

Dalam bahasa Indonesia kata “musibah” diartikan sebagai malapetaka atau

bencana, yaitu segala kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa

manusia, seperti gempa, banjir, kebakaran dan lain-lainnya. Peristiwa-peristiwa

tersebut pada umumnya menimbulkan kerugian berupa harta benda maupun jiwa

manusia.1 Sedangkan dalam bahasa Arab kata musîbah (

ﺔ ﻴ

) berasal dari kata

dasar yang terdiri dari huruf sad, wau dan ba’;

بﻮ

(sawaba) yang mempunyai

makna

ﺔﻴ ﺮﻟا

atau lemparan.2 Salah satu derivasi bentuk dan makna dari kata

tersebut adalah kata

-

بﺎ ا

(asâba – yusîbu) yang berarti sesuatu yang

kedatangannya tidak disukai oleh manusia. Makna ini dapat dijumpai dalam hadis

berikut:

ﻦﺑ

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﺪ ﻋ

ﻦﺑ

ﷲا

ﺪ ﻋ

ﻦﺑ

ﺪﻤ

ﻦﻋ

ﻚﻟﺎ

ﺎ ﺮ ﺧأ

ﺳﻮ

ﻦﺑ

ﷲا

ﺪ ﻋ

ﺎ ﺛﺪﺣ

ةﺮ ﺮه

ﺎﺑأ

ﺖ ﻤﺳ

لﻮ

بﺎ ﻟا

ﺎﺑأ

رﺎﺴ

ﻦﺑ

ﺪﻴ ﺳ

ﺖ ﻤﺳ

لﺎ

ﻪ أ

ﺑأ

لﻮ

:

ﷲا

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎ

ﻢ ﺳ

و

ﻪﻴ

:

ﷲا

دﺮ

اﺮﻴﺧ

ﻪﺑ

“Mengabarkan kepada kami ‘Abd Allâh bin Yûsuf mengabarkan kepada kami Mâlik dan Muhammad bin ‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Rahman bin Abiy Sa‘sa‘ah sesungguhnya dia berkata aku mendengar Sa‘id bin Yasâr Abu al-Hubâb berkata aku mendengar Abu Hurairah berkata,”Berkata Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk mendapat


(42)

Kata

dalam hadis tersebut diartikan Ibn Manzur sebagai sesuatu

yang turunnya atau kedatangannya tidak disukai oleh manusia.4 Imam Bukhâriy

dalam Sahihnya menjelaskan lebih lanjut bahwa sesuatu yang akan ditimpakan

kepada manusia (musibah) bertujuan mensucikannya dari dosa agar kelak

berjumpa kepada Allah dalam keadaan suci.

Menurut Ahsin W. Al-Hafidz, kata musibah di dalam al-Qur’an disebut

sebanyak sepuluh kali5, yaitu:

1. Surat al-Baqarah/2:155-156. Allah SWT menyebutkan berbagai macam

musibah yang akan ditimpakan kepada manusia sebagai ujian dalam

kehidupan di dunia,yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa

dan buah-buahan.

2. Surat Âli ‘Imrân/3:165. Allah SWT menggunakan kata musibah untuk

menggambarkan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud dan

kekalahan orang kafir Quraisy dalam perang Badar.

3. Surat al-Nisâ’/4:62. Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang

munafik sebagai sebuah musibah bagi mereka.

4. Surat al-Nisâ’/4:72 Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang yang

enggan untuk ikut berperang sebagai musibah bagi mereka.

5. Surat al-Mâ’idah/5:49. Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang

akan menimpa orang-orang yang berpaling dari hukum yang telah

ditetapkan Allah SWT.

6. Surat al-Taubah/9:50. Allah SWT menerangkan sikap orang-orang

3

Imam al-Bukhâriy, Sahîh al-Bukhâriy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hadis no. 5321.

4

Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Sâdir, tt), fashl ص, Juz 1, h. 536.

5


(43)

munafik yang bergembira apabila Rasulullah SAW tertimpa musibah.

7. Surat al-Qasas/28:47. Allah SWT menerangkan musibah yang menimpa

orang-orang kafir Quraisy yang membuat mereka menyesali

perbuatannya di dunia.

8. Surat al-Syûrâ /42:30. Allah SWT menerangkan bahwa musibah adalah

akibat dari perbuatan manusia sendiri.

