SIKAP GURU SEKOLAH DASARTERHADAP PENYELENGGARAAN SEKOLAH INKLUSIF : Studi mengenai Pengaruh Jenis Sekolah, Latar Belakang Pendidikan Guru, Pelatihan Pendidikan Inklusif, Jumlah Siswa di Kelas, dan Pengalaman Menangani Anak Berkebutuhan Khusus terhadap Sik

(1)

vi DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metodologi Penelitian ... 6

BAB II MEMBACA CERMAT PROSA FIKSI DAN PENDEKATAN ANALITIS ANAK TUNARUNGU SMALB KELAS XI ... 9

A. Tunarungu dan Permasalahannya ... 9

B. Kemampuan Membaca Anak Tunarungu ... 10

C. Permasalahan Membaca Anak Tunarungu ... 11

D. Analitis Membaca Cermat Prosa Fiksi ... 12

E. Pembelajaran Membaca Cermat ... 15

F. Batasan Prosa Fiksi ... 17

G. Klasifikasi Prosa Fiksi ... 18

H. Manfaat Membaca Prosa Fiksi ... 19

I. Temuan Penelitian Sebelumnya ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

A. Subyek Penelitian ... 24

B. Definisi Operasional ... 26

C. Variabel Penelitian ... 27

1. Variabel Terikat ... 27

2. Variabel Bebas ... 28

D. Prosedur Penelitian ... 29

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Deskripsi Profil Subyek ... 45

B. Analisis Data Hasil Penelitian ... 46

C. Analisis Data Silang Kasus ... 53

1. Deskripsi Kasus FPG dan NAJ ... 53

2. Persamaan Data Analisis Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis ... 54


(2)

vii

3. Perbedaan Data Analisis Tokoh Protagonis dan

Tokoh Antagonis ... 55

D. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Rekomendasi ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Jadwal Penelitian ... 8 3.1 Kisi-kisi Pretest/Postest Membaca Memahami Dongeng ... 32 4.1 Perolehan Data Penelitian Pada Disain A-B ... 47


(4)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1 Denah Lokasi ... 25 3.2 Prosedur Dasar Desain A-B ... 29


(5)

x

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

4.1 Perolehan Jawaban Benar Pretest Tokoh Protagonis dan Tokoh

Antagonis ... 48 4.2 Perolehan Jawaban Benar Lembar Kerja Siswa Tokoh

Protagonis ... 49 4.3 Perolehan Jawaban Benar Lembar Kerja Siswa Tokoh

Antagonis ... 50 4.4 Perolehan Jawaban Benar Postest Tokoh Protagonis dan Tokoh

Antagonis ... 51 4.5 Perolehan Nilai Akhir Membaca Cermat Prosa Fiksi Analisis


(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam silabus KTSP (2006:52) Sekolah Luar Biasa, proporsi kurikulum satuan pendidikan SMALB terdiri atas 40%-50% aspek akademik dan 50%-60% aspek keterampilan vokasional. Jumlah jam pembelajaran SMALB tunarungu 38-39 jam/minggu. Untuk itu dilihat dari alokasi waktu jumlah jam Bahasa Indonesia per minggu 2 jam pelajaran. Pertatap muka 1 jam pelajaran itu 45 menit.

Logis apabila pelajaran Bahasa Indonesia secara keseluruhan, yang di dalamnya ada pelajaran sastra secara khusus kurang terlaksana dengan baik karena berbagai faktor diantaranya: (1) Alokasi waktu yang sempit harus dibagi empat aspek berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis), dengan jam pelajaran tersendiri, sedangkan materi sastra melebur dalam keempat aspek tersebut, (2) Keterbatasan kemampuan SDM, waktu dan penyusunan bahan, (3) Peranan orangtua, dulu sebelum tidur ada kebiasaan mendongeng (merende) kepada putra/putrinya, hal tersebut kini di zaman modern tidak dilakukan lagi, (4) Dari siswa itu sendiri, sebagai dampak dari ketunarunguan, sehingga mengalami keterbatasan berkomunikasi akan mempengaruhi pemahaman dalam mengapresiasi sastra, khususnya prosa fiksi.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan diperoleh data bahwa siswa di kelas XI SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung masih mengalami kesulitan dalam hal pemahaman terhadap isi bacaan, baik wacana sastra maupun non sastra. Untuk itu perkembangan membaca bagi anak tunarungu


(7)

2

memiliki keterbatasan kemampuan dalam memahami panjang wacana, jenis wacana, maupun bentuk wacana berpengaruh pada hal-hal seperti: (1) anak tunarungu malas membaca prosa fiksi yang tidak disertai gambar, (2) bagi anak tunarungu gambar pada wacana tersebut membantu dalam berimajinasi, maka daya visual pada anak tunarungu sangat membantu proses pemahaman terhadap isi bacaan.

Guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung, berpendapat bahwa: “untuk memperoleh pengalaman apresiasi sastra, mayoritas anak tunarungu lebih suka menonton seni pertunjukan seperti drama atau film dan membaca komik, dibanding membaca prosa fiksi (fabel, legenda, dongeng, cerpen, novel).” Untuk itu merekapun memiliki keterbatasan juga dalam memahami isi bacaannya.

Dari keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut yang dominan harus dikuasai siswa adalah membaca. Oleh karena kegiatan membaca tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan kita melakukannya baik untuk keperluan memperoleh ilmu atau keperluan lainnya. Dalam hal ini kegiatan membaca merupakan salah satu media untuk menumbuhkembangkan keterampilan bersastra atau berbahasa bagi anak tunarungu. Sehubungan dengan hal tersebut budaya membaca hendaknya ditanamkan sedini mungkin di SLB sejak kemampuan pelajaran membaca diberikan. Agar setiap individu memiliki wawasan yang luas dalam perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi sekarang ini.


(8)

Sadjaah (2003:16), berpendapat bahwa: “melatih kepekaan belajar terhadap anak gangguan pendengaran dalam hal ini mempunyai tujuan agar ia mampu merespon lingkungan sebagai hasil pengalaman, dapat diperoleh melalui kegiatan membaca, mengamati sesuatu, meneliti, ataupun dengan cara bertanya kepada orang lain”.

