Neoliberalisme, Deindustrialisasi dan Gerakan Rakyat Pekerja
% ! ### "$$ # # $ *# / & ' ###
Neoliberalisme, Deindustrialisasi dan Gerakan Rakyat Pekerja Ditulis Oleh Administrator Kamis, 22 Januari 2009 Dari Krisis ke Krisis
Ibarat menyelam sambil minum air. Ternyata meluasnya dampak krisis ekonomi global saat ini masih saja
dapat dijadikan momentum bagi rejim hari ini untuk kembali mengorbankan kesejahteraan rakyat
pekerjanya sendiri. Dari sini sesungguhnya kita bisa melihat bahwasanya rapuhnya sistem ekonomi
dunia di bawah bendera kapitalisme global kini terlihat jelas dengan banyaknya negara-negara di dunia,
termasuk Indonesia sendiri, harus terpaksa menanggung krisis finansial yang berasal dari titik pusat
kapitalisme itu sendiri, yakni Amerika Serikat.
Kebingungan pemerintah dalam menghadapi fluktuasi spekulan-spekulan pasar modal semakin
menegaskan bahwa corak produksi perekonomian Indonesia telah terintegrasi utuh dalam tatanan
sistem ekonomi kapitalisme global yang mana merupakan sistem ekonomi dunia yang dahulu justru
pernah ditentang mati-matian oleh para founding fathers kita dan konstitusi tertinggi republik ini. Maka
tidak heran kemudian semenjak keberadaan rezim Orde Baru hingga rezim saat ini, modus penghisapan
ekonomi dan sumber daya alam negri ini selalu saja diawali dengan lahirnya kebijakan-kebijakan negara
yang anti rakyat (judicial violence) yang kemudian akan selalu berujung kepada praktek-praktek
ekspansi pasar dan eksploitasi (judicial violence) modal nasional di republik ini. Sehingga
maksud-maksud dan tujuan pembangunan nasional yang telah tertuang dalam Paragraf Pembukaan
dan Pasal 33 UUD 1945 kini semata-mata hanya menjadi tulisan tanpa arti di atas kertas saja.Perdagangan bebas, penggadaian aset-aset strategis bangsa, liberalisasi sumber agraria dan de-industrialisasi hingga disahkannya Undang Undang Penanaman Modal No.25 tahun 2007 sudah semakin menegaskan bahwa seluruh elemen parlemen, parpol, akademisi dan birokrasi pemerintahan saat ini harus bertanggung jawab sepenuhnya atas tercerabutnya kemandirian ekonomi nasional di bawah kungkungan kapitalisme global.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sekiranya peribahasa itulah yang pantas menggambarkan kondisi rakyat Indonesia hari ini. Ketika rakyat Indonesia masih harus bersusah payah untuk bertahan hidup di tengah krisis pangan dan anjloknya daya beli masyarakat pasca dinaikkannya harga BBM beberapa kali yang lalu, kini pemerintah malah bertekad mengorbankan rakyat pekerja di negeri ini dengan tidak menaikkan upah minimum para pekerja/buruh se-Indonesia mulai tahun 2009 nanti hingga batas waktu yang belum jelas pemberlakuannya. Melalui Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yang telah ditandatangani oleh Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno pada 22 Oktober 2008 yang lalu, pada pasal 3 telah disebutkan bahwa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebaiknya tidak melebihi 6 persen sebagaimana patokan pertumbuhan ekonomi nasional. Tegasnya, bagi pemerintah, kebijakan anti rakyat ini sengaja dipaksakan dengan dalih untuk mencegah agar tidak terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan deindustrialisasi sebagai akibat dampak krisis perekonomian global yang tengah mengancam kelangsungan industri nasional dalam negeri saat ini.
Dari sini, kita bisa melihat bahwasanya solusi pemerintah Indonesia atas kegagalannya sendiri dalam melindungi industri nasional dari serbuan pasar bebas dan liberalisasi modal internasional malah dijawab dengan memasung kesejahteraan dan pendapatan warga negaranya sendiri. Belum lagi, kemunculan banyaknya UU dan peraturan perburuhan yang semakin represif, telah memperlihatkan bahwa negara sedang melakukan cuci tangan terhadap problema hubungan industrial antara pengusaha dan pekerjanya. Pada akhirnya, sejarah panjang dari krisis ke krisis di negeri yang konon melimpah ruah kekayaannya selalu saja rakyat kecil yang menjadi tumbalnya.
