Rekonstruksi Modal Sosial Masyarakat Pedesaan.

U Senin

~

.Peb

~9

U Selasa
456
20

21

o Mar

OApr

e

Rabu"


7
22

--.
8
23

Kamis
9

OMei OJun

-0 iumat
10

24

25


o Sabtu o Minggu
12

11
26

13
27

OJul 0 Ags OSep

14
28

OOkt

15
29
ONov


16
30

31

ODes

n~I~UI.v;LrulGi J\'IodaI Sosial
--=-

8o'!

;.;o,

-

Masyaral~a~Pedesa~n
MENYlMAK berita
tentang puluhan warga
Karnpung Situbatu, Desa

Cipareuan, Kecarnatan
Cibiuk, Kabupaten Carut,
yang terpaksa rnakan nasi
oyek (Tribun 'abar 13
Februari), penulis yang
intensif rnengkaji perubahan sosial rnasyarakat
pedesaan di Jawa Barat,
tidak terkejut dan kaget
seperti Cubernur atau
anggota DPRD.
Bahkan ada yang lebih
ironi, sebut saja tragedi
rurnah tangga tani yang
rnengonsurnsi nasi aking
atau anak petani yang
rnenderita busung lapar
(gizi buruk) di Indrarnayu,
lurnbung padi nornor satu
di negeri ini.
Boleh jadi, jika lebih

digali, fenomena serupa
akan ditemui (pada waktu
dan titik tertentu) di
seluruh Jabar, terutama di
daerah lahan kering.
Fenomena itu seperti
gunung es, hanya secuil
kasus yang terangkat ke
perrnukaan.
Pertanyaannya, kenapa
bisa terjadi dernikian?
Jawabannya, tentu tidak
cukup dengan hanya
menyalahkan langka dan
mahalnya harga beras.
Akar persoalannya rumit
dan rnendasar, menyangkut kultur dan struktur.
Salah satunya, jika
meminjam istilah Pierre
Bourdieu, Robert Putnam,

dan Francis Fukuyama,
terjadi karena degradasi
modal sosial (socialcapital).
Bagaimana tidak, pada
sebagian besar rumah
tangga tani sudah
kehilangan budaya
menyimpan (ngeureut
nermdeun) sebagian hasil
tani, baik di gudang
maupun di lurnbung
(leuit). Pol a penjualan
seluruh hasil panen di
ladang (baik tebasan,
gabah basah, maupun
gabah kering) kini
menjadi tren petani, baik
karena alasan efisiensi,
desakan kebutuhan
operasional usaha tani,

maupun terlilit utang.
lronisnya, banyak petani

referat

IWAN SETIAWAN
Dosen Fakultas Pertanian Unpad
Sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan
LPPM Unpad

yang menjual gabah
berkualitas demi mernbeli
(lebih banyak) beras
murah.
.
Implikasi dari tren itu,
eksistensi dan peran
kelembagaan pangan
lokal, baik lumbung
rumah (goah), lumbung

dusun rnaupun
lumbung
desa,
L
..melemah
atau lenyap.
Hal itu
seiring
mernudarnya
modal sosial
ketahanan
pangan, seperti
hilangnya budaya
rnemelihara ternak
dan ikan, melemahnya mekanisrne
coping (perlindungan
keluarga), melemahnya
perlindungan dan jejaring
sosial (dari komunitas
dan lembaga desa),

melemahnya tindakan
sosial kolektif (gotongroyong, perelek, dan
sebagainya), tidak
sejalannya pola tanarn
dengan siklus persoalan
sosial, memudarnya
keterbukaan komunikasi
(ruang dialog), melemahnya jiwa sosial (pamrih),
dan semakin tergantungnya masyarakat pada
bantuan luar
(pemerintah).
Beban itu semakin berat
ketika risiko lingkungan
(serangan hama penyakit,
banjir dan kekeringan)
dan risiko sosial-ekonomi
(upah, harga input, biaya
produksi) terus melompat.
Akibatnya, usahatani
menjadi "besar pasak

daripada tiang". Bagi
petani keci!, alih-alih
mendapatkan jaminan
kesejahteraan, mencapai
titik impas saja sudah
untung. lronis memang,

meski sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
keluarga, hidup mereka
tetap subsistensi. Usaha
taninya yang rentan gaga!,
tak ubahnya rutinitas
yang seringkali tidak
cukup untuk sekedar
mernenuhi konsumsi
rumah

tangganya sendiri.
Paradoks dengan itu,
gaya hidup masyarakat

pedesaan justru sernakin
konsurntif. Hampir sernua
kebutuhan serba dibeli.
Bahkan,tidakjarang
rurnah tangga miskin
yang memaksakan
kehendaknya (anaknya)
membeli barang-barang
mahal (motor, televisi,
vcd) melalui cara kredit
atau tunai, sekalipun harus
menjual seluruh hasil
panen atau menggadaikan/ menjuallahannya
yang tidak seberapa.
Akibatnya, meski sudah
ada Raskin, BLT, dan BOS,

Kliplng Humas Unpad 2010

hidup mereka tetap saja
sulit, karena pengeluarannya lebih besar daripada
pendapatan. lronisnya,
dalam keadaan anak dan
istrinya sulit mendapatkan
makan, masih saja ditemui
suami yang mengonsumsi
rokok mahal.
Pendapatannya yang
kecil, musiman dan tidak
sebanding dengan harga
kebutuhan, jelas membuat
mereka tetap lemah
aksesnya terhadap
sumber produktif. Bagi
buruh tani yang tingkat
upahnya di luar hukum
kelayakan dan kewajaran
pasar, hidup bagai telur di
ujung tanduk, mau
berteriak susah, bergerak
lebih susah, apalagi
tidak punya suara
dalam UU
Perburuhan.
Relasi sakap
(maro)yang dulu
begitu diharapkan dan terbangun
secari} kekeluargaan
(patron-client) kini
kurang diminati
karena bergeser ke
kontrak ekonomi.
Pada perkembangannya,
keadaan
dipertajam
oleh
akumulasi
perilaku

;D
/

~s

menyim-

pang dalam
tubuh
birokrasi/ pemerin tahan.
Banyak program untuk
orang miskin tersumbat,
bocor sepanjang jalan,
salah sasaran dan dikomersialkan. Keadaan ini
berjalan bagai pedal,
berputar secara merata
hingga ke tingkat desa.
Implikasinya, selain
melemahkan kepercayaan
(trust), juga memicu tensi
ketegangan dan konflik
horizontal / vertikal.
Semua itu jelas jangan
dibiarkan berbiak. Tugas
beratnya -disamping
menjaga dan meningkatkan efektivitas program
ketahanan pangan dan
~n.:as~n
ke~iskina~

yang berjalan- adalah
merekonstruksi dan
menguatkan modal sosial
ketahanan pangan
masyarakat pedesaan.
Jejaring sosial, tindakan
kolektif, mekanisme
coping dan kepedulian
sosial perlu diinternalisasi
agar bersemi kembali.
Lumbung perlu diinovasi agar berfungsi dan
berisi gabah (bukan
beras/uang) agar tahan
atau tidak gampang
dihabiskan. Badan usaha
milik petani (BUMP)
penting dioperasikan, agar
ada monetisasi dan
akumulasi kapital di
pedesaan. Minimal,
kesulitan kaum tani tak
bertambah.
Kampanyekan bahwa
melindungi dan mengangkat derajat kaum
miskin merupakan
kewajiban kaum kuatkuasa (civil society). Jika
dari pemerintah ada
program, maka imp lementasikan secar