Fenomena Flutter Pada Jembatan Bentang P

FENOMENA FLUTTER PADA
JEMBATAN BENTANG PANJANG:
TINJAUAN MEKANISME, ANALISIS DAN PENANGANAN
1

Robby Permata dan Hiromichi Shirato

2

1 PENDAHULUAN
Jembatan panjang dengan dimensinya yang lebih panjang atau tinggi memiliki elemen
struktur yang lebih fleksibel dan sensitif terhadap medan aliran angin. Fenomena
perubahan medan aliran angin akibat benda disebut aerodinamik. Istilah aeroelastik
mencakupi fenomena yang terjadi akibat interaksi medan aliran angin dengan benda
yang memiliki kekakuan elastik. Ketika aliran bertemu dengan hambatan berupa benda
elastik, medan aliran sekitar benda tersebut menimbulkan gaya yang akan menimbulkan
getaran. Getaran ini akan kembali merubah medan aliran di sekitar benda,
menyebabkan perubahan gaya dan memperngaruhi getaran pada benda. Interaksi
berkelanjutan antara medan aliran, gaya dan getaran inilah yang disebut fenomena
aeroelastik.
Aliran di sekitar benda dapat diklasifikasi menjadi 2 kategori utama: aliran yang

menimbulkan pemisahan atau separasi aliran dan tidak menimbulkan separasi aliran.
Aliran non-separasi umumnya dipelajari di bidang aeronautika, karena aliran pada airfoil
bersifat non-separasi secara umum. Pada kasus ini, solusi analitis dengan
menggunakan teori aliran potensial bisa digunakan. Sebaliknya, pada elemen struktur
jembatan yang umumnya berbentuk tidak aerodinamis atau banyak terdapat sudut,
medan aliran memiliki separasi yang bisa diikuti dengan penggabungan kembali (flow
reattachment) atau tidak ada penggabungan kembali aliran (non-flow reattachment).
Benda dengan karakter aliran sekitar seperti ini disebut juga bluff body. Ilustrasi aliran di
sekitar benda dirangkum dalam Gambar 1. Pemahaman fenomena aerodinamik ini
sangat penting sebagai dasar untuk mempelajari fenomena aeroelastik pada jembatan
bentang panjang. Pada Gambar 1 juga terlihat bahwa pola aliran di sekitar bluff body
tergantung pada rasio B/D (B: lebar benda, D: tinggi benda).
Fenomena aeroelastik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan
karakteristiknya, seperti menurut Naudascher & Rockwell (1994):
1. EIE: Extranously-induced excitation, di mana getaran disebabkan oleh
ketidakseragaman aliran yang datang seperti turbulensi, atau berbagai tipe aliran
angin yang berubah lainnya.
2. IIE: Instability-induced excitation, di mana getaran disebabkan oleh
ketidakstabilan aliran akibat keberadaan benda seperti getaran akibat Karman
vortex atau getaran vortex-induced vibration (VIV).

3. MIE: Movement-induced excitation, di mana gaya aerodinamik muncul akibat
getaran pada benda seperti kasus galloping dan flutter

1

Staf Pengajar, Universitas Bung Hatta-Padang, Email: robby.permata@yahoo.com
Profesor, Department of Civil and Earth Resources Engineering, Kyoto University, Email: shirato@bridgeng.gee.kyotou.ac.jp
2

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

1

Gambar 1 Pola Medan Aliran di Sekitar Benda (dari Matsumoto, 2000)

Gambar 2 Fenomena Getaran Akibat Angin pada Jembatan (dari Fujino &
Siringoringo, 2013)
Fenomena aeroelastik paling banyak dikenal adalah flutter, karena keruntuhan jembatan
Tacoma Narrow pada tahun 1940. Kejadian ini menunjukkan bahwa ketidakstabilan
akibat flutter bisa berakibat keruntuhan total struktur jembatan. Fenomena lain yang juga

banyak ditemukan pada jembatan adalah galloping, VIV dan getaran akibat buffeting
(Gambar 2). Makalah ini akan memberikan tinjauan ulang singkat terhadap mekanisme,
analisis dan perkembangan penelitian dan rekayasa terkait mitigasi ketidakstabilan
akibat flutter pada struktur jembatan panjang.

2 ANALISIS DAN MEKANISME TERJADINYA FLUTTER
Flutter adalah getaran akibat aliran angin yang diinisiasi oleh gerakan benda tersebut.
Gerakan pada benda benda tidak teredam oleh sistem, malah semakin membesar
karena gaya aerodinamik yang terjadi memberikan energi pada sistem. Seperti pada
galloping, flutter juga merupakan getaran yang bersifat divergen dan bisa menyebabkan
ketidakstabilan elemen struktur, terutama pada dek jembatan. Massa, redaman,
kekakuan, bentuk penampang dan karakteristik aliran (seperti sudut serang) menjadi
faktor yang sangat penting dalam flutter. Fenomena flutter yang umum pada jembatan
adalah torsional flutter (hanya melibatkan gerak torsional) dan coupled flutter
(melibatkan interaksi gerak vertikal dan torsional).