% ! ### "$$ # # $ *# / & ' ###
Pembagian Kerja Secara InternasionalSesungguhnya dapat kita katakan bahwa munculnya motivasi awal gerakan buruh di dunia merupakan respon dari dampak revolusi industri di Eropa pada akhir abad ke-18. Semaraknya penemuan teknologi baru dan transportasi telah memungkinkan sistem produksi massal (mass production) yang terdistribusikan secara meluas dan melipatkan gandakan keuntungan pengusaha di satu sisi, namun di sisi lain, perluasan pasar dan pencarian bahan baku negara-negara maju justru telah melahirkan cara produksi kolonial di Indonesia. Sehingga mainstream industri nasional kita sampai saat ini terkadang masih terdistorsi dengan warisan pola pikir dan cara produksi kolonial di masa lampau. Keyakinan terhadap neoliberalisme dan perdagangan bebas pada akhirnya telah menghantarkan kesadaran rakyat Indonesia menelan dua realitas irrasional sekaligus; yakni ketidakpercayaan kepada masa lalu dan ketidak mengertian akan masa depan; serta “kepercayaan” akan kekayaan Indonesia sekaligus kepasrahan (KEBODOHAN MISTIS!) tentang kemiskinannya sendiri. Untuk itu, sudah seharusnya segala selubung-selubung ideologis neoliberalisme sudah harus dapat dibongkar sampai ke akar-akar pengetahuannya dan tentunya berangkat dari teori pembagian kerja secara internasional di bawah ini, kita akan mengetahui mimpi apa yang telah dijual oleh kapitalisme dalam menggambarkan adanya mutualisme dalam sebuah era perdagangan bebas yang tanpa batas itu.
Pada prinsipnya, teori pembagian kerja secara internasional ini telah mendorong setiap negara untuk melakukan spesialisasi produksi sesuai keuntungan komparatif yang dimilikinya. Singkatnya, negara-negara selatan di khatulistiwa yang tanahnya subur, lebih baik melakukan spesialisasi produksi di bidang produksi pertanian. Sedangkan negara-negara di bagian bumi sebelah utara, yang iklimnya tidak cocok untuk usaha pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi di bidang industri. Maka baik negara-negara selatan maupun negara-negara utara, mereka membutuhkan teknologi dalam menciptakan keunggulan komparatif bagi negerinya. Akibat dari perbedaan spesialisasi inilah yang mendorong terjadinya perdagangan internasional. Sebab, apabila negara-negara selatan bergerak di bidang industri, dan negara-negara utara bergerak di bidang pertanian, maka secara otomatis ongkos produksinya lebih mahal. Karena akan dibutuhkan lebih banyak investasi bagi negara utara untuk menyuburkan tanah dan melawan musim dingin, dan negara-negara selatan juga akan membutuhkan investasi yang cukup banyak pula untuk pembangunan industrinya, sehingga ongkos produksi yang mereka hasilkan akan menjadi lebih mahal. Maka berdasar teori ini, perdagangan internasional yang lahir atas perbedaan potensi keunggulan komparatif masing-masing negara akan menguntungkan kedua belah pihak. Sehingga harga barang akan turun dan akan mencapai titik terendah bila sudah terjadi perdagangan bebas. Sebab kemajuan dan perkembangan teknologi yang digunakan oleh masing-masing negara akan menciptakan produksi yang dihasilkan akan berlimpah dan murah, sehingga secara otomatis perdagangan antara negara utara-selatan akan menguntungkan kedua belah pihak. Sebab, menurut teori ini, negara-negara yang ada secara langsung akan menimbulkan rasa saling ketergantungan yang mutualisme bila negara-negara tersebut saling mengisi kelemahan yang ada. Di mana puncaknya akan tiba pada suatu era, yakni era perdagangan bebas.
Kepalsuan Global Globalisasi
Merujuk pada asumsi teori pembagian kerja secara internasional di atas, mengapa setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, negara-negara industri menjadi semakin kaya, sedangkan negara-negara pertanian justru semakin miskin. Dan terkait dengan perdagangan internasional dan deindustrialisasi, sampai seberapa jauh peranan TNC-MNC, WTO dan Bank Dunia saat ini dan bagaimana posisi gerakan buruh harus mengambil sikap.
Sesungguhnya, dalam sejarah teori, pembagian kerja secara internasional ini telah dikritik oleh dua kelompok besar, yakni Teori Modernisasi, yang melihat kesenjangan kemiskinan yang terjadi karena lebih disebabkan oleh faktor-faktor internal negara-negara pertanian yang dinilai sebagai masyarakat tradisional alias belum maju (tidak modern) yang cenderung karena pembangunan kapasitas dan karakter SDM yang tidak maju serta minimnya
% ! ### "$$ # # $ *# 0 & ' ###
penyelenggaraan lembaga-lembaga guna menunjang proses modernisasi. Sedangkan kelompok teori yang kedua, Teori Struktural, melihat secara berlawanan dengan Teori Modernisasi. Teori Struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terdapat di Negara-negara Dunia Ketiga yang mengkhususkan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah. Sehingga, surplus dari Negara-negara Dunia Ketiga beralih ke Negara-negara industri maju.
Terlepas dari teori modernisasi yang terlalu mudah melakukan generalisasi dan cenderung menganggap perkembangan masyarakat bergerak dalam garis yang lurus ataupun pemaparan dari teori struktural itu sendiri. Pada akhirnya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa eksploitasi ekonomi yang melahirkan kesenjangan ekonomi global lebih disebabkan karena adanya pertukaran yang timpang. Sehingga slogan-slogan bahwa globalisasi akan melahirkan kesejahteraan global sudah tidak akan mungkin tercapai apabila potensi sumber daya dan kapasitas teknologi Negara-negara maju lebih besar dan semakin besar. Kompetisi yang tidak seimbang inilah yang mendorong proses globalisasi hanya akan menguntungkan Negara-negara industri maju saja. Dan tentunya, keberadaan TNC-MNC, WTO dan Bank Dunia mengambil porsi yang cukup besar dalam menjalankan skema penjajahan gaya baru neoliberalisme global hingga saat ini.
Pada prakteknya, skema pembagian kerja secara internasional itu justru menyebabkan penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang industri. Sehingga barang-barang industri menjadi semakin mahal bila dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Belum lagi, praktek proteksi hasil-hasil pertanian dalam Negara-negara industri semakin meminimalisir jumlah ekspor Negara pertanian ke Negara industri. Di sisi lain, kemunculan penemuan-penemuan teknologi baru dalam Negara-negara utara mampu menciptakan bahan-bahan mentah sintetis sebagai bahan baku industri di dalam negerinya sendiri. Selain itu yang harus dicatat, skala permintaan untuk barang-barang pertanian tidak bersifat elastis. Sebab, dalam Hukum Engels dinyatakan bahwa pendapatan seseorang yang meningkat tidak akan menaikkannya konsumsi seseorang tersebut untuk makanan, tatapi justru terjadi peningkatan pada konsumsi barang-barang industri.
Tegasnya, di balik manipulasi dan impian keseimbangan pasar bebas dalam pembagian kerja secara internasional, ternyata negara-negara maju itu sendiri justru berada pada titik-titik tertentu mereka secara leluasa memperkuat industri dalam negrinya terlebih dahulu sebelum bertarung dalam perdagangan bebas dan menghisap habis kekayaan negara-negara agraris, dalam hal ini adalah negara-negara berkembang. Oleh karena itu, bila rejim saat ini mau belajar dari sejarah dan berani membongkar praktek-praktek lembaga ekonomi neoliberalisme dan TNC-MNC-nya, maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia mampu mendefinisikan ulang kembali apa yang dicita-citakan founding fathers terdahulu dengan kemandirian ekonomi nasional, yakni perlindungan tenaga kerja dan sumber daya nasional serta menjaga ketahanan industri nasional dari kepungan modal asing.
Kemanakah Gerakan Rakyat Pekerja Harus Berpijak
Sewindu sudah angin reformasi telah berlalu, namun hingga detik ini kesejahteraan kaum buruh selalu tergadaikan oleh orientasi pencarian sumber-sumber pembiayaan negara yang sangat teknis—jalan pintas dengan mengandalkan bantuan luar negeri tanpa orientasi strategis sama sekali. Sebagai akibatnya harga BBM dinaikkan, subsidi dicabut, aset-aset strategis diprivatisasi dan sebagai daya tarik atas investasi asing di negri ini yang selalu ditumbalkan adalah minimnya upah buruh dan penekanan atas gerakan buruh sebagai upaya untuk menjaga stabilitas negara menjadi terjaga. Ini semua dilakukan sebagai pemenuhan prasyarat peminjaman yang didiktekan negara-negara donor sehingga negara tidak lagi dikelola untuk kepentingan rakyatnya. Sesungguhnya, di Indonesia, logika investasi dari satu negara ke negara lainnya telah bermula pada kegiatan yang terkait dengan perdagangan di bawah rejim kolonialisme. Dimana akumulasi yang terjadi masih bersifat primitif, yang mana mobilisasi produksi dan distribusi produksinya masih mengandalkan kekuatan ekstra ekonomi atau kekuatan senjata dan politik pendudukan. Namun, pada masa setelah kolonialisme, kekuatan ekstra ekonomi telah berubah menjadi kekuatan neokolonialisme, yaitu penjajahan secara tidak langsung lewat berbagai instrumen internasional, khususnya di area perdagangan.
