Pola Penggunaan Ruang Komunal Di Kampung
Pola Penggunaan Ruang Komunal Di Kampung Deret RT 014 RW 01, Tanah
Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat
Faris Rifqi Ihsan
Jurusan Kajian Pengembangan Perkotaan, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup besar, Untuk
mengatasi hal tersebut pemerintah DKI membangun kampung deret untuk mengatasi permukiman
kumuh. keterbatasan lahan membuat perubahan fungsi ruang publik menjadi ruang bersama. Pada
penelitian kualitatif ini ingin mengetahui pola penggunaan ruang komunal di Kampung deret tanah
tinggi tersebut. Penelitiaan yang menggunakan metode pengamatan prilaku (Behavioural mapping ) ini
menunjukan fungsi ruang-ruang yang tidak direncanakan sebagai ruang komunal seperti depan toko
klontong dan badan jalan . Hal ini menunjukan ruang komunal tercipta berdasarkan kondisi kognitif
penghuninya sebelum mereka tinggal di rumah deret.
Kata Kunci : pola pengunaan , ruang komunal, Kampung deret
1. Latar Belakang
Kota yang baik adalah kota yang dapat
mengakomodir kebutuhan penghuninya (Esariti,
2009). Berbagai macam kebutuhan tersebut
bervariasi bergantung pada karakter penghuni kota.
Kesesuaian antara kebutuhan dan karakter penghuni
kota kemudian akan mempengaruhi kenyamanan dan
kepuasan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Kenyamanan dan kepuasan merupakan tolak ukur
salah satu kriteria fit yang merupakan satu dari 5
kriteria pada Konsep Good City Form atau sebuah
bentuk kota yang baik. Konsep Good City Form
memiliki 5 elemen pembentuk yaitu Vitality, Sense,
Fit, Access, dan Control (Lynch, 1975).
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini
menunjukkan perkembangan yang cukup besar,
dimana hal tersebut merupakan salah satu solusi
untuk memenuhi tingginya tingkat kebutuhan para
penduduk untuk mendapatkan tempat tinggal sebagai
akibat dari meningkatnya jumlah penduduk Indonesia
yang tinggal diperkotaan, terutama yang tinggal di
kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Pesatnya
perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang
umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat
diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga
telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan
permukiman kumuh. Meningkatnya permukiman
kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada
peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir
di perkotaan, meningkatnya potensi kerawanan dan
konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan
masyarakat,
menurunnya
kualitas
pelayanan
prasarana dan sarana perrmukiman
Dalam rangka menangani permukiman kumuh di
kota, pemerintah DKI Jakarta menerapkan program
kampung deret . Konsep tersebut merupakan konsep
penataana lingkungan permukiman kumuh melalui
Konsolidasi Tanah Perkotaan. Pada konsep ini
diarahkan kembali pada pembangunan permukiman
murni
melalui
pembangunan
kembali
(redevelopment) bangunan rumah dan prasarana
lingkungannya di atas lahan yang telah ditempati
(lahan asal). Penanganan dilakukan dengan
konsolidasi lahan melalui penataan ulang dan
pembagian parsil kapling kembali setelah disisihkan
lahan untuk prasarana dan sarana (jalan, ruang
terbuka hijau, taman usaha dan bangunan koperasi).
Suatu hal terpenting dari bentuk penanganan yang
dilakukan adalah menggunakan pembangunan
perumahan sebagai entry point untuk pengembangan
kemampuan usaha ekonomi masyarakat, melalui
penyediaan ruang usaha pada bangunan rumah yang
baru , Dengan menggunakan konsep tersebut
pemerintah DKI berharap dapat membawa warga dari
yang biasa hidup di tempat yang kumuh dan tidak
layak ke tempat bersih, teratur, dan sehat.
Fenomena keterbatasan ruang bisa menjadi salah satu
hal yang membuat terjadinya fungsi ruang publik,
menjadi ruang bersama. Namun tidak hanya itu,
karena ruang bersama merupakan ruang yang
aktivitasnya bernilai kebersamaan. Ruang bersama
pada masa ini, bukan selalu telah ada sejak dulu atau
warisan tradisi. Ruang bersama dapat terjadi dengan
atribut atau setting tertentu, misalnya adanya naungan
matahari bisa menjadi tempat berkumpul bersama,
dimana bayang - bayang dapat menghadirkan
ruang(Pangarsa, 2009). Kedinamisan ruang bersama
merupakan solusi drikebutuhan ruang akan aktivitas
yangguyub. Adanya konflik ruang mungkin terjadi
apabila tidak adanya kebersamaan atau kesepakatan
bersama mengenai pemakaian ruang
Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya,
manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif
untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap
lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang
menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhannya.