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

2


Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa flutter dipengaruhi oleh 3 hal: karakterisitik
aerodinamik penampang dek, parameter struktur jembatan (kekakuan, massa, redaman)
dan karakteristik aliran. Karena karakteristik aliran merupakan fenomena alam yang tidak
bisa dimodifikasi, maka pendekatan untuk mitigasi flutter dilakukan dengan 2 cara:
pendekatan aerodinamik dengan mencari bentuk dek dengan sifat aerodinamik yang
bagus, serta pendekatan struktur untuk menghasilkan struktur yang lebih kaku.
Fujino dkk (2012) merekomendasikan tahapan analisis flutter seperti pada Gambar 3.
Tahapan analisis ini, meskipun lengkap dan komprehensif, menimbulkan kesulitan pada
akurasi perhitungan deformasi akibat angin statik dan penggabungan hasil analisis
elemen hingga 3D dengan analisis flutter.
Perhitungan analisis flutter dengan
memperhitungkan seluruh mode yang ada (Miyata & Yamada, 1990) juga membutuhkan
komputasi yang besar, sehingga analisis multi-mode (Agar, 1989) lebih disarankan. Ge
& Tanaka (2000) memberikan uraian yang lengkap terkait metode multi-mode dan fullmode untuk analisis flutter.

Gambar 3 Tahapan Analisis Flutter (dari Fujino dkk, 2012)
Penyederhaan lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan analisis bi-modal di mana
hanya mode shape vertikal dan torsional yang diperhitungkan (Bartolli & Mannini, 2005).
Metode ini memungkinkan penyederhaan analisis menjadi hanya 2 derajat kebebasan
seperti pada Gambar 4. Analisis ini valid untuk kasus jembatan bentang panjang dengan

koefisien seret yang kecil dan sifat aerodinamik yang bagus (Chen, 2007).
Persamaan gerak benda terkena aliran angin dengan 2 derajat kebebasan dinyatakan
dalam bentuk:
m.  c .  k .  L(t )
(1)
I .  c .  k .  M (t )
(2)

dengan m, I: massa, massa momen inersia per panjang bentang; , : perpindahan
vertikal, perpindahan torsional; c, c: konstanta redaman untuk gerak vertikal dan
torsional; k, k: kekakuan vertikal dan torsional; L(t), M(t): gaya aerodinamik unsteady
per panjang bentang. Arah positif untuk , , L(t), M(t) seperti pada Gambar 4.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

3

Gambar 4 Sistem Dinamik dengan 2 Derajat Kebebasan yang Terkena Aliran Angin
Besaran gaya aerodinamik L(t) dan M(t) pada persamaan (1) dan (2) untuk kasus airfoil
dan pelat tipis diturunkan secara analitis oleh Theodorsen, dan dikenal dengan

Theodorsen function:
b. 

(3)
L   . .b 2 U .    2. . .b.U .C (k )U .   




M   . .b 2 U



b.

2






b . 

2 

b. 

   . .b 2 .U .C (k )U .   

8 
2 


2

(4)

Scanlan & Tomko (1971) mengusulkan formulasi gaya aerodinamik dengan mengacu
pada formulasi Theodorsen function, tapi menggunakan aerodynamic derivatives yang
didapatkan dari hasil uji terowongan angin atau sekarang ini juga bisa dengan simulasi

numerik Computational Fluid Dynamics (CFD):
L(t ) 

1




..2b .U 2 k.H 1* .  k.H 2* .b.  k 2 .H 3* .  k 2 .H 4* . 
U
U
b
2


M (t ) 

 

(5)


1




. . 2b 2 .U 2 k. A1* .  k. A2* .b.  k 2 . A3* .  k 2 . A4* . 
2
U
U
b


(6)

dengan Hi* and Ai* (i=1 to 4) adalah aerodynamic derivatives.
Persamaan (5) dan (6) diselesaikan untuk mendapatkan kecepatan kritis flutter dengan
metode yang umum seperti Complex Eigen Value atau CEV (Ge & Tanaka, 2000).
Metode ini meskipun sangat mudah digunakan, memiliki kelemahan yaitu tidak adanya
penjelasan mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan flutter.

Persamaan (5) dan (6) ditulis ulang dalam bentuk:

m.  c . k  .  .b 2 ..H 1* .  .b 3 ..H 2* .  .b 3 . 2 .H 3*  .b 2 . 2 .H 4* .
I .  c .  k .  .b .. A .  .b .. A .  .b . . A .  .b . . A .
3

*
1

4

*
2

4

2

*
3


3

2

*
4

(7)
(8)

Persamaan (7) dan (8) bisa ditulis dalam bentuk matriks menjadi:

M u C 'u K 'u  0

(9)

Di mana:
m 0
M   

0 I

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

4

C '   
c
0

0    .b 2 ..H 1*

c    .b 3 .. A1*

 .b 3 ..H 2* 

 .b 4 .. A2* 

k 0    .b 2 . 2 .H 4*  .b 3 . 2 .H 3* 
K '  

3
2
*
4
2
*
 0 k    .b . . A4  .b . . A3 
 
u   0 e  .t  u 0 e  .t , u  u, u  2 u
 0 
Untuk bisa diselesaikan dengan metode CEV, persamaan (9) dimanipulasi dan ditu;lis
dalam bentuk:
(10)
M 2 u C 'u K 'u  0

A Y  Y
*

 C '
A  
M 

 

Di mana:
*

u 

 u

Y  

M  1 K '
0   0

0 
 M 

(11)

Karena Y  0 , maka A   I   0 . Solusi persamaan ini adalah:

 j   Rj  i Ij

 -  j . j  i 1   j . j
2

(12)

j: rasio redaman untuk mode-j, j: frekuensi mode-j. Flutter terjadi ketika redaman
logaritmik atau j=0, di mana j=2..j . Dengan kata lain, flutter terjadi jika j bernilai nol
atau negatif.

