Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012) T1 362008020 BAB II

(1)

7

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Evangelism

Penginjilan adalah memberitakan Kabar Baik tentang Kristus. Hal ini dinyatakan jelas dalam Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20. Tuhan Yesus sendiri memberi perintah kepada setiap orang percaya untuk memberitakan Injil, tanpa kecuali. Penginjilan itu lebih dari pada sekadar metode, penginjilan adalah sebuah berita. Berita tentang kasih Allah, tentang dosa manusia, tentang kematian Kristus, tentang penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya. Penginjilan adalah berita yang menuntut suatu tanggapan menerima Injil itu dengan iman, lalu menjadi murid Yesus. Istilah "penginjilan" mencakup segala usaha untuk memberitakan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Tujuannya ialah supaya orang-orang mengerti bahwa Allah menawarkan keselamatan dan supaya mereka menerima keselamatan itu dengan iman, lalu hidup sebagai murid Yesus.4

Memberitakan Injil tidaklah mudah. Seorang penginjil masa kini harus mempunyai strategi-strategi khusus agar penginjilan itu menjadi efektif. Selain itu, sikap hidup seorang penginjil harus sesuai dengan injil yang diberitakanya, sehingga keteladanannya mencerminkan Kristus sendiri. Integritas adalah modal utama seorang pemimpin. Integritas tidaklah sama dengan citra diri (image). "Image" adalah persepsi orang mengenai diri kita, sedangkan integritas adalah siapa diri kita sesungguhnya. Integritas sangat penting untuk menegaskan berita Injil yang disampaikan. Bukan hanya sekadar kata-kata, dan berita tanpa kenyataanya, tapi berita itu menjadi sungguh nyata.1 Penginjilan bersifat berkelanjutan (Strong James, 1997). Alkitab menyatakan keberlanjutan penginjilan sebagai berikut:

1James Strong‟s Exhaustive Concordance Of The Bible 1997 (Iowa: Riverside BOOK and Bible House Iowa Falls),p.33


(2)

8 “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." , (Matius 28:19 20).

Sejarah paradigma penginjilan sejalan dengan perkembangan dunia informasi dan teknologi. Di era perkembangan teknologi informasi saat ini, kegiatan penginjilan yang dulu terpusat di Gereja-gereja, saat ini mulai beralih kepada pemanfaatan sarana informasi teknologi. Penginjilan dapat dilakukan melalui majalah, surat kabar, radio, televisi, internet, dan media massa lainnya. Banyak sekali kesaksian orang yang bertobat dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat melalui media massa. Metode seperti ini harus disertai dengan ilmu-ilmu lain, misalnya: ilmu jurnalistik untuk penginjilan melalui penulisan; ilmu komunikasi yang khusus dan sesuai untuk media massa; ilmu teknik yang menjadi media pembawa berita, dan sebagainya. Bagaimanapun metode yang diterapkan, penginjilan tetap bergantung kepada konsep kuasa Roh Kudus dan manusia yang menjalankan metode tersebut. Dengan kata lain, keberhasilan penerapan metode tersebut bergantung kepada manusia yang dipimpin Roh Kudus.

(Bounds, 2009) dalam bukunya "Power through Prayer's" mengatakan sebagai berikut: "Manusia mencari metode dalam penginjilan, tetapi Allah mencari manusia untuk melakukannya”2. Harus diakui bahwa kemajuan teknologi dalam bidang informasi saat ini sangat pesat pertumbuhannya Tuhan tetap mencari manusia dan bukan sekadar metode untuk melaksanakan kehendak-Nya di antara manusia di bumi.

