Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana” T1 362012027 BAB V

(1)

33

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Kategori Polisi yang Ideal

Dalam menganalisis film ENIGMA ini, peneliti membuat kategorisasi tentang bagaimana citra polisi bisa menjadi positif di mata masyarakat. Peneliti membuat empat kategorisasi berdasarkan apa yang dijelaskan Farouk Muhammad dalam buku Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118) tentang bagaimana sosok polisi yang ideal. Farouk Muhammad pernah menjabat sebagai Kapolda NTB (2001) dan Kapolda Maluku (2001-2002). Beliau dilantik menjadi Inspektur Jenderal Polisi pada tahun 2002. Saat ini, beliau menjabat sebagai wakil ketua DPD-RI periode 2014 – 2019. Berikut penjelasan Farouk Muhammad tentang sosok polisi yang ideal :

1.Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan

Karena dia berhadapan dengan perilaku manusia. Dia adalah figur yang dibebani kewajiban untuk memperbaiki perilaku yang tidak baik, yang salah, atau tidak sesuai dengan norma. Dia harus menghargai dulu orang yang ia mau ubah perilakunya. Dia harus menghadapinya secara manusiawi. Polisi harus bisa menunjukkan empatinya.

2.Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi manusia Harus dijauhi sikap yang arogan, menunjukkan kekuasaannya bahwa seolah-olah dia seorang figur penguasa. Hal-hal seperti itu harus disingkirkan dari sikap seorang polisi.

3.Polisi juga harus fair

Dia harus memperlakukan semua orang dengan sama.


(2)

34

4.Polisi juga harus jujur dan amanah.

Apapun yang dimiliki polisi, entah itu kekuasaan atau senjata, adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.

5.2 Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film “ENIGMA” Serial

“Kematian Alana”

Korpus 1

Kategori 1 (Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan). Terdapat tiga adegan yang sesuai dengan kategori pertama, diantaranya terdapat pada scene 4, scene 7, dan scene 25 (Episode 1).

Gambar 3 Gambar 4

(Scene 4, Episode 1) (Scene 7, Episode 1)

Gambar 5


(3)

35

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 3 menampilkan adegan AKP Nina yang memakai baju hitam sedang merangkul Ibu Soffie yang baru saja diberi kabar bahwa Alana, anaknya telah tewas. Ibu Soffie menyandarkan kepalanya di dada AKP Nina dengan raut wajah menangis. Pada bagian kiri bawah, terlihat jelas tangan kanan AKP Nina merangkul erat Ibu Soffie.

Gambar 4 menampilkan adegan Ibu Soffie yang melihat jasad anaknya di ruang autopsi. Di dalam ruangan terdapat dua petugas rumah sakit mengenakan baju putih dan ada AKP Nina juga Iptu Ardi di samping ibu Soffie mengenakan baju hitam. Terdapat dua lampu berwarna orange tepat diatas jasad Alana. Jasad Alana dibaringkan di sebuah meja besi dengan ditutup kain putih polos diseluruh badan kecuali telapak kaki dan bahu sampai ujung rambut yang masih terlihat. Ibu Soffie membungkukkan badan, memegang kepala Alana sambil menangis. Disaat bersamaan, Iptu Ardi mengusap punggung ibu Soffie dan AKP Nina memegang lengan kanan ibu Soffie dengan tangan kanannya dan mengusap punggung ibu Soffie dengan tangan kirinya.

Gambar 5 menampilkan adegan Iptu Bimo mengelus bahu Bapak Arman, Ayah dari Alana Jasmine di pintu masuk ruang autopsi. Iptu Bimo mengenakan jaket hitam, sedangkan Bapak Arman yang berkacamata mengenakan kemeja lengan panjang berwarna ungu dengan dasi berwarna merah maroon. Keduanya sedang berdiri di pintu masuk ruang autopsi. Bapak Arman terlihat setengah menundukkan kepala dengan raut wajah ingin menangis. Tepat di depan Bapak Arman, Iptu Bimo mengusap bahu Bapak Arman dengan tangan kirinya.

Dari ketiga gambar, dibagian kiri atas terdapat tulisan ENIGMA. Sedangkan bagian kanan atas terdapat tulisan NET. dan sebelah kanannya ada tulisan HD. Tulisan “ENIGMA” dibagian kiri atas gambar, menunjukkan judul program yang sedang tayang di televisi tersebut. Sedangkan tulisan “NET.”

dibagian kanan atas gambar menunjukkan program “ENIGMA” ditayangkan di


(4)

36

kualitas gambar tayangan tersebut memiliki resolusi HD. HD merupakan singkatan High Definition yang mempunyai arti resolusi tinggi. Standar HD yang diakui internasional memiliki kriteria dimana resolusinya adalah 1280 x 720 dan 1920 x 1080 pixels. Berdasarkan deskripsi yang nampak visual pada ketiga gambar tersebut, secara denotatif maka makna yang diperoleh adalah polisi yang digambarkan bisa menunjukkan empatinya terhadap masyarakat.