% ! ### "$$ # # $ *# / & ' ###
Dengan demikian kita selalu berhadapan pada konsep yang sempit tentang investasi, yaitu sebagai kepanjangan dari perdagangan. Sebab, sebagaimana yang terdapat dalam prinsip GATT/WTO, aturan investasi internasional selalu terkait dengan isu non-diskriminasi di dalam kegiatan perdagangan. Sehingga di dalam isu-isu investasi juga terdapat mengenai national treatment (perlakuan yang sama antara pelaku usaha asing dengan dalam negri), most favoured nation (perlakuan yang sama terhadap berbagai Negara mitra dagang), market access (pembukaan akses pasar dalam negri), transparency dan lainnya. Ironisnya, segala prinsip-prinsip investasi dan perdagangan di atas, di Indonesia justru malah dilampaui. Dalam UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, selain terdapat perlakuan yang sama antara investor asing dengan investor domestik, juga dilegalkan praktek investasi asing di semua bidang tanpa terkecuali. Padahal WTO dalam kegiatan penanaman modal asing hanya dibatasi peranannya dalam sektor perdagangan saja. Tegasnya, inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa hingga kini deindustrialisasi di negri ini terus terjadi dan jutaan buruh di negri ini masih saja terus dihantui dengan ancaman PHK massal. Untuk itu, tutupnya beberapa pabrik tekstil minggu-minggu ini seperti penuturan Mentri Perindustrian Fahmi Idris pada saat penerbitan SKB 4 menteri tentang Upah, bukanlah semata-mata dipicu oleh krisis global saat ini, melainkan jauh sebelum krisis Amerika terjadi. Sedari awal pemerintah tidak pernah mempunyai niatan baik untuk melakukan proteksi industri-industri nasional terhadap liberalisasi perdagangan kapitalisme global, dalam hal ini dapat terlihat dari ketidakberdayaan industri tekstil dalam negri ketika harus berhadap-dahapan dengan serbuan murahnya produk-produk tekstil China yang masuk ke dalam pasaran dalam negri. Padahal keberadaan industri TPT (tekstil dan produk tekstil) merupakan industri yang tak bisa diabaikan peranannya, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan ekspor nonmigas. Setidaknya ada sekitar 98.000 unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang menekuni industri ini. Data stastistik menunjukkan, UKM-TPT ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 490.000 dengan nilai produksi 14,7 trilyun dan ekspor US$ 900 juta. Industri skala besar yang menggeluti bisnis ini umumnya padat karya dan mengandalkan tenaga kerja yang murah. Total penyerapan tenaga kerja industri TPT diperkirakan dapat mencapai kisaran 3,2 juta. Belum lagi, sumbangan dari produk industri tekstil, garmen, dan sepatu dalam konfigurasi ekspor nonmigas atas industri padat karya (unskilled labour intensive industry, ULI) bisa mencapai angka 86 persen, dengan nilai ekspor hampir US$ 8 miliar (lihat Tabel 1). Namun seiring derasnya kompetisi modal internasional, ekspor komoditi tekstil, garmen, dan sepatu terus menerus mengalami penurunan sejak tahun 1994.
Tabel 1. Ekspor Industri Padat Karya 1990-2003 Produk 1990 1996 2000 2001 2003 US$ % US$ % US$ % US$ % US$ %
juta juta juta juta juta
Tekstil 1,47029.7 3,505 25.7 3,505 25.9 3,202 25.7 2,896
25.9 Furnitur 338 6.8 952
8.6 1,518
11.2 1,424 11.5 1,51213.6 Garmen 2,001 40.4 3,591 32.6 4,734 35.0 4,531 36.4 3,945
35.4 Sepatu 694 14.0 2,195 19.9 1,672 12.3 1,506 12.1 1,148
10.3 Sumber: Dihitung dari BPS, Trade Statistics; berbagai tahun.
Dan sekiranya keberadaan UU Penanaman Modal No.25 Th.2007 yang telah disahkan oleh SBY-JK pada akhirnya akan menambah deretan problem bagi kelangsungan industri nasional dan pemenuhan kesejahteraan rakyat Indonesia serta penyerapan angka pengangguran yang semakin tinggi. Sebab, penyerapan tenaga kerja melalui proyek-proyek penanaman modal asing ternyata justru lebih kecil bila dibandingkan dengan proyek-proyek penanaman modal dalam negri. Hal ini bisa dilihat dalam tabel 2 di bawah ini:
% ! ### "$$ # # $ *# / & ' ###
Tabel 2. Penyerapan Tenaga Kerja Pada Kegiatan InvestasiPenanaman Modal Dalam Negri Penanaman Modal Asing Jumlah Jumlah Tahun Proyek Tenaga Kerja TK per Proyek Tenaga Kerja TK per
Proyek Proyek 2001 160 75.479 472 454 101.345 223 2002 108 53.996 450 442 88.156 199 2003 119 49.219 414 570 117.216 205 2004 129 61.858 450 544 144.440 266 2005 214 122.750 574 909 156.109 172
Jumlah 730 363.302 2.360 2919 607.266 1.065 Rata-rata 146 72.660,4 472 583.8 121.453,2 213 I / TK 220.781.883,94 378.895.574,59
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas Tahun 2007
Selain itu pula, dalam Tabel 3 di bawah ini justru dapat terlihat juga persentase tingkat upah dengan jumlah produksi tenaga kerja pada sektor-sektor strategis seperti pertambangan, penggalian dengan listrik, gas dan air bersih sangat besar ketimpangannya.
Tabel 3. Perbandingan tingkat Upah dengan Produksi Tenaga Kerja No. Sektor Upah PDB % Pertanian, Peternakan, 174.750.358.608.600 365.559.600.000.000
47.80
1. Kehutanan dan Perikanan Pertambangan & 15.989.023.439.808 285.086.600.000.000
5.61 2. Penggalian
3. Industri Pengolahan 98.609.987.088.420 765.966.700.000.000
12.87
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 2.394.993.189.432 24.993.200.000.000
9.58
5. Konstruksi / Construction 37.582.928.430.228 173.440.600.000.000
21.67 Perdagangan, Hotel dan 141.876.523.202.976 429.944.000.000.000
33.00 6. Restoran Pengangkutan dan 58.274.520.548.592 180.968.700.000.000
32.20 7. Komunikasi Keuangan, Persewaan 17.228.868.655.632 228.107.900.000.000
7.55 8. dan Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa / Services 113.857.655.173.692 275.640.900.000.000
41.31 Jumlah 660.564.858.337.380 2.729.708.200.000.000 211.60 Rata-rata
23.51
% ! ### "$$ # # $ +# 1 & ' ###
Sumber: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RIDari sini, kita bisa melihat bahwasanya porsi besaran upah buruh dalam jumlah keseluruhan ongkos suatu produksi bukanlah menjadi alasan fundamental terjadinya ekonomi biaya tinggi yang sering dikeluhkan oleh para pengusaha kita. Justru inefisiensi birokrasi (baca: kapitalisme birokrasi) dan praktek-praktek pungutan liar (baca: kapitalisme rente) telah menjadi pemicu terjadinya ekonomi biaya tinggi dan fenomena ini telah semarak terjadi sewaktu Orde Baru mulai menerapkan pendekatan aparat kekerasan dalam menyelesaikan problem hubungan industrial. Seharusnya pemerintah menyadari bahwa semakin banyaknya peraturan perburuhan yang tidak berpihak kepada buruh, malah akan mengundang radikalisasi di tingkatan gerakan buruh itu sendiri. Sehingga terkadang pengusaha kembali lagi terjebak pola-pola lama untuk menggunakan pendekatan kekerasan dengan melibatkan jasa-jasa aparat keamanan, baik diambil dari masyarakat sipil maupun militer dan lagi-lagi ini bukan harga yang cukup murah.