Pendapat tersebut didukung oleh Mulyati (1998:47), bahwa pembelajaran membaca yang memanfaatkan sarana bacaan yang berupa karya sastra diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam hal: (1) Menumbuhkan minat baca, terhadap karya sastra khususnya dan semua jenis bacaan lain pada umumnya, (2) Minat baca yang tinggi diharapkan akan menjadi motivasi untuk membentuk kebiasaan membaca, (3) Memahami bacaan sastra sebagai sarana untuk belajar sambil membaca dan membaca sambil belajar, (4) Di samping mendapat pengetahuan dan pengalaman tentang apresiasi dan ekspresi sastra harapannya, anak memperoleh kesenangan daripadanya.

Peneliti menyimpulkan bahwa dampak dari ketunarunguan sangat berpengaruh kepada keberhasilan pembelajaran empat aspek keterampilan berbahasa secara keseluruhan. Dalam hal ini guru harus berupaya membina siswa sedini mungkin agar gemar membaca, sehingga kompetensi yang dimiliki siswa dapat berkembang melalui kegiatan membaca. Untuk itu membaca termasuk salah satu tuntutan dalam pembelajaran merupakan jendela informasi kehidupan masyarakat modern.

Pembelajaran membaca dapat berhasil secara maksimal bila guru itu kreatif dalam menentukan pendekatan pembelajaran yang tepat. Harapan peneliti melalui penelitian “pendekatan analitis” dapat mengatasi hambatan serta membina siswa agar kompetensi perkembangan berbahasa dapat berkembang optimal. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan analitis adalah “suatu pendekatan yang bertujuan menyusun sintesis lewat analitis.” (Aminudin, 1995: 44). Bahwa


(9)

4

pelaksanaan kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam unsur intrinsik prosa fiksi. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada analisis unsur tokoh, tema, alur, latar, gaya bahasa, watak para tokoh dari prosa fiksi yang dibacanya.

Upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam membaca, maka teknik dalam membaca pun perlu disesuaikan dengan kompetensi dasar yang hendak dicapai, metode, pendekatan pembelajaran, dan alokasi waktu yang tersedia. Sugono (2003:143) membedakan teknik membaca, yakni: membaca cepat, membaca sepintas, dan memba cermat.

Dalam hal ini membaca cermat dilakukan untuk memperoleh pemahaman terhadap isi bacaan pada prosa fiksi. Maka anak tunarungu pun perlu pembelajaran membaca cermat agar memperoleh pengalaman apresiasi sasatra. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti termotivasi untuk melakukannya sebagai topik penelitian.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penggunaan pendekatan analitis dalam meningkatkan kemampuan membaca cermat prosa fiksi anak tunarungu?

Untuk lengkapnya masalah dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Permasalahan apa yang dihadapi anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi?


(10)

2. Apakah penggunaan pendekatan analitis dapat meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi?

3. Bagaimana upaya guru mengatasi permasalahan anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang penggunaan pendekatan analitis terhadap peningkatan kemampuan anak tunarungu dalam membaca cermat prosa fiksi di kelas XI SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung.

Adapun secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

a. Memperoleh data tentang permasalahan yang dihadapi anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi yang dibacanya.

b. Mengetahui ada atau tidaknya peningkatan kemampuan anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis pada prosa fiksi yang dibacanya.


(11)

6

c. Memperoleh data tentang upaya guru dalam mengatasi permasalahan anak tunarungu dalam membaca cermat menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi yang dibacanya.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Pengembangan ilmu, bahwa pendekatan analitis dapat meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam membaca cermat prosa fiksi menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

b. Guru, dapat mengembangkan pendekatan analitis dalam meningkatkan kemampuan membaca cermat dengan menggunakan pembelajaran yang lebih konkrit.

c. Peneliti selanjutnya, diharapkan mengembangkan hasil penelitian ini dengan menggunakan sampel di sekolah umum yang dianalisis dengan statistik parametrik.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Single Subject Research (SSR). Menurut Gay and Airasian, Single Subject Research Designs dikenal juga sebagai disain eksperimen kasus tunggal. SSR adalah disain yang diterapkan ketika ukuran sampel terdiri atas sejumlah sampel tunggal. Demikian halnya menurut Wasson (2005:1) disain ini dipergunakan untuk mempelajari perubahan


(12)

tingkah laku individu yang tampak sebagai hasil beberapa treatmen. Untuk itu Sunanto (2005:56) mengatakan penelitian dengan subyek tunggal menggunakan pengukuran variabel yang berulang-ulang terhadap subyek dalam kondisi yang berbeda yaitu kondisi sebelum diberikan intervensi (baseline) dan saat intervensi.

Dalam penelitian ini akan dilakukan intervensi melalui kartu kalimat, gambar tokoh pada cerita yang dibaca dan penayangan VCD cerita Legenda Tangkuban Perahu. Adapun disain penelitian yang digunakan adalah A-B yaitu kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi (B).

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian 2 (dua) orang siswa SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung kelas XI terdiri atas satu orang siswa perempuan dan satu orang siswa laki-laki. Adapun alasan peneliti memilih subjek penelitian ini yaitu anak tunarungu memiliki hambatan dalam memahami prosa fiksi. Untuk itu peneliti berharap melalui pendekatan analitis dapat meningkatkan kemampuan membaca cermat prosa fiksi pada anak tunarungu.

3. Variabel Penelitian

Hal-hal yang akan diteliti terdiri atas dua varianel yaitu variabel terikat disebut juga target behavior dan variabel bebas (intervensi)

1. Variabel terikat (target behavior) yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Untuk itu target behavior yang akan diteliti yaitu ”meningkatkan kemampuan membaca cermat prosa fiksi”.


(13)

8

2. Variabel bebas (intervensi)

Variabel bebasnya adalah ”pendekatan analitis” yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam hal ini perilaku yang tidak dikehendaki akan berkurang dengan diberikan intervensi (perlakuan yang berulang-ulang), sehingga dapat meningkatkan membaca cermat prosa fiksi melalui kartu kalimat, gambar tokoh pada cerita yang dibacanya dan penayangan VCD cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

4. Jadwal Penelitian

Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, instrumen penelitian hingga terlaksananya penelitian di SLBN Cicendo No. 2 Bandung.

