Keinginan Pemerintah Membuka Sejuta Lapangan Kerja.

KEINGINAN PEMERINTAH MEMBUKA SEJUTA LAPANGAN KERJA
Oleh GPB Suka Arjawa
Pemerintah menargetkan 750 ribu sampai sejuta tenaga kerja bisa tertampung tahun
2013. Untuk itu pemerintah membentuk desk tenaga kerja yang mampu mendisain
lowongan. Pemikiran ini terbentuk beberapa waktu lalu ketika para menteri bertemu
dibawah komando Menteri Koordinator Perekonomian. Beberapa media menyebutkan
bahwa jalur untuk menciptakan tenaga kerja itu dilakukan melalui menciptakan proyek
infrastruktur yang didanai dengan anggaran pendapatan negara dan yang kedua adalah
melalui dunia usaha. Upaya untuk menciptakan lapangan kerja seperti yang diungkapkan
diatas, jelas merupakan kabar baik. Namun tetaplah harus dimengerti bahwa tugas
pemerintah memang menciptakan, mengkreasi lapangana kerja yang seharusnya setiap
tahun bertambah, sesuai dengan pertumbuhan penduduk. Terjadinya pengangguran
secara umum disebabkan karena tidak adanya keserasian antara ketersediaan lapangan
kerja dengan pertumbuhan penduduk, terutama penduduk yang berusia produktif (usia 20
sampai dengan 50 tahun).
Dalam persoalan ketenagakerjaan, satu sumber melimpah yang dimiliki Indonesia adalah
sumber daya. Puluhan juta penduduk usia produktif merupakan sumber daya manusia
yang sangat bisa dimatangkan sebagai tenaga kerja. Disini muncul persoalan cukup
kompleks bersumber pada banyak hal. Yang pertama adalah budaya kerja. Kerja sebagai
sebuah kewajiban hidup, jelas mempunyai kebudayaan yang berpotensi diturunkan dari
generasi ke generasi. Pada titik inilah harus dilihat budaya kerja di Indonesia. Pertanian

merupakan dasar dari kebudayaan kerja di Indonesia. Sebagai negara yang subur
(terutama Jawa di masa lalu), kerja dengan dasar demikian sangat banyak mengandalkan
alam untuk keberhasilannya. Kreatifitas manusia memang bisa mempengaruhi, akan
tetapi alamlah yang paling utama menentukan. Padi jika tidak ada hujannya, tidak akan
mungkin bisa tumbuh dengan baik. Kalaupun kemudian manusia membuat kreasi (seperti
Subak di Bali, pembuatan bendungan di jaman Belanda) memang cukup membantu,
tetapi alam tetap mempunyai peran paling besar. Akibat dari itu, nilai-nilai kreatifitas
menempati posisi nomor dua (bahkan mungkin nomor sekian) dalam konteks budaya
kerja di Indonesia.
Kedua, budaya kerja model kerajaan (feodal) dan pemerintah. Kerja model ini juga
mempunyai keterkaitan dengan pertanian. Teramat mungkin kerja di kerajaan di masa
lalu, de fakto hanya berlangsung kurang dari tengah hari. Ini terkait dengan kewajiban
rakyat untuk menyerahkan utpeti dari hasil pertanian mereka. Karena itulah kerja di
bawah tengah hari itu (sekitar lima jam), mempunyai keuntungan lebih banyak kepada
kaum feodal. Mereka memanfaatkan rakyat untuk bekerja di kerajaan sekaligus juga sisa
hari itu digunakan untuk menggarap lahan pertanian, yang ujung-ujungnya kembali akan
dipersembahkan kepada kerajaan..
Model seperti ini kalau dilihat secara lebih jauh, mempunyai kemiripan dengan apa yang
dilakukan pada jaman republik (pekerja pemerintahan). Mereka bekerja sekitar enam jam,
dimana sisa waktu dalam satu hari itu dipersepsikan bisa dipakai untuk menggarap lahan