Terjadinya ruang komunal di kampung deret tidak
lepas dari pemahaman interaksi manusia dengan
lingkungannya. Perilaku manusia merupakan pusat
perhatian dalam hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia menginderakan objek di
lingkungannya, hasil penginderaan diproses sehingga
timbul makna tentang objek tersebut yang kemudian
disebut dengan persepsi (Wirawan, 1992). Persepsi
merupakan proses untuk memperoleh informasi
tentang lingkungan seseorang (Lang, 1987). Persepsi
bisa berubah-ubah karena adanya proses fisiologik.
Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya,
manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk
mengadakan
reaksi-reaksi
tertentu
terhadap
lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang
menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhankebutuhannya. Proses hubungan dengan lingkungan
yang terjadi sejak individu berinteraksi melalui
penginderaan sampai dengan terjadinya reaksi,
digambarkan dalam skema persepsi oleh Bell (dalam
Wirawan, 1992) adalah sebagai berikut yang diambil
dari pola penggunaan ruang komunal pada rumah
susun untuk keluarga pra sejahtera. (lihat Gambar 1).
Hasil interaksi manusia dengan objek menghasilkan
persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi
berada dalam batas optimal, maka individu dikatakan
dalam keadaan homeo statis, yaitu keadaan yang
serba seimbang dan biasanya selalu ingin
dipertahankan oleh setiap individu karena menimbul-
kan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika
objek dipersepsikan sebagai di luar batas optimal,
maka individu akan mengalami stres, terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan coping untuk
menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
Penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya
disebut dengan adaptasi, sedangkan penyesuaian
lingkungan terhadap individu disebut adjusment.
Demikian pula terkait ruang komunal perkotaan yang
dilihat melalui pendekatan teori dalam Good City
Form dari Kevin Lynch mengenai kesesuaian (fit).
Lynch mengatakan bahwa kesesuaian ruang
mempengaruhi aktivitas yang berlangsung di
dalamnya, lebih lanjut lagi ia juga berpendapat
bahwa kecukupan jumlah merupakan aspek mendasar
dari fit (kesesuaian). Selain itu Lynch (1960) juga
menyebutkan akan terjadi penyesuaian ruang secara
sendirinya yang dipengaruhi oleh perilaku dan proses
adaptasi berdasarkan perilaku umum dan dapat
diprediksi melalui interaksi-interaksi yang terjadi
dalam hubungan sosial. Fleksibilitas pedagang
tersebut akan menciptakan tempat baru yang lebih
atraktif
supaya
dapat
mempertahankan
keberadaannya di wilayah tersebut
Pertanyaan muncul mengapa ruang komunal menjadi
sesuatu yang penting dalam kehidupan di kawasaan
permukiman di kampung deret? Dikatakan penting
karena penghuni membutuhkan sebuah tempat atau
ruang untuk dapat berinteraksi dengan tetangga.
Kegiatan interaksi sosial menjadi kebutuhan yang
sangat hakiki apalagi mereka sudah mempunyai
kebiasaan sebelum tinggal di Kampung deret.
Bagaimana mereka dapat mewujudkan keinginan
untuk dapat berinteraksi di kampung deret,
sedangkan di sisi lain tempat/ruang sebagai tempat
berinteraksi tidak ada lagi seperti halnya saat mereka
menghuni
rumah
tinggal
formal
dengan
memanfaatkan halaman, .Penelitian ini akan
mengungkap bagaimana penghuni membangun polapola ruang komunalnya di kampung deret yang sudah
dihuni puluhan tahun dengan pendekatan adaptasi
mereka.
1.1. Manfaat penelitian.
Berdasarkan pengungkapan pola-pola ruang komunal
akan didapatkan sebuah saran yaitu panduan desain
Kampung deret yang mampu mengadaptasi
kebutuhan penghuninya terutama kebutuhan ruang
komunal sebagai sarana berinteraksi sosial yang
berbeda dengan ketika mereka bertempat tinggal di
rumah horisontal di kampung-kampung Oleh karena
itu saya ingin menulis tentang pola penggunaan ruang
bersama pada kawasan kampung deret.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan merupakan
metode observasi dan survey. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
membuat gambaran/paparan dan menggali secara
cermat serta mendalam tentang fenomena sosial
terkait interaksi sosial yang menggunakan ruang
publik (fisik) tanpa melakukan hipotesis.
Teknik penggalian data dan informasi di lakukan
dengan teknik observasi berupa pemetaan perilaku
(behavioural mapping). Menurut Haryadi (1995),
behavioral mapping digambarkan sebagai cara untuk
mengungkap pola-pola ruang yang tercipta akibat
hubungan timbal balik antara manusia dengan ruang,
diwujudkan dalam bentuk sketsa dan diagram
mengenai suatu area dimana manusia melakukan
kegiatannya.