Matsumoto dkk (2002) menggunakan metode Step-by-step atau SBS untuk menjelaskan
mekanisme flutter dan menyimpulkan bahwa A2*, H1*, A1* dan H3* adalah aerodynamic
derivatives yang penting untuk stabilisasi flutter. A2* terkait dengan stabilitas gerak
torsional, dan H1* terkait dengan stabilitas gerak vertikal. A1* dan H3* berkaitan dengan
coupled flutter pada gerakan 2 derajat kebebasan, di mana A1* terkait besarnya momen
aerodinamik akibat gerakan vertikal dan H3* terkait besarnya gaya angkat aerodinamik
akibat gerakan torsional. Strategi untuk mendapatkan dek yang lebih stabil adalah
dengan memodifikasi aerodynamic derivatives sehingga: A2*, H1* memiliki nilai negatif
(untuk menghindari redaman negatif) dan A1* , H3* memiliki nilai absolut yang rendah
atau mendekati nol (artinya interaksi antar gerakan torsional dan vertikal sangat kecil).
Matsumoto dkk (2007) menyajikan berbagai modifikasi penampang untuk berbagai
usulan dek jembatan dan membuktikan keefektifan nilai A1* dan H3* yang rendah untuk
meningkatkan stabilitas terhadap flutter. Chen & Cai (2003) menjelaskan bagaimana
efek coupling antara getaran vertikal dan torsional yang berbeda frekuensi
menyebabkan terjadinya getaran divergen dengan frekuensi yang sama.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

5

Proses memodifikasi nilai aerodynamic derivatives sangat terkait dengan merubah
medan aliran sekitar benda yang memberikan kestabilan terhadap flutter. Salah satu
teknik untuk mengaitkan nilai aerodynamic derivatives dengan medan aliran sekitar
benda adalah dengan pendekatan unsteady pressure characteristics (Matsumoto &
Hamasaki, 1995; Matsumoto dkk, 2004; Trein & Shirato, 2011; Trein dkk, 2015; Permata
& Shirato, 2014). Dengan memahami pengaruh pengaruh medan aliran terhadap
aerodynamic derivatives dan mengetahui aerodynamic derivatives mana saja yang
penting terhadap stabilitas dek, maka mitigasi ketidakstabilan flutter pada dek jembatan
bentang panjang bisa dilakukan dengan cara yang lebih rasional.
Gambar 5 menjelaskan kerangka kerja yang rasional untuk analisis flutter suatu usulan
penampang baru pada tahap studi awal atau riset. Tahap A adalah mengukur unsteady
pressure characteristics dek dengan uji terowongan angin atau simulasi CFD,
selanjutnya bisa ditampilkan dalam bentuk riwayat waktu tekanan permukaan pada dek
ketika mengalami getaran seperti pada gambar B. Dengan data tekanan permukaan,
maka bisa dikonstruksi perkiraan bentuk medan aliran di sekitar dek seperti pada
gambar C (pendekatan yang lebih valid adalah menggunakan visualisasi aliran). Nilai
aerodynamic derivatives (D) bisa dihitung dengan mengintegrasikan nilai unsteady
pressure characteristics, dengan pengukuran langsung di uji terowongan angin atau
simulasi CFD. Data aerodynamic derivatives bisa digunakan untuk menghitung
kecepatan kritis flutter (E).
Metode CEV ataupun SBS, meskipun bisa digunakan untuk kebutuhan praktis, tetap
membutuhkan data aerodynamic derivatives dari penampang dek yang ditinjau.
Sehingga metode ini tidak bisa digunakan pada tahap awal perencanaan, terutama
ketika bentuk dek yang digunakan belum ada dalam referensi. Selberg pada tahun 1962
mengusulkan formula yang sederhana dan tidak membutuhkan data aerodynamic
derivatives:

U cr

m.r 


 f 0
 3.71  f 0  B
1 
3 
 .B   f 0







2







(13)

; f /f : rasio frekuensi
m 0 0
torsional terhadap vertikal; m/I: massa/massa inersia per satuan panjang; B: lebar dek :
kerapatan udara.
Di mana Ucr: kecepatan kritis flutter; r: radius girasi =

