Cham Benteng Terakhir Muslim di Vietnam

Shalat Id di Negeri Palu Arit
Dimuat di Harian Republika, Minggu, 28 November 2010
http://koran.republika.co.id/koran/153/124008/Shalat_Id_di_Negeri_Palu_Arit
KOLOM DUNIA ISLAM

Oleh M Sabeth Abilawa

Ho Chi Minh City (Vietnam) tentu berbeda dengan negara di Asia Tenggara lainnya. Umat Islam
di negeri tersebut tergolong minoritas. Namun demikian, dalam soal keagamaan, mereka mampu
melaksanakan kewajiban agama secara konsekuen.
Seperti pada sebagian umat Islam Indonesia, pada Selasa (16/11) lalu, kaum Muslimin yang
tinggal di negeri Palu Arit tersebut juga melaksanakan shalat Idul Adha. Di negeri komunis ini,
umat Islam melaksanakan ibadah tanpa takbir keliling, seperti yang dilakukan di Indonesia. Juga
tak ada deretan sapi, kambing, atau domba yang siap dijadikan hewan kurban. Suasananya
sangat jauh berbeda dengan negeri-negeri yang penduduk Muslimnya cukup banyak.
Pagi itu tampak sepi. Seakan tidak ada kegiatan shalat Idul Adha. Di Indonesia, shalat Id
biasanya dilaksanakan pukul 06.00-07.30. Namun, di Vietnam, khususunya di Ho Chi Minh City,
pelaksanaan shalat Id baru dimulai sekitar pukul 08.30. Dan menjelang pukul 08.00, baru tampak
sebagian umat Islam datang ke Masjid. Hari itu, saya shalat di Masjid Jamiah Al-Muslimun, Dong
Du St District 1 Ho Chi Minh City (HCMC).
Meski bukan sebagai pusat pemerintahan, kota yang dulu bernama Saigon ini merupakan salah

kota terbesar di Vietnam. Posisinya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan di sisi selatan
Vietnam membuatnya lebih semarak dibanding Hanoi, ibu kota negara di belahan utara. Umat
Muslim di HCMC sendiri diperkirakan mencapai 7.000 orang. Jumlah yang sedikit jika
dibandingkan populasi keseluruhan di HCMC yang mencapai sembilan juta orang.
Di HCMC saat ini terdapat sekitar 16 buah masjid dan tiga buah surau. Yang terbesar adalah
Masjid Jamiah Al-Muslimun yang terletak di Distrik 1. Distrik 1 ini merupakan pusat keramaian
dan tempat-tempat wisata. Walaupun berukuran cukup besar, keberadaan Masjid Al-Muslimun
seolah tenggelam oleh bangunan lainnya. Sejumlah gedung bertingkat mengelilingi Masjid AlMuslimun. Gedung Sheraton hotel tampak berdiri lebih gagah menjulang di samping persis
masjid, bahkan menara masjid pun hanya sepertujuh tinggi Sheraton.
Menurut Imam Masjid Jamiah Al-Muslimun, Abdul Azim, dulunya masjid ini dibangun oleh
komunitas Muslim India tahun 1935. "Kemudian pada saat Saigon jatuh ke pemerintahan sosialis
Vietnam Utara banyak dari orang-orang India tersebut yang keluar dari Vietnam karena alasan
keamanan," ujarnya.
Saat ini, masjid diurus oleh beberapa orang Cham, suku minoritas Muslim di Vietnam. Imam
Abdul Azim menyatakan, sudah delapan tahun menjadi Imam Masjid ini. Beliau asli etnik Cham,
namun cukup lancar berbahasa melayu.
Pagi itu, sekitar 700-an jamaah menunaikan ibadah shalat Id di Masjid Al-Jamiah. Tampak
berbaur wajah-wajah etnik India, pakistan, champ, melayu dan terlihat pula beberapa pegawai
konjen RI juga menunaikan shalat di masjid ini . Meski mayoritas jamaah shalat dari etnik Cham
dan India, khutbah disampaikan dalam bahasa Melayu. Hal ini menandakan eratnya relasi antara

Muslim Cham dan Malaysia.