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif dari ketiga gambar di atas bahwa polisi memiliki empati dan menghadapi masyarakat secara manusiawi agar polisi memiliki citra positif di masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adegan polisi yang memeluk serta merangkul masyarakatnya yang sedang ditimpa kesedihan. Merangkul ataupun memeluk merupakan salah satu dari bahasa tubuh yang selalu digunakan orang pada umumnya. David Cohen dalam buku Body Language (2009) mengatakan bahwa merangkul adalah upaya untuk menghibur. Seseorang yang dirangkul akan merasa dirinya lebih baik daripada sebelumnya. Pada gambar 4 dan 5 menunjukkan bahwa polisi sedang mengusap dan mengelus orang tua korban pembunuhan. Elusan di sini memiliki makna mengharapkan seseorang dalam keadaan baik atau mengharapkan mereka dapat melalui hari dengan baik (Gordon 2006:172). Secara konotasi, dapat dimaknai bahwa polisi memiliki hubungan yang dekat dengan masyarakatnya. Elusan dan usapan lembut adalah perilaku-perilaku sentuhan yang hanya bisa dilakukan pada orang yang memiliki hubungan dekat (Gordon 2006:172). Dari ketiga gambar pada korpus 1, polisi digambarkan menghibur masyarakat yang sedang mengalami kesedihan. Melalui adegan tersebut jelas membuat citra polisi menjadi positif di pandangan masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Gordon (2006:167) bahwa kontak badan seperti merangkul dan memeluk merupakan orang yang cenderung memiliki sikap yang lebih positif. Maka dengan begitu masyarakatpun akan memandang polisi sebagai orang yang bersikap positif.


(5)

37

Empati tentu dibutuhkan polisi agar menjadi sosok polisi yang ideal bagi masyarakat. Sayangnya, belum semua polisi yang memiliki sifat empati tersebut. Khususnya di Indonesia, peneliti melihat bahwa terdapat polisi yang masih kurang empati berdasarkan berita yang peneliti baca di web CNN Indonesia dengan judul

“Cerita Empati Polisi dan Gas Air Mata” (01/07/2016). Pada intinya berita

tersebut mengisahkan Megiza, seorang karib yang kena penipuan belanja online

hendak melapor ke kantor Polsek Duren Sawit, Jakarta Timur (26/6). Sesampai di Polsek, Megiza bergegas menuju ruang Sentra Pelayanan Masyarakat (SPK). Kemudian seorang polisi berpangkat Aiptu menerima laporan Megiza dengan santai (sesantai orang yang tidak menghadapi masalah), bahkan juga ada petugas polisi yang menanggapi acuh tak acuh. Kemudian saat Megiza mau numpang print barang bukti ke ruang Subnit III Reserse Kriminal, terdapat tiga penyidik di ruang tersebut sedang duduk menatap layar ponsel masing-masing dan para penyidik tersebut tampak tak berminat membantu. Kesimpulan dari penulis berita tersebut, ada yang salah dengan empati para petugas polisi ini. Berhati-hati dan memupuk rasa empati, perlu menjadi perhatian penting Korps Bhayangkara1 . Kasus tersebut merupakan salah satu kasus dari sebagian banyak kasus yang mencerminkan mitos yang ada di Indonesia. Mitos yang menyatakan bahwa polisi sejak dahulu kurang berempati dengan masyarakatnya. Kasus tersebut juga tidak mencerminkan ideologi Pancasila yang dianut oleh masyarakat Indonesia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

1

Kandi, Rosmiyati D. 15 Juli 2016. Diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-air-mata/


(6)

38

Korpus 2

Kategori 2 (Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi manusia). Terdapat dua adegan yang sesuai dengan kategori ke-dua, diantaranya terdapat pada scene 8 (Episode 1) dan scene 2 (Episode 3).

Gambar 6 Gambar 7

(Scene 8, Episode 1) (Scene 2, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 6 menampilkan adegan Iptu Ardi yang sedang memberikan minum kepada ibu Soffie. Terlihat ibu Soffie yang mengenakan kaos berwarna hitam sedang mengepalkan tangan kanannya dan tangan kirinya menggenggam tangan kanannya. Dibagian kanan gambar, Iptu Ardi yang mengenakan baju hitam dengan memakai kalung tanda pengenal kepolisian sedang membungkukkan badannya sambil menyodorkan satu gelas air putih kepada ibu Soffie dengan tangan kanannya. Gambar 7 menampilkan adegan Iptu Ardi sedang meminta Citta untuk ikut penyidikan ke kantor polisi. Pada adegan ini, Citta telah menolak terlebih dahulu ajakan Iptu Ardi. Setelah itu terlihat Iptu Ardi memakai jaket hitam dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan mempertautkan kedua telapak tangannya semacam jari-jarinya membentuk menara, berbicara lembut kepada Citta agar Citta mau ikut ke kantor polisi. Tepat di depan Iptu Ardi, ada Citta yang sedang berdiri mengenakan jaket berwarna coklat sambil melihat gerakan isyarat tangan Iptu Ardi. Berdasarkan ciri – ciri yang nampak pada gambar 6 dan gambar 7, peneliti menemukan dua aspek, diantaranya adalah budaya dan bahasa tubuh. Model berpakaian merupakan salah


(7)

39

satu dari unsur-unsur yang bisa menunjukkan identitas budaya rakyat. (Schreiter, 2006 : 89)