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

I

6

B

A

D

C

E
Model F


frequency

4.5

6

Ucr=9.8 m/s
Ur cr=7.39

4
3.5

5

3
4
2.5
2

3

1.5
2

1
0.5

1

0
-0.5

0

2

4

6

8

10

12

14

16
0

-1

0

delta_H-CEV

delta_T-CEV

2

4

6

8

f_H-CEV

10

12

14

16

f_T_CEV

Gambar 5 Studi Ketahanan Dek Terhadap Flutter (Kasus Prisma dengan B/D=20)
(Dimodifikasi dari Permata, 2014)
Formula Selberg diturunkan dari aerodinamik pelat tipis atau sesuai Theodorsen
function. Matsumoto dkk (2001) menunjukkan bahwa data struktur jembatan panjang
yang ada saat ini berada pada rentang dimana formula Selberg masih valid. Perhitungan
yang dilakukan penulis (Permata, 2014) menunjukkan bahwa formula Selberg terlalu
konservatif jika diaplikasikan pada dek dengan karakterisik aerodinamik yang bagus (A2*
negatif, A1* dan H3* absolut mendekati nol), dan sebaliknya tidak bisa memprediksi
torsional flutter pada kecepatan rendah yang terjadi pada dek dengan sifat aerodinamik
buruk (A2* positif). Hal ini menegaskan bahwa penggunaan formula Selberg memang
hanya terbatas pada kasus dimana aerodynamic derivatives dek tersebut mirip dengan
pelat tipis atau hasil Theodorsen function.

3 PERKEMBANGAN MITIGASI KETIDAKSTABILAN FLUTTER PADA DEK
Sejarah penelitian dan pemahaman terhadap fenomena flutter berjalan seiring dengan
perkembangan jembatan suspension. Scott (2001) dan Kawada (2010) memberikan
uraian yang lengkap mengenai keterkaitan perkembangan jembatan suspension dengan
flutter.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

7

Analisis flutter untuk jembatan mulai dipelajari sejak keruntuhan Jembatan Tacoma
Narrow. Jembatan ini didesain untuk sanggup menahan beban angin statik sampai 54
m/detik, tapi runtuh pada saat angin mencapai 19 m/detik setelah mengalami getaran
torsional flutter. Beberapa referensi, seperti beberapa buku teks Fisika untuk
mahasiswa, salah menginterpretasikan kejadian ini sebagai contoh kasus resonansi
(Billah & Scanlan, 1991). Keruntuhan adalah hasil dari kombinasi kurangnya kekakuan
dek dan sifat aerodinamik penampang yang buruk. Reaksi pertama dari para perencana
jembatan pada saat itu adalah menggunakan dek rangka baja yang kaku. Dek tipe ini
digunakan pada pembangunan ulang Jembatan Tacoma Narrow yang selesai pada
tahun 1950.

Gambar 6 Perbandingan Bentuk dan Dimensi Dek Jembatan Tacoma Narrow
yang Lama (Kiri) dengan yang Baru (Kanan)
Dek rangka baja kaku menjadi satu-satunya pilihan pada pembangunan jembatan
suspension bentang panjang di Amerika Serikat di periode 1950-1960. Pada tahun
1960an, tren baru muncul di Eropa. Jembatan Severn di Inggris (988 m) dibuka pada
tahun 1966. Jembatan ini menggunakan dek single box girder yang. Dimensinya yang
lebih ramping memberikan pengurangan biaya yang besar dibandingkan dengan dek
rangka baja kaku.
Perkembangan penting selanjutnya adalah pada pembangunan Jembatan Akashi Kaikyo
di Jepang (1991 m) dan Great Belt East di Denmark (1624 m), keduanya dibuka pada
tahun 1998. Jembatan Akashi Kaikyo menggunakan dek rangka baja kaku, sementara
Jembatan Great Belt East menggunakan single box girder. Berbagai modifikasi terhadap
dek box girder dilakukan oleh peneliti dari Cina, dan menghasilkan Jembatan Runyang
(1490 m, dibuka tahun 2005) dan Jembatan Xihoumen (1650 m, dibuka tahun 2009).
Penjelasan lebih lengkap mengenai perencanaan jembatan ini terhadap flutter bisa
dilihat pada Tabel 1.
Selain dengan pendekatan aerodinamik, ketidakstabilan flutter juga bisa dihindari
dengan pendekatan struktur, yaitu dengan cara melakukan modifikasi pada struktur
jembatan sehingga menghasilkan frekuensi torsional yang besar dan rasio frekuensi
torsional terhadap vertikal (fφ/fη) yang besar. Frekuensi torsional yang besar akan
menghindarkan terjadinya torsional flutter, sedangkan rasio frekuensi yang besar akan
menghindarkan terjadinya coupled flutter. Beberapa peneliti memberikan alternatif
modifikasi struktur seperti menggunakan hanger melintang diagonal pada beberapa titik
di jembatan suspension untuk menambah kekakuan torsi jembatan (Ostenfeld & Larsen,
1992; Xiang & Ge, 2007), menggunakan konfigurasi kabel mono-spasial (Xiang & Ge,
2007) atau kabel dengan sistem mono-duo yang bisa meningkatkan kecepatan kritis
flutter sampai 57% (Ostenfeld & Larsen, 1992) dan memanfaatkan rasio sag dan
bentang yang optimum (Miyata dkk, 2001). Namun pendekatan ini tidak akan efektif jika
digunakan pada jembatan dengan bentang yang panjang (Brancaleoni dkk, 2010).

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

8

Sehingga pendekatan modifikasi penampang untuk menghasilkan dek dengan sifat
aerodinamik yang bagus tetap menjadi arah studi untuk jembatan bentang panjang di
masa depan.
Pendekatan aerodinamik digunakan pada perencanaan Jembatan Messina (3300 m) di
Italia (Brancaleoni dkk., 2010). Meskipun memiliki rasio frekuensi yang kecil, hanya 1.36
(dibandingkan dengan Jembatan Akashi Kaikyo: 2.35 dan Jembatan Great Belt East:
2.79), Jembatan Messina tetap memiliki kecepatan kritis flutter yang tinggi yaitu 80
m/detik dan berat dek yang ekonomis (0.35 ton/m2). Hal ini dicapai dengan mendesain
dek yang memiliki koefisien seret yang kecil dan nilai A1* dan H3* yang kecil (Matsumoto
dkk., 2007). Dek ini juga memiliki winglet untuk stabilisasi terhadap torsional flutter atau
menjamin A2* tetap negatif. Konsep yang berbeda dan memberikan stabilitas yang tinggi
juga dikembangkan oleh peneliti di Jepang, yaitu double box girder dengan stabilizer
vertikal dan horisontal (Ueda dkk., 1998; Sato dkk., 2002). Dek ini direncanakan untuk
jembatan dengan bentang antara 2000-3000 m di Jepang.

Gambar 7 Konsep Dek Jembatan Messina (Kiri) dan Jembatan Bentang Panjang di
Jepang (Kanan)

4 PENDEKATAN ALTERNATIF: KONTROL AKTIF ATAU PASIF
Meskipun pada perkembangan terakhir perencanaan Jembatan Messina, dek tetap
stabil terhadap flutter sampai kecepatan angin setidaknya 80 m/detik, peneliti dan
praktisi tetap mencari solusi yang lebih baik untuk bentang yang lebih panjang.
Pendekatan kontrol/kendali getaran dengan sistem tambahan untuk menghasilkan gaya
yang menstabilkan menjadi pilihan selanjutnya. Sistem ini bisa digolongkan sebagai
sistem aktif atau pasif berdasarkan sumber tenaga.
Penggunaan sistem redaman mekanis tambahan atau damper telah dipelajari oleh
berbagai peneliti. Sistem passive damper seperti TMD (tuned mass damper) dan MTMD
(multiple tuned mass damper) dianggap tidak cocok untuk dek jembatan bentang
panjang karena membutuhkan ruang dan dimensi yang besar. Sistem AMD (active mass
damper), meskipun memiliki kinerja yang bagus tetapi membutuhkan pasokan tenaga
yang besar (Li dkk, 2015).
Pendekatan selanjutnya adalah dengan memasang aerodynamic countermeasures yang
bisa bergerak, seperti moveable/rotatable winglets/flaps. Beberapa sistem aktif sudah
diusulkan seperti Ostenfeld & Larsen (1992), Kobayashi & Nagaoka (1992), Piesold &
Corney (1999), Wilde & Fujino (1998). Namun sistem aktif ini juga masih dipertanyakan
kehandalannya, karena kompleksitas pada aplikasi yang membutuhkan sistem komputer
dan kebutuhan suplai tenaga (Wilde dkk, 1999). Kontrol pasif memberikan alternatif
yang menarik karena lebih mudah untuk diaplikasikan (Wilde dkk, 1999; Omenzetter
dkk, 2002a; Omenzetter dkk, 2002b).

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

9

Analisis flutter yang umum –seperti CEV atau SBS- adalah pada domain frekuensi
(frequency domain). Sistem kontrol aktif ataupun pasif, berbeda dengan analisis flutter
yang dibahas sebelumnya, membutuhkan analisis pada domain waktu (time domain
analysis). Rational function approximation (RFA) dibutuhkan untuk memformulasikan
gara aerodinamik dalam persamaan yang memiliki domain waktu (Omenzetter dkk,
2000).

Gambar 8 Konsep Kontrol Pasif pada Dek untuk Mitigasi Flutter (Omenzetter dkk,
2002)

5 KESIMPULAN
Fenomena ketidakstabilan flutter pada jembatan bentang panjang menjadi salah satu
kriteria yang dominan dalam perencanan. Beberapa hal yang penting dalam usaha
memitigasi flutter adalah:
1. Pemahaman terhadap proses fisik aerodinamik dan aeroelastik yang terjadi:
medan aliran sekitar benda dan dinamika akibat interaksi struktur-aliran.
2. Mitigasi flutter bisa dilakukan dengan 3 pendekatan: pendekatan struktural,
pendekatan aerodinamik dan pendekatan kontrol mekanis.
3. Meskipun proses validasi usaha mitigasi getaran dilakukan dengan uji
terowongan angin, analisis dengan pemodelan matematis sangat membantu
untuk tahap awal perencanaan dan menghindari proses trial & error yang
berlebihan.
4. Pendekatan aerodinamik akan tetap menjadi alternatif solusi untuk mengatasi
flutter pada jembatan panjang saat sekarang atau beberapa tahun ke depan.
Namun untuk bentang super panjang (> 3000 m) di masa depan, pendekatan
kontrol menjadi pilihan yang masih dikaji kelayakannya.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

10

Tabel 1 Perkembangan Dek Jembatan Bentang Panjang dan Perencanaannya Terhadap Fenomena Aeroelastik
Jembatan Great East (Denmark), 1642 m, 1998

Dek : single box girder dengan fairings

1.

