Filsafat Dan Agama tentang filsafat

Filsafat Dan Agama
Filsafat yunani muncul terpisah dari agama yunani yang penuh dengan
khurafat dan mitos. Hal ini berbanding terbalik dengan bangsa yahudi yang
sangat mengagumi filsafat Yunani dan menganggap nya sebagai medan
berfikir untuk akal, sambil tetap berpegangan pada kita suci mereka beserta
ajaran-ajaran yang terdapat didalam nya.
Pada abad-abad pertengahan, bangsa Eropa menjadikan filsafat
sebagai sarana untuk mengharmoniskan anatara akal dengan apa yang di
bawa oleh agama. Bahkan para ahli teologi di Barat dan ahli kalam di dunia
Islam telah menjadikan filsafat sebagai “tameng” pertahanan akidah dengan
segala argumentasi rasional nya.
Namun hubungan antara filsafat dengan agama tidak selalu mulus.
Kekuasaan agama selama beberapa lama pernah begitu bengis memusuhi
filsafat, misalnya yang terjadi pada masa kebangkitan Eropa (Renaissance)
dan pada masa Islam pada mereka yang fanatik menentang kebebasan
berfikir. Saat itu, mereka ingin membelenggu pemikiran manusia sambil
menjadikan diri mereka sebagai “panglima” bagi akal (pemikiran). Dengan
begitu, sesungguh nya mereka telah mengotori agama dan ajaran-ajaran
luhurnya (karena sesungguhnya agama sangat menghargai akal). Jadi
pertentangan yang ada bukanlah antara filsafat dengan agama, tetapi
antara filsafat dengan para pemuka agama yang fanatik.

Namun demikian, pandangan picik sebagian pemuka agama tersebut,
tidak melemahkan sebagian besar filsuf untuk terus untuk terus
memprtahankan dan membela filsafat. Rene Descartes sebagai orang yang
sangat mengagungkan rasio misalnya, sama sekali tidak mau menerima
sesuatau yang berkaitan dengan agama, prinsip-prinsip etika dan tradisi
sosial.
a) Aliran Gnostisisme (Neo Pythagoras)
Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada ajaran
Pyithagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Yang
mengajarkannya ialah mula-mula ialah Moderatus dan Gades. Yang hidup
dalam abad pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian diteruskan oleh
Nicomachos dari Gerasa.
Untuk mendidik perasaan cinta dan mengabdi kepada Tuhan, orang
harus menghidupkan dalam perasaannya jarak yang jauh antara Tuhan dan
manusia. Makin besar jarak itu makin besar cinta kepada Tuhan. Dalam

mistik ini, tajam sekali dikemukakan perbedaan antara Tuhan dan manusia,
Tuhan dan barang. Bedanya Tuhan dan manusia di gambarkan dalam mistik
Neo Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya dengan
yang bernoda. Yang sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah

manusia.
Menurut mereka, Tuhan sendiri tidak membuat bumi ini, sebab apabila
Tuhan membuat bumi ini, berarti ia mempergunakan barang yang bernoda
Kaum ini percaya bahwa jiwa ini akan hidup selama-lama nya dan pindahpindah dari angkatan mahluk turun temurun. Kepercayaan inilah yang
menjadi pangkal ajaran mereka tentang inkarnasi.
b) Filsafat Yahudi
Orang-orang Yahudi sebelum kedatangan Islam tidak memiliki filsafat rasional. Di dalam
Taurat tidak terdapat benih-benih pemahaman filafat maupun metafisika yang memungkinkan
untuk dipaparkan. Agama Yahudi dan kitab-kitab sucinya merupakan pemberitahuan mengenai
doktrin agama saja tanpa ada pandangan rasional. Memang doktrin agama tersebut berisi ma'rifat
kepada Allah dan tuntutan agar orang Yahudi memberitahukan ma'rifat ini kepada bangsa-bangsa
selain mereka, akan tetapi orang-orang Yahudi meyakini bahwa wahyu itu khusus hanya untuk
mereka dan ma'rifat kepada Allah terbatas hanya untuk mereka. Mereka adalah anak-anak Israel,
sedangkan bangsa-bangsa selain mereka menjadi budak anak-anak Israel. Mereka merasa
selamanya tidak butuh pandangan rasional maupun pemikiran falsafi.[1]
Pada abad ke dua SM. Terdapat sekitar 1 juta orang Yahudi di Mesir. Mereka dapat
digolongkan dalam tiga golongan:
a) Mereka yang setia pada ajaran nenek moyang mereka dan menantikan Mesias.
b) Mereka yang mengikuti aliran Ortodoks.
c) Mereka yang berusaha mengawinkan agama Yahudi dengan filsafat Helenis.

Pada abad inilah mulai terjadi proses Helenisasi kebudayaan Yahudi.[2]
Tokoh terbesar dari filsafat Yahudi adalah , Philo (±30 SM – 50 M). Ia dilahirkan di
Aleksandria dari keluarga iamam. Segala kmampuannya dipakai guna menyesuaikan agama
Yahudi dengan Filsafat Helenisme.
Agama Yahudi digarapnya begitu rupa, sehingga cocok untuk di sintesakan dengan filsafa
Yunani. Menurut dia kitab Perjanjian Lama (Kitab agama Yahudi), bahkan juga terjemahannya di

dalam kitab Yunani ( Kitab Septuaginta) diwahyukan oleh Tuhan dengan para nabi sebagai alatalatNya. Akan tetapi orang bijak Yunani Jga mendapat hikmah yang sama dengan para Nabi.
Selanjutnya kitab Perjanjian Lama juga ditafsirkan secara alleoris atau secara kiasan. Ia
membedakan antara tafsiran yang lahiriah dengan tafsiran yang batiniah. tafsiran lahiriah adalah
tafsiran yang harafiah. Tafsiran ini disukai oleh orang yang dangkal ilmunya, oleh karenanya
harus di tolak. Tafsiran ini jikalau ditarik secara konsekuen akan sampai pada hal-hal yang tidak
mungkin. Hal ini disebabkan Karena secara lahiriah Kitab Perjanjian Lama sendiri telah
mengandung gambaran-gambaran yang salah. Tafsiran yang baik adalah tafsiran batiniah, yang
bersifat rohani, dan mencari arti kiasan segala hal yang terdapat dalam kitab suci.
Karena tafsirannya yang demikian itu ia sampai kepada ajaran yang demikian:
Allah adalah roh yang transenden, yang tidak di dalam dunia ini, melainkan disebrang sana.
Negatip tentang Allah dapat dikatakan, bahwa ia tidak dijadikan, tidak mempunyai sifat-sifat
manusiawi, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tidak berwujud. Hakekatnya tidak dapat
dikatakan bagaimana, sebab ia tidak bernama. Manusia hanya tau, bahwa Allah ada, akan teitapi

manusia tidak dapat tau apakah Dia itu. Sebab Allah tidak dapat di uraikan bagaimana. Ia adalah
Sang Ada (Ho On). Sekalipun demikian menurut Philo, sedikit manusia dapat juga menguaikan
Allah secara positip. Tidak disangkal, bahwa penguraian tentang Allah ini dipengarui oleh Plato.
Ada perbedan yang mutlak antara Allah dan dunia, sebab Allah adala roh, sedang dunia adalah
benda. Keduanya tidak bisa dipersatukan. Oleh karena itu diperlukan tokoh-tokoh pengantara.
Tokoh tokoh ini dapat disebut dengan bermacam-macam sebutan, yaitu: idea-idea, atau gagasangagasan yang yang dipakai sebagai pola dalam menciptakan dunia; kekuatan-kekuatan ilahi,
yang bekerja di dalam dunia; malaikat-malaikat yaitu para utusan Allah yang melaksanakan
kehendakNya. Semuanya itu dipersatukan di dalam istilah Logos, pengantara Allah dan dunia.
Logos adalah idea dari segala idea, yang juga disebut kebijaksanaan, kekuatan dunia yang
universal, yang juga disebut kebijaksanaan, kekuatan dunia yang universal. Sekalipun demikian
Logos ini bukanlah Allah, bukan mahluk, bukan tidak di jadikan, dan bukan di jadikan seperti
para mahluk.
Mengenai dunia diajarkan, bahwa dunia bukan di jadikan, teapi di bentuk oleh Logos.
Pembentukan itu terjadi demikian, bahwa kekuatan Logos memasuki benda, mengenakan benda
sebagai pakaiannya, sehingga benda dapat dibentuk menjadi dunia yang menurut gambar dan
rupaNya sendiri.[3]