Tujuannya
adalah
untuk
menggambarkan
perilaku
dalam
peta,
mengidentifikasikan jenis frekuensi perilaku, serta
menunjukkan kaitan perilaku dengan wujud
perancangan yang spesifik. Terdapat dua cara untuk
melakukan behavioral mapping yaitu:
1.
2.
Place Centered Mapping
metode pengamatan perilaku untuk
mengetahui bagaiman manusia atau
sekelompok manusia memanfaat- kan,
menggunakan atau mengakomodasikan
perilakunya ke dalam suatu situasi
waktu dan tempat tertentu. Dengan kata
lain, perhatian dari teknik ini adalah
satu tempat yang spesifik baik kecil
maupun besar
Person Centered Mapping
metode
pengamatan
yang
menentukan pada pergerakan manusia
pada suatu periode waktu tertentu.
Dengan demikian teknik ini berkaitan
tidak hanya satu tempat atau lokasi akan
tetapi dengan beberapa tempat atau
lokasi.
Sedangkan pada data sekunder berbagai instansi yang
terkait dan informasi berupa tulisan, Koran, bukubuku dan studi literature.
ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang
terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya
(Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidangbidang linier yang saling bertemu yaitu, bidangbidang dasar/alas, bidang-bidang vertikal dan bidangbidang penutup (atap). Sedangkan public space yang
terbentuk di luar ruangan yang dibatasi oleh unsur
buatan disebut juga urban space.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban
space, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2
(dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the
street). Ruang kota, baik berupa lapangan maupun
koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen
rancang kota yang sangat penting dalam
pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial
(Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa
ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi.
Dalam pengertian yang paling umum, ruang publik
dapat berupa taman, tempat bermain, jalan, atau
ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan
sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat
dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun
kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat
suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari
atau kegiatan berkala. (Kusumawijaya, 2006).
Ruang publik kota sebagai ruang yang dapat diakses
oleh setiap orang dengan sendirinya harus
memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang
menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang
publik sebagai ruang bersama merupakan bagian
integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya
pengendalian
terhadap
kebebasan
tersebut.
Pengendalian dalam penggunaan ruang publik
berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang
lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif,
demokratis dan bermakna (Putnam, 1993) yang
mempunyai arti:
1.
2.
3. Tinjauan Pustaka
3.1. Ruang Publik
Secara umum public space dapat didefinisikan
dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah
terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan
orang- orang tak terbatas siapa saja, dan space atau
3.
Responsif dalam arti ruang publik harus
dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
dan kepentingan luas.
Demokratis berarti ruang publik seharusnya
dapat digunakan oleh masyarakat umum dari
berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan
budaya serta aksesibilitas bagi berbagai
kondisi fisik manusia.
Bermakna yang berarti ruang publik harus
memiliki tautan antara manusia, ruang,
dunia luas dan konteks sosial.
Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat
interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan
kualitas kapital sosial. Ruang-ruang publik tersebut
yang selama ini menjadi tempat warga melakukan
interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan
tanpa dipungut biaya. Tetapi kebanyakan ruang
publik kota diduduki secara intens atau menetap dan
selama tidak ada yang keberatan maka penguasaan
itu akan semakin kuat. Seperti menduduki pedestrian
sebagai tempat berdagang, sedangkan pedestrian
adalah ruang publik untuk tempat pejalan kaki.
3.2. Ruang Bersama/Communal Space
Menurut (Shirvani, 1985), definisi dari ruang
komunal adalah ruang tempat untuk berkumpul,
bersosialisasi antar penghuni, tempat bermain anak,
dan tempat untuk melakukan aktifitas-aktifitas publik
lainnya.
Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen
keras (hardscape) yang meliputi jalan, pedestrian,
taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan
perkotaan (Shirvani, 1985). Sedangkan Prinz (1980)
menyatakan ruang terbuka merupakan pembentuk
struktur dasar sketsa sebuah kota. Ruang terbuka
dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalanjalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman
kecil. Simpulan yang bisa ditarik dari beberapa
pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang
yang terbentuk, berupa softscape dan hardscape,
dengan kepemilikan privat maupun publik untuk
melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam
konteks perkotaan. Secara garis besar tipologi ruang
terbuka adalah park (taman), square (lapangan),
water front (area yang berbatasan air), street (jalan)
dan lost space.
Ruang komunal (berasal dari kata communal yang
berarti berhubungan dengan umum) merupakan ruang
yang menampung kegiatan sosial dan diguna- kan
untuk seluruh masyarakat atau komunitas (Wijayanti,
2000).
Menurut Lang (1987), ruang komunal memberi- kan
kesempatan kepada orang untuk bertemu, tetapi
untuk menjadikan hal itu diperlukan beberapa
katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang
membawa orang secara bersama-sama dalam sebuah
aktifitas, diskusi atau topik umum. