Ekososialisme atau Demokrasi Sosial Mema

Ekososialisme atau Demokrasi Sosial (Memahami Pikiran Naomi Klein)
Hari ini Pkl. 07:07 WIB - http://mdn.biz.id/n/168785/
Bagi pemerhati lingkungan, mungkin profil Naomi Klein sudah sangat familiar. Ada yang
menyebutnya pegiat sosial, pengarang buku, jurnalis Kanada, editor harian This Magazine,
analis politik dan ekonomi, anti globalisasi, antiperang, anti budaya merek dan sangat banyak
memberi kritik terhadap kapitalisme.
Bahkan ada yang menyebutnya "si penghasut". Beberapa bukunya terkenal dan laris terjual
seperti "No Logo", "The Shock Doctrine", "Fences and Windows" dan "The Take". Lantas,
apa urusannya dengan lingkungan hidup yang pada 5 Juni 2015 diperingati sebagai Hari
Lingkungan Hidup Sedunia?
Naomi Klein pernah mengemukakan beberapa kritiknya tentang kapitalisme yang berkaitan
dengan lingkungan hidup. "Kami Menuntut Keadilan Iklim", Kapitalisme Vs Iklim",
"Kapitalisme Merusak Alam", "Kapitalisme dan Bencana Lingkungan".
Kritik Naomi Klein utamanya tentang adanya ketidakadilan global yang lebih dikuasai negara
maju dengan menggunakan alat regulasi perdagangan dunia (WTO dan sejenisnya) dan
perdagangan antarnegara. Kemudian, ia mengutarakan perubahan iklim yang terjadi saat ini
disebabkan industri ekstraktif pada negara sedang berkembang. Lebih jauh, ia mengkritik
bahwa kaum kapitalis telah membisniskan perang, teror, anarki, situasi krisis dan bencana
alam. Bahkan secara tajam ia menyebutkan, "Bencana alam sulit untuk diciptakan, tetapi
teror dan pengambilalihan kekuasaan mungkin diciptakan" dan Naomi Klein menyebutnya,
"Bencana Kapitalisme".

Terus, ada apa dengan kapitalisme? Kapitalisme global ditenggarai menyebabkan pengurasan
(depletion) sumber daya alam dan perusakan lingkungan. Berbagai protes muncul dari
kelompok pegiat lingkungan, masyarakat adat dan gerakan masyarakat sipil lainnya.
Sistem kapitalisme saat ini sedang dan akan menyebabkan bencana lingkungan, dengan
gejala pengambilan keuntungan besar-besaran, peningkatan perusakan alam yang terus
berlangsung. Karenanya, harus ada suatu kekuatan penyeimbang, yaitu masyarakat dunia
untuk menghempang dan mampu memblokade jalan ke arah bencana global. Jika mungkin
mengalihkannya ke arah yang jauh lebih aman.
Naomi Klein berpendapat, negara maju sangat terlibat sebagai penyebab ketidakadilan global
ini. Sedangkan negara sedang berkembang telah dirugikan dalam hal sistem pembayaran
kredit karbon dan terlibat menyumbang emissi CO2 melalui industri ekstraktifnya. Negara
miskin dan sedang berkembang yang sebagian besar kaya hutan tropis hanya akan menjadi
tempat pembuangan sampah emisi yang diproduksi negara maju dalam konteks kredit karbon
ini.
Dalam gagasannya tentang kapitalisme bencana (disaster capitalism), ia juga menjelaskan
bagaimana masyarakat dunia telah kalah perang dalam isu globalisasi dan pasar bebas.
Berarti dunia juga sedang sepaham dengan pemikiran Milton Friedman, ekonom dari Chicago
1

University, yang terkenal sebagai ahlinya kapitalisme laissez-faire (biarkan terjadi). Artinya,