Tabel 1.1 Jadwal Penelitian

No. Uraian Mei Juni Juli Agustus Sept Okt

Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu

1. Diskusi

pengembangan proposal penelitian mengarah pada penyusunan tesis

2. Merumuskan

instrumen penelitian

3. Studi

pendahuluan

4. Diskusi hasil

studi

pendahuluan

5. Penelitian di

lapangan

6. Diskusi

temuan hasil penelitian

7. Penggandaan

persiapan sidang


(14)

(15)

24 BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian yang penulis lakukan merupakan “penelitian kasus tunggal modifikasi perilaku”. Dengan menggunakan metode SSR (Single Subject Research). Rosnow dan Rosenthal dalam Sunanto (2006:41) mengatakan bahwa “Desain kelompok memfokuskan pada data yang berasal dari kelompok individu, sebagai sampel penelitian.”

Untuk itu SSR dikembangkan pada penelitian yang mengarah kepada perubahan perilaku subjek secara individu, melalui seleksi dari pola desain kelompok yang sama, dalam hal ini menunjukkan adanya hubungan antara intervensi dengan perubahan tingkah laku.

Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Single Subject Research, yaitu:

A. Subyek Penelitian

Dari lima orang siswa SMALB tunarungu, yang berlokasi di jalan Cicendo No. 2 Bandung. Dalam hal ini yang dijadikan subjek penelitian yaitu dua orang siswa yang terdiri atas satu orang siswa perempuan dan satu orang siswa laki-laki.

Adapun alasan peneliti memilih subjek penelitian sebanyak dua orang karena: (1) Kedua orang tersebut ditinjau dari hasil pretest skor jawaban benar yang didapatnya rendah, (2) dari hasil observasi pada saat mengerjakan Lembar Kerja Siswa dalam menentukan unsur tokoh protagonis dan tokoh antagonis pada cerita yang dibacanya masih dibantu guru, (3) kedua orang subyek tersebut


(16)

menarik untuk diteliti karena memiliki hambatan dalam membaca cermat, (4) lokasi SLB tersebut ada di dalam kota mudah dijangkau dari tempat kerja peneliti.

Gambar 3.1 Denah Lokasi

Untuk itu peneliti berharap melalui pendekatan analitis dapat meningkatkan kemampuan membaca cermat anak tunarungu. Adapun standar kompetensi yang harus dicapai yaitu: “memahami ragam wacana tulis novel dan hikayat (prosa fiksi)”. Sedangkan kompetensi dasarnya “mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh”. (KTSP, 2006)

B

T

U S

Jl. Pasir Kaliki

⊗ Cihampelas

Jl . P aj aj ar an Jl. Cicendo Jl . K eb o n K aw u n g K im ia F ar m a S ta si u n G ed u n g P ak u an S L B R S M Jl . P er in tis K em er d ek aa n


(17)

26

B. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pengertian dan menghindari salah tafsir mengenai istilah judul tesis, maka peneliti akan menjelaskan istilah-istilah tersebut.

Pendekatan analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, mengimajinasikan ide-ide pengarang, elemen intrinsik dan hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga membangun kesatuan totalitas makna (Aminudin, 1995:44).

Upaya meningkatkan kemampuan yaitu usaha untuk memecahkan suatu persoalan agar mempertinggi kecakapan (Yandianto, 2000:663-638).

Membaca cermat yakni membaca yang dilakukan orang untuk memperoleh pemahaman sepenuhnya terhadap isi wacana yang dibacanya dalam hal memahami ide pengarang, karakter, tokoh, hubungan antar ide dalam bacaan fiksi maupun non fiksi (Sugono, 2003:143).

Prosa fiksi yaitu cerita rekaan yang memaparkan terjadinya peristiwa, bersangkut paut dengan siapa yang menjadi pelaku, bagaimana perilakunya, dimana peristiwa itu terjadi, bagaimana suasana ketika terjadinya peristiwa itu (Rusyana, 1978:64).

Anak tunarungu adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan pendengarannya mendapatkan gangguan atau mengalami kerusakan sehingga sangat mengganggu aktivitas kehidupannya, dikatagorikan sebagai hard of hearing and the deaf (Sadjaah, 2005:69).

Jadi ”Pendekatan Analitis dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Cermat Prosa Fiksi pada Anak Tunarungu”. Peneliti simpulkan sebagai


(18)

berikut: pendekatan atau langkah-langkah pembelajaran membaca sebagai usaha untuk memecahkan masalah sehingga kecakapan anak tunarungu dalam memahami isi bacaan menganalisis unsur intrinsik seperti tokoh protagonis dan tokoh antagonis pada cerita rekaan sebagai pengalaman dalam mengapresiasi sastra.

C. Variabel Penelitian

Pada Single Subject Research ada dua variabel yang harus diperhatikan yaitu variabel terikat dan variabel bebas.

1. Variabel Terikat

Variabel terikat disebut juga target behavior yaitu perilaku sasaran yang dipengaruhi oleh variabel bebas, atau perilaku yang akan diperbaharui (diintervensi) sesuai dengan tujuan dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi target behavior yaitu: ”Kemampuan membaca cermat prosa fiksi”, dalam hal ini anak tunarungu yang belum memiliki kemampuan dalam menentukan unsur tokoh pada cerita yang dibacanya. Ketidakmampuan tersebut bisa dilatih atau ditingkatkan melalui intervensi pendekatan pembelajaran.

Untuk itu peneliti mencoba melalui pendekatan analisis agar dapat meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam membaca cermat. Dan yang menjadi tolok ukur dalam perubahan perilaku tersebut yaitu: (1) selama 45 menit siswa membaca teks wacana secara keseluruhan, kemudian mampu menentukan unsur tokoh protagonis dan tokoh antagonis yang ada pada cerita tersebut, (2) proses mencari unsur tokoh protagonis dan tokoh antagonis itulah yang


(19)

28

diobservasi dan diintervensi oleh peneliti, bila menjawab benar dengan melakukan sendiri mendapai skor 2, dapat melakukan dengan bantuan guru skornya 1, dan tidak dapat melakukan skornya 0.

Dalam hal ini agar siswa termotivasi ketika diintervensi maka bila menjawab benar mendapat reward verbal, seperti ”pujian bagus, pintar, atau ayo coba lagi ... nanti kamu bisa”.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas disebut juga intervensi yaitu, ”pendekatan analitis” merupakan suatu proses yang mempengaruhi variabel terikat. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan analitis menurut Aminudin (1995:164) adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami unsur-unsur intrinsik dalam suatu cipta sastra, serta melihat bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan lainnya serta peranan unsur-unsur tersebut.

Untuk itu yang menjadi variabel bebas adalah pendekatan analitis dalam pembelajaran membaca cermat prosa fiksi dilakukan secara berulang dengan menggunakan beberapa media agar menarik berupa kartu kalimat, gambar-gambar tokoh dalam bacaan tersebut dan penayangan VCD.