Bagi umat Kristiani media komunikasi menjadi salah satu sarana mewartakan iman dan Kerajaan Allah secara efektif dan efisien kepada semua orang, baik yang seiman maupun yang tidak seiman, dengan tujuan agar mereka semua mengalami


(3)

9 keselamatan. Media komunikasi ternyata juga memainkan peranan penting dalam karya pewartaan. Media komunikasi dapat digunakan untuk mewartakan ajaran-ajaran Kristus, agar ajaran-ajaran Kristus tersebut dapat dikenal dan diterima seutuhnya oleh seluruh manusia di dunia. Dan akhirnya ajaran-ajaran Kristus itu tidak hanya membawa keselamatan bagi umat Kristiani saja, melainkan juga kemajuan bagi seluruh manusia di dunia. Hal ini dapat kita lihat antara lain banyaknya muncul majalah, program-program televisi dan situs-situs di internet yang bersifat kerohanian yang dapat kita akses dengan mudah. Selanjutnya, media komunikasi dapat juga dipakai untuk menebarkan keutamaan teologal: iman, harapan dan kasih kepada umat beriman Kristiani, agar supaya iman, harapan dan kasih mereka terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang dikehendaki. Selain itu juga, media komunikasi dapat dimanfaatkan untuk mempererat tali persaudaraan, menggalang solidaritas, menyuarakan keadilan dan perdamaian dunia.

Menurut peneliti sendiri program acara Onecubed menjadi salah satu media komunikasi mewartakan Injil, Onecubed menjadi suatu program dengan metode penginjilan bagi anak muda. Melalui program ini Injil dapat disampaikan dengan lebih menarik dan kreatif, orang-orang yang melihat tayangan ini mereka akan mendengar kabar keselamatan.

2.2 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa

Kehadiran televisi di dunia telah membawa dampak yang besar bagi umat manusia. Televisi membawa berbagai kandungan informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh pelosok dunia. Televisi menjadi berbagai alat bagi berbagai kelompok untuk menyampaikan berbagai pesan untuk bermacam kalangan masyarakat. Dalam kehidupan kita sekarang, televisi telah membawa dampak yang sangat besar buat manusia. Televisi membawa berbagai kandungan informasi, dimana pesan-pesannya dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh tempat yang dengan mudah diterima tanpa perdebatan mengenai fasilitas yang terlalu


(4)

10 beragam. Hal ini membuat orang bisa secara langsung mendapatkan informasi yang dibutuhkan tanpa membutuhkan waktu yang lama. Di sinilah peranan televisi demikian penting dan dibutuhkan oleh manusia, serta menjadikan daya tarik menonton masyarakat meningkat.

Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama.

Berlo (dalam Wiryanto, 2005) mengartikan massa sebagai meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran. Komunikator dalam proses komunikasi massa selain merupakan sumber pesan, mereka juga berperan sebagai gate keeper (lihat McQuail, 1987; Nurudin, 2003). Yaitu berperan untuk menambah, mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami oleh audience-nya. Bitner (dalam Tubbs, 1996) menyatakan bahwa pelaksanaan peran gate keeper dipengaruhi oleh: ekonomi; pembatasan legal; batas waktu; etika pribadi dan profesionalitas; kompetisi diantara media; dan nilai berita.

Menurut peneliti, dengan perkembangan teknologi komunikasi penyebaran pesan secara luas dan dalam waktu yang singkat saat ini bukan hal yang sulit dilakukan. Dalam media massa media yang digunakan menyebarkan suatu pesan. Media massa kemudian menjadi sesuatu yang penting, berpengaruh, dan mampu menyebarkan pesan secara baik. Pesan media yang ditransmisikan secara luas kepada khalayak tersebut mengandung ideologi tertentu jika ditransmisikan dalam waktu


(5)

11 lama dan frekuensi yang sering akan memberikan efek tertentu pada khalayak. Hal ini terjadi karena isi media dibuat oleh orang-orang yang juga memiliki ideologi dan pandangan tertentu. Salah satu pesan yang membutuhkan media massa untuk bisa ditransmisikan secara luas adalah pesan penginjilan.

2.2.1 Konstruksi Sosial Media Massa

Berger dan Luckmann (Poloma, 2004:301) meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya. Paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.3 Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta.

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas promer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atua fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.


(6)

12 Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian

dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan

-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi. 4 Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.

b. Keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita demi kepentingan kapitalis.

c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada

4 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189


(7)

13 kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan.

2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran, adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai

otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.

(2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa.

(3) sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila ia belum membaca koran.

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu


(8)

14 berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah lifestyle orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media berdasarkan subyektivitas media, namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses.