9. Surat al-Hadîd/57:22. Allah SWT menyebutkan tentang hakekat

musibah.

10.Surat al-Taghabûn/64:11. Allah SWT menjelaskan bahwa musibah tidak

akan terjadi kecuali atas ijin Allah SWT.

Selain kata musibah, al-Qu’ran menggunakan kata

ءﻼﺑ

(balâ’),

باﺪﻋ

(‘adzâb) dan

ﺔ ﺘﻓ

(fitnah) untuk menyatakan bencana yang menimpa manusia.

Dalam hal ini kata

ﺔ ﺘﻓ

ditulis dengan huruf miring dan bertransliterasi untuk

membedakannya dengan kata “fitnah” yang ada dalam bahasa Indonesia dan

mempunyai makna berbeda. Kata “fitnah” dalam bahasa Indonesia berarti

menuduh dengan tidak benar.

Secara literal, al-balâ’ bermakna al-ikhtibâr (ujian). Di dalam al-Qur’an,

istilah balâ’ digunakan untuk menggambarkan ujian berupa kebaikan maupun

keburukan. Dalam kitab al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân dinyatakan, bahwa

balâ’ itu memiliki tiga makna, yaitu sebagai ni’mah (kenikmatan), sebagai ikhtibâr (cobaan atau ujian), dan sebagai makrûh (sesuatu yang tidak disenangi).6


(44)

Di dalam al-Qur’an, kata balâ’ disebutkan di enam tempat dengan makna yang

berbeda-beda, yaitu: Surat al-Baqarah/2:49, al-A‘râf/7:141, al-Anfâl/8:17,

Ibrâhîm/14: 6, al-Shaffât/37:106, dan al-Dukhân/44:33.

Balâ’ dengan makna ujian berupa keburukan terdapat di dalam Surat al-Baqarah/2:49 sebagai berikut ini:

⌧ ⌧

⌦ ⌧

“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kalian dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”

Balâ’ dalam ayat di atas adalah ujian terhadap Bani Israil yang berupa

penindasan Fir’aun dan pengikutnya yang membunuh setiap bayi laki-laki Bani

Israil dan membiarkan hidup bayi perempuan. Surat al-A‘râf/7:141 dan

Ibrâhîm/14: 6 menerangkan hal yang sama dengan redaksi yang mirip. Pada

ketiga ayat di atas, ujian terhadap Bani Israil disebut juga sebagai ‘adzâb.

Menurut Quraish Shihab, balâ’ dalam ketiga ayat tersebut juga dapat diartikan

sebagai ujian kebaikan, yaitu diselamatkannya nabi Musa A.S. dan pengikutnya

dari pengejaran Fir‘aun.7 Adapun balâ’ dalam konteks ujian berupa kebaikan

terdapat dalam Surat al-Anfâl/8:17.

7


(45)

.

“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (balâ’an hasanâ). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat di atas, kemenangan umat Islam pada peperangan Badar disebut

sebagai balâ’an hasanâ atau ujian berupa kebaikan atau anugerah. Kemenangan

umat Islam atas orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar menjadi ujian bagi

umat Islam. Keikhlasan para sahabat Rasulullah SAW dalam berjihad di jalan

Allah SWT diuji dengan harta dunia. Perselisihan terjadi diantara para sahabat

Rasulullah SAW tentang pembagian rampasan perang. Sebagian sahabat merasa

lebih berhak untuk mendapatkan rampasan perang daripada sahabat yang lain.

Para sahabat Rasulullah SAW akhirnya tunduk kepada ketentuan Allah SWT dan

Rasul-Nya yang disebutkan dalam Surat al-Anfâl/8. Surat al-Shâffât/37:106

menyebut ujian bagi nabi Ibrahim A.S. untuk menyembelih nabi Ismail A.S.

sebagai balâ’. Sedangkan Surat al-Dukhân/44:33 menyebut ni’mat yang diberikan

kepda bani Israil sebagai balâ’, yaitu ketika mereka diselamatkan Allah SWT dari

pengejaran Firaun.