Dalam hal ini penggunaan pendekatan analitis dengan berbagai media diharapkan dapat membantu pemahaman siswa pada isi bacaan yang dibacanya. Maka agar siswa termotivasi ketika diintervensi bila menjawab benar diberi reward verbal seperti pujian bagus/pintar, dsb.


(20)

D. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian A-B dalam Sunanto (2006:42), menjelaskan bahwa pada desain A-B selama kondisi intervensi perilaku sasaran (target behavior) secara kontinu dilakukan pengukuran sampai mencapai data yang stabil.

Prosedur desain A-B digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.2

Prosedur Dasar Desain A-B

Peneliti melakukan observasi dan penyebaran angket kepada guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMALB Negeri Cicendo Bandung, sebagai studi pendahuluan analitis dalam membaca cermat prosa fiksi. Dengan urutan kegiatan sebagai berikut:

1) Baseline (data awal) sebagai target behavior diperoleh dari hasil pretest, pembelajaran dan postest membaca cermat prosa fiksi pada pertemuan ke-1, 2, 3 dan 4.

Baseline (A) Intervensi (B)

P

er

il

ak

u

S

as

ar

an


(21)

30

2) Pembelajaran membaca cermat sesuai dengan urutan langkah-langkah pendekatan analitis, yang telah disederhanakan peneliti sebagai berikut: (1) Siswa membaca wacana prosa fiksi secara keseluruhan dalam waktu

yang telah ditentukan.

(2) Siswa menggarisbawahi nama-nama tokoh pada wacana prosa fiksi yang dibacanya.

(3) Siswa menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi yang dibacanya.

3) Pada sesi ke-5 dan ke-6 siswa diintervensi ketika pembelajaran membaca cermat pada prosa fiksi sesuai dengan langkah-langkah pendekatan analitis melalui penayangan VCD cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

4) Pada sesi ke-7 dan ke-8 siswa diintervensi ketika pembelajaran membaca cermat pada prosa fiksi sesuai dengan langkah-langkah pendekatan analitis melalui media kartu kalimat dan gambar tokoh protagonis dan antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

5) Bagi siswa yang menjawab benar diberi reward verbal seperti ”pujian” dan bagi siswa yang menjawab salah dimotivasi untuk membaca kembali wacana tersebut.

Pertemuan ke-1 s.d pertemuan 4 1) Pretest 10 soal pilihan ganda.

2) Langkah-langkah pembelajaran pendekatan analitis pada membaca cermat prosa fiksi.


(22)

(b) Siswa mampu membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita yang dibacanya.

3) Postest 10 soal pilihan ganda.

4) Lembar kerja siswa dan lembar observasi membaca cermat prosa fiksi, menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis ”terlampir”.

Pertemuan ke-5 s.d pertemuan 8

Sesi ke-5 intervensi pembelajaran sesi ke-1, sesi ke-6 intervensi pembelajaran sesi ke-2 melalui penayangan VCD. Sedangkan pada sesi ke-7 intervensi pembelajaran sesi ke-3, dan sesi ke-8 intervensi pembelajaran sesi ke-4 melalui penayangan VCD kartu kalimat dan gambar tokoh.

1) Pretest 10 soal pilihan ganda.

2) Siswa membaca wacana prosa fiksi secara keseluruhan selama 45 menit. 3) Siswa dapat membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis, untuk itu

siswa diintervensi melalui kartu kalimat dan gambar tokoh protagonis/ antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

4) Bagi siswa yang menjawab benar diberi reward verbal seperti pujian dan bagi siswa yang menjawab salah dimotivasi untuk membaca kembali wacana tersebut.

5) Postest.

6) Lembar kerja siswa dan lembar observasi membaca cermat prosa fiksi menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis. “terlampir”


(23)

32

1. Kisi-kisi Penelitian

Tabel 3.1

Kisi-kisi Pretest/Postest Membaca memahami dongeng

Pertemuan Kompetensi Dasar Indikator

Jumlah Soal Pretest dan Postest Jenis

Soal Ket.

Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh

1 Membedakan tokoh

protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG

2 Membedakan

tokoh protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG

3 Membedakan tokoh

protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG

4 Membedakan tokoh

protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG

5 Membedakan

tokoh protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG Intervensi

melalui VCD

6 Membedakan

tokoh protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG Intervensi

melalui VCD

7 Membedakan

tokoh protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG Intervensi

melalui gambar tokoh dan

kartu kalimat

8 Membedakan

tokoh protagonis dan antagonis

1 s/d 10 PG Intervensi

melalui gambar tokoh dan

kartu kalimat

Diketahui Bandung, …..…... 2009

Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Peneliti

Ine Rahayu, S.Pd Eem Ruhaemi, S.Pd


(24)

2. Materi Pembelajaran Membaca Cermat a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Kelas : XI SMALB Tunarungu Semester : I

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Hari/Tanggal : 2 x Pertemuan Alokasi Waktu : 90 Menit 1) Standar Kompetensi

Memahami ragam wacana tulis seperti novel dan hikayat (prosa fiksi).

2) Kompetensi Dasar

Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh.

3) Indikator

a) Pertemuan ke-1

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

b) Pertemuan ke-2

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

c) Pertemuan ke-3

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

d) Pertemuan ke-4

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

e) Pertemuan ke-5

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

f) Pertemuan ke-6

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.


(25)

34

g) Pertemuan ke-7

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

h) Pertemuan ke-8

Membedakan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis pada cerita ”Legenda Tangkuban Perahu”.

4) Sarana dan Sumber Belajar

a) Sarana : Kartu kalimat, gambar-gambar tokoh pada cerita yang dibaca dan VCD “Legenda Tangkuban Perahu”.

b) Sumber Belajar : Teks wacana cerita dan VCD “Legenda Tangkuban Perahu”.

- Pertemuan 1 : - Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh protagonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci dan Ayam Hutan. - Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah,

orangnya jahat, sombong dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.

- Pertemuan 2 : - Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh protagonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci dan Ayam Hutan. - Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah,

orangnya jahat, sombong dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.


(26)

- Pertemuan 3 : - Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh protagonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci dan Ayam Hutan. - Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah,

orangnya jahat, sombong dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.

- Pertemuan 4 : - Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh protagonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci dan Ayam Hutan. - Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah,

orangnya jahat, sombong dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.