Yang khas di sini adalah hidangan roti dan kari setelah usai shalat Id. Semua jamaah berkumpul
di teras masjid dan bersama-sama menyantap roti dan kari yang dihidangkan gratis tersebut
sambil bermaaf-maafan layaknya Idul Fitri di Indonesia.
Kurban
Tidak seperti di Indonesia, hewan kurban biasanya disembelih di dekat masjid. Namun, di Ho Chi
Minh City, berbeda. Mereka menyembelihnya langsung di dekat kandang sapi atau kambing.
Mungkin, karena tidak banyak masjid atau karena ukurannya yang tidak cukup besar. Baru
setelah dipotong-potong, siap didistribusikan melalui masjid-masjid atau kantong-kantong Muslim
yang tersebar di berbagai distrik di HCMC.
Di negeri yang masih menganut sistem komunis ini, hewan lembu lebih lazim menjadi hewan
kurban. Selain harganya lebih murah, juga karena populasinya yang sangat banyak. Berbeda
dengan kambing yang harganya relatif lebih mahal jika perbandingannya adalah harga seperti di
Indonesia.
Banyak organisasi-organisasi mancanegara yang melakukan kurban di HCMC. Selain melalui
pekerja ekspatriat yang mencari nafkah di Vietnam, juga ada beberapa NGO yang
mendistribusikan hewan kurbannya di sini. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika
(DDR) dari Indonesia, Haluan Malaysia, BARIS dari Turki. Lembaga-lembaga ini mengirimkan
amanat kurban dari negaranya bagi saudara-saudara Muslim di HCMC dan beberapa wilayah di

Vietnam lainnya.
Derap pembangunan
Deru pembangunan memang tampak jelas di HCMC. Kota yang sempat lumpuh akibat perang
Vietnam dan embargo ekonomi Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an sekarang mulai mengejar
ketertinggalannya. Di beberapa penjuru, mulai tampak bangunan-bangunan kokoh berdiri tegak
maupun yang sedang dibangun. Tampak simbol sebuah kota mulai berdetak. Hampir-hampir tak
tampak wajah sosialisme di kota ini meski pada sebagian besar sudut kota terpampang wajah
Uncle Ho, seorang pemimpin besar Vietnam dan lambang palu arit.
Penataan kota cukup nyaman. Trotoar di kiri kanan jalan tampak lebar dan nyaman bagi pejalan
kaki. Bagi pelancong asal Indonesia, khususnya di Jakarta, melihat pemandangan ini
menimbulkan rasa iri. Jangankan kenyamanan berlalu lintas di jalan raya, trotoar saja, terkadang
habis dipakai buat tempat parkir atau lalu lalang sepeda motor.
Di Ho Chi Minh City ini, pemerintahnya tampak serius mengelola wisata kota. Di setiap taman,
selalu terdapat penjaga keamanan sebagai jaminan kemanan bagi warga dan pendatang. Hal ini
membuat betah para pelancong dari luar. Sebagaimana diketahui, sebagai pusat keramaian, di
daerah distrik 1 sangat mudah menjumpai turis (pelancong), baik Asia, Eropa, maupun Afrika.
Miskin
Namun, meski mesin pertumbuhan melaju cukup cepat, nasib kelompok minoritas Muslim tak
banyak berubah. Kebanyakan mereka tetap tak bisa menikmati tetesan kue pembangunan.
Sektor informal masih mendominasi sebagai gantungan nafkah mereka. "Tak banyak bahkan

hampir tak ada Muslim Cham atau Vietnam yang memasuki lapangan kerja sebagai birokrat di
negara sosialis ini. Untuk Askar (tentara) apalagi, tidak ada Muslim Cham yang masuk," jelas
Abdul Azim.
Secara ekonomi, mereka jelas tertinggal. Komunitas Muslim pun demikian juga. Mereka tak
memiliki organisasi yang menguatkan solidaritas antarumat Islam. Memang, dengan sistem
komunis, tidak hanya umat Islam yang dibatasi geraknya, tetapi juga elemen-elemen lain. Sistem
partai tunggal, yaitu Partai Komunis Vietnam semakin memperkokoh kekuasaan negara dan
memperkecil potensi oposisi.
Akibat keberadaan organisasi Islam yang solid di Vietnam membuat beragam urusan umat Islam
terakomodasi dengan baik oleh negara. Contohnya adalah masalah makanan. Untuk mencari

makanan halal sangat sulit mendapatkannya di seantero penjuru HCMC ini.
Jika ada organisasi ulama yang bisa memberikan sertifikat halal bagi restoran-restoran di
Vietnam, tentu saja hal ini harus menguntungkan bagi semua pihak. Para pelancong bisa
mendapatkan referensi menyangkut kebutuhan dasarnya, pemerintah mendapat kelebihan
devisa karena semakin banyak Muslim yang menjadikan Vietnam sebagai tujuan wisatanya,
maka organisasi Muslim bisa memutar uangnya untuk operasional kegiatan mereka.
Selain masalah keorganisasian, masalah yang lain adalah pendidikan bagi anak-anak Muslim
Vietnam. Hanya sedikit madrasah di HCMC yang eksis, di antaranya di Distrik 7. Dulu sebelum
pecah perang Vietnam, cukup banyak madrasah yang dibuka. Di antaranya yang tinggal

bangunan adalah Madrasah Nourul Ehsan di kompleks Masjid Jamiah Al-Muslimun di Distrik 1.
Madrasah tiga lantai yang dibangun tahun 1969 ini terakhir memiliki santri tahun 1980-an. Kini,
gedung ini tak lagi berfungsi sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar. penulis adalah GM
Advokasi Dompet Dhuafa Republika, ed: syahruddin el-fikri
Cham, Benteng Terakhir Muslim di Vietnam
Oleh Sabeth Abilawa
Bagi Ismael (28), sekolah adalah suatu kemewahan di kampungnya. Pemuda Muslim Cham ini
bercita-cita menjadi dai dan membangun kampungnya di Vietnam Selatan. Beruntung akhirnya
dia bisa menikmati sekolah bahkan berkelana hingga ke luar negeri.
Empat tahun silam, seorang pendakwah dari Malaysia datang ke kampungnya mencari anakanak cerdas dan berkemauan kuat untuk bisa mengenyam pendidikan di Ma'had tarbiyah
Islamiyah di Perlis Malaysia. Dato' Ghazali salah satu mudir di Ma'had tersebut menyatakan,
anak-anak kampung Cham kurang mendapatkan akses pendidikan. "Kita sebagai sesama
Muslim layak untuk bantu mereka untuk angkat harkat umat," tegasnya.
Sekarang Ismael telah menyelesaikan studinya di Malaysia dan diterima di Universitas Al-Azhar
Kairo. Giliran Hadi (22), adik Ismael yang mendapat jatah untuk sekolah di Malaysia. Dua kakak
beradik inilah kelak yang akan menjadi tumpuan generasi tua kampung tersebut untuk memberi
pencerahan kepada masyarakat dan bisa membangun kembali Cham.
Menyebut nama Cham atau Champa, tentu tak asing bagi kita. Pelajaran sejarah di bangku
sekolah mengajarkan bahwa Cham memiliki pertautan erat dengan Nusantara pada abad 14.
Konon, salah satu raja majapahit, yakni Prabu Brawijaya menyunting seorang putri Champa.