Tambahan :
1. Penahan angin dengan tinggi 2.4 m
dan 50% porositas
2. Guide vanes
Kec. Kritis flutter : 70 – 75 m/detik

2.

B/D : 7.75
Berat dek : 0.40 ton/m

2

Jembatan Akashi Kaikyo (Jepang), 1991 m, 1998

1.

Dek: rangka baja kaku
Tambahan :
1. Grating atau kisi-kisi pada tengah
dek dan posisi bahu jalan
2. Stabilizer vertikal di tengah dek (di
bawah grating)
Kec. Kritis flutter: 80 m/s

2.

B/D : 2.5
Berat dek: 0.85 ton/m

Jembatan Tsing Ma (Hongkong/Cina), 1377 m, 1997

2

Dek: Rangka baja dengan double deck
dan fairings

1.

Tambahan :
1. Permukaan dek yang terbuka dan

2.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

Dari pengalaman jembatan sebelumnya di Denmark, telah
diketahui bahwa pembangunan dan perawatan jembatan
dengan dek single box girder akan lebih murah daripada
pilihan dek tipe lain (Larsen & Gimsing, 1992), sehingga sejak
awal perencanaan jembatan ini telah fokus pada studi dek
single box girder (Gimsing, 1998).
Pada akhir masa konstruksi, getaran dengan amplitudo besar
muncul pada kecepatan angin rendah sekitar 5-10 m/detik.
Studi dan modifikasi dilakukan menambahkan guide vanes
pada bagian bawah jembatan (Larsen dkk., 2000)
Dek single box girder tidak memenuhi persyaratan stabilitas
flutter. Dek double box girder dengan celah di tengah bisa
memenuhi persyaratan stabilitas flutter, tetapi masalah VIV
muncul pada kecepatan angin relatif rendah. Selain itu,
volume baja yang dibutuhkan lebih besar daripada pilihan
dek rangka baja kaku. Bentuk dek single box girder yang
tidak seragam (dimensi lebih besar pada daerah dekat pylon)
memenuhi persyaratan stabilitas flutter dan ekonomis. Tetapi
metode konstruksinya lebih rumit karena membutuhkan
penutupan sementara selat Akashi untuk lifting segmen dek.
Dengan pertimbangan ini, akhirnya dek rangka baja kaku
dipilih (Miyata dkk, 1992).
Berdasarkan uji terowongan angin full model, timbul
deformasi lateral yang besar akibat beban angin statik.
Besarannya ekivalen dengan deformasi 30 m dengan rotasi
0
4 pada kecepatan angin 74 m/detik (Miyata & Yamaguchi,
1993). Hal ini disebabkan oleh nilai koefisien seret (drag)
yang besar dan menjadi kelemahan dek rangka baja dengan
dimensi relatif besar. Deformasi dan rotasi yang besar akibat
beban angin statik ini mempengaruhi kecepatan kritis flutter
(Matsumoto, 2010).
Penggunaan double deck dengan penambahan penutup pada
sisi dek menghasilkan jembatan yang tetap bisa beroperasi
saat cuaca buruk.
Hasil pengujian terowongan angin menunjukkan bahwa

11

dipasang grating pada sisi atas dan
bawah

kecepatan angin di dek bawah tidak melebihi 40% dari
kecepatan angin di luar dek.

Kec. Kritis flutter: 75 m/s
B/D : 5.39
Airport Railway

Berat dek: 0.55 ton/m

2

Longitudinal truss

Jembatan Runyang (Cina), 1490 m, 2005

Dek : single box girder with fairings
Tambahan :
1. Stabilizer vertikal di tengah dek

1.
2.

Kec. Kritis flutter: 55 m/s
B/D: 12.1

Jembatan Xihoumen (China), 1650 m, 2009

Berat dek: Dek : twin box girder dengan fairings dan
celah dengan b/B = 0.17
Tambahan :
1. Tepi bagian dalam box
0
menggunakan chamfer 45
2. Posisi rel untuk inspeksi dan
perawatan pada bagian bawah dek
dioptimasi terhadap efek
aerodinamik

1.

Merupakan jembatan dengan dek single box girder terpanjang
di dunia saat ini.
Stabilizer vertikal di tengah dek meningkatkan stabilitas
terhadap flutter. Peningkatan tersebut cukup besar pada
pengujian penampang dek, di mana untuk kasus sudut serang
0
+3 , kecepatan kritis flutter meningkat dari 50.8 m/detik
menjadi 64.9 m/detik. Tetapi dari hasil pengujian full model,
peningkatan kecepatan kritis untuk kasus yang sama hanya
dari 52.5 m/detik menjadi 55.1 m/detik (Ge & Xiang, 2009).

