IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MORAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMPIT IHSANUL FIKRI MAGELANG.

(1)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MORAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMPIT IHSANUL FIKRI

MAGELANG

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Desiastari NIM 10401244035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ...iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

G. Batasan Istilah ... 13

BAB II. LANDASAN TEORI A. Kajian Teori ... 16

1. Tinjauan tentang Pendidikan Moral ... 16

a. Pengertian Pendidikan Moral... 16

b. Teori Pendidikan Moral ... 17

c. Tujuan Pendidikan Moral... 22

d. Pendekatan Pendidikan Moral... 24

e. Nilai-nilai Moral... 25

2. Tinjauan tentang Pendidikan Kewarganegaraan ... 27

a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan ... 27


(6)

d. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ... 31

e. Pendidikan Moral dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ... 37

B. Hasil Penelitian yang Relevan ...42

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian... 44

B. SettingPenelitian...45

C. Penentuan Subjek Penelitian ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data... 46

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 48

F. Teknik Analisis Data... 49

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...52

1. Gambaran Umum...52

a. Deskripsi Lokasi Penelitian ...52

b. Deskripsi Informan Penelitian...64

2. Deskripsi Hasil Penelitian ...67

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral ...67

b. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral ...71

c. Teknik Penilaian Hasil Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral ...77

B. Pembahasan Hasil Penelitian ...80

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral ...80

2. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral...89

3. Teknik Penilaian Hasil Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Berdimensi Pendidikan Moral ...99

C. Keterbatasan Penelitian...103

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...105

B. Saran ...107

DAFTAR PUSTAKA... 109


(7)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MORAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMPIT IHSANUL FIKRI

MAGELANG Oleh: Desiastari 104012440135

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang. Pengimplementasian pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penerapan metode pembelajaran, dan teknik evaluasi hasil pembelajaran yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek penelitian dengan menggunakan teknik purposive, yaitu guru Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri dari 2 (dua) guru dan 22 (dua puluh dua) siswa yang terdiri dari kelas VII, dan VIII siswa yang dapat mewakili semua siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Langkah-langkah teknik analisis data dalam penelitian ini, adalah reduksi data, display data, dan conclusion drawing/verification.

Hasil penelitian ini adalah: 1) Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang terintegrasi dalam RPP Pendidikan Kewarganegaraan pada umumnya, implementasinya terlihat pada butir kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, metode pembelajaran yang yang direncanakan disesuaikan dengan materi dan tujuan pembelajaran, dan teknik penilaian yang direncanakan menerapkan teknik penilaian non-tes; 2) Metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang adalah ceramah bervariasi, metode diskusi, metode resitasi (penugasan) , dan metode debat; 3) Teknik evaluasi/penilaian hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang adalah menggunakan teknik penilaian non-tes yang berupa teknik observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan catatan perkembangan(anecdotal record).


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merosotnya moralitas bangsa terlihat dalam kehidupan masyarakat dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab, kesetiakawanan sosial (solidaritas), dan rasa empati yang dapat berpengaruh dalam kehidupan mereka dalam masyarakat. Permasalahan tersebut juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yaitu “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Berdasarkan tujuan pendidikan di atas, lembaga pendidikan atau sekolah memiliki peran penting dalam membentuk siswa yang bermoral. Masalah utama yang dihadapi dunia pendidikan bukan hanya persoalan akademik saja tetapi juga masalah moral. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan penanaman nilai-nilai moral dikalangan para siswa yaitu dengan pendidikan moral.

Pendidikan merupakan sebuah proses dalam meningkatkan kemampuan berpikir agar menjadi sebuah pengalaman untuk menerapkan apa yang diperoleh (pengetahuan) dalam tindakan dan tingkah laku di masyarakat. Dengan demikian pendidikan moral yang diajarkan tidak berhenti pada transfer


(9)

pengetahuan kepada siswa tetapi bagaimana siswa dapat menghayati dan memanfaatkan pengetahuan yang telah didapat dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari.

Moral merupakan ajaran mengenai perbuatan yang baik atau yang tidak baik untuk dilakukan. Menurut para ahli terdapat pandangan yang berbeda mengenai sifat moral yaitu pertama, moral bersifat objektivistik dan kedua, moral bersifat relativistik. Moral yang bersifat objektivistik, artinya moral itu pasti dan tidak berubah. Suatu bentuk tingkah laku yang dianggap baik akan tetap dianggap baik, bukan kadang-kadang dianggap baik dan kadang-kadang dianggap buruk. Menurut pandangan ini, moral bersifat mutlak (absolute) dan tanpa syarat. Kemudian moral itu bersifat relativistik, artinya tergantung pada konteks ruang dan waktu. Perbuatan yang baik di suatu tempat belum tentu dianggap baik ditempat yang lain. Demikian pula perbuatan yang dianggap baik pada masa yang lalu belum tentu dianggap baik pada masa sekarang (Muchson AR & Samsuri, 2013: 9-10). Perbedaan pandangan mengenai sifat moral menjadikan perbedaan mengenai kesepakatan pandangan tentang perbuatan mana yang baik dan perbuatan mana yang buruk. Masyarakat menilai seseorang mempunyai kepribadian yang baik atau tidak baik berdasarkan moralitasnya.

Pembentukan moralitas generasi bangsa agar tidak mengalami dekadensi moral memerlukan suatu tindakan yang sedini mungkin. Pendidikan moral dalam hal ini, dapat dijadikan suatu tindakan untuk membentuk moralitas


(10)

masyarakat. Pendidikan moral dalam keluarga dapat ditanamkan oleh orang tua, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk membentuk moralitas anak. Oleh karena itu, pendidikan moral penting ditanamkan di sekolah oleh guru. Guru sebagai pendidik dapat menanamkan pendidikan moral dalam kegiatan pembelajaran siswa, sehingga guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan akedemik tetapi juga penanaman nilai-nilai moral yang baik.

Pendidikan moral sekarang ini dianggap bukan menjadi perhatian yang penting bagi semua pihak. Maksudnya disini, pendidikan moral bukan menjadi tujuan utama dalam proses pembelajaran. Pengetahuan akademiklah yang menjadi tolak ukur dalam pencapaian tujuan pembelajaran di kelas. Tujuan pembelajaran akan berhasil ketika nilai akademik peserta didik di atas nilai rata-rata, tetapi tidak memperhatikan mengenai sikap perta didik. Oleh karena itu, perlu pengembangan pendidikan moral di sekolah.

Pendidikan moral di sekolah dapat dikembangkan melalui kurikulum formal dan luar kurikulum formal bahkan melalui hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Di dalam kurikulum formal pendidikan moral diintegrasikan dalam mata pelajaran, sedangkan di luar kurikulum formal, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral yang penting di dalam masyarakat seperti kejujuran, disiplin, sopan santun, dan lain sebagainya. Di dalam hidden curriculum pendidikan moral diajarkan melalui peraturan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan etika serta interaksi siswa di dalam kelas dan sekolah.


(11)

Pendidikan moral di sekolah menjadi wacana yang kontroversial, mengenai apakah pendidikan moral menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu. Banyak masyarakat memandang bahwa pendidikan moral di sekolah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu yaitu dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan mempresentasikan pendidikan moral (Muchson AR & Samsuri, 2013: 86-87).

Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai visi misi yaitu untuk membentuk nation and character building yakni meng-Indonesiakan orang Indonesia. Meng-Indonesiakan orang Indonesia maksudnya bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tujuan khusus yaitu membentuk warga negara yang baik (good citizen)sesuai dengan karakter bangsa. Hal tersebut juga tercantum dalam Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai pengertian Pendidikan Kewarganegaraan:

Merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, bukan hanya memberitahu mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, melainkan menanamkan nilai-nilai moral dalam kegiatan sehari-hari. Penanaman nilai-nilai moral pada diri siswa kurang maksimal karena


(12)

penerapannya. Oleh karena itu, perlu adanya pengimplementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang tepat.

Pendidikan moral harus dapat memenuhi ketiga unsur yang meliputi siswa harus memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan moral yaitu dalam kompetensi yang hendak dikembangkan oleh Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru yaitu agar siswa mampu menjadi warga negara yang berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis. Untuk memiliki kompetensi seperti itu diperlukan seperangkat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), serta watak (afektif). Dalam kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan dikenal dengancivic knowledge, civic skills, dan civic disposition.

Dengan kata lain Pendidikan Kewarganegaraan dalam hal ini tidak hanya mengajarkan mengenai pengetahuan tetapi juga tentang nilai, sikap dan karakter untuk menjadi seorang warga negara yang baik. Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar siswa dapat berfikir secara kritis, kreatif, cerdas, dan bertanggung jawab, sehingga Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya mengedepankan kemampuan intelektual saja namun juga mengedepankan moralitas siswa. Hal itu berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang dalam paradigma lama, bahwa pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan


(13)

Ketika masa Orde Baru mata pelajaran Kewargaan Negara berganti nama menjadi Pendidikan Moral Paancasila (PMP). Materi utamanya adalah Ketetapan No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang disertai dengan butir-butir pengamalan Pancasila terasa nuansa moralitas politiknya (Muchson AR & Samsuri, 2013: 87). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada masa itu merupakan indoktrinisasi nilai-nilai moral kepada siswa. Tujuan untuk terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) disini tergantung pada penafsiran penguasa yang berkuasa pada masa itu. Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan pada masa itu dianggap sebagai alat dari rezim penguasa.

Paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan berorientasi pada terbentuknya masyarakat sipil (civil society) dengan memberdayakan warga negara melalui proses pendidikan agar mampu berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis (Muchson AR, 2006: 11). Hal tersebutlah yang membedakan Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma lama dan paradigma baru. Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru tidak hanya sekedar transfer pengetahuan dan indoktrinasi nilai-nilai moral tetapi sampai bagaimana pengetahuan tersebut dimanfaatkan dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Aspek-aspek moral yang dikembangkan dalam materi Pendidikan Kewarganegaraan, misalnya saja terlihat dalam beberapa kompetensi dasar seperti menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam


(14)

positif terhadap perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), menampilkan perilaku kemerdekaan mengemukakan pendapat, menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut diajarkan secara formal dalam materi Pendidikan Kewarganegaraan dan nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari pengembangan civic skills dan civic disposition.

Implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum dapat berjalan dengan baik. Mulai dari proses perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Sebagian siswa menganggap Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang mementingkan hafalan, sehingga Pendidikan Kewarganegaraan kurang sering diminati oleh siswa. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan lebih mementingkan pengetahuan (aspek kognitif) saja sedangkan mengenai sikap (aspek afektif dan psikomotorik) masih kurang diperhatikan.

Implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputipertama,mengenai perencanaan pembelajaran yang dalam hal ini adalah penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kedua, pelaksanaan pembelajaran yang mencakup penerapan metode pembelajaran.Ketiga, adalah evaluasi hasil pembelajaran.

Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan hanya dijadikan sebagai formalitas saja untuk melengkapi


(15)

instrumen pembelajaran. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sering tidak disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi siswa bahkan guru hanya sekedar copy pasteRencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah ada. Tujuan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ini agar pembelajaran dapat berjalan dengan efektif sesuai tujuan pembelajaran.

Sekarang ini, penerapan metode pembelajaran dalam implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang belum bervariasi. Penerapan metode pembelajaran tersebut dirasa kurang efektif, seharusnya metode pembelajaran disesuaikan dengan materi dan karakteristik siswa agar siswa dapat menanamkan nilai-nilai moral dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan penerapan metode pembelajaran yang aktif yang nantinya dapat membantu guru menanamkan nilai-nilai moral.

Evaluasi hasil pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus sesuai untuk mengukur pencapaian kompetensi, yang dalam hal ini lebih mengedepankan aspek afektifnya. Kebanyakan penilaian yang dilakukan guru dengan teknik tes. Guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih kesulitan dalam penggunaan teknik non-tes untuk mengukur tingkat pencapaian hasil belajar siswa. Dalam evaluasi hasil pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tidak cukup dengan teknik tes saja, tetapi perlu teknik-teknik non tes, misalnya observasi, penilaian diri, wawancara dan lain-lain agar dapat


(16)

Dewey mengemukakan konsep dan tujuan pendidikan nasional Indonesia jauh lebih sempurna dari sekedar kemampuan intelektual dan moral. Hal ini disebabkan tujuan tercapainya kemampuan intelektual dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh Dewey sudah tercakup di dalam nilai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia (Sjarkawi, 2011: 43). SMPIT Ihsanul Fikri merupakan sekolah yang berbasis keagamaan yang sebagaimana mampu membentuk moral siswa melalui program-program yang ada di sana dan bagaimana nantinya guru Pendidikan Kewarganegaraan dapat mengemas pendidikan moral dalam mata pelajaran tersebut.

Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Ihsanul-Fikri sebagai salah satu sekolah boarding school, mempunyai tujuan untuk melaksanakan kurikulum yang berlaku, juga memberikan pembekalan untuk siswa, dan sebagai wahana untuk mencari ilmu. Pengadaan asrama di sekolah ini adalah sebagai upaya agar pendidikan dilakukan secara menyeluruh dan usaha untuk membentengi keburukan serta adanya pengawasan secara rutin dan berskala yang berguna untuk mengetahui kondisi fisik dan rohani siswa. Dengan penerapan sistem boarding school diharapkan implementasi pembelajaran akan efektif termasuk dalam pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.


(17)

Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MORAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMPIT IHSANUL-FIKRI MAGELANG.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, terdapat masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Masalah- masalah tersebut yaitu :

1. Pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih terfokus pada pengetahuan moral saja

2. Rencana Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral masih kurang sesuai

3. Metode pembelajaran yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan mengenai pendidikan moral kurang bervariasi

4. Evaluasi hasil pembelajaran mengenai pendidikan moral masih kurang sesuai dengan konsep penilaian afektif.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah pada: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan

yang berdimensi pendidikan moral masih kurang sesuai

2. Metode pembelajaran yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan mengenai pendidikan moral kurang bervariasi


(18)

3. Evaluasi hasil pembelajaran mengenai pendidikan moral masih kurang sesuai dengan konsep penilaian afektif.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri?

2. Bagaimana metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri?

3. Bagaimana teknik penilaian hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui:

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri.

2. Metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri.

3. Teknik penilaian hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di SMPIT Ihsanul Fikri.


(19)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat yaitu : 1. Manfaat teoretis

Hasil Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan. Terutama dalam implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk terbentuknya warga negara yang baik. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini diharapkan peneliti dapat mengetahui tentang implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan menentukan metode pembelajaran pendidikan moral serta mengetahui bagaimana cara mengevaluasi siswa hasil pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

b. Bagi Guru

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan guru dalam implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang dapat menunjang pelaksanaan pembentukan moralitas siswa serta dapat


(20)

dijadikan sebagai acuan dalam membangun lingkungan sekolah yang bermoral.

c. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Penididkan Kewarganegaraan serta dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi mahasiswa dalam proses belajar tentang pendidikan moral. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi kepada mahasiswa Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menerapkan pembelajaran dalam sekolah sebagai calon guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

G. Batasan Istilah

Batasan istilah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Implementasi

Implementasi merupakan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau menerapkan suatu program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan. Implementasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Moral diajarkan di sekolah yang meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), metode pembelajaran yang diterapkan guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan


(21)

teknik evaluasi hasil pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

2. Pendidikan Moral

Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. Menurut paham ahli pendidikan moral, jika tujuan pendidikan moral akan mengarah seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat (Zuriah, 2011: 22). Pendidikan Moral yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah usaha sadar dan terencana untuk membentuk seseorang yang memiliki nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang dimaksud dalam pendidikan moral ini yaitu nilai-nilai moral yang dikaji dalam materi Pendidikan Kewarganegaraan.

3. Pendidikan Kewarganegaraan

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (dalam Lampiran Permendiknas No 22 Tahun 2006).

Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber


(22)

pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar berpikir kritis, analitis dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Cholisin, 2000: 1.8).

Jadi dapat dinyatakan Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengajarkan tentang hak dan kewajiban warga negara agar menjadi warga negara yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang adalah bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Moral diajarkan di sekolah yang meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), metode pembelajaran yang diterapkan guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan teknik evaluasi hasil pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Kajian Teori

1. Tinjauan tentang Pendidikan Moral a. Pengertian Pendidikan Moral

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN, pendidikan moral di Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. Menurut paham ahli pendidikan moral, jika tujuan pendidikan moral akan mengarah seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat (Zuriah, 2011: 22).

Pendidikan moral di Indonesia dimaksudkan agar manusia belajar menjadi bermoral, dan bukannya pendidikan tentang moral yang akan mengutamakan penalaran moral (moral reasoning) dan pertumbuhan inteligensi sehingga seseorang bisa melakukan pilihan dan penilaian moral yang paling tepat (Zuriah, 2011: 21). Di Indonesia pendidikan moral lebih tertuju bagaimana dapat menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk sikap moral seseorang.

Emile Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas Prancis, pendidikan moral adalah bagian dari pewarisan nilai-nilai. Pandangan


(24)

modern, yakni pendidikan untuk perubahan. Paradigma pendidikan modern yang fungsional adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa kini dan tantangan masa depan, bukan untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai seperti pandangan pendidikan pada paradigma lama. Meskipun, pendidikan pada paradigma lama sebatas pada pewarisan dan pelestarian nilai-nilai, namun hal tersebut sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa (Muchson AR& Samsuri, 2013: 85).

b. Teori Pendidikan Moral

Goods menyatakan bahwa pendidikan moral dapat dilakukan secara formal maupun incidental, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Tetapi, Durkheim, menekankan agar pendidikan moral dipindahkan dari lingkungan rumah ke sekolah karena sekolah mempunyai tugas khusus dalam hal moral. Melalui pendidikan formal, pemerintah berusaha membina dan mengembangkan pendidikan moral disekolah.

Perkembangan moral dalam tinjauan paradigma absolutistic, menurut Liebert, lebih memperhatikan kemajuan dalam tingkatan atau tahapan perkembangan moral berkaitan dengan perkembangan moral insani yang berlaku secara universal.

1) Teori Piaget

Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori struktural kognitif. Teori ini melihat


(25)

perkembangan moral sebagai hasil suatu interaksi antara pelaksanaan aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukan esensi moral. Secara rinci skema perkembangan moral Piaget dijelaskan sebagai berikut :

a) Pada level I

Pada anak sekitar usia 1-2 tahun, pelaksanaan peraturan masih bersifat motor activity, belum ada kesadaran akan adanya peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran tentang adanya peraturan yang harus ditaatinya.

b) Pada level II

Pada usia sekitar 2-6 tahun, sudah mulai ada kesadaran akan adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat suci, tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, merubah peratiran merupakan kesalahan besar. Dalam pelaksanaan peraturan mereka masih bersifat egosentrik, berpusat pada dirinya.

c) Pada level III

Pada usia sekitar 7-10 tahun pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keiinginan yang kuat untuk memahami peraturan dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronom mulai bergeser pada sifat otonomi.


(26)

d) Pada level IV

Pada usia sekitar 11-12 tahun kemampuan berpikir anak sudah mulai berkembang. Pada tahap ini sudah ada kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan (Muchson AR& Samsuri, 2013: 51-52).

2) Teori Kohlberg

Lawrence Kohlberg mencoba memperluas teori yang telah dikemukakan oleh Piaget. Pada awalnya Kohlberg mengetengahkan adanya enam tahap dalam perkembangan moral yang harus dilewati seorang anak untuk dapat sampai ke tingkat remaja atau ketingkat kedewasaan. Keenam tingkatan moral tersebut yaitu :

a) Tingkat Prakonvensional

Pada tingkatan ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal tersebut semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Yang menjadi motivasi pada tahap ini ialah yang bersifat lahiriah saja dan bisa mengalami banyak perubahan. Pada tingkat prakonvensional ini terbagi menjadi dua tahapan yaitu (Bertens, 2004: 81):


(27)

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak patuh. Dalam tahap ini perspektik anak semata-mata egosentris. Ia membatasi diri pada kepentingannya sendiri dan belum memandang kepentingan orang lain. Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah perasaan yang dominan yang menyertai motivasi moral ini.

Tahap 2 : Orientasi relativis instrumental

Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrument (alat) dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antar manusia dianggapnya seperti hubungan orang dipasar yaitu tukar menukar. Hubungan timbal balik antara manusia adalah soal “jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan melakukan sesuatu untuk kamu” (do ut des), bukanya soal loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

b) Tingkat Konvensional

Pada tingkatan ini anak mulai menyesuaikan penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya, dan juga anak sudah mulai menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan ketertiban yang berlaku. Singkatnya, anak


(28)

mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya . Tingkat konvensional ini juga mencakup dua tahap yaitu :

Tahap 3 : Penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”

Pada tahapan ini perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap : saya adalah “anak manis” (good boy-nice girl), artinya ia adalah sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru, atau sebagainya. Ia ingin bertingkah laku secara wajar sesuai dengan norma yang ada.

Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban (law and order)

Pada tahapan ini perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melangggar aturan-atiran tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial, jelas bersalah (Bertens, 2004: 82-83).

c) Tingkat Pascakonvensional

Pada tingkatan pascakonvensional ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebabasan


(29)

pribadi. Orang muda mulai menyadari tidak selamanya benar. Menjadi anggota kelompok tidak menghindari bahwa kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya sendiri. Tingkat pascakonvensional pun mempunyai dua tahap yaitu (Bertens, 2004: 83-84):

Tahap 5 : Orientasi kontrak-sosial legalistis

Tahapan ini ada kesadaran tentang relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Baik-buruknya suatu hal tergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi yang disetujui secara demokratis.