2. Makna Konotatif

Secara konotatif, gambar 6 dilihat dari aspek budayanya, peneliti condong melihat dari model berpakaian. Ibu Soffie dan Iptu Ardi berpakaian dengan warna hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana hati Ibu Soffie masih dalam kedukaan mendalam atas kematian Alana. Baju Hitam yang dipakai Iptu Ardi menunjukkan bahwa dirinya juga turut merasakan duka yang mendalam atas kematian Alana. Warna hitam melambangkan kematian atau kesedihan.2 Gambar 6 memiliki makna bahwa polisi santun menghadapi warganya. Seperti yang dijelaskan oleh Farouk Muhammad, kata santun disini dapat diartikan seorang polisi yang mempunyai sikap tidak menunjukkan kekuasaannya seolah dia figur penguasa. Hal itu dapat dibuktikan dari bahasa tubuh Iptu Ardi. Dengan badan yang membungkuk, Iptu Ardi memberikan segelas air putih kepada Ibu Soffie. Badan yang membungkuk menunjukkan kerendahan hati (Gordon, 2006:116). Begitupun sebaliknya, sikap tubuh yang tegak menunjukkan status yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa seorang polisi juga setara dengan warga ataupun masyarakat biasa. Bisa diartikan juga bahwa polisi tidak lebih tinggi statusnya dari pada warga biasa. Segelas air putih yang dibawa Iptu Ardi menunjukkan kesederhanaan seorang polisi yang ingin memberi ketenangan pada warganya.

Gambar 7 secara konotatif menunjukkan bahwa polisi menghargai hak-hak asasi manusia. Polisi tidak bersikap arogan. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan adegan Iptu Ardi yang ditolak Citta untuk ikut ke kantor polisi. Saling menghargai menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, terutama ketika terjadi perbedaan, termasuk perbedaan gender. Sikap penghargaan kepada orang lain berarti tidak memaksakan kehendak kepada orang lain (Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan Tim Universitas Pattimura Ambon, 2014:475). Sikap Iptu Ardi yaitu tidak

2

Nasution, Siti F . 18 Juli 2016. Diakses dari


(8)

40

memaksa, lalu mengajaknya kembali dengan memakai bahasa tubuhnya. Dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan mempertautkan kedua telapak tangannya semacam jari-jarinya membentuk menara, Iptu Ardi mulai membujuk Citta dengan kata-kata dan dibantu oleh gerakan non-verbal. Akhirnya Citta pun menuruti permintaan Iptu Ardi. Sebuah tim peneliti menemukan bahwa ketika orang sedang aktif, dengan berbagai gerakan non-verbal, maka mereka akan digolongkan sebagai orang yang hangat, lebih kasual, ramah dan energik. Gerak-gerik dan gerakan tubuh yang terbuka dapat menjadi cara yang sangat berguna untuk bisa menciptakan komunikasi yang hangat, penuh kepercayaan dan keramahtamahan. Khususnya ketika kita ingin memengaruhi seseorang supaya berubah pikiran atau membuat mereka bersedia melakukan tindakan tertentu yang sebetulnya tidak mereka inginkan. (Gordon, 2006:104)

Sikap tidak arogan perlu dijalankan oleh seorang polisi agar menjadi sosok yang ideal bagi masyarakat. Dengan tidak menggunakan pangkat atau jabatannya untuk menunjukkan dirinya memiliki status yang lebih tinggi, membuat sosok polisi terlihat rendah hati dan tidak arogan di pandangan masyarakat. Bukan seperti sikap polisi yang peneliti temui di webmerdeka.com dengan judul “Polisi pukul kepala pemotor, diprotes malah pamer pangkat” (17/02/2016). Wiwin Susilowati, seorang ibu asal Klaten, Jawa Tengah, mengaku menjadi korban kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Pemilik akun Facebook Sella Bunda Rifat mengeluhkan tindakan polisi yang bernama Sriyanto. Seluruh keluh kesahnya diunggah melalui akun Facebook miliknya. Ibu Sella menjelaskan saat sedang mengantarkan anaknya yang bernama Rifat pergi ke sekolah, dia bertemu razia (operasi) kendaraan bermotor. Kemudian saat melewati pembatas operasi, bu Sella terkena pukulan Iptu Sriyanto yang mengarah ke kepala ibu Sella dan mengenai helmnya. Secara langsung bu Sella bertanya alasan mengapa Iptu Sriyanto memukulnya. Lalu beginilah jawaban Iptu Sriyanto: “klo gak terima laporkan saja nama saya ini (sambil tunjukin nama) pangkat saya ini (sambil tunjukin pangkat)”. Merasa ditantang, ibu Sella langsung melaporkan kelakuan polisi tersebut ke Propam Polres Klaten. Laporan tersebut diberi nomor


(9)

41

SPTL/01/II/2016/Propam.3. Kasus yang terjadi di Klaten ini membuktikan bahwa dalam realitanya masih ada polisi yang menjadikan jabatannya atau menunjukkan kekuasaannya sebagai seorang figur penguasa.

Korpus 3

Kategori 3 (Polisi juga harus fair). Terdapat empat adegan yang sesuai dengan kategori ke-tiga, diantaranya terdapat pada scene 18, scene 19, scene 22, dan scene 34 (Episode 3).