Kata ‘adzâb secara literal berarti al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan dan

hukuman).8 Kata al-’adzâb biasanya digunakan dalam konteks hukuman atau

siksaan kelak di hari akhir.9 Hal ini dapat dilihat pada pada ayat-ayat di dalam


(46)

yang terdapat pada Surat al-Baqarah/2:7.10 Sedangkan kata fitnah di antaranya

seperti yang terdapat pada surat al-Anfal/8:25.11

Dengan demikian, musibah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang

menimpa manusia dengan bentuk yang bermacam-macam baik berupa bencana

atau malapetaka yang sifatnya tidak menyenangkan dengan tujuan sebagai ujian

atau adzab bagi manusia.

B. Pendapat Ulama tentang Musibah

al-Qurtubi menyatakan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang

mengganggu orang mukmin dan menjadi bencana baginya.12 Demikian juga

Hamka menyatakan bahwa musibah adalah bencana, baik bencana besar yang

terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi dll., maupun

bencana kecil yang terjadi pada manusia seperti sakit dan tenggelam.13 Menurut

Quraish Shihab kata musibah tidak selalu berarti bencana, tetapi “...mencakup

segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun

bencana...”.14 Menurut Imam al-Baidhâwiy, musibah adalah semua kemalangan

10 Sûrah al-Baqarah/2:7 ☺ ⌧

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menutup hati, pendengaran dan penglihatan orang-orang kafir karena mereka enggan menerima iman. Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan keinginan hati mereka sendiri. Mereka tidak mau mendengarkan peringatan dari Rasulullah SAW dan tidak mau menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah SWT untuk memahami dan mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka dijanjikan ‘adzâb yang berat di akhirat kelak. (Lihat Tafsir al-Mishbah, Juz 1, h. 116)

11 Surat al-Anfal/8/25 ☺ ☺ ⌧

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”

12

al-Hambali, Hiburan, h. 10.

13

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, tt), h. 299.

14


(47)

yang dibenci dan menimpa umat manusia.15 Manusia akan mengalami keburukan

dalam hidupnya manakala menjauh dari manhaj atau aturan Allah SWT.

Kehidupan ini telah diciptakan Allah SWT dengan manhaj tertentu agar terjadi

keharmonisan dalam berbagai hal, baik dalam meniti karir, kerja, menata

kehidupan keluarga dan rumah tangga, mendidik anak-anak, mencari rizqi dan

dalam semua dinamika kehidupan lainnya.16 Menurut al-Hanbali, Imam Nawawi

berpendapat bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia,

berupa kesedihan, kepayahan, kesusahan dan lain-lain. Allah sedang

mengangkatnya dan menghapus kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan

tentang turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam yang ditimpa musibah.

Tidak ada kabar terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali

terhapusnya dosa dan kekeliruan.17

Dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat untuk mengartikan musibah

sebagai bencana yang menimpa manusia, kecuali Quraish Shihab yang

mengartikan musibah dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Pendapat beliau

ini lebih dekat kepada pengertian balâ’ sebagaimana telah dibahas pada sub-bab

Pengertian Musibah.

C. Macam-Macam Musibah

Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, musibah dapat dibagi menjadi dua

macam, yaitu musibah agama dan musibah dunia.18 Musibah agama adalah

musibah yang mempengaruhi keimanan ahl al-musîbah (orang yang terkena

15

Imam al-Baidâwiy, Tafsir al-Baidâwiy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1, h. 431.

16


(48)

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Allah SWT menciptakan manusia dalam berbagai suku dan bangsa untuk

saling mengenal dan saling membantu dalam kehidupan ini. Setiap manusia diberi

potensi yang sama untuk kehidupannya, baik kehidupan dunia maupun

akhiratnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan prioritas hidupnya


(49)

keimanan dan ketaqwaan dalam menilai manusia.

Musibah agama terbesar yang menimpa umat Islam adalah wafatnya

Rasulullah SAW. Wafatnya Rasulullah SAW dirasakan berat oleh umat Islam pada

waktu itu. Umar bin Khattab yang dikenal sebagai orang yang tegar dan keras

pada awalnya tidak dapat menerima kematian Rasulullah SAW hingga diingatkan

oleh Abu Bakar dengan Surat Âli ‘Imrân/3:144.