pertanian. Jadilah misalnya kalau pagi kerja di kantor, sore bekerja di lahan pertanian.
Meski hasil pertanian ini tidak dipersembahkan sebagai utpeti kepada pemerintah, akan
tetapi hasil pertanian itu akan menutupi untuk membayar pajak.
Paling tidak sampai dekade delapanpuluhan praktik dan pola kerja sepetri itu masih
berlaku di Indonesia. Pada pekerja kantor hanya menghabiskan waktu sekitar enam jam.
Pola itu baru berubah setelah pemerintah menerapkan pola lima hari kerja. Di kalangan
swasta pun di masa lalu, mempraktikkan pola pekerjaan hampir sama dengan
pemerintah, dimana karyawan bekerja sekitar 7 jam per hari. Kalaupun di jaman
sekarang, para pekerja sudah mulai bekerja antara delapan sampai sepuluh jam sehari,
boleh dikatakan ini masih dalam taraf latihan.
Pada sisi lain, dominasi faktor alam yang melatari hasil budaya kerja di Indonesia,
memberikan hasil kurang bagus bagi perkembangan karena kurang ada kreativitas
penciptaan. Hampir semua produk pembaruan di dunia pertanian di masa lalu terdengar
merupakan produk asing. Misalnya jeruk siam (Thailand), durian bangkok, ayam
bangkok (Thailand), bahkan di Bali capung yang besarpun dinamai capung bangkok.
Tersirat, pembaruan-pembaruan yang merupakan hasil kreativitas seperti itu datangnya
dari luar Indonesia. Di abad milenium inipun produk-produk pertanian yang dipandang
unggulan, berasal dari luar negeri.
Lalu bagaimana kaitannya dengan upaya pemerintah menciptakan sejuta lowongan kerja

tahun 2013 tersebut? Apsek budaya mestinya diperhatikan dalam melakukan kreasi kerja.
Dalam penjelasan pemerintah, salah satu jalur yang dipakai untuk mengkreasi pekerjaan
itu adalah investasi. Kata ”investasi” di jaman sekarang selalu mempunyai konotasi
perusahan asing yang menanam modal di Indonesia dalam berbagai bentuk. Jika ini
kelak dipraktikkan pemerintah, maka kemungkinan besar akan terjadi benturan budaya,
yang wujudnya macam-macam. Sebab, seperti yang telah diutarakan tadi, mayoritas
masyarakat Indonesia masih memakai pertanian sebagai dasar budaya kerja. Sedangkan
para investor asing itu memusatkan perhatian pada kemampuan daya tahan dan
kreativitas manusia. Benturan yang bisa terjadi adalah rentang waktu bekerja dengan
upah yang akan didapatkan. Secara umum, perusahan asing paling tidak akan
mempekerjakan karyawan sampai delapan jam. Rentang ini mungkin terlalu pendek
karena perusahan asal Jepang dan Korea Selatan telah mempraktikkan kerja antara 10
sampai 12 jam. Bisa dibayangkan, bagaimana ”menyiksanya” kalau masyarakat petani
yang bisa bekerja enam jam, lalu dipekerjakan 10 sampai 12 jam. Rasa ”menyiksa”
seperti ini tentu saja tidak akan mampu memberikan ruang untuk melakukan kreativitas.
Padahal perusahan asing sangat menghargai kreativitas itu.
Perusahan jelas mempunyai tujuan akhir untuk mencari keuntungan. Mengetahui
keperluasn sosial dan rumah tangga masyarakat Indonesia tidak sekompleks seperti apa
yang diperlukan masyarakat asing, maka persoalan mungkin akan muncul pada upah.
Kemungkinan perusahan-perusahan seperti itu hanya akan memberikan upah yang

standarnya masih rendah terhadap pekerja Indonesia. Jika ini terjadi, maka unjuk rasa
tentang kenaikan gaji pasti akan terjadi di berbagai perusahan di Indonesia. Pemerintah

harus memperhatikan betul masalah ini sebelum mempertimbangkan upaya menciptakan
lapangan kerja berbasis modal asing.
Aspek lain yang perlu didperhatikan adalah lokus pengangguran di Indonesia. Boleh
dikatakan, pengangguran paling besar terjadi di pedesaan. Karena itu, haruslah
diupayakan dengan membuka lapangan pekerjaan di pedesaan. Perusahaan dengan modal
asing, justru banyak bertebaran di perkotaan karena berbagai infrastruktur ada di kota.
Mengatasi pengangguran secara signifikan harusnya dimulai dari pedesaan. Karena itu,
jika pemerintah ingin mengkreasi lapangan kerja dengan jalur infrastruktur yang berbasis
biaya APBN, seharusnya itu bisa dilakukan di pedesaan. Dan yang mesti diingat adalah
perijinan dan pembuatan pelaporan harus ringkas dan sederhana. Rakyat desa tidak akan
terlalu banyak mengerti pembuatan laporan yang terlalu rumit. Dukungan dan kredit
ringan dari perbankan juga sangat membantu masyarakat desa untuk bekerja mandiri.
Tanpa memperhatikan persoalan-persoalan seperti yang disebutkan diatas, upaya
menciptakan sejuta lapangan kerja itu hanya akan cita-cita saja, yang selanjutnya akan
bisa menguap tanpa arah. ****
Penulis, staf pengajar FISIP, Universitas Udayana.