- Pertemuan 5 : Intervensi pertemuan 1 melalui penayangan VCD ”Legenda Tangkuban Perahu”.

- Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh proragonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci, Ayam Hutan.

- Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah, orangnya jahat, sombong, dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.


(27)

36

- Pertemuan 6 : Intervensi pertemuan 2 melalui melalui penayangan VCD ”Legenda Tangkuban Perahu”.

- Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh proragonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci, Ayam Hutan.

- Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah, orangnya jahat, sombong, dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.

- Pertemuan 7 : Intervensi pertemuan 3 melalui gambar dan kartu kalimat.

- Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh proragonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci, Ayam Hutan.

- Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah, orangnya jahat, sombong, dan suka ingkar janji. - Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban

Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin.

- Pertemuan 8 : Intervensi pertemuan 4 melalui melalui gambar dan kartu kalimat.

- Ciri-ciri tokoh protagonis orangnya baik, suka menolong, bersikap ramah dan sholeh.

- Tokoh proragonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Ibu Suri, Pertapa, Dayang Sumbi, Si Tumang, Kelinci, Ayam Hutan.

- Ciri-ciri tokoh antagonis suka marah-marah, orangnya jahat, sombong, dan suka ingkar janji.


(28)

- Tokoh antagonis pada cerita “Legenda Tangkuban Perahu” Prabu Prabangkara, Prabu Galuga, Sangkuriang dan Raja Jin

5) Pendekatan dan Metode

- Pendekatan analitis dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Siswa membaca wacana prosa fiksi secara keseluruhan dalam waktu yang telah ditentukan.

(2) Siswa menggarisbawahi nama-nama tokoh pada wacana prosa fiksi yang dibacanya.

(3) Siswa menganalisis unsur tokoh protagonis dan antagonis pada prosa fiksi yang dibacanya.

6) Strategi Kegiatan

a) Pembukaan (10 menit)

- Mengecek kehadiran siswa

- Mengkondisikan siswa untuk mengikuti pembelajaran - Apersepsi pemberlajaran

“Berlaku untuk pertemuan 1 s/d 8” b) Kegiatan Inti (70 menit)

“Berlaku untuk pertemuan 1 s/d 8”

Mengacu kepada konsep Aminudin, penulis menyederhanakan langkah-langkah pendekatan analitis disesuaikan dengan kemampuan anak tunarungu, sebagai berikut:

(1) Siswa membaca wacana (prosa fiksi) secara keseluruhan selama 45 menit.

(2) Siswa memahami nama-nama tokoh dalam prosa fiksi yang dibacanya.

(3) Siswa memahami peranan dari tokoh-tokoh dalam prosa fiksi yang dibacanya.

- Intervensi yang dilakukan untuk membantu daya imajinasi siswa dalam menentukan tokoh dalam prosa fiksi yang dibacanya peneliti


(29)

38

memberikan motivasi melalui visual dengan penayangan VCD, gambar-gambar tokoh dan kartu kalimat.

c) Kegiatan Akhir (10 menit) - Evaluasi

- Pesan-pesan moral bagi siswa - PR

Diketahui Bandung, …………... 2009

Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Peneliti

Ine Rahayu, S.Pd Eem Ruhaemi, S.Pd


(30)

b. Sinopsis Prosa Fiksi “Legenda Tangkuban Perahu”

Sang Dewa jatuh cinta pada bidadari menyebabkan taman kahyangan ternoda nafsu cinta. Batara Guru pun marah “kalian harus menjalani hukuman di bumi”. Maka Sang Dewa dikutuk menjadi seekor anjing, dan Sang Bidadari menjadi seekor babi.

Ketika itu di bumi terjadi suatu keanehan tidak biasanya suasana di hutan menjadi sepi. Prabu Prabangkara yang sedang berburu merasa heran karena tak ada seekor hewan pun yang dapat diburu. Hey... pengawal aku haus, tolong ambilkan buah kelapa untuk diminum airnya. Ketika pengawal memetik buah kelapa, ia melihat makhluk berbulu hitam mirip macan kumbang bersembunyi di semak-semak.

Setelah didekati ternyata seekor anjing berbulu hitam, sebagai jelmaan Dewa yang terkena kutukan Batara Guru. Prabu Prabangkara tertarik padanya, maka anjing tersebut diberi nama Si Tumang. Hewan itupun diboyong ke istana.

Pada tempurung buah kelapa bekas Pangeran minum ada air kelapa yang tersisa lalu diminum. Babi rusa konon jelmaan bidadari yang sedang menjalani hukuman, bernama Celeng Wayungyang. ”Dewi, kau telah minum air sisa Pangeran, maka atas kuasaku kau akan mengandung bayi dari Pangeran itu yang kelak akan membebaskanmu dari kutukan.”


(31)

40

Sembilan bulan kemudian Prabu Prabangkara berburu lagi, pada saat itu pun celeng Wayungyang melahirkan. Prabu Prabangkara merasa bingung, di tengah hutan belantara mendengar tangisan bayi. ”Hey... pengawal, bayi siapa itu?” ketika dicari semakin didekati sumber suara itu, ternyata ada bayi di balik semak-semak dengan seekor babi rusa. Prabu Prabangkara menggendong bayi itu, ternyata perempuan lalu diberi nama ”Dayang Sumbi” dan diboyong ke istana.

Dayang Sumbi tumbuh menjadi remaja putri yang cantik dan rajin menenun kain tradisional. Suatu hari alat tenun Dayang Sumbi jatuh. ”Barang siapa yang menemukan teropongku, bila perempuan akan kujadikan saudaraku tetapi jika dia lelaki akan kujadikan suamiku”. Alangkah kagetnya ketika yang naik ke atas dengan membawa alat tenun itu Si Tumang. Akhirnya Dayang Sumbi menerima Si Tumang sebagai suaminya.

Prabu Prabangkara amat murka ketika tahu Dayang Sumbi mengandung tanpa suami. Padahal dia telah menerima lamaran Raja Galuga sebagai calon suami Dayang Sumbi. Agar tidak mencoreng nama baik kerajaan, maka Dayang Sumbi diungsikan ke tempat terpencil di tepi hutan dengan ditemani Si Tumang. Di tempat pengungsian itulah Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.