dengan sesedikit mungkin aturan atau kendali oleh pemerintah. Ekonomi dunia dibiarkan
bergerak oleh para pelakunya dan pasar bebas yang ada.
Sistem kepemilikan pribadi/korporasi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk
menggunakan sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil
risiko, bekerja keras dan terus berinovasi. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia
mengelola alam tak diperuntukkan kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia, serta
melestarikan daya topang alam, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan
belaka. Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat kapitalisme
saat ini.
Jika kita perhatikan adanya konversi areal persawahan dan permukiman pinggiran kota dan di
desa. Jalanan yang ramai dilalui truk-truk korporasi yang mengangkut kekayaan hasil bumi,
(misalnya kayu gelondongan atau TBS/CPO sawit) untuk tujuan melipatgandakan
keuntungan. Pohon-pohon di hutan semakin habis digantikan perkebunan milik korporasi
atau kemudian dibiarkan gundul begitu saja. Kekayaan fauna dijadikan komoditas jual beli,
lahan-lahan subur dikonversi menjadi lokasi investasi industri, perumahan, super market dan
lainnya.
Ada anggapan, demi mengembalikan kondisi alam seperti semula, menghendaki
pertumbuhan ekonomi nol persen atau dikenal sebagai zero growth. Tentu anggapan ini
sangat tidak masuk akal, sangat bertentangan dengan teori Robert Malthus yang menuntut
kebutuhan pangan terus meningkat sejalan pertambahan penduduk yang pesat.

Ekososialisme atau Demokrasi Sosial
Lalu alternatif apakah yang dapat ditawarkan? Tentu dengan mengurangi sisi-sisi yang
dipertentangkan dalam sistem kapitalisme, kemudian mengisinya dengan kesepakatan atas
dasar keseimbangan kepentingan, mengajukan prinsip-prinsip sosialisme sebagai wujud
reorganisasi ekonomi dan produksi secara radikal yang mengabdi pada kebutuhan dan
dikendalikan oleh mayoritas rakyat.
Karena lingkungan sama pentingnya dengan kemanusiaan, maka dengan menggabungkan
manusia dan lingkungannya menjadi suatu wacana ekososialisme. Alam dan lingkungan
hidup dikelola melalui cara demokratis, tidak sekadar mengejar pertumbuhan dan
melipatgandakan keuntungan. Ketika alam dipelihara secara demokratis, bukan hanya
segelintir orang yang mendapat manfaat, melainkan seluruh umat manusia dan generasi yang
akan datang.
Untuk itu diperlukan sosialisasi perubahan pola pikir dalam masyarakat. Perubahan pola
hidup harus secara perlahan berpindah dari sistem orientasi pada keuntungan, mengutamakan
pertumbuhan ekonomi menuju ekonomi mapan berkelanjutan. Ini berarti mengurangi atau
menghilangkan konsumsi yang tidak perlu dan sifat boros.
Ada cerita menarik dari Jerman yang intinya menyebutkan, "Uang milik Anda tetapi sumber
daya milik masyarakat". Sifat boros saat memesan makanan, kemudian banyak terbuang atau
tersisa, menyebabkan pemborosan sumber daya. Artinya, sumber daya yang demikian besar
habis hanya berujung menghasilkan kompos.

2

Konsep demokrasi sosial mensyaratkan kontrak baru antara negara dengan warga negara
yang didasarkan tanggung jawab (sosial) dan hak warga negara. Misalnya, perlu diterapkan
dalam sektor ekonomi dengan mengenakan pajak lebih mereka yang berpenghasilan
menengah ke atas, pajak atas mobil/barang mewah untuk kemudian didistribusikan lagi bagi
pertumbuhan ekonomi di semua sisi dan meningkatkan kualitas kesejahteraan sosial serta
pelayanan publik.
Mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi adalah ciri demokrasi sosial seperti yang
berkembang di Eropa, Kanada dan Amerika Latin dewasa ini, bahkan telah lama diterapkan
di negara-negara di Skandinavia seperti Denmark, Finlandia, Swedia dan lainya. Di sini,
kebiasaan warga negara dengan budaya naik sepeda dan berjalan kaki untuk menghemat
sumber daya alam berkempang sangat pesat.
Kemudian, korporasi dan pemerintah dituntut berperan melakukan investasi besar-besaran
untuk pelayanan publik dan membantu pelayanan publik menjadi lebih efektif dan responsif.
Misalnya membangun fasilitas pendidikan, pengadaan beasiswa, rumah sakit, rumah ibadah,
panti asuhan dan lainnya, sehingga tidak sekadar CSR korporasi yang kadang lebih
bertendensi pencitraan dengan kemasan "penghijauan" dalam konteks lingkungan hidup.
Harapan kita kepada pemerintah, Presiden Jokowi lebih memberi porsi perhatian besar
terhadap investasi pelayanan publik, infrastruktur dan meningkatkan kualitas kesejahteraan

sosial. (Ferisman Tindaon)

3