Dari pengujian penampang dek, didapatkan bahwa single box
girder dengan stabilizer vertikal memenuhi persyaratan
0
stabilitas flutter. Tetapi untuk kasus sudut serang +3 ,
kecepatan kritis flutter sangat sensitif terhadap tinggi stabilizer
vertikal tersebut (Ge & Xiang, 2009) :
Single box girder

 Uc=48 m/detik

Dengan tinggi stabilizer 1.2 m Uc=37 m/detik
Dengan tinggi stabilizer 1.7 m Uc=43 m/detik
Dengan tinggi 2.2 m  Uc=88 m/detik

Kec. Kritis flutter: 89 m/s
2.

B/D : 10.6
Berat dek : 0.76 ton/m

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

Stabilitas dek lebih konsisten jika menggunakan double box
girder

2

12

6 REFERENSI
Agar, T. J. A. (1989) „Aerodynamic Flutter Analysis of Suspension Bridges by A Modal
Technique‟, Engineering Structures, 11, pp. 75-82.
Bartoli, G., and Mannini, C. (2005) „From Multimodal to Bimodal Approach to Flutter’,
EURODYN 2005, Millpress, Rotterdam, pp. 349-354.
Billah, K. Y., Scanlan, R. H. Matsumoto, M. (1991) „Resonance, Tacoma Narrows Bridge
Failure, and Undergraduate Physics Texbooks, Am. J. Phys, 59 (2), pp. 118-124.
Brancaleoni, F., Diana, G., Faccioli, E., Fiammenghi, G., Firth, I. P. T., Gimsing, N. J.,
Jamiolkowski, M., Sluszka, P., Solari, G., Valensise, G., and Vullo, E. (2010) „The
Messina Strait Bridge: A challenge and a dream‟, CRC Press.
Chen, S. R., Cai, C. S. (2002) „Evolution of Long Span Bridge Response to Wind –
Numerical Simulation and Discussion‟, Computers and Structures, 81, pp. 20552066.
Chen, X. (2007) „Improved Understanding of Bimodal Coupled Bridge Flutter Based on
Closed-Form Solution’, Journal of Structural Engineering, 133(1), pp. 22-31.
Fujino, Y., Kimura, K., Tanaka, H. (2012), „Wind resistant design of bridges in Japan:
development and practices‟, Springer.
Fujino, Y., Siringoringo, D. M. (2013) „Vibration mechanisms and Controls of Long-Span
Bridges: A review‟, Structural Engineering International, 3/2013, pp. 248-268.
Ge, Y. J., Tanaka, H. (2000) „Aerodynamic Flutter Analysis of Cable-Supported Bridges
by Multi-Mode and Full-Mode Approaches‟, Journal of Wind Engineering and
Industrial Aerodynamics, 86, pp. 123-153.
Ge, Y. J., Xiang, H. (2009), „Aerodynamic Stabilization for Box Girder Suspension Bridge
with Super Long Span’‟, European African Conference on Wind Engineering 5,
Florence, Italy.
Gimsing, N. J. (1998) „The Akashi Kaikyo Bridge and The Storebaelt East Bridge-The
Two Greatest Suspension Bridges of The 20th Century’, International Seminar on
Long Span Bridge Aerodynamics Perspective ‟98, Kobe, Japan.
Kawada, T. (2010) „History of The Modern Suspension Bridges: Solving The Dilemma
Between Eeconomy and Stiffness’, ASCE Press.
Larsen, A., Gimsing, N. J. (1992) „Wind Engineering Aspects of The East Bridge Tender
Project‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 41-44, pp.
1405-1416.
Larsen, A., Esdahl, S., Andersen, J. E., and Vejrum, T. (2000) „Storebælt Suspension
Bridge – Vortex Shedding Excitation and Mitigation by Guide Vanes‟, Journal of
Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 88, pp. 283-296.
Li, K., Ge, Y. J., Guo, Z. W., Zhao, L. (2015) „Theoretical Framework of Feedback
Aerodynamic Control of Flutter Oscillation for Long-Span Bridges by The TwinWinglet System‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 145,
pp. 166-177.
Matsumoto, M., Hamasaki, H. (1995) „Flutter Stabilization of Super Long Span Bridges‟,
EASEC 5, Gold Coast, Australia, July 25-27 1995, pp. 1141-1146.
Matsumoto, M. (1999) „Vortex Shedding of Bluff Bodies: A review ‟, Journal of Fluids and
Structures, 13, pp. 791-811.
Matsumoto, M. (2000), „Aeroelasticity and bridge aerodynamics: text for international
course‟, Genova, Italy.
Matsumoto, M., Shirato, H., Taniwaki, Y., Shijo, R., Eguchi, A. (2001) „The Evaluation of
Critical Wind Velocity By The Selberg Formula’, The 14th KKNN, Kyoto, November
5-7 2001, pp. 215-220.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

13

Matsumoto, M., Taniwaki, Y., Shijo, R. (2002) „Frequency Characteristics in Various
Flutter Instabilities of Bridge Girders‟, Journal of Wind Engineering and Industrial
Aerodynamics, 90, pp. 1973-1980.
Matsumoto, M., Shijo, R., Eguci, A., Hikida, T., Tamaki, H., and Mizuno. K. (2004) „On
The Flutter Characteristics of Separated Two Box Girders‟, Wind and Structures,
7(4), pp. 281-291.
Matsumoto, M., Mizuno, K., Okubo, K., Ito, Y., and Matsumiya, H. (2007) „Flutter
Instability and Recent Development in Stabilization of Structures‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 95, pp. 888-907.
Miyata, T., Yamada, H. (1990) „Coupled Flutter Estimate of A Suspension Bridge‟,
Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 33 (1-2), pp. 341-348.
Miyata, T., Matsumoto, H., Yasuda, M. (1992) ‘Circumstances of Wind Resistant Design
Examinations for Very Long Span Suspension Bridge‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 41-44, pp. 1371-1382.
Miyata, T., and Yamaguchi, K. (1993) „Aerodynamic of Wind Effects on the Akashi
Kaikyo Bridge‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 48, pp.
287-315.
Miyata, T., Yamada, H., Katsuchi, H., and Suangga, M. (2001) „Optimum Suspension
Bridge Configuration Against Flutter and Construction Cost‟, EASEC 8, Singapore,
December 5-7 2001.
Naudascher, E., Rockwell, D. (1994), „Flow-induced vibration: an engineering guide‟, A.
A Balkema, Rotterdam.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2000) „Suppression of Wind-Induced Instabilities of
A Long Span Bridge by A Passive Deck-Flaps Control System – Part I:
Formulation‟, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, 87, pp.
61-79.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2002) „Study of Passive Deck-Flaps Flutter Control
System on Full Bridge Model – I: Theory‟, Journal of Engineering Mechanics, 128
(3), pp. 264-279.
Omenzetter, P., Wilde, K., Fujino, Y. (2002) „Study of Passive Deck-Flaps Flutter Control
System on Full Bridge Model – II: Results‟, Journal of Engineering Mechanics, 128
(3), pp. 280-286.
Ostenfeld, K. H., Larsen, A. (1992) „Bridge Engineering and Aerodynamics‟, Proceeding
of the First international Symposium on Aerodynamics of Large Bridges,
Copenhagen, Denmark.
Permata, R. (2014), Flutter Stabilization of Long Span Suspension Bridges with Slender
Deck: Study on The Improvement of Aerodynamic Properties from Unsteady
Pressure Characteristics Point of View, Dissertation, Kyoto University, Kyoto,
Japan.
Permata, R., Shirato, H. (2014) „Instabilitas Flutter pada jembatan Suspensi Bentang
Panjang dengan Dek Tipis: Studi Modifikasi Sifat Aerodinamik Penampang dengan
Pendekatan Unsteady Pressure Characteristics’, KNPTS 2014, Bandung, 21
November 2014.
Piesold, D. D. A, Corney, J. M. (1999) „Active Aerofoil Stabilization of Cable-Supported
Bridge Decks‟, Proc. Instn Civ. Engrs Structs & Bldgs, 134, pp. 67-76.
Sato, H., Hirahara, N., Fumoto, K., Hirano, S., and Kusuhara, S. (2002) „Full Aeroelastic
Model Test of A Super Long-Span Bridge with Slotted Box Girder‟, Journal of Wind
Engineering and Industrial Aerodynamics, 90, pp. 2023-2032.
Scanlan, R. H., and Tomko, J. J. (1971) „Airfoil and Bridge Deck Flutter Derivatives‟,
Journal of Engineering Mechanic Division, ASCE 97, EM6, pp. 1717-1737.
Scott, R. (2001) „In the Wake of Tacoma Bridge : Suspension Bridges and The Quest for
Aerodynamic Stability’, ASCE Press.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

14

Trein, C. A., Shirato, H. (2011) „Coupled Flutter Stability from The Unsteady Pressure
Characteristics Point of View’, Journal of Wind Engineering and Industrial
Aerodynamics, 99, pp. 114-122.
Trein, C. A., Shirato, H., Matsumoto, M. (2015) „On The Effects of The Gap on The
Unsteady Pressure Characteristics of Two-Box Bridge Girders‟, Engineering
Structures, 82, pp. 121-133.
Ueda, T., Tanaka, H., Matsushita, Y. (1998), „Aerodynamic Stabilization for Super Long
Span Suspension Bridges‟, IABSE Symposium Report vol. 79, Kobe, Japan.
Wilde, K., Fujino, Y. (1998) „Aerodynamic Control of Bridge Deck Flutter by Active
Surfaces‟, Journal of Engineering Mechanics, 124 (7), pp. 718-727.
Wilde, K., Fujino, Y., Kawakami, T. (1999) „Analytical and Experimental Study on Passive
Aerodynamic Control of Flutter of A Bridge Deck‟, Journal of Wind Engineering and
Industrial Aerodynamics, 80, pp. 105-119.
Xiang, H. F., and Ge, Y. J. (2007) „Aerodynamic Challenges in Span Length of
Suspension Bridges‟, Front. Archit. Civ. Eng. China, 1(2), pp. 153-162.

Seminar dan Pameran HAKI 2015 - “Challenges in the Future”

15

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65