Tahap 6 : Orientasi prinsip etika yang universal

Pada tahapan ini orang perpegang pada hati nurani pribadi dalam menentukan tingkah lakunya, yang ditandai oleh keniscayaan dan universalitas. Menurut hasil penelitian Kohlberg, hanya sedikit orang mencapai tahap keenam ini.

c. Tujuan Pendidikan Moral

Kohlberg (1971) menekankan tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat pertimbangan moral siswa. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur dengan standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar menunjukan nilai kemanusiaan yang bersifat universal, berlandaskan


(30)

prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan saling terima (Sjarkawi, 2011: 45).

Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut :

a. Mengusahakan suatu pemahaman ‘pandangan moral” ataupun cara-cara moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan tentang kebijaksanaan.

b. Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk mempertimbangkan moral dalam menetapkan suatu keputusan.

c. Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau mengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebijakan-kebijakan, seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktekan.

d. Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.

e. Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip,dan aturan umum yang sedang berlaku (Sjarkawi,2011: 49).

Berdasarkan tujuan pendidikan moral di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan moral bertujuan untuk membentuk peserta didik yang bermoral yang tidak hanya tampak dalam tingkah lakunya sehari-hari tetapi juga alasan seseorang bermoral tersebut muncul dalam dirinya. Maksudnya bahwa seseorang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral dalam semua keadaan, di mana pun dia berada dan kapanpun.


(31)

d. Pendekatan Pendidikan Moral

Dalam pelaksanaan pendidikan moral ada beberapa pendekatan yaitu:

1) Pendekatan Penanaman Nilai(Inculcation Approach)

Pendekatan ini agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.

2) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)

Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah moral sehingga peserta didik dapat membuat keputusan tentang pendapat moral. Proses diskusi mulai disajikan dengan cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat,apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikannya tentang alasan-alasan tersebut dengan teman-teman satu kelompok (Winarno, 2013: 202).

3) Pendekatan Analisis Nilai(Values Analysis Approach)

Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berfikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah


(32)

sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam menggunakan proses berpikir rasional dan analitis dapat menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.

4) Pendekatan Klarifikasi Nilai(Values Clarification Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Pendekatan ini juga membantu peserta didik untuk mampu mengomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri.

5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat(Action Learning Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan masyarakat (Zuriah, 2011: 200-201). e. Nilai-nilai Moral

Nilai moral tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan


(33)

dalam tingkah laku moral. Kejujuran misalnya merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, tapi terkadang ia tampak sebagai suatu nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Nilai moral memilki ciri sebagai berikut :

1) Berkaitan dengan tanggung jawab kita

Yang menjadi tanda khusus dalam nilai moral adalah bahwa nilai ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab.

2) Berkaitan dengan hati nurani

Semua nilai selalu mengandung unangan atau imbauan. Pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menetang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai-nilai-nilai moral (Bertens, 2004: 144).

3) Mewajibkan

Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolute dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudnya atau seyogyanya diakui. Alasan yang menyebabkan nilai moral sebagai


(34)

suatu kewajiban adalah nilai moral berlaku untuk setiap manusia (Bertens, 2004: 145-146).

4) Bersifat formal

Nilai-nilai moral tidak dapat terpisahkan dari nilai-nilai lain. Sehingga nilai-nilai moral tidak memiliki isi tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lainnya. Tidak ada nilai moral yang murni, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal tersebutlah yang dimaksudkan bahwa nilai-nilai moral bersifat formal (Bertens, 2004: 147).

2. Tinjauan tentang Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Nu’man Soemantri (1976) dalam Cholisin (2000: 1.8), memberikan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar berpikir kritis, analitis dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah:

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya


(35)

untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Jadi dapat dikatakan Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengajarkan tentang hak dan kewajiban warga negara agar menjadi warga negara yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan secara klasik adalah untuk membentuk warga negara yang baik (a good citizen). Pengertian warga negara yang baik sering diartikan yang berbeda oleh para penguasa. Pada masa orde lama, warga negara yang baik adalah warga negara yang berjiwa revolusioner, anti-imperialism, kolonialisme dan neo-kolonialisme. Sedangkan masa orde baru, warga negara yang baik adalah warga negara yang Pancasilais, manusia pembangunan dan sebagainya (Sunarso,dkk, 2008: 10).

Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang terdapat dalam Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan


(36)

3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di atas dapat diketahui bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan juga memuat nilai-nilai moral. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan terfokus untuk menciptakan warga negara yang baik, yang memiliki kemampuan intelektual, berpartisipasi aktif, berfikir cerdas dan kritis, dan menjadi warga negara yang bermoral. Dalam mencapai tujuan tersebut Pendidikan kewarganegaraan memiliki komponen-komponen yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition).

c. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam Penjelasan Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Ruang Lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam


(37)

partisispasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan. 2) Norma hukum dan persatuan, meliputi tertib dalam kehidupan

keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku dimasyarakat,peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

3) Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

4) Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.

5) Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.

6) Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dansistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.

7) Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasilasebagai ideologi terbuka.

8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

Berdasarkan ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan di atas, dapat disimpukan bahwa materi yang diajarkan bdalam Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi materi nilai-nilai, norma dan peraturan hukum yang mengatur perilaku warga negara yang merupakan nilai-nilai moral dan nantinya diharapkan siswa dapat mengamalkan materi tersebut dalam kehidupan senhari-hari menjadi masyarakat yang bermoral.


(38)

d. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan cenderung berorientasi pada pemahaman tentang civic knowledge yang sebatas mengajarkan konsep-konsep ilmuan Pendidikan Kewarganegaraan yang sifatnya hafalan. Kecenderungan tersebut perlu diubah, karena subtansi dari Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya pada civic knowledge, akan tetapi pada civic skills dan civic disposition yang harus dimiliki oleh siswa. Ada asumsi bahwa dengan mengembangkan pemahaman civic knowledge, maka pengembangan civic skills akan berkembang juga, namun tidak demikian termasuk juga dalam pengembangan pemahaman civic disposition (Winarno, 2013: 166). Perlu adanya desain pembelajaran khusus untuk mengembangkan ketiga kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan.

Perlunya desain pembelajaran khusus ini dimulai dari penyusunan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, metode pembelajaran yang digunakan guru, dan kemudian pada tahap penilaian hasil pembelajaran. Secara umum desain pembelajaran tersebut memuat, pertama, merumuskan tujuan yang ingin dicapai; kedua, merumuskan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang nantinya akan dijadikan bahan belajar; ketiga, merumuskan model sekaligus didalamnya metode pembelajaran yang sesuai; keempat, mengembangkan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan mengarah pada pencapaian tujuan; dan kelima, mengembangkan alat evaluasi yang


(39)

mampu mengembangkan civic skills dan civic disposition (Winarno, 2013: 167-168).

Pada awalnya metode dalam mengajar Civics menurut Soemantri (2001) di Indonesia kurang mendapat perhatian sejak zaman kolonial. Tetapi sejak berlakunya kurikulum 1968 dan terutama pembaharuan pendidikan, masalah metode mulai diperhatikan dan sudah disarankan agar guru-guru mulai melaksanakan metode berpikir kritis, kreatif, partisipatif dan problem solving. Meskipun demikian, dalam faktanya guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan masih tetap menerapkan metode mengajar yang tradisional yaitu menekankan ceramah, indoktrinasi, dan guru berperan sebagaidrill master.Masih digunakannya metode tersebut karena beberapa faktor yaitu bahwa ujian akhir dalam Pendidikan Kewarganegaraan biasanya bersifat hafalan, isi bukunya sangat dipengaruhi oleh verbalisme, teknik indoktrinasi dianggap paling gampang,dan kurangnya penulisan ilmiah tentang metode sehingga prinsip-prinsip metode yang tercantum dalam rencana pendidikan sulit diterapkan (Winarno, 2013: 83).

Pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, ketrampilan, dan karakter warga negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual ini antara lain dengan metode seperti kooperatif, penemuan, inquiry, interaktif, eksploratif, berpikir kritis,dan pemecahan masalah (Winarno,


(40)

2013: 92). Metode-metode tersebut merupakan metode yang sesuai dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menekankan padacivic knowledge, civic skills,dancivic disposition.

Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil efektif. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Kemudian sikap merupakan salah satu ranah amat menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif (Winarno, 2013: 194).

Untuk keberhasilan dalam pembelajaran ranah afektif, dalam hal ini berkaitan dengan penanaman nilai moral dan sikap-sikap moral, perlu adanya model pembelajaran yang berbasis nilai (Winarno, 2013: 195). Ada beberapa model pembelajaran afektif yang popular menurut Nana Syaodih Sukmadinata, yaitu:

1) Model Konsiderasi

Penggunaan model ini bertujuan untuk mendorong siswa lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain sehingga meraka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain. Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi adalah a) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, b) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang


(41)

tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain, c) siswa menuliskan responsnya masing-masing, d) siswa menganalisis respons siswa lain, e) mengajak siswa melihat konsekuensi dari tiap tindakannya, dan f) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri (Sukmadinata, 2005: 192).

2) Model Pembentukan Rasional

Model pembelajaran ini bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai. Langkah-langkah pembelajaran rasional yaitu a) mengidentifikasi situasi di mana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan, b) menghimpun informasi tambahan, c) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, d) mencari alternative tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, dan e) mengambil keputusan tindakan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat (Sukmadinata, 2005: 193).

3) Klarifikasi Nilai

Model pembelajaran ini bertujuan agar para siswa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan, dan merefleksikannya sehingga para siswa memiliki ketrampilan proses nilai. Langkah-langkah pembelajaran ini yaitu : a) pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternative tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya; b) menghargai


(42)

pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat dan mempertegas pilihannya, dan; c) berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya (Sukmadinata, 2003: 193).

4) Pengembangan Moral Kognitif

Model pembelajaran ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif. Berikut ini adalah langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: a) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai, b) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu, c) siswa diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya, d) siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik, e) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain (Sukmadinata, 2005: 194). 5) Model Nondirektif

Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Langkah-langkah pembelajaran nondirektif antara lain: a) menciptakan sesuatu permisif melalui ekspresi bebas; b) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi; c) pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberikan dorongan; d) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan


(43)

keputusan, guru memberikan klarifikasi; e) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif (Sukmadinata, 2005: 194).

Setelah selesainya proses pembelajaran diperlukan penilaian untuk mengetahui keberhasilan hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Penilaian dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kekhasan yang berkenaan dengan karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai “value based education”. Pendidikan Kearganegaraan merupakan mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian (Winarno, 2013: 219).

Berkenaan dengan hal tersebut maka penilaian dalam Pendidikan Kewarganegaraan dinyatakan dan diarahkan sebagai penilaian kepribadian. Dalam Permendiknas No.20 Tahun 2007 tentang Standar penilaian bahwa:

Penilaian kepribadian yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik, sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah bagaian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan.

Ada berbagai 7 (tujuh) teknik penilaian yang berbasis kelas yang dapat digunakan, yaitu penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan porto folio, dan penilaian diri (Puskur, 2006). Berdasarkan ketujuh teknik penilaian tersebut, teknik penilaian sikap tampaknya lebih dekat dengan


(44)

karakteristik dari Pendidikan Kewarganegaraan sebagai value based education(Winarno, 2013: 223).

e. Pendidikan Moral dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, atau pendidikan budi pekerti, meskipun ada sementara pihak yang menyatakan pendidikan nilai lebih luas dari pendidikan moral (Winarno, 2013: 186). Jadi Pendidikan Kewargengaraan sebagai pendidikan nilai sama halnya dengan Pendidikan Kewarganegaran sebagai pendidikan moral, karena esensinya nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai moral.

Permasalahan penataan pendidikan moral atau budi pekerti dalam struktur kurikulum di sekolah sesungguhnya merupakan persoalan pengorganisasian kurikulum. Apakah dalam penataannya mengacu pada separeted curriculum, berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri, atau mengacu pada integrated curriculum, yang terintegrasi dalam mata pelajaran atau bidang kajian lain. Kedua hal tersebut memilki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Model pertama dalam memandang pendidikan moral lebih pada aspek materi, sedangkan model kedua lebih pada aspek substansi (Muchson AR&Samsuri, 2013: 86).

Indonesia memilih model kedua untuk penataan pendidikan moral. Pendidikan moral diintegrasikan ke dalam mata pelajaran atau bidang


(45)

kajian lain, salah satunya diintegrasikan ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan sering dianggap sebagai representasi pendidikan moral. Mata pelajaran ini memilki visi yang khas bernuansa moral, yakni terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) dalam rangka nation and character building (Muchson AR& Samsuri, 2013: 87).

Pengertian warga negara yang itu lebih dikaitkan dengan hak dan kewajiban dalam rangka bernegara, yang lebih didasarkan pada tafsir penguasa, seperti tampak pada masa orde lama dan orde baru. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai representasi pendidikan moral semakin kuat ketika masa orde baru. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berganti nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Materi utamanya adalah Ketetapan No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang disertai dengan butir-butir pengamalan Pancasila. Moralitas ynag ingin dikembangkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) terasa moralitas politiknya, yang dianggap baik dapa masa orde baru (Muchson AR& Samsuri, 2013: 87).

Pendidikan moral yang diitegrasikan dalam Pendidikan Kewargaraan dapat dilihat sejak diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian moral yang diharapkan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha


(46)

Esa dalam masyarakat yang dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerayaktan dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Cholisin, 2000: 2.28-2.19). Berdasarkan undang-undang tersebut dapat dikatakan bahwa sudah ada aspek-aspek moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan .

Pada perubahan kurikulum 1994 Pendidikan Kewarganegaraan diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Menurut Kurikulum 1994, fungsi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, meliputi: 1) melestarikan dan mengambangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia, yang merdeka, bersatu dan berdaulat, 2) mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, 3) membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dan negara, antara warga neagra dengan sesama


(47)

warga negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara, 4) membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan dengan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari (Cholisin, 2000: 2.20). begitu juga dalam kurikulum tahun 1994 Pendidikan Kewarganegaraan juga memasukan aspek-aspek moral, sehingga di sini Pendidikan Kewarganegaraan didalamnya juga sebagai pendidikan moral.

Pendidikan moral pada dasarnya merupakan internalisasi nilai-nilai moral dalam diri seseorang siswa. Nilai-nilai moral ini akan menuntun seseorang dalam bersikap dan bertindak. Penanaman nilai-nilai moral ini merupakan proses pengembangan afektif siswa. Ranah afektif ini berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi, sikap, nilai-nilai, moral, karakter, dan lain-lain (Muchson AR&Samsuri, 2013: 89).

Pengembangan ranah afektif ini juga sejalan dengan subtansi dan kompetensi dari pengembangan materi Pendidikan Kewarganegaraan. Di dalam Pendidikan Kewarganegaraan terdapat tiga subtansi dan kompetensi yaitu civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan),civic skills (ketrampilan kewarganegaraan), dan civic disposition (karakter kewarganegaraan). Sehingga Pendidikan Kewarganegaraan secara keilmuannya mempunyai peran yang besar dalam pembangunanan karakter warga Negara yang berarti berperan dalam pengembangan moral


(48)

warga negara. Hal tersebut merupakan misi dari Pendidikan Kewarganegaraan yang harus dicapai.