(32)

Sangkuriang tumbuh sehat, pintar, dan tampan, serta pandai berburu. Pada suatu hari Celeng Wayungyang rindu ingin bertemu putri dan cucunya, dengan ditemani kelinci dan ayam hutan mereka berkunjung ke rumah Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi tiba-tiba ingin sekali makan hati babi rusa. “Sangkuriang maukah kau mencarikan hati babi rusa?, jangankan babi rusa bu, macan kumbangpun bisa aku taklukan”. Ketika berburu Si Tumang mengenal babi rusa yang jadi buruannya, ternyata bidadari teman dekatnya yang sama-sama dikutuk Batara Guru. “Kenapa dinda ada di sini?” “Kanda ini, aku, akulah yang melahirkan putri yang tinggal di gubuk kecil itu”. “Oh Dayang Sumbi”. “Sebaiknya dinda segera pergi tinggalkan tempat ini, Sangkuriang akan menghabisimu, ayo dinda tunggu apa lagi, cepat melompatlah!”

”Tumang cepat kejar babi rusa itu! Ah bodoh kau, Tumang kenapa kau biarkan dia lari. Ku bunuh kau ... Tumang... akan ku ambil hatimu!”

”Bu... ini hati babi rusanya, sebaiknya cepat dimasak bu, oh iyah kemana Si Tumang? Mungkin dia main”. ”Hm... hati babi rusa ini benar-benar lezat.” ”Ia bu memang lezat”, ”kemana Si Tumang, aneh... sudah larut malam begini belum juga pulang?”

”Maaf bu ... Sangkuriang telah membohongi ibu... sebenarnya yang dimakan tadi, itu hatinya Si Tumang”. ”Apa kamu bilang, dasar anak durhaka”, dipukulnya Sangkuriang pakai centong hingga kepalanya terluka. ”Dasar anak durhaka, dia itu bapakmu, pergi... pergi... pergi dari sini...”. ”Apa? Ayahku seekor anjing,... tidak mungkin... oh... tidak mungkin...” Sangkuriang berlari tak tentu arah...


(33)

42

Sangkuriang ditemukan tersangkut pohon di tepi sungai oleh kelinci Sang Pertapa. Ia mengaku dirinya bernama Sangkalana dan akhirnya berguru kesaktian pada Sang Pertapa.

Pada suatu hari Sangkuriang mengajukan permohonan pada Sang Pertapa, ”Guru aku ingin mengikuti sayembara yang diadakan oleh Raja Galuga untuk membebaskan negara dari gangguan Kerajinan Jin”.

Untuk itu Raja Galuga meratapi kesedihannya, walaupun aku telah mengalahkan Prabu Perbangkala sebagai ganti dari gagalnya mempersunting Dayang Sumbi, namun gangguan dari Kerajaan Jin itu membuat upeti tidak masuk ke negara. Bisa sampai batas waktu sayembara belum juga bebas aku akan turun tangan.

”Hai, Raja Jin serahkan tawananmu, atau kuratakan tempat ini”. Raja Jin marah ”.... kalahkah aku dulu, baru aku akan menuruti semua perintahmu cecunguk muda!”. Akhirnya Sangkuriang dapat mengalahkan Raja Jin.

Prabu Galuga ingkar janji tidak mau memberikan separuh kerajaannya sebagai hadiah sayembara kepada Sangkalana (Sangkuriang). Hal tersebut membuat Sangkalana marah dan mengalahkan Raja Galuga. Pada suatu hari Sangkalana berburu ke hutan, ”pengawal bunyi apa itu merdu sekali?” ”Suara alat penenun kain tuan, di sekitar sini tinggal seorang perempuan penenun kain. Di


(34)

daerah ini termasuk hutan larangan tidak boleh berburu”. ”Siapa yang berani melarangku? Aku penguasa di sini”.

”Ada apa, tiba-tiba saja hutan menjadi sepi, jangan-jangan ada pemburu berkeliaran”. ”Oh.... mana Si Kumbang? Kumbang.... Kumbang... kenapa kau ini, siapa yang berbuat kejam padamu?”

”Kau, yang membunuhnya? Bukankah dia ingin menerkam tidak mungkin, dia menerkam tidak mungkin, dia menerkamku, karena dia sahabatku. Kalau begitu maafkan aku, tidak bermaksud membunuh sahabatmu”.

Sangkalana terpesona pada Dayang Sumbi, ia mohon pada gurunya diajarkan ilmu pamungkas. ”Aku ingin menjadi orang nomor satu sebagai tujuan hidupnya. Hati-hati, roda selalu berputar, muridku... guru tadi aku bertemu wanita cantik di hutan, aku ingin mempersuntingnya”.

”Firasatku mengatakan sebaiknya tidak muridku, wanita itu umurnya jauh lebih tua dariku, sejak kau masih kecil wanita cantik itu telah menenun di sana. Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya dan kita bagian dari hidupnya. Ah... itu cuman bualan, firasat mati, hidup kembali dan takdir semua itu omong kosong guru.

”Selamat pagi tuan putri”, Sangkalana bermaksud melamar Dayang Sumbi. ”Bolehkah aku memegang kepalamu?” Betapa kaget Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkalana, ia yakin Sangkalana itu Sangkuriang, putranya yang dulu ia usir.

”Sangkalana, aku jauh lebih tua darimu dalam perkawinan, usia sangat penting, juga rasa mungkin aku ini ibumu, bekas luka di kepalamu menandakan kau adalah Sangkuriang, kau adalah anakku”. ”Sudahlah kau jangan mengelak putri, dengarlah namaku Sangkalana bukan Sangkuriang”.

”Baiklah bila kau memaksaku, tapi ada satu syarat, yang harus kau penuhi. Dalam satu malam kau harus membendung sungai Citarum dan membuat perahu


(35)

44

bertahtakan mas untuk bulan madu kita”. ”Baik putri akan aku kabulkan permintaanmu”.

”Pertapa yang baik hati, berikan pusaka terakhirmu padaku, atau kau ku panah”. ”Sangkalana, ingat pusaka itu hanya untuk kebaikan. Bila kau gunakan untuk kejahatan maka bencana yang akan kau dapatkan”.

”Ada apa gerangan di bumi, ini pasti ada yang menyalahgunakan pusaka, adakah yang dapat menghentikannya. Aku akan berusaha sekuat tenaga, ini tanggung jawabku. Cepatlah sebelum dia menggetarkan jagat raya. Percayalah hal ini pasti selesai sebelum fajar.”