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan

Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”19

Wafatnya Rasulullah SAW berarti terputusnya wahyu dari langit dan

dimulainya kerusakan. Hal ini ditandai dengan murtadnya sebagian orang Islam

19

Hal ini dikutip oleh al-Buthy dari riwayat Ibnu Ishaq sebagai berikut: “Abu Bakar keluar dari rumah Rasulullah SAW sementara Umar r.a. tengah berbicara kepada orang-orang bahwa Rasulullah SAW tidak mati tetapi sedang pergi menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dan beliau tidak akan mati sampai orang-orang munafiqin punah. Kemudian Abu Bakar mendatanginya seraya berkata: Tunggu sebentar wahai Umar, diamlah! Tetapi Umar tidak menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau berhenti maka Abu bakar pergi menemui orang-orang dan merekapun mendatangi Abu Bakar serta meninggalkan Umar. Abu Bakar lalu berkata: Amma ba’du, wahai manusia! Barang siapa di antara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barang siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak mati. Allah berfirman:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (al-Imran:144). Sebelum Abu Bakar membaca ayat ini seolah-olah mereka tidak tahu kalau Allah telah menurunkan ayat tersebut, sehingga semua yang mendengarkan bacaan Abu Bakar tersebut


(50)

ﺖ ﻤﺳ

لﺎ

بﺮ

ﻦﺑ

مﺪهز

ﺖ ﻤﺳ

لﺎ

ةﺮﻤﺟ

ﻮﺑأ

ﺎ ﺛﺪﺣ

ﺔ ﺷ

ﺎ ﺛﺪﺣ

مدﺁ

ﺎ ﺛﺪﺣ

لﺎ

ﺎﻤﻬ ﻋ

ﷲا

ﺿر

ﻦﻴ ﺣ

ﻦﺑ

ناﺮﻤﻋ

:

ﻢ ﺳ

و

ﻪﻴ ﻋ

ﷲا

ﻟا

لﺎ

:

ﻢآﺮﻴﺧ

ﻢﻬ ﻮ

ﻦ ﺬﻟا

ﻢﺛ

ﻢﻬ ﻮ

ﻦ ﺬﻟا

ﻢﺛ

“Menceritakan kepada kami Adam menceritakan kepada kami Syu’bah menceritakan kepada kami Abu Jamrah dia bekata aku mendengar Dzahdam bin Mudrab dia berkata saya mendengar Imran bin Husain RA. berkata telah bersabda Rasulullah SAW,”Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian

generasi yang mengikutinya, kemudian generasi yang mengikutinya.”20

Seperti dijelaskan di atas musibah agama akan terus terjadi menimpa

kalangan kaum muslimin selama iblis masih ada. Karena musuh kaum muslimin

dan orang-orang yang beriman, yakni iblis dan sekutu-sekutunya akan terus

mengajak mereka sampai tercatat menjadi orang-orang yang mendustakan agama

dan ayat-ayat Allah SWT. Iblis telah bersumpah akan menyesatkan dan

melalaikan orang-orang yang mentauhidkan Allah SWT dari agama tauhid.

20

Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhariy, Juz 2, h. 938, hadis no. 2508. Rasulullah mengajarkan sebuah do’a bagi umatnya untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari musibah agama dan tidak menjadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:

ﺎ ﺮ ﺧأكرﺎ ا اﺎ ﺮ ﺧأﺮ ﺎ ﺛﺪ

ﺪ ﺎﺧ ﺮ ز ﷲاﺪ بﻮ أ

انأناﺮ أ

لﺎ ناﺮ

:

ا ﻬ اﻪ ﺎ ﻷتاﻮ ﺪ اءﻻﺆﻬ ﻮ ﺪ مﻮ وﻪ ﷲاﻰ ﷲالﻮ رنﺎآ

وﻚ ﺎ وﺎ لﻮ ﻚ ﺸﺧ ﺎ وﺎ ﺪ اتﺎ نﻮﻬ ا وﻚ ﺎ ﻐ

ﺎ ادﺎ ﺎ ﺮ اوﺎ ﻇ ﺎ رﺄﺛ اوﺎ ثراﻮ اﻪ اوﺎ أﺎ ﺎ ﻮ وﺎ رﺎ أوﺎ ﺎ ﺄ ﻻو

ﻻوﺎ ﻻوﺎ هﺮ آأﺎ ﺪ ا ﻻوﺎ د

ﺎ ﺮ

Menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hajr mengabarkan kepada kami Ibn al-Mubârak menceritakan kepada kami Yahyâ bin Ayûb dari ‘Abd Allah bin Zahr dari Khâlid bin Abi ‘Imrân sesungguhnya Ibn ‘Imrân berkata tidaklah Rasulullah SAW berdiri dari majlis hingga berdo’a untuk pada sahabatnya” Ya Allah anugrahkanlah bagi kami rasa takut yang menjauhkan kami dari bermaksiat kepada-Mu, ketaatan yang menyampaikan kami ke surga-Mu, keyakinan yang meringankan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi kami dan bukan pula tujuan ilmu kami”). Sunan al-Tirmidziy, Juz 5 h. 528, hadis no. 3502.


(51)

Musibah dunia adalah musibah yang menimpa diri manusia berupa

kematian, ketakutan, dan kekurangan harta dan makanan. Allah SWT berfirman

dalam Surat al-Baqarah/2:155.

“dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Musibah jiwa atau kematian merupakan musibah dunia yang terbesar,

karena jiwa tidak dapat tergantikan. Sedangkan harta yang hilang karena

terjadinya musibah, dapat diganti oleh Allah SWT. Dengan kematian, Allah SWT

menarik kembali kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk beramal di

dunia dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Kematian

adalah pintu masuk kepada kehidupan abadi di mana setiap manusia akan

mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing. Musibah kematian adalah

musibah yang akan menimpa setiap manusia sebagaimana firman Allah SWT

dalam sûrat Âli ‘Imrân/3:185.

☺ ☺

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”


(52)

kesenangan yang melalaikan, yaitu melalaikan manusia dari hakekat

kehidupannya di dunia. Manusia diciptakan Allah SWT dengan tujuan untuk

beribadah kepada-Nya. Namun demikian manusia dapat menjadi lalai dengan

tugasnya ketika keimanan sedang lemah dan menghadapi kesulitan yang berat

ataupun menikmati kesenangan secara yang berlebihan.

Adapun musibah dunia lainnya tidak dirasakan oleh setiap manusia secara

sama dan merata. Sebagai contoh, sebagian orang mengalami musibah banjir

setiap tahun sementara sebagian orang yang lain tidak pernah tertimpa musibah

banjir tetapi mereka tertimpa musibah dalam bentuk lain yang tidak menimpa

orang yang tertimpa musibah banjir. Sebagian manusia diuji dengan kekurangan

harta atau kemiskinan sehingga beban hidupnya terasa berat; kebutuhan primer

berupa pangan, sandang, dan papan pun tidak dapat dicukupi meskipun hanya

dalam batas minimal. Musibah dunia yang demikian berat dapat berubah menjadi

musibah agama ketika orang yang tertimpa musibah tidak bersabar dalam

menghadapinya. Kemiskinan atau kefakiran dapat membuat seseorang menjadi

kufur. Itu terjadi ketika ia dihadapkan kepada kebutuhan yang penting dan

mendesak sementara keimanan sedang lemah. Terkait hal ini Rasulullah SAW

mengingatkan umat Islam dengan sabdanya yaitu “Kâda al-faqru an yakûna

kufran” (“hampir-hampir kefakiran itu menjadikan kekufuran”).21 Kekufuran

dalam hadis tersebut tidak selalu identik dengan kemurtadan, tetapi dapat

diartikan sebagai kufur atau mengingkari ni’mat-ni’mat Allah SWT yang telah

dilimpahkan tanpa dapat dihitung oleh manusia. Kriminalitas juga merupakan

bagian dari kekufuran. Allah menyatakan hal ini dalam Surat Ibrâhîm/14:34 yaitu:

21


(53)

“wa in ta‘uddû ni‘mata Allah lâ tuhsûhâ” (“dan jika kalian menghitung ni’mat

Allah kalian tidak akan dapat menghitungnya”).