Dalam pencapaian misi tersebut, sekarang ini, paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai struktur keilmuan yang sudah sesuai dengan misi tersebut. Kompetensi, indikator, metode, dan evaluasi dalam pendidikan kewarganegaraan disatuan-satuan pendidikan dasar dan menengah telah menampakkan karakter yang jauh lebih ideal secara keilmuan daripada fase-fase sebelumnya (Suharno, 2007: 7).

Satu hal yang akan sangat menentukan dalam implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini pada akhirnya kembali ke guru. Kualitas guru menjadi hal yang penting dalam implementasi pendidikan moral agar tujuan pembelajaran dapat tercapai yaitu dalam menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk sikap siswa yang bermoral.

Pembelajaran pendidikan moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan harus di desain sebaik mungkin agar pembelajaran tersebut berjalan efektif. Perlu adanya pendekatan dan strategi khusus untuk diterapkan dalam pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Dalam pembelajaran nilai, norma, moral dikenal adanya strategi pembelajaran yang dinamai value clarification techhique (VCT) atau teori kejelasan nilai. Strategi pembelajaran nilai, norma, dan moral model VCT dapat ditempuh dengan berbagai metode pembelajaran seperti


(49)

metode diskusi, simulasi, problem solving,dan maupun pemberian tugas (resitasi) (Muchson AR & Samsuri, 2013: 96-97). Kemudian teknik penilaian juga seharusnnya dapat mengukur apa yang seharusnya diukur dalam pembelajaran pendidikan moral. Pendidikan moral menilai tentang sikap siswa, sehingga dalam penilaian pendidikan moral dalam pembelajaran yang Pendidikan Kewarganegaraan menggunakan penilaian sikap. Penilaian sikap ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain angket, inventori, observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi (Winarno, 2013: 226).

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu:

Pertama, penelitian Mukhamad Murdiono, M.Pd yang dilaksanakan di SMP Negeri 8 Yogyakarta dengan judul “Penanaman Nilai Moral Kedisiplinan pada Siswa SMP Melalui Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa langkah yang telah dilakukan SMP Negeri 8 Yogyakarta dalam menanamkan moral disiplin yaitu dengan membuat tata tertib sekolah yang diperbanyak dalam bentuk buku saku. Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dilakukan guru untuk menanamkan nilai moral kedisiplinan kepada para siswanya dengan cara memasukan nilai-nilai kedisiplinan dalam pembelajaran. Upaya yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan cara pendisiplinan anak yang demokratis. Kendala


(50)

yang dihadapi guru dalam menanamkan nilai moral kedisiplinan berupa kendala internal dan eksternal.

Kedua, penelitian Rina Luthfiana tahun 2008 dengan judul “Pelaksanaan Pendidikan Moral Melalui Pembiasaan di SMP Plus Darus Salam Kediri”. Hasil penelitian yang dicapai dalam penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan pendidikan moral melalui pembiasaan, pendidikan moral terintegrasi dalam mata pelajaran PKn dan Agama (aqidah-akhlak), dalam pelaksanaannya dibagi dalam tiga kegiatan: a) kegiatan perencanaan, berkaitan dengan penyusunan perangakat pembelajaran, b) pelaksanaan pembelajaran. sekolah, c) kegiatan evaluasi, berkaitan dengan penilaian, ada dua macam penilaian yaitu penilaian penguasaan konsep dilakukan dengan ulangan harian dan ulangan blok. Faktor pendukung terdiri dari dua faktor yaitu eksternal dan internal, faktor eksternal antara lain lingkungan sekolah yang kondusif, keteladanan dari guru, dan masyarakat sekitar sekolah yang islami, faktor internal berasal dari niat dan kemauan siswa untuk belajar. Faktor penghambat pelaksanaan pendidikan moral berasal dari latar belakang siswa yang berasal dari keluarga yang berbeda-beda sehingga karakter siswa juga berbeda, selain itu metode pembelajaran yang di gunakan terkadang kurang tepat. Cara mengatasi kendala pelaksanaan pendidikan moral melalui pembiasaan di SMP Plus antara lain: memperbaiki kekurangan dalam hal penggunaan metode pengajaran, melaksanakan metode keteladanan dan pembiasaan serta memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar tata tertib sekolah.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Zuriah, 2006: 47). Sedangkan menurut Hadari Nawawi (2000: 63) Penelitian deskriptif adalah penelitian yang prosedur pemecahan masalah diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek peneliti saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya yang meliputi interpretasi data dan analisis data.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pedekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. (Nawawi& Martini, 2005: 174). Menurut Sugiyono (2012: 15) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berdasarkan pada filsafah postpositivisme, yang digunakan untuk meneliti objek alamiah. Peneliti merupakan instrumen utama/ kunci, pengambilan sampel menggunakan purposive dan snowbal, teknik pengumpulan data dengan triangulasi, analisis data bersifat induktif/ kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.


(52)

Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran riil tentang implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi tentang penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, penerapan metode pembelajaran serta evaluasi pembelajaran pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri.

B.SettingPenelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2014. Penelitian ini dilakukan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yang merupakan sekolah Islam terpadu yang berbasisboarding school.

C. Penentuan Subjek Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif istilah polulasi tidak digunakan, tetapi menurut Spradley dinamakan“social situation”atau sistuasi sosial yang terdiri dari: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut, dapat di rumah beserta keluarga dan aktivitasnya, di tempat kerja, di kota, di desa, di sekolah atau di wilayah suatu negara. Situasi sosial tersebut yang menjadi objek penelitian. Peneliti meneliti apa yang terjadi didalamnya mengenai aktivitas (activity)orang-orang(actors) yang ada di tempat(place)tertentu (Sugiyono, 2012: 297).

Penentuan subjek penelitian ini dengan menggunakan teknik purposive. Menurut Sugiyono (2012: 300) teknik purposive adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu dalam penentuan subjek penelitian ini yaitu pihak yang terlibat secara langsung


(53)

dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga subjek penelitian yang diambil adalah guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri dari dua guru dan siswa kelas VII dan VIII SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yang diampu oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan yang bersangkutan.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk mengemukakan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2012: 317).

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara tidak berstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut sebagai wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka(openeded interview),wawancara etnografis. Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara tak berstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan, dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya (agama,


(54)

suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dsb) responden yang dihadapi (Mulyana, 2004: 180-181).

Wancara ini digunakan peneliti untuk mengetahui secara langsung bagaimana implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, penerapan metode pembelajaran, dan teknik evaluasi hasil pembelajaran pendidikan moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam pelaksanaan wawancara memerlukan pedoman wawancara sebagai pedoman wawancara.

2. Observasi

Menurut Sutrisno Hadi, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, yaitu suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik ini digunakan apabila penelitian berhubungan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2012: 203).

Observasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipan atau pengamatan tanpa peran serta, sehingga pengamatan hanya melakukan satu fungsi yaitu untuk mengamati penerapan metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral di dalam kelas. Dalam pelaksanaan observasi ini menggunakan pedoman observasi.


(55)

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/ dapat dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Hasil penelitian akan kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada (Sugiyono, 2012: 329).

Dalam pelaksanaan pendokomentasian ini untuk mengetahui penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan teknik evaluasi hasil pembelajaran yang diterapkan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang. Dokumen dalam penelitian ini dapat berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berdimensi pendidikan moral dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu.

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabakan secara ilmiah, maka data terlebih dahulu dilakukan teknik pemeriksaan keabsahan data. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan peneliti yaitu menggunakan triangulasi.

Triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada


(56)

peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan (Sugiyono, 2012: 330).

Dengan triangulasi peneliti mencoba menggabungkan hasil teknik wawancara, observasi dan dokumentasi untuk meyakinkan kebenaran data yang telah ditemukan dan menambah pemahaman bagi peneliti tentang data yang diperoleh.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif data bersifat induktif, yaitu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan yang berdasarkan data tersebut , selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang terkumpul secara berulang-ulang teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori (Sugiyono, 2012: 335).

Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dalam bentuk data diskriptif. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh, aktivitas dalam analisis data berupa data reduction, data display, dan conclusion(Sugiyono, 2012: 337).


(57)

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2012: 338).

Peneliti melakukan proses reduksi data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan dokumentasi yang masih kompleks untuk disederhanakan. Peneliti mencari, memilih dan menyederhanakan data agar diperoleh data yang relevan dan bermakna sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2. Display Data

Setelah unitisasi dan katagorisasi data dilakukan, kemudian dilakukan mendisplay data (menyajikan data). Bentuk penyajian data yang dimaksud berupa deskriptif analitik dan logis karena penyajian data ini akan mengarah pada kesimpulan. Data yang dihasilkan berbentuk naratif yang berisi informasi tentang implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri yang meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penerapan metode pembelajaran dan teknik evaluasi hasil pembelajaran.


(58)

3. Conclusion Drawing/ Verification

Setelah menyajikan data langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Penarikan kesimpulan ini menggunakan metode induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang khusus yang diarahkan kepada hal-hal yang umum untuk mengetahui jawaban dari permasalahan dalam penelitian. Kesimpulan tersebut kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung, dengan melihat kembali reduksi data maupun pada penyajian data. Sehingga kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari rumusan masalah dan tidak menyimpang dari permasalahan penelitian, yaitu implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yang meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), metode pembelajaran yang diterapkan dan teknik evaluasi hasil pembelajaran.


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dikemukakan deskripsi, analisis, dan pembahasan hasil penelitian. Deskripsi bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan sekolah, deskripsi informan tentang implementasi pendidikan moral dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang, dan pembahasan hasil penelitian.

A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum

a. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yang berlokasi di Jln. Pabelan No.1 Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Sekolah ini merupakan sekolah formal yang berstatus swasta berbasis Islam Terpadu. Sejak tahun 2006 sampai sekarang sekolah ini menerapkan sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah tersebut berada di sebuah desa, tetapi tidak jauh dari jalan utama menuju objek wisata Candi Borobudur di Magelang. Gedung SMPIT Ihsanul Fikri menghadap ke selatan dan berada di tepi jalan desa sehingga jauh dari kebisingan serta tidak mengganggu berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan belajar berlangsung kondusif.


(60)

Saat ini SMPIT Ihsanul Fikri Magelang dipimpin oleh Drs. Moh Mohtar sebagai kepala sekolah. SMPIT Ihsnul Fikri merupakan sekolah dengan sistem boarding school (sekolah berasrama). SMPIT Ihsanul Fikri Magelang juga merupakan sekolah yang berbasis berbasis agama Islam. Penerapan boarding school merupakan upaya pendisiplinan pembelajaran siswa dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa yaitu kualitas akademik dan kualitas non-akademik dan basis Islam Terpadu ini diselengarakan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu qauliyah dan kauniyah melalui implementasi kurikulum serta proses belajar mengajar dalam lingkungan belajar yang aman, nyaman dan islami.

1) Visi dan Misi SMPIT Ihasanul Fikri Magelang

Adapun visi dan misi dari SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yaitu : a) Visi Sekolah

Optimalisasi Potensi, Meraih Prestasi, Menuju Ridho Ilahi Indikator :

 Unggul dalam penanaman akhlaq.  Unggul dalam prestasi akademik.  Unggul dalam kecakapan hidup.  Unggul dalam kemandirian.  Unggul dalam kedisplinan.


(61)

b) Misi Sekolah

 Menumbuhkan penghayatan yang mendalam terhadap dasar dan perilaku Islami serta budaya bangsa sehingga menjadi landasan akhlaq.

 Melaksanakan pendidikan dan pembelajaran secara efektif dan menyenangkan sehingga setiap siswa mampu menggali potensi untuk berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

 Menyelenggarakan kegiatan yang meningkatkan kecakapan hidup siswa sehingga mampu bertahan dan bersaing pada jejang yang lebih tinggi.

 Menyelanggarakan kegiatan yang memotivasi tumbuhnya kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah kehidupan.  Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan sikap

disiplin.

 Melakukan perubahan inovatif terhadap lingkungan sehingga nyaman, kondusif dan Islami sebagai prasarana pembelajaran. 2) Kondisi Fisik Sekolah

SMPIT Ihsanul Fikri dengan luas lahan 16.798 m2, yang terdiri dari 2 (dua) lantai, masing-masing lantai terdiri dari 13 (tiga belas) ruang pada lantai 1 (satu) dan 26 (dua puluh enam) ruang pada lantai 2 (dua). Komposisi ruang tersebut adalah:


(62)

a) Ruang belajar sebanyak 16 (enam belas) ruang,yang terdiri dari 13 (tiga kelas) ruang kelas dan 3 (tiga) ruang menggunakakan ruang asrama untuk ruang kelas.

 Kelas VII terdiri dari 3 (tiga) ruang kelas ikhwan dan 3 (tiga) ruang kelas akhwat.

 Kelas VIII terdiri dari 3 (tiga) ruang kelas ikhwan dan 3 (tiga) ruang kelas akhwat.

 Kelas IX terdiri dari 2 (dua) ruang kelas ikhwan dan 2 (dua) ruang akhwat.

b) Ruang belajar lainnya terdiri dari:

Selain ruang kelas di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang terdapat ruang belajar lain untuk menunjang pembelajaran siswa. Ruang tersebut yaitu:

Tabel 1. Jumlah Ruang Belajar Lainnya

Jenis Ruangan

Jumlah

(buah) Kondisi*) Jenis Ruangan

Jumlah

(buah) Kondisi 1)

Perpustakaan

1 - 6) Lab. Bahasa

- Baik

2) Lab. IPA 1 Baik 7)Lab. Komputer 1 Baik 3)

Ketrampilan -

-8) PTD

-

-4)

Multimedia 1 Baik

9)Serbaguna/aula 1 Baik


(63)

-c) Ruang Kantor

Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugasnya memerlukan sarana dan prasasarana agar dalam menjalankan tugasnya dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, sekolah telah menyediakan ruang khusus untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, yang terdiri dari ruang kepala sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha dan ruang tamu. Berikut ini merupakan jumlah ruangan yang tersedia untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang:

Tabel 2. Jumlah Ruang Kantor Jenis Ruangan Jumlah

(buah) Ukuran (pxl)

Kondisi*)

1) Kepala Sekolah

1 6 x 3 Baik

2) Wakil Kepala Sekolah

1 6 x 3 Baik

3) Guru 2 9 x9 Baik

4) Tata Usaha 1 6 x 6 Baik


(64)

d) Ruang Penunjang

Berikut ini merupakan fasilitas ruang penunjang yang ada di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang:

Tabel 3. Jumlah Ruang Penunjang

Jenis Ruangan Jumlah

(buah) Ukuran (pxl) Jenis Ruangan Jumlah (buah) Ukuran (pxl) 1) Gudang 1 5 x 5 10) Ibadah 4 19 x 16 (2)

8 x 9 (2)

2) Dapur 1 30 x 20 11) Ganti -

-3) Reproduksi - - 12)

Koperasi

1 8 x 7

4) KM/WC Guru

2 2 x 1,5 13)

Hall/lobi

-

-5) KM/WC Siswa

48 2 x 1,5 14) Kantin -

-6) BK 1 2 x 4 15) Rumah

Pompa/ Menara

Air

5 9 k

7) UKS 1 8 x 7 16) Bangsal Kendaraan

1 9 x 4

8) PMR/Pramu ka

- - 17) Rumah

Penjaga

6 9 x 7


(65)

e) Lapangan Olahraga dan Upacara

Di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang terdapat beberapa lapangan untuk menunjang kegiatan pembelajaran di luar kelas, yaitu terdiri dari lapangan olahraga, lapangan upacara, dan gedung olahraga. Berikut ini merupakan fasilitas untuk menunjang kegiatan olahraga di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang:

Tabel 4. Jumlah Lapangan Olahraga dan Upacara

Lapangan Jumlah

(buah) Ukuran (pxl)

Kondisi

1) Lapangan Olahraga a) Basket

b) Bola Voly c) Badminton d) Futsal e) Tenis Meja

1 1 1 1 1

33 x 15 18 x 9 18 x 9 33 x 15

4 x 4

Baik Baik Baik Baik Baik

2) Lapangan Upacara 1 33 X 15 Baik


(66)

3) Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasaranayang menunjaang kegiatan pembelajaran di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang yang terdiri dari berbagai fasilitas sebagai berikut:

a) Media Pembelajaran

SMPIT Ihsanul Fikri Magelang memilki media yang cukup memadai yaitu white board disetiap ruang kelas dan ada beberapa kelas yang sudah dipasang LCD.

b) Laboratorium

SMPIT Ihsanul Fikri Magelang memiliki beberapa laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran diantaranya laboratorium IPA, laboratorium computer, dan laboratorium multimedia.

c) Lapangan

SMPIT Ihsanul Fikri Magelang memiliki fasilitas lapangan olahraga yang cukup baik. Lapangan tersebut berupa lapangan basket, lapangan volly. Lapangan badminton, lapangan tenis meja, lapangan futsal, dan gedung olahraga.

d) Perpustakaan

Kondisi perpustakaan di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang sudah cukup baik. Koleksi buku-buku cukup lengkap.


(67)

4) Ketenagaan a) Kepala Sekolah

Kepala sekolah merupakan seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memimpin suatu sekolah. Berikut ini merupakan daftar jabatan kepala sekolah di SMPIT Ihsanul Fikri Magelang beserta kualifikasi pendidikan terakhir.

Tabel 5. Daftar Kepala Sekolah

1) G u r u D i

No Jabatan Nama

Jenis

Kelamin Usi

a Pend. Akhir

L P

1. Kepala Sekolah Drs. Moh Mohtar

L - 57

Th

S2 Magister Pendidikan 2. Wakil Kepala

Sekolah Ur. Kurikulum

Sholeh Abdurrohman,

S.Kom

L - 34

Th

S1 Ilmu Komputer

3. Wakil Kepala Sekolah Ur. Sarana Prasarana

Suparman, S.Pd

L - 42

Th

S1 Pendidikan Bhs. Inggris

4. Wakil Kepala Sekolah Ur. Humas

Titi Fibrilianthi C., S.Pt

L - 32

Th

S1 Peternakan

5. Wakil Kepala Sekolah Ur. Kesiswaan

Pamela Maher Wijaya, S.Sos I

M.S.I

L - 31

Th

S2 Politik Islam


(1)

146

LAMPIRAN 7 DENAH SMPIT

IHSANUL FIKRI MAGELANG


(2)

147

DENAH SMPIT IHSANUL FIKRI MAGELANG

JALAN DESA 1 2 4 8 3 6 10 7 9 5 11 12 13 15 14 16 U

Dapur dan Tempat Makan Siswa


(3)

148

Keterangan :

1. Lt. 1 : Kontor dan Ruang Guru , Lt. 2 : Masjid SMP IT 2. Lt. 1 : Koperasi dan Poskestren, Lt. 2 : Asrama Putra 3. Lt. 1 : Gudang dan Asrama Putra, Lt. 2 : Asrama Putra 4. Lt. 1 : Ruang Kelas, Lt. 2 : Asrama putri

5. Lt. 1 : Ruang Kelas, Lt. 2 : Asrama putra 6. Lapangan Basket SMP IT

7. Lab. IPA 8. Ruang Kelas

9. Lt.1 : Perpustakaan, Lt. 2 : Lab. Komputer 10. Gedung Asrama Putri

11. Ruang Kelas

12. Asrama Guru dan Kantor Yayasan 13. Masjid Putri/ Akhwat

14. Lapangan Badminton 15. Lapangan Volly

16. Gedung Olahraga/GOR 17. RUSUNAWA


(4)

149

LAMPIRAN 8

FOTO-FOTO PENELITIAN


(5)

150

Foto Kegiatan Pembelajaran

Foto Kegiatan Pembelajaran


(6)

151

Foto Wawancara Siswa

Foto Wawancara Guru


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PENDEKATAN MORAL REASONING (PERTIMBANGAN MORAL) DALAM PEMBELAJARAN Implementasi Pendekatan Moral Reasoning (Pertimbangan Moral) Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Di SMPIT Al Mukminun Ngrambe Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 3 18

IMPLEMENTASI PENDEKATAN MORAL REASONING (PERTIMBANGAN MORAL) DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK Implementasi Pendekatan Moral Reasoning (Pertimbangan Moral) Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Di SMPIT Al Mukminun Ngrambe Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2013/2014

0 0 16

KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER MORAL PADA FILM “CATATAN AKHIR SEKOLAH” DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN Konstruksi Pendidikan Karakter Moral Pada Film “Catatan Akhir Sekolah” Dalam Perspektif Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Analisis Semiotika).

0 0 17

IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN POLITIK DALAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM DI SMU : Studi Naturalistik Pendidikan Nilai Moral di SMUN 1 Sumedang.

0 2 56

Analisis Pembelajaran Sejarah di SMA IT Ihsanul Fikri Boarding School Kabupaten Magelang IMG 20151123 0001

0 0 1

PENDIDIKAN MORAL DALAM KELUARGA DI KAMPUNG JAMBON, CACABAN, KOTA MAGELANG.

0 0 154

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM MANAJEMEN SEKOLAH DI SMA ISLAM TERPADU IHSANUL FIKRI MUNGKID KABUPATEN MAGELANG.

0 7 334

Implementasi Pendidikan Kewarganegaraan Implementasi Pendidikan Kewarganegaraan

0 0 11

Pembentukan karakter melalui manajemen pembiasaan di sekolah dasar islam terpadu Ihsanul Fikri Kota Magelang

0 0 7

PERANAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MEMBENTUK KEMATANGAN MORAL (MORAL MATURITY) PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 1 ROWOKELE

0 0 11