Mencari Keadilan Untuk Udin docx

Mencari Keadilan Untuk Udin
PRAPERADILAN kasus terbunuhnya wartawan Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin
memasuki babak baru. Setelah hakim tunggal Asep Koswara menolak praperadilan yang
diajukan PWI, Ketua PWI Cabang Yogya segera menyatakan banding (Kedaulatan Rakyat, 5
Desember). Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut sederhana, hakim tidak berwenang
mengabulkan permintaan pemohon mengingat KUHAP hanya mengatakan Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan. Sedangkan yang dimintakan pemohon dalam
praperadilan agar Polda DIY segera menuntaskan penyidikan atau menerbitkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).
Hakim tidak berani membuat terobosan hukum dan masih terkungkung pada cara berpikir
legalistik-formalistik, cara berpikir yang memandang hukum hanya yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan belaka, cara berpikir seperti ini lebih memilih pada kepastian hukum
dibandingkan keadilan substantif. Walaupun para ahli yang diajukan oleh pemohon berpendapat
hakim PN berwenang mengadili kasus ini meskipun belum diterbitkannya SP3, namun hakim
masih takut keluar dari rel positivism untuk melakukan ijtihad demi tercapainya keadilan.
Pemikiran hakim yang menempatkan hukum hanya terbatas dalam undang-undang merupakan
warisan dari mazab positivisme yang mulai berkembang pesat pada abad ke-19. John Austin dan
Hans Kelsen merupakan dua tokoh tersohor yang mewakilinya.
Berhukum Progresif
Sebagaimana cabang keilmuan lainnya, hukum juga terus mengalami perkembangan. Hal ini

terlihat dari tumbuhnya berbagai aliran yang menentang absolutisme hukum positif sebagaimana
critical legal studies di Amerika yang menentang pada sifat prosedural hukum, sehingga
membelenggu lahirnya keadilan. Ada pula pemikiran hukum responsif dari Nonet dan Selznick
yang mengharapkan agar hukum dapat responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia.
Dibarengi semangat yang sama dengan para pendiri aliran hukum di atas, Prof Satjipto Rahardjo
melahirkan hukum progresif.

Dalam gagasan Prof Tjipt (sapaan akrab Satjipto Rahardjo) hukum progresif diharapkan dapat
mendobrak kemandekan hukum karena berbagai formalitas yang melingkupinya. Hukum
progresif bukan mencari kebenaran yang berdasarkan formalisme dalam teks-teks yang rumit,
namun keadilan substantif yang membawa kebahagiaan bagi masyarakat. Beberapa contoh dari
putusan pengadilan yang progresif adalah Ultra Petita yang dilakukan para hakim di tingkat
kasasi dalam kasus Kedung Ombo dengan menaikkan harga ganti tanah karena pada waktu
putusan kasasi harga tanah yang berlaku jauh lebih mahal daripada tuntutan para penggugat.
Juga, putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan seorang pemilih menggunakan KTP
untuk menggunakan hak pilihnya dan analogi hakim Bismar Siregar yang menganalogikan
kemaluan wanita dengan barang agar kekasih yang telah berbuat asusila kepadanya mendapatkan
hukuman lebih berat. Beliau mengatakan: "Kepastian hukum bukan merupakan tujuan, tapi
hanya sarana. Tujuan kita adalah rasa keadilan." Dengan tujuan keadilan bagi si wanita beliau
menerapkan Pasal 378 tentang penipuan.

Tentu kita berharap hakim pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta dapat memberikan putusan
progresif dalam kasus praperadilan Udin, karena mestinya kualitas keilmuan hakim Pengadilan
Tinggi lebih baik daripada Pengadilan Negeri meskipun hal ini tidak selamanya benar. Putusan
sangat progresif yang dilakukan almarhum Bismar Siregar di atas ternyata harus kandas pada
tingkat kasasi karena hakim pada tingkat kasasi tidak bisa menerima logika hukum yang
digunakan Bismar Siregar. Kualitas keilmuan memang penting bagi jabatan seorang hakim,
sebab sesuai dengan asas ius curia novit, hakim tidak boleh menolak perkara karena tidak ada
landasan hukumnya, hakim diharuskan menggali hukum yang berkembang di masyarakat.
Akan tetapi kualitas keilmuan saja tidak mampu menghasilkan putusan yang progresif, hakim
harus mempunyai nurani dan cita yang luhur untuk mendapatkan derajat hakim yang progresif.
Dan, kita berharap para hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarata mempunyai kapasitas tersebut
agar kasus Udin dapat menemukan keadilan.
(Ikhsan Fatah Yasin, Akademisi dan Pemerhati Hukum, Tinggal di Yogya)
Artikel ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Desember 2014