Ketakutan adalah sebuah ujian atau musibah dunia yang bersifat immateri

tetapi terasa berat bagi manusia. Rasa aman dan takut tidak mempunyai ukuran

yang pasti sehingga sulit untuk dikendalikan. Kebahagiaan hidup dapat diperoleh

ketika seseorang merasa aman dalam hidupnya. Seorang yang mempunyai harta

yang banyak tidak akan dapat hidup bahagia ketika dia selalu merasa was-was

dengan keamanan harta dan jiwanya. Rasa takut tersebut tidak dapat dengan

mudah dihilangkan dengan adanya penjagaan yang ketat di luar rumah hingga dia

merasa tentram dengan keadaan diri dan hartanya. Seorang yang beriman kepada

Allah SWT dapat merasakan ketentraman dan keamanan dalam hidupnya apabila

dia bertawakal kepada Allah SWT. Seorang mukmin yang bertawakal kepada

Allah SWT adalah seseorang yang memahami bahwa kewajiban manusia adalah

berusaha sebaik-baiknya untuk meraih yang dinginkan dan berdoa kepada Allah

SWT untuk mengabulkan keinginannya. Selanjutnya, dia menunggu takdir Allah

SWT atas perkara tersebut dan menerima dengan hati yang ikhlas. Sikap tawakal

seperti ini akan mendatangkan rasa aman dan tentram dalam hati manusia dan

menjauhkan dirinya dari rasa ketakutan dalam hidup.

D. Musibah dan Gejala Alam

Allah SWT menciptakan alam semesta dalam sebuah harmoni dan

keseimbangan tanpa ada cacat dan kekurangan. Alam semesta bekerja sesuai


(54)

Keseimbangan dan keteraturan ini dapat ditemukan pada alam makrokosmos

maupun mikrokosmos. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan tertentu,

demikian juga bulan mengelilingi bumi dengan kecepatan tertentu, dan keduanya

berputar mengelilingi matahari pada kecepatan dan garis edar yang telah

ditentukan oleh Allah SWT sehingga tercipta keseimbangan antara siang dan

malam, serta musim panas dan dingin sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.

Jarak antara bumi, matahari dan bulan telah ditentukan oleh Allah SWT sehingga

temperatur bumi tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas bagi manusia dan

makhluk lain yang berada di muka bumi. Demikian juga lapisan atmosfer telah

didesain sedemikian rupa bagi manusia untuk dapat bernafas, untuk melindungi

manusia dari sengatan sinar matahari yang terlalu panas yang merusak kulit

manusia dan makhluk lainnya serta melindungi bumi dari benda-benda angkasa

yang meluncur menabrak bumi. Allah SWT juga telah meciptakan tubuh manusia

dengan keseimbangan antar seluruh bagian tubuh yang memungkinkan manusia

untuk hidup sehat dan menjalankan aktifitas-aktifitasnya. Bahkan, Allah SWT

telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.23

Ketentuan Allah SWT pada alam semesta ini dikenal dengan nama

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Al-Mulk/67:3)

☺ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺

“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yâsîn/36:38-40)

23


(55)

sunnatullah. Ia adalah ketentuan yang sudah baku untuk memastikan

berlangsungnya kehidupan di dalam alam semesta ini dalam harmoni dan

seimbang. Allah SWT menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan-Nya tidak akan

pernah berubah.24

Ketika manusia berikhtiar untuk mengolah alam semesta tanpa memahami

sunnatullah yang telah ditetapkan, maka terjadilah ketidakseimbangan yang

mengakibatkan gejala alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebagai

contoh, penebangan pohon tanpa disertai dengan upaya reboisasi yang terencana

dengan baik dapat membuat hutan menjadi gundul yang berakibat pada tanah

longsor, banjir, menipisnya sumber air tanah dan kekeringan.

Pada hakikatnya bertambahnya ilmu pengetahuan manusia tentang alam

semesta ini, dalam upayanya untuk memanfaatkan sumber daya alam, akan

membuat manusia lebih memahami sunnatullah di alam ini. Bagi orang-orang

yang tidak melihat Allah SWT sebagai Pencipta, maka sunnatullah tersebut

disebut hanya sebagai hukum alam. Dari pemahaman tentang sunnatullah inilah

manusia dapat meningkatkan taraf kehidupannya sesuai dengan ilmunya. Dengan

demikian, musibah yang terjadi akibat adanya gejala alam dapat diketahui

sebab-sebabnya apabila sunnatullah dipahami. Bagi orang-orang yang beriman

pemahaman tentang sunnatullah di alam ini dapat meningkatkan keimanan kepada

Allah SWT. Sunnatullah menjadi bukti nyata akan keberadaan dan kekuasaan

Allah SWT. Dengan pemahaman tersebut, orang-orang beriman diharapkan dapat

menerima musibah yang diakibatkan oleh gejala alam sebagai ketentuan dari


(56)

☺ ⌧

⌧ ⌧

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

Terkait dengan peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia di alam semesta

ini, al-Sya’rawi mengelompokkannya dalam tiga kelompok peristiwa. Pertama,

peristiwa yang terjadi pada seseorang tanpa ada ikhtiar dari yang bersangkutan.