Media sebagai arena pertarungan dan pendominasian wacana tentunya antara kekuatan sosial-politik yang ada saling mempengaruhi, dimana mereka saling berlomba untuk mempengaruhi pendapat publik guna pemenang suara pada pemilu. Dalam hal ini media cetak di lihat sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik tersebut.

Analisis Framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana banyak mengadopsi perangkat operasional analisis wacana. Analisis Framing dapat mengungkap kecenderungan perspekif media saat mengkonstruksi fakta sebagai bangunan realitas konstruksional.

Menurut Eriyanto, terdapat empat model analisi framing, yaitu pertama Murray

Edelman, dalam bukunya “Contestablle Categories and Public Opinion” ia

mensejajarkan framing sebagai kategorisasi, artinya pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami, kategorisasi juga dapat diartikan sebagai penyederhanaan, realitas yang kompleks dan berdimensi banyak dipahami dan ditekankan supaya dipahami dan hadir dalam benak khalayak. 5

Kedua, adalah Robert Entman dalam metodenya framing dilakukan dengan empat cara yaitu: problem identification (indifikasi masalah), casual interpretation


(9)

15 (indifikasi penyebab masalah), moral identification (evaluasi moral) dan treatment recommendation (saran penanggulangan masalah). 6

Model ketiga framing Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (1993) dalam tulisan mereka yang berjudul “Framing Analysis: An Approach to New Discourse” mengoperasionalkan empat dimensi structurak teks sebagai perangkat framing, yaitu sintaksis, skrip, temantik, dan retoris.7

Model keempat, William A. Gamson mendefinisikan framing dalam dua pendekatan yaitu pendekatan menghasilkan framing dama level cultural, dan pendekatan psikologis yang menghasilakn framing dalam level individual. Framing dalam level cultural dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana. Dalma hal ini, frame memberikan pentunjuk elemen-elemen isu makna yang relevan untuk diwacanakan, problem-problem apa yang memerlukan tindakan-tindakan politis, solusi yang pantas diambil, serta makna yang legitimate dalam wacana yang terbentuk. 8

Framing dalam level individu, berangkat dari asumsi bahwa individu selalu bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional dan internasional, yang selalu merunjuk pada fra me of reference (kerangka referensi) dan field of experience (bidang pengalaman). Artinya, individu dalam memaknai realitas selalu melibatkan pengalaman hidup, wawasan sosial dan kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima. Pengalaman dan pengetahuan individu pada akhirnya mengendap dan mengkristal sehingga terbentuk (schemata of interpretation). Schemata inilah yang memberikan kemampuan kepada individu untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi dan memberikan lebel pada informasi yang diterimanya.

6

Alex Sobur, halaman 172-175 7 Eriyanto, (2001: 251-266)

8 Analisis Framing: Konstruksi, ideology, dan Politik Media, Eriyanto, penerbit LKSIS (2002: 217-228)


(10)

16

2.2.2 Teks Sebagai Wacana

Konsep tentang citra dan program televisi sebagai teks yang dibaca telah dibakukan sebagai pendekatan kritis. Konsep ini merupakan perpanjangan dari proses pembacaan teks-teks satra. Secara historis konsep teks, sebagaimana diterapkan pada artefak budaya mana pun, berhubungan dengan membuka kembali jalinan makna dan citra. Fiske (1991:36) bahkan menekankan gagasan bahwa teks televisi bersifat ambigu, bahkan media tersebut bersifat polisemik atau dipenuhi oleh kode-kode serta tanda-tanda yang dapat diintepretasikan. Fiske melukiskan televisi sebagai sebuah teks yang menyifati sifat produser (producerly text). Menurutnya, televisi

„mendelegasikan produksi makna kepada produser-permisa‟

Norman Fairclough (1995:36) menggambarkan teks sebagai

mempresentasikan berbagai pandangan dan kepentingan produsernya: „teks-teks media merupakan versi realitas yang tergantung pada posisi dan kepentingan sosial serta tujuan produsernya‟.