Dayang Sumbi terus berdo’a. ”Oh... Dewata Agung sadarkanlah anakku”. Atas bantuan Dewata, ayam hutan dan kelinci, membakar jerami, menumbuk lesung dan bunyi kokok ayam seolah-olah hari telah fajar. Raja Jin dan pasukannya lari takut terbakar matahari. ”Putri, kau telah berbuat licik, kepadaku, dan aku tidak bisa menerima ini”. Sangkalana marah menendang perahu yang baru selesai dibuatnya.

”Semua ini kehendak Dewata Agung anakku, sadarlah... anakku Sangkuriang... ingatlah ibu nak... ingatlah Si Tumang....” Sangkuriang terperosok ke dalam jurang, ”Ibu. ... maafkan Sangkuriang”.


(36)

60 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Bertitik tolak dari hasil pengolahan data dan pengalaman penulis ketika melaksanakan pembelajaran membaca cermat prosa fiksi dengan menggunakan pendekatan analitis di kelas XI SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung. Peneliti menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Permasalahan kasus FPG dan NAJ pada tahap baseline tingkat pemahamannya baru memahami 1 tokoh protagonis dari 4 tokoh yang ditanyakan, dan 2 tokoh antagonis dari 4 tokoh yang dibahas. Kedua kasus tersebut belum mencapai batas lulus yang telah ditetapkan yaitu minimal menjawab 3 tokoh dari 4 tokoh yang ditanyakan (mencapai nilai 6), untuk itu perlu diintervensi.

2. Pendekatan analitis dibantu media VCD, gambar tokoh dan kartu kalimat dapat mempermudah FPG dan NAJ memahami tokoh protagonis dan antagonis melalui proses membaca yang berulang-ulang sehingga meningkatkan pemahaman FPG dan NAJ pada prosa fiksi yang dibacanya. Hasil intervensi FPG mencapai nilai 8 dan NAJ memperoleh nilai 6. Kedua kasus tersebut mencapai batas lulus yang telah ditetapkan (6,0).

3. Upaya guru dalam mengatasi permasalahan membaca cermat prosa fiksi menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis diantaranya: (a) cara guru memulai pembelajaran dari tahap yang mudah sampai dengan yang sulit, (b) adanya sumber pembelajaran dengan perpustakaan keliling, serta orangtua dalam pengadaan buku cerita.


(37)

61

B. Rekomendasi

1. Guru sebaiknya menggunakan media pembelajaran yang konkrit yakni bisa dilihat, didengar, dan dilakukan. Karena penggunaan media yang kongkrit daya serap anak tunarungu dalam membaca cermat hasilnya tinggi, dan media yang berupa teks saja hasilnya rendah.

2. Agar sekolah menyiapkan media yang lebih konkrit untuk memahami materi prosa fiksi yang dibaca dalam tahap membaca cermat.

3. Anak tunarungu agar memiliki pengalaman apresiasi sastra maka diadakan lomba membaca prosa fiksi atau lomba dongeng.

4. Untuk menumbuhkan budaya membaca pada anak tunarungu maka pihak sekolah berupaya melengkapi buku-buku bacaan prosa fiksi, serta ada petugas khusus yang mengelola perpustakaan.

5. Penelitian ini perlu penyempurnaan dan dikembangkan oleh peneliti selanjutnya dengan pengolahan data melalui statistik parametrik.


(38)

62

DAFTAR PUSTAKA

Ashman, A & Elkins, J. (eds). Educating Children with Special Needs. (dalam Permanarian Somad dan Didi Tarsidi). (1997). Dampak Ketunarunguan Terhadap Perkembangan Individu. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd.

Aminudin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Baru Algesindo.

Bunawan, L dan Yuwati, C.S. (2000). Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Boothroyd, A. (1982). Hearing Impairments in Young Children. Prentice Hall: Inc. Englewood Cliffts, N.7.07632.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Djuanda. (2006). Apresiasi Sastra. Bandung: UPI Press.

Esten, Mursal. (1990). Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Goodman, K. (1988). The Reading Process, Interactive Approaches to Second Language Reading. Cambridge University Press.

Kurniawan, O. (2008). Peningkatan Kemampuan Memahami Dongeng Melalui Strategi Directed Reading Thinking Activity (DRTA) di Kelas V Sekolah Dasar. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

M.C. Millan, J.H dan Schumacher, S. (2001). Research in Education: a Conceptual Introduction Part III. New York: Logman.

Mulyati, Y. (1998). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi, Modul PGSD Setara DII. Jakarta: Depdikbud.

Nurgiyantoro, Burhan. (2007). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Priyono, K. (2001). Terampil Mendongeng. Jakarta: PT. Gramedia. Rahimsyah, MB. Legenda Batu Menangis. Surabaya: Serba Jaya.


(39)

63

Rusyana, Yus. (1978). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: IKIP.

Rusyana, Yus. (1982). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sadjaah, Edja. (2003). Pendidikan Bahasa Bagi Anak-anak Gangguan

Pendengaran dalam Keluarga. Bandung: Sang Grafika.

Sagala, S. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Situmorang, BP. (1983). Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Surabaya: Nusa Indah.

Somantri, Sutjihati, T. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sugiyono. (2008). Statistik Non Parametris. Bandung: CV. Alfabeta.

Sugono, Dendy. (2003). Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Sumarjono, Jakob dan Saini, M. (1994). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Sunanto, Koji Takeuchi, Hidio Nakata, Juang. (2006). Penelitian dengan Subyek Tunggal. Bandung: UPI Press.

Suprapto. (1993). Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra Bahasa Indonesia. Surabaya: Indah.

Tambayong, J. (1981). Dasar-dasar Drama Turgi. Bandung: Pustaka Prima. Tarigan, H.G. (1990). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa.

Tarigan, Djago. (1990). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

UPI. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Yandianto. (2000). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M25.

Yudhistira, Emha. (2008). Asal Mula Gunung Tangkuban Prahu. Surabaya: Serba Jaya.

Yusuf, M. (2005). Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.


(40)

Zein-Badudu. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(1)

44

bertahtakan mas untuk bulan madu kita”. ”Baik putri akan aku kabulkan permintaanmu”.

”Pertapa yang baik hati, berikan pusaka terakhirmu padaku, atau kau ku panah”. ”Sangkalana, ingat pusaka itu hanya untuk kebaikan. Bila kau gunakan untuk kejahatan maka bencana yang akan kau dapatkan”.