Ini adalah takdir Allah SWT yang tidak dapat ditolak oleh yang bersangkutan.

Kedua, peristiwa yang menimpa seseorang yang datang dari pihak lain. Ketiga, peristiwa yang terjadi dengan ikhtiar manusia. Ia dapat memilih untuk

mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.25 Dalam kaitannya dengan perintah

dan larangan Allah SWT, ikhtiar manusia kelak akan dihisab untuk diberikan

imbalan pahala maupun siksa. Tiga kelompok peristiwa ini terjadi tetap tidak

terlepas dari kehendak Allah SWT.

Musibah dalam bentuk bencana alam seringkali bersifat massal. Dalam hal

ini Allah tidak membedakan siapa yang akan tertimpa musibah. Apabila seseorang

25


(57)

berada dalam daerah yang terkena musibah, dia akan tertimpa musibah, kecuali

mendapatkan perlindungan dari Allah SWT secara khusus. Kemudian manusia

akan dibangkitkan sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Hal ini disebutkan

dalam Surat al-Anfâl/8:25.26 Ayat tersebut merupakan peringatan bagi manusia

bahwa Allah SWT dapat menimpakan musibah kepada semua orang, orang-orang

shalih maupun orang-orang zalim. Untuk mencegah musibah seperti ini,

kerusakan yang diakibatkan oleh orang-orang zalim harus dihentikan. Dengan

demikian, peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam sebuah masyarakat atau

komunitas menjadi penting. Salah satu sebab ditimpakannya bencana bagi Bani

Israil adalah keengganan sebagian dari mereka untuk beramar ma’ruf nahi

mungkar kepada sesama.

26


(1)

kemampuannya untuk berusaha dan berupaya serta memikul beban juga dalam menghadapi dan mengatasi segala kendala serta hambatan. Semua itu memerlukan kesabaran. Faktor kedua ialah, yang diluar jangkauan dan kemampuannya. Itu merupakan rahasia ghaib dan taqdir Allah SWT. Menghadapi hal ini, seorang mukmin harus bertawakkal kepada Allah, berlindung kepada-Nya, dan percaya akan segala rencana Allah SWT.

Tawakkal merupakan sikap seseorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah SWT. Ia meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala-galanya, kekuasaannya tak terbatas, pengetahuan-Nya Mahaluas. Keyakinan inilah yang mendorong ia menyerahkan urusannya kepada Allah, hatinya tenang dan tentram dan tidak ada rasa ragu sedikitpun. Tawakkal tidak begitu saja meninggalkan usaha sama sekali, dan meyerahkan urusan bulat-bulat kepada Allah, tetapi harus melalui suatu usaha atau ikhtiar sungguh-sungguh yang kemudian baru diserahkan kepada Allah SWT. Rasululah SAW merupakan contoh nyata pribadi penyabar tanpa mengenal batas.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan ini dapat dituliskan jawaban dari rumusan masalah bahwa Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr bersepakat bahwa pada hakikatnya musibah merupakan bagian dari rencana keseluruhan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta, termasuk manusia. Dan Allah SWT yang Mahakuasa telah menetapkannya sebelum penciptaan manusia dan alam semesta ini. Dengan Ilmu-Nya, Allah SWT mengetahui tanpa ada batasan dalam pengetahuan-Nya tentang apa yang terjadi, apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi dan semua itu telah tercatat dalam Kitab di al-lauh al-mahfuz.

Kedua mufassir juga sepakat bahwa sikap terbaik dalam menghadapi musibah adalah dengan bersabar dalam menghadapinya. Demikian juga sebaliknya, sikap terbaik ketika memperoleh kenikmatan adalah dengan mensyukurinya. Manusia tidak perlu menyalahkan diri sendiri ketika tertimpa musibah. Demikian juga, manusia tidak perlu menyombongkan diri ketika memperoleh kenikmatan karena semua terjadi atas kehendak Allah SWT.

