"Harirang" Politik Sunda.

Pikiran Rakyat

o Senin o
123
17

4
18

OJan

19
OPeb

6

5
20

0


Se,'asa

21

,~2

o Mar o Apr

o Kamis 0 Jumat
9
G25 11 26
23
24

Rabu
7
8

OMei


OJun

OJul

.

Ags

.

Sabtu

12

27
OSep

NON
U~PAD
~


o Minggu

13

14
28

OOkt

15
29

30

ONov

. _."..~,"

"Hariring" Politik Sanda

Oleh ASEP SALAHUDIN
Hariring nu hudang gering
Haleuang hudang muriang
Nu hareeng sor:e-sore
Nembang
eukeur erangerang
Babaran lalakon urang
Surup-surup tunggang gunung
Sagala rada teu hayang

A

SMARANDANA
di
atas ditulis oleh penyair dan filsuf terbesar sepanjang sejarah Sunda
Haji Hasan Mustapa dengan
judul Hariring Nu Hudang
Gering. Tentu saja, laiknya sebuah "puisi" yang dibentuk
dengan banyak menggunakan
metafora, akan selalu menyisakan heterogenitas penafsiran termasuk asmarandana ini.

Tentu nafas dominan dalam
dangding itu adalah ihwal religiositas yang dipadukan dengan nilai lokal budaya kesundaan. Menariknya, di tangan
penyair besar ini, religiositas
tidak dimaknai sekadar membatu sebatas sui uk yang berifat vertikal ketuhanan, tetapi
religiositas yang bertemali dengan domain yang sangat luas, katakanlah politik kemanusiaan yang melampaui sentimentalisme kesukuan.
Politik kemanusiaan sebagai
bagian integral q.ari penghayatan alam batin manusia
Sunda adalah sikap politik kebudayaan yang jauh dari wa-

tak eksklusif, dogmatis, dan
fanatik, namun justru politik
yang dibayangkan mampu
menjadi tenda untuk kepentingan bersama. Politik dengan hasrat utama menjadi
papayung negara. Politikyang
melampaui sesuatu yang bersifat formalitas yang kehilangan substansi, ditulis dengan
baik dalam guguritan lainnya:
Dinyarana kuring santrijSapedah bisa ngajinajDinyarana alim kahotjPedah
getol ngawuruknajDinyarana bijaksanajSapedah mulus
rahayujPuguh sagala turunan
Selama ini diakui atau tidak, euforia politik pasca re-.


Kliping

~~

Humos

Unpod

---

-----

formasi lebih bergerak ke arah
perayaan berpolitik yang gaduh dengan formalitas namun
miskin substansi, ramai dengan permukaan tetapi absen
dari pendalaman, menyusutkan mazhab ideologisdan memunculkan kecenderungan
pragmatis. Politik hadir menjadi panglima, namun menjadi panglima yang hilang haluan nalar.
Dalam konteks politik seperti ini, menjadi sangat tidak
aneh pada gilirannya yang terjadi kemudian adalah politik

transaksional yang di antaranya dicirikan dengan kemenangan kaum kerabat (puguh
sagala turunan), popularitas,
dan selebritas, yang ujungnya
berpangkal pada kecakapan
dalam pencitraan pada badan.
Semacam banalitas dalam
konfigurasi politik nasional
yang sekarang mengemuka.
Konteks kesundaan
Politik dalam konteks kebudayaan Sunda tampaknyajuga tidak terlampau berbeda
dengan konfigurasi watak politik ini. Sunda yang masih tetap sebagai atas nama sementara nilai-nilai budaya Sunda,
tampak belum menjadi bagian
integral dari sejarah pengalaman keseharian politisinya.
Nyantri, nyunda, dan nyakola, nyaris sekadar wacana. Sebab, dalam. praktiknya, yang
mudah kita temukan adalah
negasi: tidak nyantri, tidak
nY(1~ola,dan tidak nyunda.

2009


~

UNPAD

ODes

~. . -"

Di kampungnya sendiri, Jawa Bar