Dalam ajarannya tentang manusia, Philo mengajarkan bahwa dalam strukturnya manusia adalah
gambar alam semesta. Tetapi sebagai idea, yaitu manusia yang tidak bertubuh, manusia telah ada
sejak kekal di dalam Logos. Jiwa manusia tersusun dari jiwa sebagai kekuatan hidup dan jiwa

yang bersifat akali. Jiwa tidak dapat binasa. Jiwa memasuki tubuh dari luar dan terbelenggu
dalam tubuh. Kematian mewujudkan suatu, dimana orang dibangkaitkan dalam hidup yang sejati
dan dalam kebebasan.
Menurut Philo, ada tiga tingkatan kebijakan, yaitu:
1) Apathea, yaitu keadaan tanpa perasaan, dimana orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu
dan segala yang bersifat badani.
2) Kebijaksanaan, yaitu karunia Ilahi, yang di arahkan kepada kesusilaan atau kesalehan.
3) ekstase, yaitu meleburkan diri dalam yang Ilahi.[4]
Orang Yahudi sangat sadar tentang keterbatasan anusia itu sendiri. Dibandingkan dengan
kemuliaan surgawi, manusia “adalah debu” (Maz.103:14). Dibandingkan dengan kekuatankekuatan alam yang mengelilinginya, ia amat lemah. Bahkan saat manusia sangat bangga akan
dirinya ia dihantui oleh kesadaran akan kekurangannya, ia lemah sebagai “sesuatu yang hancur”
(Ay.4:19) Namun hiupnya dimuka bumi ini sangt singkat. Ibarat rumput yang tumbuh dan
berbunga di waktu pagi, “di waktu sore ia di babat dan layu”(Maz.90:9). Tidak hanya sekali,
tetapi berulang-ulang orang Yahudi terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat retoris ini:
“Apakah manusia itu sehingga Tuhan sendiri perlu mengingatnya?”(Maz.8:4)[5]
Demikianlah cara Philo menagwinkan agama Yahudi dengan filsafat Helenisme. Ajarannya yang
mengenai Allah berbeda sekali dengan ajaran kitab suci agama Yahudi. Oleh Philo Allah
digambarkan sebagai tidak dapat dikenal secara mutlak, sehingga Ia sama sekali tidak dapat
dikatakan bagaimana . Juga Allah di gambarkan sebagai tansenden dalam arti “yang bersemayam
jauh diatas segala sesuatu” Allah yang demikian dipandang tidak layak untuk secara langsung

menciptakan dunia. Oleh karena itulah Ia memakai pengantara, pengantara, yang dapat disebut
Idea-idea, sehingga tampaklah pengruh Plato.
1) Agama Yahudi dan Filsafat
Pada masa sebelum kelahiran Kristus, orang-orang Yahudi telah menggunakan filsafat
Yunani untuk menjelaskan doktrin di dalam agama mereka. Hal ini terlihat, misalnya, di
dalam Kitab Perjanjian Lama (Old Testament)/Bibel Yahudi (Hebrew Bible). Perkataan Paul

kepada Areopagus (Bab 17 Perjanjian Lama) menggunakan filsafat Stoa untuk keperluan
yang sifatnya apologetik.
Orang Yahudi pertama yang memelajari filsafat Yunani dan menggunakannya untuk
menjelaskan serta mempertahankan tradisi di dalam agama Yahudi adalah Philo Judaeus atau
Philo dari Alexandria (15 SM-45 M.) Philo menulis komentar yang panjang lebar terhadap
Kitab Perjanjian Lama, terutama Kitab Kejadian (Genesis.) Menurut Philo, wahyu yang
pernah diberikan kepada Nabi Musa sejalan dengan ajaran para filsuf Platonis.Meskipun,
orang-orang Yahudi ortodoks setelahnya tidak mengakui Philo dan tidak membaca karyakaryanya, namun, justru pengaruh Philo terhadap Kristen sangat besar sejak abad ke-2 M.
Philo menentukan model spekulasi filosofis di kalangan Kristen.
Para Platonis Kristen, mengikuti Philo, menaruh perhatian yang besar terhadap wahyu
dan menggunakan filsafat Platonis untuk memahami dan mempertahankan ajaran di dalam
Alkitab maupun tradisi gereja.
Selain menerima pengaruh dari filsafat Platonis, Kristen juga dipengaruhi oleh filsafat