Namun demikian, kedua mufassir berbeda pendapat tentang batasan dari musibah. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa manusia, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Sedangkan Ibn Katsîr membatasi musibah sebagai keburukan atau bencana yang menimpa manusia.


(3)

B. Saran

Dengan penelitian yang telah dilakukan tentang topik ini penulis mengajukan saran bahwa penelitian dengan topik ayat-ayat al-Qur’an harus dilakukan dengan mengacu langsung pada sumber aslinya yang masih utuh, bukan kitab-kitab versi ringkasan atau mukhtasar. Demikian juga, sebaiknya tidak mengacu kepada kitab hasil terjemahan, tetapi kepada kitab dalam bahasa aslinya. Dengan demikian, akan didapatkan data-data primer yang akurat. Versi ringkasan layak dibaca bagi pembaca yang tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin memahami tafsir al-Qur’an dengan mudah. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana sebuah kitab versi ringkasan atau mukhtasar mengurangi informasi yang terkandung dalam karya aslinya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Syihâb al-Dîn. al-Tibyân Fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Juz 1.

Arifin, Bey. Mengenal Allah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, cet. ke-11.

Asfahâni, Al-Râghib. Mu’jam Mufradât fî alfâdz Qur’ân. Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 2004.

al-Baidâwiy. Tafsir al-Baidâwiy. Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Baihaqi. Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ. Beirut:Dar al-Fikr, tt.

Biro Humas & Luar Negeri BPK. “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”. Artikel diakses pada 10 Januari 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?p=3958

al-Bukhâri. Sahîh al-Bukhâriy. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

al-Buthy, M Sai’d Ramadhan. Sirah Nabawiyah. Penerjemah Aunur Rafiq Sahleh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2000, cet. Ke-2.

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media, tt.

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Horve, 1993, Jilid III. al-Dzahabi, Muhammad Husain. Israiliyat dalam Tafsir dan Hadits. Jakarta:

Lentera antar Nusa, 1993.

al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Mesir: Maktabah Wahbah, 1985.

al-Farmawi, Abd al-Hayy. Bidâyah fî Tafsîr Maudhu’iy. Kairo: Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977, Cet.II.

al-Hafidz, Ahsin W.. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2006, cet. ke-2. Hamka. Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII. Jakarta: Pustaka Panjimas, tt.

al-Hanbali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi. Jakarta: Mizan Publika, 2007.


(5)

Ibn, Katsîr. Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985, juz 4. Ibn, Manzûr. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Sâdir, tt.

al-Khalidi, Salah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Intermedia, 2001, Cet. Ke-1. al-Khatib, Muhammad Ajjaj. UUsul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.

Kompas. “Bencana Situ Gintung, Kerugian UMJ Rp 10 Miliar.”. 10 Maret 2009. Mahmûd, Mani’ Abd al-Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehesif Metode

Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal Saleh. Jakarta: Rajagrafindo, 2003.

Maswan, Nur Maizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsîr. Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.

Munawwir, A.W.. Kamus Arab –Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002, cet. Ke-25.

Muslim, Imam. Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Haya’, 1972.

Pusat Bahasa Depdiknas RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Diakses tanggal 22 Mei 2009 dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

al-Qardawî, Yûsuf. Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar. Jakarta: GIP, 2000, Cet ke-16..

al-Qardawî, Yûsuf. Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000.

al-Qattân, Mannâ‘ Khalîl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006, cet. Ke-9.

Qutb, Sayyid. Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Syuruq, 1978. al-Razi, Imam. Mukhtar al-Sihah. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Republika. “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”. Republika Online, artikel diakses pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910 al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah

Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. Ke-1, jilid IV. al-Sâbûniy, Muhammad ‘Aliy. Mukhtasar Ibn Katsîr. Beirut, Dar al-Fikr, tt. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet.ke-8.


(6)

Sholikhin, Muhammad. The Power of Sabar. Solo: Tiga Serangkai, 2009, cet. Ke-1.

al-Sya’rawi, Mutawalli. Baik danBuruk. Penerjemah Tajuddin. Jakarta: Pustaka Kautsar, 1994, cet. Ke-1.