Tegasnya, dalam mereformasi bangunan industri nasional tidaklah bisa dijawab semata-mata dengan injeksi dan investasi modal asing semata. Artinya, perlu adanya peran negara yang mempunyai porsi yang cukup besar untuk membuat iklim usaha di Indonesia menjadi baik dan merata. Jadi tidak bisa kita menyerahkan orientasi pembangunan ekonomi nasional ke dalam cengkraman pasar bebas yang terkadang indikatornya hanya dilihat dari turunnya inflasi dan suku bunga serta kestabilan moneter semata. Seharusnya, konsepsi pembangunan ekonomi nasional tidak perlu dilihat dari naik turunnya mata uang asing, melainkan harus tertuju kepada ekonomi riil masyarakatnya yaitu pekerjaan dan kesempatan kerja, yang pada akhirnya secara nasional bisa kita bandingkan rasio capital yang masuk dengan rasio lapangan kerja serta perbandingan ekspor-impornya sebagai kesimbangan surplus perdagangan yang didapat. Di sisi lain, kontradiksi desa dan kota dalam logika pembangunan industri harus diminimalisir dengan melahirkan industri kerakyatan nasional dengan menciptakan supporting system industri besar yang mampu mendukung mendukung industri ringan dan sektor pertanian. Disini kita bisa melihat bahwasanya, jalan baru bagi gerakan rakyat pekerja dalam melawan neoliberalime, Satu. Pemutusan borjuasi internasional dengan borjuasi nasional. Artinya, disini peranan pemerintah untuk memproteksi industri nasional serta menciptakan iklim investasi yang bebas dari pengaruh asing dan berdikari menjadi keniscayaan yang harus segera dilakukan. Sehingga pada akhirnya, negara harus mampu menghilangkan hambatan-hambatan pada sektor industri, perdagangan dan modal, serta memproyeksikan arah industrialisasi, perdagangan dan modal yang berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat. Kedua. Menggalang aliansi strategis borjuasi nasional dengan kelas rakyat pekerja. Disini bukan berarti bahwa kita masih mengamini subordinasi pekerja terhadap pengusaha dalam hubungan produksi yang terjadi sampai saat ini. Aliansi ini bisa dilakukan oleh kaum pekerja ketika gerakan kelas rakyat pekerja betul-betul memiliki posisi tawar dan kemampuan negosiasi yang tinggi dalam merombak manajerial pabrik sehingga pekerja/buruh yang sedari awal selalu dianggap sebagai variabel capital harus dirubah menjadi logika constan capital. Dimana posisi kaum pekerja/buruh setara dengan pengusaha dalam menjalankan perusahaannya dengan menerapkan pembagian saham pengusaha terhadap serikat buruh di perusahaan tersebut dan atau dalam kondisi perusahan yang tidak menentu bisa sebagai supporting system atas badan-badan koperasi dan unit-unit usaha ekonomi kaum buruh. Sehingga pemenuhan kesejahteraan dan perlindungan terhadap rakyat pekerja tetap menjadi langkah utama untuk menghilangkan kontradiksi pengusaha dengan pekerja/buruh. Sehingga strategi aliansi ini dengan apa yang tersirat di atas, konsepsi pertumbuhan ekonomi yang berimbang dengan sektor industri dengan sektor pertaniannya akan mampu menjadi stimulator pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasionalnya.
Untuk itu, menjadi jelas bahwasanya tidak ada gerakan pekerja yang kuat tanpa kapital nasional yang kuat. Dan dalam tatanan perekonomian internasional yang timpang, tidak ada kapital nasional yang kuat tanpa parlemen yang kuat. Sehingga peran negara sebagai kekuatan organik nasional harus mampu menjadikan tanah, air, mineral, pangan dan tambang didaulat dan diperuntukan oleh rakyat Indonesia sebagai langkah awal renegosiasi tatanan ekonomi neoliberal yang menindas dan menghisap. Maka berdasarkan itu semua, problem deindustrialisasi sebagai ekses dari mode produksi imperialisme dan
% ! ### "$$ # # $ *# / & ' ###
perjuangan gerakan buruh memiliki kaitan yang sangat erat. Sebab, persoalan relokasi industri, investasi asing, utang luar negeri dan program pembangunan developmentalism dan liberalisasi perdagangan yang berujung pada marginalisasi kaum buruh dan kerusakan lingkungan sesungguhnya telah menunjukan adanya problem nasional. Maka perjuangan kaum buruh tidak bisa semata-mata berwatak sosialis (perjuangan kelas buruh terhadap borjuis/sosialisasi alat-alat produksi), tetapi juga harus berwatak perjuangan nasional. Untuk itu, gerakan buruh/pekerja harus mulai meninggalkan tradisi sektoralisme dan menggabungkan semua kekuatan elemen rakyat dalam sebuah wadah front nasional guna melangsungkan pembebasan nasional dan demokrasi kerakyatan yang sejati. Adi Rusprianto. AMd, Sekjen Nasional Serikat Buruh Indonesia (SBI)
Pemutakhiran Terakhir ( Kamis, 26 Pebruari 2009 )
Tutup Jendela