”Ada apa gerangan di bumi, ini pasti ada yang menyalahgunakan pusaka, adakah yang dapat menghentikannya. Aku akan berusaha sekuat tenaga, ini tanggung jawabku. Cepatlah sebelum dia menggetarkan jagat raya. Percayalah hal ini pasti selesai sebelum fajar.”

Dayang Sumbi terus berdo’a. ”Oh... Dewata Agung sadarkanlah anakku”. Atas bantuan Dewata, ayam hutan dan kelinci, membakar jerami, menumbuk lesung dan bunyi kokok ayam seolah-olah hari telah fajar. Raja Jin dan pasukannya lari takut terbakar matahari. ”Putri, kau telah berbuat licik, kepadaku, dan aku tidak bisa menerima ini”. Sangkalana marah menendang perahu yang baru selesai dibuatnya.

”Semua ini kehendak Dewata Agung anakku, sadarlah... anakku Sangkuriang... ingatlah ibu nak... ingatlah Si Tumang....” Sangkuriang terperosok ke dalam jurang, ”Ibu. ... maafkan Sangkuriang”.


(2)

60 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Bertitik tolak dari hasil pengolahan data dan pengalaman penulis ketika melaksanakan pembelajaran membaca cermat prosa fiksi dengan menggunakan pendekatan analitis di kelas XI SMALB Negeri Cicendo di jalan Cicendo No. 2 Kota Bandung. Peneliti menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Permasalahan kasus FPG dan NAJ pada tahap baseline tingkat pemahamannya baru memahami 1 tokoh protagonis dari 4 tokoh yang ditanyakan, dan 2 tokoh antagonis dari 4 tokoh yang dibahas. Kedua kasus tersebut belum mencapai batas lulus yang telah ditetapkan yaitu minimal menjawab 3 tokoh dari 4 tokoh yang ditanyakan (mencapai nilai 6), untuk itu perlu diintervensi.

2. Pendekatan analitis dibantu media VCD, gambar tokoh dan kartu kalimat dapat mempermudah FPG dan NAJ memahami tokoh protagonis dan antagonis melalui proses membaca yang berulang-ulang sehingga meningkatkan pemahaman FPG dan NAJ pada prosa fiksi yang dibacanya. Hasil intervensi FPG mencapai nilai 8 dan NAJ memperoleh nilai 6. Kedua kasus tersebut mencapai batas lulus yang telah ditetapkan (6,0).

3. Upaya guru dalam mengatasi permasalahan membaca cermat prosa fiksi menganalisis tokoh protagonis dan tokoh antagonis diantaranya: (a) cara guru memulai pembelajaran dari tahap yang mudah sampai dengan yang sulit, (b) adanya sumber pembelajaran dengan perpustakaan keliling, serta orangtua dalam pengadaan buku cerita.


(3)

61

B. Rekomendasi

1. Guru sebaiknya menggunakan media pembelajaran yang konkrit yakni bisa dilihat, didengar, dan dilakukan. Karena penggunaan media yang kongkrit daya serap anak tunarungu dalam membaca cermat hasilnya tinggi, dan media yang berupa teks saja hasilnya rendah.

2. Agar sekolah menyiapkan media yang lebih konkrit untuk memahami materi prosa fiksi yang dibaca dalam tahap membaca cermat.

3. Anak tunarungu agar memiliki pengalaman apresiasi sastra maka diadakan lomba membaca prosa fiksi atau lomba dongeng.

4. Untuk menumbuhkan budaya membaca pada anak tunarungu maka pihak sekolah berupaya melengkapi buku-buku bacaan prosa fiksi, serta ada petugas khusus yang mengelola perpustakaan.

5. Penelitian ini perlu penyempurnaan dan dikembangkan oleh peneliti selanjutnya dengan pengolahan data melalui statistik parametrik.


(4)

62

DAFTAR PUSTAKA

Ashman, A & Elkins, J. (eds). Educating Children with Special Needs. (dalam Permanarian Somad dan Didi Tarsidi). (1997). Dampak Ketunarunguan Terhadap Perkembangan Individu. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd.

Aminudin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Baru Algesindo.

Bunawan, L dan Yuwati, C.S. (2000). Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Boothroyd, A. (1982). Hearing Impairments in Young Children. Prentice Hall: Inc. Englewood Cliffts, N.7.07632.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Djuanda. (2006). Apresiasi Sastra. Bandung: UPI Press.

Esten, Mursal. (1990). Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Goodman, K. (1988). The Reading Process, Interactive Approaches to Second Language Reading. Cambridge University Press.

Kurniawan, O. (2008). Peningkatan Kemampuan Memahami Dongeng Melalui Strategi Directed Reading Thinking Activity (DRTA) di Kelas V Sekolah Dasar. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

M.C. Millan, J.H dan Schumacher, S. (2001). Research in Education: a Conceptual Introduction Part III. New York: Logman.

Mulyati, Y. (1998). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi, Modul PGSD Setara DII. Jakarta: Depdikbud.

Nurgiyantoro, Burhan. (2007). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Priyono, K. (2001). Terampil Mendongeng. Jakarta: PT. Gramedia. Rahimsyah, MB. Legenda Batu Menangis. Surabaya: Serba Jaya.


(5)

63

Rusyana, Yus. (1978). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: IKIP.

Rusyana, Yus. (1982). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sadjaah, Edja. (2003). Pendidikan Bahasa Bagi Anak-anak Gangguan

Pendengaran dalam Keluarga. Bandung: Sang Grafika.

Sagala, S. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Situmorang, BP. (1983). Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Surabaya: Nusa Indah.

Somantri, Sutjihati, T. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sugiyono. (2008). Statistik Non Parametris. Bandung: CV. Alfabeta.

Sugono, Dendy. (2003). Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Sumarjono, Jakob dan Saini, M. (1994). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Sunanto, Koji Takeuchi, Hidio Nakata, Juang. (2006). Penelitian dengan Subyek Tunggal. Bandung: UPI Press.

Suprapto. (1993). Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra Bahasa Indonesia. Surabaya: Indah.

Tambayong, J. (1981). Dasar-dasar Drama Turgi. Bandung: Pustaka Prima. Tarigan, H.G. (1990). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa.

Tarigan, Djago. (1990). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

UPI. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Yandianto. (2000). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M25.

Yudhistira, Emha. (2008). Asal Mula Gunung Tangkuban Prahu. Surabaya: Serba Jaya.

Yusuf, M. (2005). Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.


(6)

Zein-Badudu. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.