2.3Membaca Teks Televisi

Proses melihat gambar televisi yang tersusun atas representasi adalah proses yang kompleks. Melihat bukan sekedar aktivitas visual. Tindakan melihat hanya merupakan bagian dari persepsi, yang dalam proses itu kita harus memahami apa yang dilihat (kembali pada makna lagi). Sudut pandang dipahami lebih secara harfiah berdasarkan pembacaan atau citra. Sudut pandang ini berhubungan dengan posisi temporer teks televisi. Sudut pandang dipahami secara harfiah berdasarkan pembacaan gambar atau citra. Berkenaan dengan waktu, misalnya sebagai pemirsa kita sadar terhadap apa arti yang tengah berlangsung di layar kaca.

2.3.1 Ideologi

Burfon (2008:193) secara sederhana menjelaskan bahwa ideologi adalah seperangkat kepercayaan dan nilai yang melengkapi pandangan tentang dunia dan tentang hubungan kekuasaan antara orang-orang dan kelompok-kelompok. Setiap


(11)

17 orang memiliki semacam ideologi atau pandangan tentang dunia serta bagaimana dunia sekarang dan bagaimana dunia seharusnya.

Sedangkan Rosalind Brunt menggambarkan ideologi sebagai “ sistem

keyakinan yang bersifat mejelaskan” dan menautkannya pada “kesadaran bahwa

televisi mengomunikasikan beragam makna, nilai, dan keyakinan” (Burton, 2007:37). Televisi adalah sebuah agen pembawa ideologi. Beragam program televisi merepresentasikan ideologi. Televisi tidak bisa bebas dari ideologi karena televisi menjadi sarana bagi berbagai kepentingan dan nilai pemegang kekuasaan dicekokkan kepada mereka yang menjadi sasaran kekuasaan, meski penerapan kekuasaan itu sebagaian besar tak tampak. Televisi kemudian menjadi ideologi baru atau bahkan agama baru.

Althusser dan Gramsci sepakat bahwa media massa bukanlah entitas yang idependen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa, kepentingan ideologi masyarakat dan Negara, kapitalisme pemilik modal, keberlangsungan media, dan sebagainya (Sobur, 2004:30).

Dalam teori kritis, ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk realitas kelompok atau masyarakat, yaitu suatu system representasi atau kode makna yang mengatur bagaimana individu memandang dunia. Dalam pandangan Marxisme klasik, suatu idoelogi adalah seperangkat gagasan yang salah yang dilestarikan oleh kekuatan politik dominan dan karenanya, ilmu pengetahuan harus menggantikan ideologi yang salah guna memperoleh kebenaran (Morissa, 2011:156).

Dalam praktiknya, idelogi menjadi kategori-kategori ilusi dan kesadaran palsu yang berdasarkan praktik tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasinya. Kelas yang berkuasa mengontrol sarana-sarana pokok tempat ideologi digandakan dan disebarluaskan pada seluruh mayarakat.

Dalam penelitian ini, konsep ideologi dipandang sebagai sebuah pesan yang kemudian dikirimkan melalui media televisi yang menggunakan konsep pelayanan


(12)

18 modern dengan pergerakan independen di tengah industri media yang memerlukan kekuatan finansial. Sehingga ketika mereka memproduksi isi media tersebut, maka ideologi yang ada dalam diri mereka mau tidak mau juga dipengaruhi oleh media.

Menurut Marx, ideologi menjaga kelas subordinat berada pada kesadaran palsu. Kesadaran tentang siapa dirinya, bagaimana mereka berelasi dengan bagian lain dari masyarakat, dan arena itu pengertian mereka tentang pengalaman sosialnya dihasilkan oleh masyarakat, bukan oleh alam atau psikologi individu. Konsep kesadaran palsu inilah yang kemudian menjelaskan mengapa mayoritas dalam masyarakat kapitalis menerima sebuah sistem sosial yang tidak menguntungkan mereka. Karena Marx menyakini bahwa “realitas” ekonomi berpengaruh setidaknya dalam jangka panjang, dibandingkan ideologi.

Televisi, dengan beragam programnya pada praktiknya merepresentasikan ideologi. Televisi tidak bisa mengelak untuk bersifat ideologi. Rosalind Brun merangkum semua kegagalan ihwal ideologi dan teks melalui pembacaan atas satu program spesifik. Brunt menggambarkan ideologi sebagai system keyakinan yang bersifat menjelaskan dan mengautkanya pada kesadaran bahwa televisi mengomunikasikan beragam makna, nilai, budaya, dan keyakinan.

