Terjebak di Dunia Game edukasi

Terjebak di Dunia Game
Seharian ini aku begitu penat, seharian penuh otakku terus-terusan dijejali materi-materi yang
sangat sulit ku cerna di otakku. Ku lihat langit sudah mulai mendung, awan hitam tampak
menjadi hiasan langit sore ini. Aku sengaja mempercepat laju motorku agar segera tiba di rumah,
rasanya bukan hanya otak, tapi badanku juga sudah minta jatah istirahat.
“Kamu baru pulang Sora?” Tanya ayah melihat kedatanganku. Aku hanya mengangguk lesu,
langsung menjatuhkan badanku di sofa. Sesaat aku terlelap.
“Sora, bangun! Ayo kita makan malam dulu!” Ibu membangunkanku. Masih dalam keadaan
setengah sadar aku mencoba bangkit, 19.55 angka yang ku dapati di benda bulat berwarna hitam
yang menempel di lengan kiriku. “Aku mandi dulu saja, Yah, Bu, biar lebih segar,” Kemudian
aku bangkit.
“Sora tunggu dulu! Ayo sekalian panggil Adikmu, dari tadi sore dia terus saja diam di kamar dan
bermain game!” Perintah ibu mengalihkan langkahku untuk pergi ke kamar Shiro. Shiro adikku
yang baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Saat berjalan melewati tangga, aku jadi teringat sudah
beberapa kali Shiro mengajakku bermain game. Ku rasa inilah saat yang tepat. “Itung-itung
hiburan, refreshing otak,” pikirku sambil mempercepat langkahku.
“Shiro!” Aku mengetuk pintu kamarnya. Tapi sama sekali tak ada jawaban.
“Shiro, ini Kakak!” Kembali ku coba mengetuk pintu kamarnya, tapi nihil, masih juga tak ada
jawaban.
Akhirnya perlahan aku membuka pintunya, “Shiro,” tapi tak ku temukan siapa pun di sana,
kamarnya kosong, yang ku lihat hanya layar komputer menyala bertuliskan “…” kemudian layar

itu berubah bertuliskan “Play,” tak ku temukan kata lain di sana. Layarnya terus saja berkedipkedip. Aku menatapnya dan mulai mendekat. “Sepertinya ini game yang keren,” pikirku.
Akhirnya tanpa pikir panjang aku mulai mengarahkan kursornya dan mengklik tombol “Play,”
Seketika semuanya berubah, seperti ada angin topan yang menghampiri dan aku terbawa ke
dalamnya. “Aaaaaahhh…”

“Di mana aku? Aku berada di sebuah ruangan, seperti sebuah gedung tua,” Aku mulai bangkit
memperhatikan sekitarku.
“Guubbbrraaakk,” Sesuatu mengejutkanku, seperti ada bangunan roboh, sebuah bom atau entah
itu apa, yang jelas bisa ku tangkap suara itu begitu jelas. Aku ke luar mencari arah suara itu, ku
lihat seorang anak tampak berlari ke arahku.
“Shiro?” Aku setengah berteriak.
“Kakak? Bagaimana Kakak bisa masuk juga ke dalam game ini?” Shiro tampak terkejut
melihatku.
“Ke dalam game? Kita di dalam game? Bagaimana mungkin ini Shiro, jelas-jelas tadi Kakak ada
di kamarmu dan ka…”
“Sudah Kak, nanti saja, sekarang ayo kita lari!” Shiro menarik lenganku.
“Kenapa harus berlari?” Aku menarik lengannya hingga langkahnya terhenti.
“Kakak ayolah, lihatlah! Karena itu kita lari!”
Aku menoleh ke belakang, rupanya 3 orang berwujud monster, atau itu memang benar monster
mengejar kami. Berulang kali mereka melemparkan benda, dan menembakkan senjata pada

kami. “Lihat Kak, di sana ada mobil, Kakak bisa mengemudi bukan? Ayo kita pakai mobil itu!”
Ajaknya. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi tanpa pikir panjang aku segera melajukan mobil
itu. Tiga monster itu masih tampak mengejar kami. “Baiklah Shiro aku tak mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, tapi sekarang apa yang harus kita lakukan? Bagaimana cara agar kita ke luar
dari game ini dan kembali ke rumah?”
“Tidak bisa Kak, kita harus mengalahkan ketiga monster itu dulu dan menyelesaikan semua level
dalam game ini, atau…” Ia kembali menengok ke belakang, kini jelas ku dengar napasnya begitu
ngos-ngosan. “Apa? Baiklah dan sekarang berapa level lagi yang harus kita lalui? Bagaimana
kau tahu semua ini? Baiklah, ini asyik kita jadi pahlawan bukan dalam game ini, kita selesaikan
levelnya!” Aku mencoba santai dan menikmati apa yang sedang terjadi. “Aku juga tidak tahu
Kak, hanya saja itu peraturan yang ku baca di game ini. Ini baru level 1 kita masih memiliki
se…”
“Apa?” Aku langsung memotong ucapannya. “Sejak tadi kau masih di level 1? Baiklah tadi kau

katakan atau? Atau apa? Ada cara lain agar kita bisa ke luar dari sini?” Kini aku tak bisa
menyembunyikan kepanikanku.
“Ya, permainan ini hanya untuk 2 orang jika Kakak sudah masuk itu artinya, tidak ada lagi yang
bisa masuk ke game ini otomatis game ini akan kembali seperti game pada umumnya, jika ada
yang menekan tombol exit maka kita bisa ke luar dari sini! Kak belok kiri, awas mereka di
depan!”


Shiro

setengah

berteriak.

Sontak aku membelokkan mobil menuju sebuah gedung. “Kita naik gedung itu Shiro, Kakak
akan coba menelepon Ayah, atau Ibu!” Aku sibuk mencari telepon di kantong celanaku.
“Handphone tidak berfungsi di sini Kak! Ambil senjata ini, kita harus melawan mereka!”
“Apa? Gila!”
Kami berlari menuju puncak menara di gedung ini, sementara itu ketiga monster tadi terus
mengejar kami dan menyerang, menghancurkan beberapa benda, bahkan tangga yang kami naiki
hancur dibuatnya. Aku mencoba meluncurkan serangan dengan menembaki ketiga monster itu,
agar langkah mereka sedikit terhambat, tapi sia-sia saja peluruku tak berefek sama sekali.
“Senjata macam apa ini? Ah.. wajar saja aku masih di level 1 belum cukup memiliki poin untuk
membeli senjata yang lebih kuat,” Gumamku kesal. Kini kami sudah berada di puncak menara,
begitu pun dengan ketiga monster itu. Di balik wajah buruknya ku lihat mereka tersenyum dan
mengarahkan senjata ke arah kami.
“Matilah kalian!” Suaranya terdengar menggema.

Aku dan Shiro benar-benar terpojok, tak pernah ku sangka aku akan mati konyol dalam sebuah
game.

“Loh, tadi Ibu ke sini kalian tidak ada di kamar? Ke mana tadi kalian ini?” Ibu tampak bingung.
Aku dan Shiro saling berpandangan, saat ini kami kembali berada di kamar Shiro. Ku lihat
komputernya sudah mati. “Ibu tadi yang mengeluarkan gamenya dan Ibu juga yang mematikan
komputernya,” Lanjut ibu melihat aku dan Shiro terdiam. “Sudah ayo cepat kita makan malam,
Ayah sudah menunggu,” kata ibu kemudian berlalu.

Tiba-tiba layar komputernya menyala lagi dan…
“Tidak, tidak lagi!” Aku dan Shiro segera pergi meninggalkan kamar.

Nama:

Michael Federik (20)

Jason Tong (14)
Kelas : XII MIA 5