Gambar 8 Gambar 9

(Scene 18, Episode 3) (Scene 19, Episode 3)

Gambar 10 Gambar 11

(Scene 22, Episode 3) (Scene 34, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 8 menampilkan adegan Iptu Bimo berada di ruangan kerja nya sedang menginterogasi William. Dimeja kerja Iptu Bimo

3

Pratomo, Yulistyo . 18 Juli 2016. Diakses dari


(10)

42

terdapat beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir kopi, laptop berwarna abu-abu, telepon dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau untuk William. Tepat di depan Iptu Bimo, William yang mengenakan kemeja hijau kebiru-biruan sedang duduk bersandar dengan tangan yang dilipat dan di sandarkan di atas tepat ditengah antara kedua paha nya. Gambar 9 menampilkan adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang menginterogasi Citta. Iptu Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan kalung tanda pengenal polisi sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja kerja nya. Selain mesin ketik, di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Citta. Tepat di depan Iptu Ardi, Citta yang mengenakan jaket coklat sedang duduk bersandar dengan menggenggam handphone ditangannya. Gambar 10 menampilkan adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang menginterogasi Lala. Iptu Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan kalung tanda pengenal polisi sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja kerjanya. Selain mesin ketik, di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Lala. Tepat di depan Iptu Ardi, Lala yang mengenakan kaos dengan motif bergaris hijau putih sedang duduk dengan badan tegap dan sedikit condong ke depan dengan m enyandarkan tangannya di meja. Gambar 11 menampilkan adegan AKP Nina berada di ruangan kerjanya sedang menginterogasi Tezar. AKP Nina yang memakai jaket hitam sedang melipat tangannya dan disenderkan di meja. Di meja kerjanya terdapat beberapa map dan dokumen penting, sebuah laptop, satu layar LCD komputer lengkap dengan keyboard nya, tempat pena berwarna hitam, secangkir kopi, dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Tezar. Tepat di depan AKP Nina, Tezar yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hitam putih sedang duduk bersandar dengan kepala yang sedikit menunduk dengan tangan kiri yang terangkat ke wajahnya.


(11)

43

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif dari ke-empat gambar pada Korpus 3 bahwa polisi fair terhadap masyarakatnya. Kata Fair berasal dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kata Adil. Menurut pendapat Frans Magnis Suseno, pengertian keadilan yakni keadaan dimana seseorang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing. Sedangkan keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yakni tak berat sebelah, sepatutnya tak sewenang-wenang.4

Kesan pertama ketika kita melihat ke-empat gambar di atas secara keseluruhan adalah polisi itu fair. Hal tersebut dapat di tunjukkan lewat mereka berempat (William, Citta, Lala, dan Tezar) yang di perlakukan dengan sama oleh polisi yaitu diberi tempat duduk, segelas air putih dan tak ada kontak fisik atau kekerasan diantara mereka. Segelas air putih dengan tutup hijau di meja kerja masing-masing seorang polisi. Saat diinterogasi, urut sesuai nomor gambar, mulai dari William, Citta, Lala, dan Tezar, mereka semua mendapatkan segelas air putih yang sama. Selain dari segelas air putih, perlakuan polisi terhadap William, Citta, Lala dan Tezar menunjukkan bahwa polisi itu fair. Polisi digambarkan tidak sewenang-wenang melakukan kontak fisik seperti tindakan kekerasan terhadap orang yang diinterogasi. Seperti yang dimaksud oleh Farouk Muhammad dalam Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118), fair artinya polisi harus memperlakukan semua orang dengan sama. Pada adegan dalam ke-empat gambar tersebut (gambar 8, 9, 10, dan 11), polisi memperlakukan semua orang dengan sama.

Tetapi pada realitas yang ada, polisi di Indonesia sepertinya masih sulit untuk memperlakukan semua orang dengan sama. Satu minggu sebelum film “Enigma” perdana tayang, terdapat sebuah acara talkshow “Kick Andy” di Metro TV yang mengundang korban salah tangkap di Indonesia. Di antaranya ada dua

4

Khasanah, Uswatun . 18 Juli 2016. Diakses dari


(12)

44

korban, yang pertama adalah Dedi bin Mugeni (34), seorang tukang ojek yang dituduh membunuh supir angkot pada 18 September 2014. Dedi mengalami kekerasan fisik yang dilakukan polisi. Ia kerap ditonjok dan ditendang oleh penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur. Ia ditangkap, dianiaya hingga dipenjara tanpa bukti.5 Kedua adalah Syamsul Arifin (27), pemuda warga Rungkut Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Syamsul ditangkap pada 8 Februari 2011 oleh aparat Polda Jawa Timur. Syamsul dituduh mencuri televisi 21 inchi milik tetangganya. Sejumlah bogem mentah dan tendangan dari oknum polisi pun melayang ke tubuhnya. Bahkan, sebuah balok kayu dipukulkan ke kaki kanannya, sehingga membuatnya harus merasakan penderitaan yang berkepanjangan. “Akibat dipukul kayu, kaki saya bila kedinginan merasa sakit. Bila sudah bergerak, kaki ini terasa sakit bila mau diluruskan,” ucapnya. Syamsul juga sempat mengalami kepalanya ditutup kantong kresek hingga sulit bernapas. 6 Hal tersebut bias dengan perlakuan polisi terhadap Jessica Kumala Wongso, tersangka kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Mirna tewas seketika setelah minum kopi yang bercampur sianida. Kasus pembunuhan ini terjadi di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica diduga menaruh sianida dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Pada 19 Januari 2016, Pemyidik memanggil Jessica untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan selesai, Jessica keluar dengan tersenyum dan enggan berbicara saat dihampiri wartawan.7 Menurut Kompolnas Edy Hasibuan, Jessica tampak santai dan tidak terlihat raut wajah tertekan atau stres karena pemeriksaan yang dilakukan penyidik kepolisian.8 Tidak hanya dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Jessica diperiksa