mazhab Stoa, yakni dalam persoalan etika. Ajaran mazhab Stoa bahwa Tuhan dan jiwa
merupakan tubuh yang halus dan unik, tidak diadopsi oleh orang-orang Kristen. Begitu juga
terhadap ajaran pantheisme (Tuhan identik dengan alam), tidak digunakan karena tidak
sesuai dengan ajaran Kristen.
2)Takwil Ayat-Ayat Falsafi
Menurut bahasa ta’wil secara etimologi, ta'wil berasal dari kata ‫ آلل ي للؤوولل أ لوولل ))ال لوولل‬yang artinya
‫( الرجوع‬kembali) dan ‫( العاقبة‬akibat atau pahala),[8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59
dan hadith ‫( من صام الدهر فل صام ول آل‬Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia
tidak berpuasa dan tidak ada balasannya).Sedangkan isim makan dan zamannya adalah ‫ موئل‬atau
‫ الموئل‬yang berarti ‫ المرجع‬tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata " ‫ " أ ل و لولل‬yang berarti ‫(الرجوع إليه و يعتمد عليه‬kembali dan bersandar
kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah
QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163. Kata ‫ أ ل و لولل‬digunakan karena sesudahnya kembali dan
bersandar kepadanya.
Menurut IstilahSedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua
pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif)
dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna
lain karena ada dalil.
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara
bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari

maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna
yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".

Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa,
"Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh
pembicara adalah makna yang lemah".
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam
pandangan penta'wil".
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan,
"Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu
(muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafazh zhahir".
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi
Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna
zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa
ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga
hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir AtThabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah

demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan
oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan
ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.
Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah
ta'wil memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai
dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering
digunakan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A'raf: 53.Contoh lain, riwayat dari
'Aisyah Radhiyallah 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan
sujudnya banyak membaca, ‫( سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي‬Maha Suci Engkau ya Allah dan
segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku) sebagai ta'wil dari firman Al-Qur'an QS. AnNashr: 3.Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli
tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), "Sesungguhnya orang-orang yang
mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat". Kata ta'wil yang
beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan lafazh
dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Pengertian istilah ini belum
ada pada zaman salaf, baru dikenal pada zaman mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ahli fiqih,
kalam, dan tashawwuf.

Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf
mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada

makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil

3)kehidupan spiritual…?

Daftar Pustaka
Anhari, A Maskur, Filsafat Sejarah dan Perkrmbangannya dari Abad ke Abad,CV Karya:Jakarta,
1992.
Hadiwijono,Harun, Sari Sejarah Filsafat 1, Kanisius:Yogyakarta.
Smith, Huston,Agama-Agama Manusia,Yayasan Obor Indonesia:jakarta,cet ke-7, 2004.
http://gedublaks.multiply.com/journal/item/18/TRADISI_FILSAFAT_YAHUDI_DALAM_DUN
IA_KEBUDAYAAN_ISLAM

[1]
http://gedublaks.multiply.com/journal/item/18/TRADISI_FILSAFAT_YAHUDI_DALAM_DUN
IA_KEBUDAYAAN_ISLAM
[2] A.Maskur Anhari, Filsafat Sejarah dan Perkrmbangannya dari Abad ke Abad,CV
Karya:Jakarta, 1992, hlm 133
[3][3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 1, Kanisius:Yogyakarta, hlm63.
[4] Opcit, A Masjkur Anshari, hlm134
[5] Huston Smith, Agama-Agama Manusia,Yayasan Obor Indonesia:jakarta,cet ke 7 2004,

hlm309