Dalam penelitian ini, konsep ideologi dipandang sebagai sebuah pesan yang kemudian dikirimkan melalui media televisi yang menggunakan konsep pelayanan modern dengan pergerakan independen di tengah industry media yang memerlukan kekuatan finansial maupun untuk mengisi jam tayang kosong yang ada di televisi. Sehingga ketika mereka memproduksi isi media tersebut, maka idoelogi yang ada dalam diri mereka mau tidak mau juga dipengaruhi oleh media.

2.4Representasi

Analisis representasi televisi juga merupakan sebuah pendekatan kritis untuk memahami signifikasi medium dan makna yang dibangun bagi audiens televisi. Istilah representasi secara lebih luas mengacu pada penggambaran kelompok-kelompok dan


(13)

19 institusi sosial. Tampilan representasi adalah sebuah jubah yang menyembunyikan bentuk makna sesungguhnya yang ada dibaliknya. Karena televisi adalah media visual, televisi menampilkna ikon, gambar orang dan kelompok yang setidaknya terlihat seperti hidup, sekalipun ikon atau gambar itu hanyalah konstruk atau bangunan elektronis. Bisa dikatakan bahwa representasi mengharuskan kita berurusan dengan persoalan bentuk. Cara penggunaan televisilah yang menyebabkan audiens membangun makna yang merupakan esensi dari representasi (Sobur, Alex.2006).

Representasi anak muda di televisi memunculkan pertanyaan tentang istilah

„anak muda‟. Secara kolektif, kaum muda tampaknya masih merasa pas dengan model

Hebdige (1979) yang begitu terkenal, bahwa „masa muda adalah masa bersenang

-senang, masa muda adalah masa yang penuh masalah‟. Sejauh menyangkut program untuk anak muda, semuanya berkenaan dengan kesenangan, musik, dan fesyen. Sebab program-program diharapkan dapat menyenangkan hati audiens muda dan mendongkrak rating. Definisi dan representasi ihwal anak muda, dalam bahasa sosiologis, rumit oleh fakta bahwa fenomena seperti budaya club dan budaya dansa sebenarnya melibatkan orang-orang pada usia dua puluhan dan beberapa pada usia tiga puluhan. Sampai saat ini kita bisa menarik batasan bahwa „anak muda‟ lebih merupakan keadaan mengonsumsi ketimbang persoalan usia. Pada kenyataanya mungkin tidak pernah ada audiens muda yang benar-benar setia, sebab definisi anak muda sangat sulit untuk dirumuskan.

2.4.1 Genre Dalam Industri Televisi

Genre merupakan Suatu kerangka konseptual dalam hubungannya dengan industri, audiens, dan kebudayaan sejauh fungsinya sebagai: 1. dasar pembiayaan produksi dengan merujuk pada bentuk produk-produk sebelumnya untuk mengurangi risiko finansial; 2. seperangkat persepsi dan harapan audiens untuk mengorganisir apa yang mereka tonton; 3. suatu kerangka kritis bagi pengamat untuk menentukan kekhususan sebuah karya dan citarasa audiensnya. Dengan demikian, genre


(14)

20 dipergunakan sebagai upaya memahami film sebagai bentuk spesifik suatu komoditas. Genre film yang dikenal antara lain: western, epik, thriller, perang, gangster, horor, komedi, musikal, laga (action), science-fiction, dan petualangan. Sedangkan, berdasarkan usia penonton yang dijadikan sasaran pemasaran, genre dibedakan menjadi: keluarga, dewasa, remaja, dan anak-anak. Namun, pada kenyataannya, bisa dikatakan hampir tidak ada sebuah film yang diciptakan secara ketat berdasarkan pada genre tertentu. Selalu ada kemungkinan untuk menggabungkan lebih dari satu genre. (Burfon, 2011).

Dalam penelitian ini penulis melihat bahwa program acara penginjilan Onecubed memiliki genre untuk anak muda. Meskipun tidak menutup kemungkinan program Onecubed dapat dilihat oleh khalayak umum. Oleh sebab itu Global TV yang dipilih oleh pihak CBN untuk program penginjilan, dikarenakan Global TV merupakan salah satu stasiun TV yang mempunyai genre anak muda.

2.5Politik Ekonomi Media

Kajian media massa pada umumnya terkait dengan aspek budaya, politik dan ekonomi sebagai suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dari aspek budaya, media massa merupakan institusi sosial pembentuk definisi dan citra realitas social, serta ekspresi identitas yang dihayati bersama (Sunarto,2009:13). Begitu juga apabila media massa dilihat dari aspek politik. Media massa memberikan ruang dan arena bagi terjadinya diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok sosial yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir untuk menciptakan pendapat umum sebagaimana yang diinginkan oleh masih-masing kelompok social tersebut. Dari aspek ekonomi, media massa merupakan institusi bisnis yang dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara material bagi pendirinya.

Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang


(15)

21 menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Mosco, 1998 : 25). Bila dikaitkan dengan wilayah komunikasi, khususnya industri media massa, sumber daya yang dimaksud berupa surat kabar, televisi, buku, video, film, pemirsa dan seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (resources) untuk didistribusikan ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi, distribusi dan konsumsi dalam industri media massa melibatkan relasi pihak organisasi media, pemilik modal atau kapitalis (perspektif ekonomi bisnis).

Penelitian ini mencoba melihat juga mengenai bagaimana kegiatan penyiaran yang dilakukan oleh Onecubed melalui Global TV dengan menekankan kepada politik keagamaan yang menggunakan konsep pelayanan yang dihadapkan pada situasi industri penyiaran (ekonomi) dengan konsekuensi budget atau finansial yang harus dikeluarkan pada setiap jam penyaiarannya. Agama semula diharapkan dapat mengeliminasikan efek deskruftif kapitalisme. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Zamroni, agama kini telah berubah dari hubungan sakral dengan Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi hubungan produsen dan konsumen. Agama bukan lagi nilai-nilai agaung yang mencerahkan secara rohaniah, tetapi hanyalah salah satu dari komuditas yang bisa diperjualbelikan dipasar kapitalis (Zamroni, 2006:70).

2.6 Teori Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Theory)

Menurut Douglas dalam Mulyana (2000:3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Kridalaksana dalam Yoce (2009:69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar.Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan


(16)

22 puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap.Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.

Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006:12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang

bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah

wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut.

Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007: 116).

Dari sekian banyak model analisis wacana, model Teun Van Dijk adalah salah satu model yang familiar dan sering dipakai untuk mengkolaborasikan elemen-elemen wacana sehingga bisa diaplikasikan. Model Van Dijk adalah model yang sedikit banyak mengadopsi dari pendekatan lapangan “Psikologi Sosial” yaitu sebagai ”Kognisi sosial”. Pendekatan yang dilakukan adalah untuk menjelaskan struktur dan terbentuknya proses suatu teks. (Eriyanto 2001:221) Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisa atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.

(Alex Sobur 2006:73) Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung, menurutnya dibagi menjadi ke dalam tiga tingkatan :


(17)

23 1. Struktur Makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

2. Superstruktur, adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh.

3. Struktur Mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.

Keseluruhan teks dapat dianalisa dengan menggunakan elemen-elemen diatas, semua elemen merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Kekuatan dan Kelemahan Analisis Wacana Kritis

Menurut Teun A. Van Dijk (1997:1-37) dalam Eriyanto (2008) ada beberapa karakteristik penting analisis wacana kristis, yaitu :

1. Tindakan. Prinsip pertama, dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Wacana bukan ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal tetapi sebagai bentuk interaksi dengan orang lain. Karena itu, wacana harus dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, mereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diskspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks. Konteks disini seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook (Eriyanto, 2001:8-9), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi, siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; hubungan untuk setiap


(18)

24 masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan ada tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks, adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks, memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana, disini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Kedua, setting sosial tertentu seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik.

3. Historis. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu di dalam konteks historis tertentu. Pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu dan sebagainya.

4. Kekuasaan. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan dan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Bentuk kontrol ini dapat berupa kontrol konteks atau struktur wacana.

5. Ideologi. Ideologi merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Ideologi dibangun oleh kelompok dominan dengan tujuan untuk


(19)

25 mereproduksi dan melegetimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kepada khalayak bahwa dominasi itu bisa diterima secara taken for granted (Eriyanto, 2008-18). Seperti dijelaskan oleh Van Dijk sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi, melalui kontrol media dan sebagainya.

Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Kalau ada teks memarjirnalkan wanita, bukan bearti teks tersebut suatu ruang hampa, bukan pula sesuatu yang datang dari langit. Teks itu hadir dan bagian dari representasi yang menggambarkan masyarakat patriarkal. Di sini ada dua bagian: teks yang mikro yang merepresentasikan program televangelism bagi anak-anak muda, dan elemen besar yang berupa struktur sosial kekristenan di Indonesia.

Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen dasar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas struktur teks karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi9 dan konteks sosial. Wacana oleh van Tjik digambarkan mempunyai tiga dimensi atau bangunan yaitu, teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.

9

Eriyanto dalam buku Analisis Wacana (2001:224-225) Teun A. Van Dijk, kognisi sosial didasarkan pada anggapan umum yang tertanam yang akan digunakan untuk memandang peristiwa. Analisis kognisi menyediakan gambaran yang kompleks tidak hanya pada teks tetapi juga representasi dan strategi yang digunakan dalam memproduksi suatu teks.


(20)

26

Gambar 2.6: Model dari Analisis Van Dijk (Sumber, Eriyanto (2001: 225)

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik tentang kosakata, kalimat, paragraph untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial itu yang melahirkan teks tertentu. Sedangkan konteks sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. Analisis Van Dijk menghubungkan analisis tekstual kearah analisis yang kompherensif bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat (Eriyanto, 2001:225).

Media Dilihat dari Paradigma Kritis

Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, dimana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandanganya dengan bebas. Pandangan semacam ini yang ditolak oleh kaum kritis. Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Media membantu kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, dan membentuk konsensus antar anggota komunitas.

Konteks

Kognisi Sosial Teks


(21)

27 Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan.10 Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.

Seperti dikatakan Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. (Eriyanto, 2001:36) Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sini, media bukan sarana netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok dalan masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.11 Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik.

10David barat, Media Sociology, London and New York, Routledge, 1994, hal. 51-52 (Menurut Eriyanto, dalam buku Analisis Wacana, hal 36)


(22)

28

2.7 Kerangka Pikir

Gambar 2.7 Kerangka Pikir

Penelitian ini melihat bagaimana konsep televisi penginjilan sebagai sebuah metode penginjilan modern di Indonesia pada lembagaa penyiaran kristen CBN melalui program Onecubed yang ditayangkan pada stasiun televisi bergenre remaja Global TV. Dalam hubungannya dengan Global TV, CBN memiliki harapan bahwa pesan penginjilan yang dikemas melalui acara anak muda akan tepat sasaran. Hal ini dapat dilihat melalui konsep relasi media dan konstruksi pesan yang merupakan bagian dari temuan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian analisis wacana. Analisis wacana digunakan untuk dapat mengetahui bagaimana makna atas pesan yang dibuat dalam sebuah paket penayangan pada sebuah media, di mana simbol-simbol yang dikemas untuk membingkai pesan digunakan agar pesan tersebut dapat dengan mudah diterima oleh khalayak.

Evangelism Televisi Evagelism

Pengemasan pesan di Televangelism

Kepentingan remaja

Relasi CBN dengan


(23)

29 Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai relasi media dalam konteks penginjilan dan pelayanan agama Kristen melalui media (televangelism) di Indonesia serta mengetahui bagaimana pesan-pesan penginjilan dikemas dalam bentuk hiburan remaja dengan memuat materi-materi penginjilan dan pelayanan.


(1)

24 masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan ada tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks, adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks, memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana, disini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Kedua, setting sosial tertentu seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik.

3. Historis. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu di dalam konteks historis tertentu. Pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu dan sebagainya.

4. Kekuasaan. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan dan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Bentuk kontrol ini dapat berupa kontrol konteks atau struktur wacana.

5. Ideologi. Ideologi merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Ideologi dibangun oleh kelompok dominan dengan tujuan untuk


(2)

25 mereproduksi dan melegetimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kepada khalayak bahwa dominasi itu bisa diterima secara taken for granted (Eriyanto, 2008-18). Seperti dijelaskan oleh

Van Dijk sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan

memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi, melalui kontrol media dan sebagainya.

Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Kalau ada teks memarjirnalkan wanita, bukan bearti teks tersebut suatu ruang hampa, bukan pula sesuatu yang datang dari langit. Teks itu hadir dan bagian dari representasi yang menggambarkan masyarakat patriarkal. Di sini ada dua bagian: teks yang mikro yang merepresentasikan program televangelism bagi anak-anak muda, dan elemen besar yang berupa struktur sosial kekristenan di Indonesia.

Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen dasar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas struktur teks karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi9 dan konteks sosial. Wacana oleh van Tjik digambarkan mempunyai tiga dimensi atau bangunan yaitu, teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.

9

Eriyanto dalam buku Analisis Wacana (2001:224-225) Teun A. Van Dijk, kognisi sosial didasarkan pada anggapan umum yang tertanam yang akan digunakan untuk memandang peristiwa. Analisis kognisi menyediakan gambaran yang kompleks tidak hanya pada teks tetapi juga representasi dan strategi yang digunakan dalam memproduksi suatu teks.


(3)

26

Gambar 2.6: Model dari Analisis Van Dijk (Sumber, Eriyanto (2001: 225)

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik tentang kosakata, kalimat, paragraph untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial itu yang melahirkan teks tertentu. Sedangkan konteks sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. Analisis Van Dijk menghubungkan analisis tekstual kearah analisis yang kompherensif bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat (Eriyanto, 2001:225).

Media Dilihat dari Paradigma Kritis

Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, dimana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandanganya dengan bebas. Pandangan semacam ini yang ditolak oleh kaum kritis. Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Media membantu kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, dan membentuk konsensus antar anggota komunitas.

Konteks

Kognisi Sosial Teks


(4)

27 Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan.10 Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.

Seperti dikatakan Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. (Eriyanto, 2001:36) Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sini, media bukan sarana netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok dalan masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.11 Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik.

10David barat, Media Sociology, London and New York, Routledge, 1994, hal. 51-52 (Menurut

Eriyanto, dalam buku Analisis Wacana, hal 36)


(5)

28 2.7 Kerangka Pikir

Gambar 2.7 Kerangka Pikir

Penelitian ini melihat bagaimana konsep televisi penginjilan sebagai sebuah metode penginjilan modern di Indonesia pada lembagaa penyiaran kristen CBN melalui program Onecubed yang ditayangkan pada stasiun televisi bergenre remaja Global TV. Dalam hubungannya dengan Global TV, CBN memiliki harapan bahwa pesan penginjilan yang dikemas melalui acara anak muda akan tepat sasaran. Hal ini dapat dilihat melalui konsep relasi media dan konstruksi pesan yang merupakan bagian dari temuan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian analisis wacana. Analisis wacana digunakan untuk dapat mengetahui bagaimana makna atas pesan yang dibuat dalam sebuah paket penayangan pada sebuah media, di mana simbol-simbol yang dikemas untuk membingkai pesan digunakan agar pesan tersebut dapat dengan mudah diterima oleh khalayak.

Evangelism Televisi Evagelism

Pengemasan pesan di Televangelism

Kepentingan remaja

Relasi CBN dengan


(6)

29 Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai relasi media dalam konteks penginjilan dan pelayanan agama Kristen melalui media (televangelism) di Indonesia serta mengetahui bagaimana pesan-pesan penginjilan dikemas dalam bentuk hiburan remaja dengan memuat materi-materi penginjilan dan pelayanan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketertarikan Khalayak Terhadap Tayangan Opera Van Java T1 362009060 BAB II

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012) T1 362008020 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012) T1 362008020 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012) T1 362008020 BAB V

0 0 57

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012) T1 362008020 BAB VI

0 1 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012)

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media dan Evangelism (Konsep Televangelism dalam Tayangan Onecubed Periode Juni-Juli 2012)

0 0 10

T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kesusilaan dalam PerundangUndangan Indonesia T1 BAB III

0 0 3

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kesusilaan dalam PerundangUndangan Indonesia T1 BAB II

0 0 22

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Diri Anggota “JKT48 Surakarta” T1 BAB II

0 0 13