5

Ansyari, Syahrul. 17 November 2015. Diakses dari

http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisi#

6

Suhendi, Adi. 23 Juni 2016. Diakses dari

http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2

7

Pratama, Akhdi Martin. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica

.kumala.wongso.

8

Rimadi, Lukman. 25 Juli 2016. Diakses dari


(13)

45

dalam keadaan baik, dari pihak Jessica juga mengatakan hal serupa. Kuasa hukum Jessica menyebut bahwa polisi memperlakukan kliennya dengan baik.9 Perlakuan yang dialami oleh Dedi dan Syamsul tentu bias dengan yang dialami Jessica. Perlakuan polisi terhadap mereka tidaklah sama. Berdasarkan kasus tersebut, menunjukkan pada kenyataannya polisi masih sulit bekerja dengan fair.

Korpus 4

Kategori 4 (Polisi juga harus jujur dan amanah). Terdapat satu adegan yang sesuai dengan kategori ke-empat, yaitu terdapat pada scene 29 (Episode 3).

Gambar 12

(Scene 29, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 12 menampilkan adegan AKP Nina yang sedang berbicara dengan Iptu Bimo. Terlihat ketiganya sedang berdiri di area kantor polisi setelah memberikan laporan kepada Kompol Surya. Di gambar bagian kiri, terlihat Iptu Ardi sedikit menundukan kepalanya dengan mulut yang terbuka. Di bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo sedang menghadap depan tanpa memalingkan tatapannya pada AKP Nina yang hendak berbicara. Di bagian tengah gambar, terlihat AKP Nina sedang berdiri agak di belakang Iptu Bimo. AKP Nina sedang berbicara dengan menurunkan alis mata dan tatapan mata yang tajam kepada Iptu Bimo. Dalam adegan ini, AKP Nina berdialog kepada Iptu Bimo demikian: “Kita di sini sedang menangani kasus kejahatan. Kita kerja

9

Fiardini, Regina. 25 Juli 2016. Diakses dari


(14)

46

mengabdi kepada negara. Bekerja sebaik mungkin untuk setiap kasus yang masuk. Di sini ga ada kompetisi, Bim. Ga ada siapa yang lebih cepet, siapa yang lebih jago, siapa lebih pinter, siapa lebih cepet menangkap pelakunya. Semuanya bukan soal itu. Satu lagi aku bilang sama kamu ya Bim, ini soal dedikasi. Kamu ga bisa kerja sendirian. Inget bim, kerjasama.”

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahapan denotatif di atas, maka diperoleh makna konotatif yang dilihat dari bahasa tubuh serta dialog adegan tersebut. Iptu Ardi yang sedang menunduk kemudian menguap menunjukkan bahwa dirinya bosan di dalam situasi tersebut (Cohen, 2009:119). Di samping kanan Iptu Ardi, berdiri AKP Nina dengan tatapan tajam kepada Iptu Bimo dengan menurunkan alis matanya. Dengan menurunkan alis mata menunjukkan AKP Nina sedang marah dan bersemangat dalam berbicara kepada Iptu Bimo (Cohen, 2009:142). Dan di bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo yang tidak memalingkan hadapannya saat diajak berbicara oleh AKP Nina. Dari sikap hadapan Iptu Bimo, menunjukkan bahwa Iptu Bimo sedang cemas ataupun tidak suka dengan AKP Nina. (Cohen, 2009:102). Selain dari bahasa tubuh, terdapat dialog yang menunjukkan bahwa seorang polisi memiliki amanah. Dilihat dari dialog yang di ucapkan AKP Nina kepada Iptu Bimo, terdapat kata dedikasi. Dedikasi adalah cara diri mengabdi dan memberikan seluruh perhatian pada amanah yang telah dia terima. Mereka yang memiliki dedikasi akan tampak dari sikapnya yang bersungguh-sungguh, fokus, dan penuh dengan motivasi kerja keras. Mereka pantang menyerah dan melihat segala sesuatu sebagai sarana untuk memberikan pelayanan yang terbaik (service exellent) agar amanah yang diberikan kepadanya dapat dilaksanakan melebihi harapan dari si pemberi amanah. (Tasmara, 2006:86). Seorang polisi yang ideal seharusnya menjaga amanahnya. Tetapi tidak semua oknum polisi bisa menjaga amanahnya. Seperti oknum polisi yang berinisial AH yang bertugas di Polres Waykanan Lampung. AH yang berpangkat Brigadir ini ditangkap petugas atas kepemilikan dan penjualan senjata api. AH ditangkap pada


(15)