Dan salah satu dari Wali Songo, yakni Sunan Ampel diyakini sebagai 'ulama asli' Champa yang
berdakwah di daerah Surabaya.
Muslim Cham kebanyakan berdiam di delta Sungai Mekong, bagian selatan Vietnam dan daerah
delta yang lain di Kamboja. Chau Doc adalah salah satu daerah di provinsi An Guang yang
banyak dihuni komunitas Cham. Letaknya kira-kira 250 km sebelah selatan Ho Chi Minh City dan
bisa ditempuh selama enam jam perjalanan darat serta dua kali menggunakan feri
menyeberangi Mekong.
Selama menyusuri jalanan dari HCMC-Chau Doc tampak sekali geliat pembangunan di Vietnam.
Deretan pabrik-pabrik besar mengiringi perjalanan di samping kanan-kiri jalan menuju selatan.
Vietnam memang mengagumkan untuk ukuran sebuah negara yang baru saja menikmati
kedamaian dan lepas dari derita perang melawan Adidaya.
Pemerintahnya tampak serius memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Jalanan aspal yang
mulus terus berlanjut hingga kampung-kampung pedalaman di selatan. Hal yang sangat berbeda
dengan Indonesia. Di negara kita, meski predikatnya jalan tol berbayar(highway), namun masih
saja bergelombang dan berlubang yang membuat tak nyaman pengendara. Tengok saja tol

Jakarta-Merak sebagai perbandingan sederhana.
Memasuki perkampungan Cham di sepanjang sisi Sungai Mekong terasa nuansa dusun-dusun
di Jawa. Tak jauh beda selain aspalnya dan wajah-wajah Indocina penduduk kampung. Aroma
tanah yang terguyur hujan di malam hari berbaur dengan bau kotoran hewan ternak juga

menjadi penanda khas sebuah pedesaan.
Tradisi Cham di bulan haji adalah menggelar pesta pernikahan. Banyak muda-mudi yang
menikah di bulan ini. Di kampung ini sendiri terlihat dengan jelas sekitar tujuh pesta pernikahan
dalam jarak radius 500 meter. Layaknya parade saja. Musim nikah sengaja dibarengkan dengan
Idul Kurban agar bisa dirayakan bersama-sama.
Pertautan Islam Nusantara
Cham dulunya adalah kerajaan besar. Pernah bersekutu dengan bala tentara Demak dan
Malaka dalam upaya mengusir Portugis dari Malaka. Seperti dikutip dari lamanWikimedia, Sultan
Demak yang pertama, Raden Fatah, dikabarkan juga masih keturunan darah Cham dari putri
Dwarawati yang dipersunting Raja Majapahit.
Kejayaan Cham mulai pudar akibat serangan dari utara, yakni bangsa annam (Vietnam). Seiring
memudarnya kekuasaan itu, menyebarlah ulama-ulama dari negeri Cham ke Nusantara, seperti
Malaka, Aceh, hingga ke tanah Jawa.
Sayang, relasi erat Islam Nusantara-Cham ini tak berlangsung lama. Pergolakan politik di
Vietnam dalam koloni Prancis dan dilanjutkan dominasi komunis di Vietnam dan Kamboja
memaksa mereka menjadi bangsa yang tertindas. Di tengah kepemimpinan komunis, mereka
menjadi warga kelas dua, terpinggirkan secara ekonomi dan tenggelam secara politik.
Lembu kurban yang dibawa saudara-saudara Muslim dari Indonesia dan Malaysia menjadi obat
pelipur duka bagi mereka meski hanya setahun sekali datangnya. "Silaturahim ini penting agar
umat di sini juga mengenal saudara-saudaranya dari negara lain," jelas Abdul Azim, yang juga

warga Vietnam kelahiran Chau Doc.
Lamat-lamat terdengar suara entah kaset yang diputar atau seorang bernyanyi dari sebuah
pesta pernikahan di depan masjid. Hmmm, tak asing bagi saya lagu dangdut tersebut, Cucak
Rowo dalam bahasa aslinya. Sambil senyum-senyum sendiri dan tetap khidmat dalam prosesi
penyembelihan hewan kurban di Masjid terlintas dalam benak saya. Ternyata, di pedalaman
Vietnam ini, kurban kita kalah cepat sampai dibandingkan dangdut." Luar biasa, Pop
Culture Indonesia. Kapan dakwah Islam bisa membumi seperti itu? Wallahu 'Alam. ed:
syahruddin el-fikri