47

15 Februari 2016 sekitar pukul 19.00 oleh Unit I Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumsel.10

5.3 Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film

“ENIGMA” Serial “Kematian Alana”

Representasi dari film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” telah menempatkan polisi (penanda) sebagai objek bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi menjadi suatu daya tarik bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi (petanda) yang melibatkan bahasa tubuh serta dialog ini dibuat sedemikian rupa. Bahasa tubuh yang ditampilkan yakni seperti merangkul, mengusap bahu, memeluk, membungkukkan badan serta perlakuan yang baik kepada masyarakatnya. Terdapat juga dialog polisi yang menunjukkan bahwa polisi memiliki dedikasi serta menjaga amanahnya. Representasi yang dibentuk pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” ini telah membentuk citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia menjadi Institusi Kepolisian yang berperilaku kemanusiaan yakni memiliki rasa empati kepada masyarakatnya seperti mengusap bahu serta merangkul masyarakat yang sedang sedih. Santun menghadapi warga seperti memberi minuman kepada masyarakat yang sedang berada dikantor polisi. Menghargai hak-hak asasi manusia dengan bersikap tidak arogan terhadap masyarakatnya. Tidak menggunakan pangkat atau jabatannya sebagai seorang figur penguasa. Fair terhadap semua orang seperti adegan film yang terdapat pada korpus 3, masyarakatnya mendapat perlakuan yang sama dari masing-masing polisi. Polisi juga menjaga amanahnya seperti dialog yang terdapat pada adegan film di korpus 4. Dialog tersebut menggambarkan polisi yang memiliki dedikasi yang tinggi serta mengutamakan kerjasama antar polisi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi negara.

10

Hadinata, Welly. 25 Juli 2016. Diakses dari


(16)

48

Representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang terbentuk pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” tidaklah sesuai dengan realitas sosial yang terjadi. Adegan film tersebut cenderung seperti ingin menutupi mitos yang tertanam sejak lama di Indonesia. Ada gaya yang seolah melebih-lebihkan polisi dalam beradegan dalam scene tertentu. Dari sinilah istilah hiperealitas tercipta, seperti yang diungkapkan Umberto Eco, yang memperkenalkan teori Hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi, ketika masa lalu tersebut dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan lebih dari kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original). (Piliang, 2004 : 59). Pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”, polisi dikonstruksi memiliki rasa empati, santun menghadapi warga, fair terhadap semua orang, serta menjaga amanahnya sebagai seorang polisi. Gaya melebihkan sesuatu atau mengkonstruksi sesuatu seperti ini, dalam posmodernisme dikenal dengan istilah hiperealitas. (Audifax, 2006 : 19). Dengan dikonstruksi seperti itu, polisi akan menjadi sosok polisi yang ideal d an berkesan positif bagi masyarakat.

Dari seluruh penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa representasi citra yang terbentuk pada Institusi Kepolisian Republik Indonesia adalah citra keinginan. Dalam tulisan Malvi, citra keinginan menurut Frank Jefkins adalah seperti apa yang diingin dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap lembaga yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan diterima dengan kesan yang positif.11 Tentu kesan positif dari masyarakat saat ini sangat dibutuhkan oleh Institusi Kepolisian Republik Indonesia, dimana saat ini citra polisi sedang menurun dan dipandang negatif oleh masyarakat.

11

Malvi, Alvina. 25 Juli 2016. Diakses dari


(1)

43

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif dari ke-empat gambar pada Korpus 3 bahwa polisi fair terhadap masyarakatnya. Kata Fair berasal dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kata Adil. Menurut pendapat Frans Magnis Suseno, pengertian keadilan yakni keadaan dimana seseorang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing. Sedangkan keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yakni tak berat sebelah, sepatutnya tak sewenang-wenang.4

Kesan pertama ketika kita melihat ke-empat gambar di atas secara keseluruhan adalah polisi itu fair. Hal tersebut dapat di tunjukkan lewat mereka berempat (William, Citta, Lala, dan Tezar) yang di perlakukan dengan sama oleh polisi yaitu diberi tempat duduk, segelas air putih dan tak ada kontak fisik atau kekerasan diantara mereka. Segelas air putih dengan tutup hijau di meja kerja masing-masing seorang polisi. Saat diinterogasi, urut sesuai nomor gambar, mulai dari William, Citta, Lala, dan Tezar, mereka semua mendapatkan segelas air putih yang sama. Selain dari segelas air putih, perlakuan polisi terhadap William, Citta, Lala dan Tezar menunjukkan bahwa polisi itu fair. Polisi digambarkan tidak sewenang-wenang melakukan kontak fisik seperti tindakan kekerasan terhadap orang yang diinterogasi. Seperti yang dimaksud oleh Farouk Muhammad dalam Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118), fair artinya polisi harus memperlakukan semua orang dengan sama. Pada adegan dalam ke-empat gambar tersebut (gambar 8, 9, 10, dan 11), polisi memperlakukan semua orang dengan sama.

Tetapi pada realitas yang ada, polisi di Indonesia sepertinya masih sulit untuk memperlakukan semua orang dengan sama. Satu minggu sebelum film “Enigma” perdana tayang, terdapat sebuah acara talkshow “Kick Andy” di Metro TV yang mengundang korban salah tangkap di Indonesia. Di antaranya ada dua

4

Khasanah, Uswatun . 18 Juli 2016. Diakses dari


(2)

44

korban, yang pertama adalah Dedi bin Mugeni (34), seorang tukang ojek yang dituduh membunuh supir angkot pada 18 September 2014. Dedi mengalami kekerasan fisik yang dilakukan polisi. Ia kerap ditonjok dan ditendang oleh penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur. Ia ditangkap, dianiaya hingga dipenjara tanpa bukti.5 Kedua adalah Syamsul Arifin (27), pemuda warga Rungkut Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Syamsul ditangkap pada 8 Februari 2011 oleh aparat Polda Jawa Timur. Syamsul dituduh mencuri televisi 21 inchi milik tetangganya. Sejumlah bogem mentah dan tendangan dari oknum polisi pun melayang ke tubuhnya. Bahkan, sebuah balok kayu dipukulkan ke kaki kanannya, sehingga membuatnya harus merasakan penderitaan yang berkepanjangan. “Akibat dipukul kayu, kaki saya bila kedinginan merasa sakit. Bila sudah bergerak, kaki ini terasa sakit bila mau diluruskan,” ucapnya. Syamsul juga sempat mengalami kepalanya ditutup kantong kresek hingga sulit bernapas. 6 Hal tersebut bias dengan perlakuan polisi terhadap Jessica Kumala Wongso, tersangka kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Mirna tewas seketika setelah minum kopi yang bercampur sianida. Kasus pembunuhan ini terjadi di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica diduga menaruh sianida dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Pada 19 Januari 2016, Pemyidik memanggil Jessica untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan selesai, Jessica keluar dengan tersenyum dan enggan berbicara saat dihampiri wartawan.7 Menurut Kompolnas Edy Hasibuan, Jessica tampak santai dan tidak terlihat raut wajah tertekan atau stres karena pemeriksaan yang dilakukan penyidik kepolisian.8 Tidak hanya dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Jessica diperiksa

5

Ansyari, Syahrul. 17 November 2015. Diakses dari

http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisi# 6

Suhendi, Adi. 23 Juni 2016. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2

7

Pratama, Akhdi Martin. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica .kumala.wongso.

8

Rimadi, Lukman. 25 Juli 2016. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baik


(3)

45

dalam keadaan baik, dari pihak Jessica juga mengatakan hal serupa. Kuasa hukum Jessica menyebut bahwa polisi memperlakukan kliennya dengan baik.9 Perlakuan yang dialami oleh Dedi dan Syamsul tentu bias dengan yang dialami Jessica. Perlakuan polisi terhadap mereka tidaklah sama. Berdasarkan kasus tersebut, menunjukkan pada kenyataannya polisi masih sulit bekerja dengan fair.

Korpus 4

Kategori 4 (Polisi juga harus jujur dan amanah). Terdapat satu adegan yang sesuai dengan kategori ke-empat, yaitu terdapat pada scene 29 (Episode 3).

Gambar 12

(Scene 29, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 12 menampilkan adegan AKP Nina yang sedang berbicara dengan Iptu Bimo. Terlihat ketiganya sedang berdiri di area kantor polisi setelah memberikan laporan kepada Kompol Surya. Di gambar bagian kiri, terlihat Iptu Ardi sedikit menundukan kepalanya dengan mulut yang terbuka. Di bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo sedang menghadap depan tanpa memalingkan tatapannya pada AKP Nina yang hendak berbicara. Di bagian tengah gambar, terlihat AKP Nina sedang berdiri agak di belakang Iptu Bimo. AKP Nina sedang berbicara dengan menurunkan alis mata dan tatapan mata yang tajam kepada Iptu Bimo. Dalam adegan ini, AKP Nina berdialog kepada Iptu Bimo demikian: “Kita di sini sedang menangani kasus kejahatan. Kita kerja

9

Fiardini, Regina. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-kepada-jessica


(4)

46

mengabdi kepada negara. Bekerja sebaik mungkin untuk setiap kasus yang masuk. Di sini ga ada kompetisi, Bim. Ga ada siapa yang lebih cepet, siapa yang lebih jago, siapa lebih pinter, siapa lebih cepet menangkap pelakunya. Semuanya bukan soal itu. Satu lagi aku bilang sama kamu ya Bim, ini soal dedikasi. Kamu ga bisa kerja sendirian. Inget bim, kerjasama.”

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahapan denotatif di atas, maka diperoleh makna konotatif yang dilihat dari bahasa tubuh serta dialog adegan tersebut. Iptu Ardi yang sedang menunduk kemudian menguap menunjukkan bahwa dirinya bosan di dalam situasi tersebut (Cohen, 2009:119). Di samping kanan Iptu Ardi, berdiri AKP Nina dengan tatapan tajam kepada Iptu Bimo dengan menurunkan alis matanya. Dengan menurunkan alis mata menunjukkan AKP Nina sedang marah dan bersemangat dalam berbicara kepada Iptu Bimo (Cohen, 2009:142). Dan di bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo yang tidak memalingkan hadapannya saat diajak berbicara oleh AKP Nina. Dari sikap hadapan Iptu Bimo, menunjukkan bahwa Iptu Bimo sedang cemas ataupun tidak suka dengan AKP Nina. (Cohen, 2009:102). Selain dari bahasa tubuh, terdapat dialog yang menunjukkan bahwa seorang polisi memiliki amanah. Dilihat dari dialog yang di ucapkan AKP Nina kepada Iptu Bimo, terdapat kata dedikasi. Dedikasi adalah cara diri mengabdi dan memberikan seluruh perhatian pada amanah yang telah dia terima. Mereka yang memiliki dedikasi akan tampak dari sikapnya yang bersungguh-sungguh, fokus, dan penuh dengan motivasi kerja keras. Mereka pantang menyerah dan melihat segala sesuatu sebagai sarana untuk memberikan pelayanan yang terbaik (service exellent) agar amanah yang diberikan kepadanya dapat dilaksanakan melebihi harapan dari si pemberi amanah. (Tasmara, 2006:86). Seorang polisi yang ideal seharusnya menjaga amanahnya. Tetapi tidak semua oknum polisi bisa menjaga amanahnya. Seperti oknum polisi yang berinisial AH yang bertugas di Polres Waykanan Lampung. AH yang berpangkat Brigadir ini ditangkap petugas atas kepemilikan dan penjualan senjata api. AH ditangkap pada


(5)

47

15 Februari 2016 sekitar pukul 19.00 oleh Unit I Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumsel.10

5.3 Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film

“ENIGMA” Serial “Kematian Alana”

Representasi dari film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” telah menempatkan polisi (penanda) sebagai objek bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi menjadi suatu daya tarik bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi (petanda) yang melibatkan bahasa tubuh serta dialog ini dibuat sedemikian rupa. Bahasa tubuh yang ditampilkan yakni seperti merangkul, mengusap bahu, memeluk, membungkukkan badan serta perlakuan yang baik kepada masyarakatnya. Terdapat juga dialog polisi yang menunjukkan bahwa polisi memiliki dedikasi serta menjaga amanahnya. Representasi yang dibentuk pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” ini telah membentuk citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia menjadi Institusi Kepolisian yang berperilaku kemanusiaan yakni memiliki rasa empati kepada masyarakatnya seperti mengusap bahu serta merangkul masyarakat yang sedang sedih. Santun menghadapi warga seperti memberi minuman kepada masyarakat yang sedang berada dikantor polisi. Menghargai hak-hak asasi manusia dengan bersikap tidak arogan terhadap masyarakatnya. Tidak menggunakan pangkat atau jabatannya sebagai seorang figur penguasa. Fair terhadap semua orang seperti adegan film yang terdapat pada korpus 3, masyarakatnya mendapat perlakuan yang sama dari masing-masing polisi. Polisi juga menjaga amanahnya seperti dialog yang terdapat pada adegan film di korpus 4. Dialog tersebut menggambarkan polisi yang memiliki dedikasi yang tinggi serta mengutamakan kerjasama antar polisi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi negara.

10

Hadinata, Welly. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-saat-jual-senjata-api-polisi


(6)

48

Representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang terbentuk pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” tidaklah sesuai dengan realitas sosial yang terjadi. Adegan film tersebut cenderung seperti ingin menutupi mitos yang tertanam sejak lama di Indonesia. Ada gaya yang seolah melebih-lebihkan polisi dalam beradegan dalam scene tertentu. Dari sinilah istilah hiperealitas tercipta, seperti yang diungkapkan Umberto Eco, yang memperkenalkan teori Hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi, ketika masa lalu tersebut dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan lebih dari kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original). (Piliang, 2004 : 59). Pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”, polisi dikonstruksi memiliki rasa empati, santun menghadapi warga, fair terhadap semua orang, serta menjaga amanahnya sebagai seorang polisi. Gaya melebihkan sesuatu atau mengkonstruksi sesuatu seperti ini, dalam posmodernisme dikenal dengan istilah hiperealitas. (Audifax, 2006 : 19). Dengan dikonstruksi seperti itu, polisi akan menjadi sosok polisi yang ideal d an berkesan positif bagi masyarakat.

Dari seluruh penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa representasi citra yang terbentuk pada Institusi Kepolisian Republik Indonesia adalah citra keinginan. Dalam tulisan Malvi, citra keinginan menurut Frank Jefkins adalah seperti apa yang diingin dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap lembaga yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan diterima dengan kesan yang positif.11 Tentu kesan positif dari masyarakat saat ini sangat dibutuhkan oleh Institusi Kepolisian Republik Indonesia, dimana saat ini citra polisi sedang menurun dan dipandang negatif oleh masyarakat.

11

Malvi, Alvina. 25 Juli 2016. Diakses dari


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana” T1 362012027 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana” T1 362012027 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana” T1 362012027 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana” T1 362012027 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana”

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film “Enigma” Serial “Kematian Alana”

0 3 165

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya T1 362008093 BAB V

0 0 3

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan terhadap Kematian pada Individu Setengah Baya Desa Randusari T1 BAB V

0 0 2

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persidangan Kematian Mirna Salihin dalam Bingkai Media Online: detik.comompas.com T1 BAB V

1 2 76

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Stereotip Etnis Ambon dalam Film Red Cobex T1 BAB V

0 0 2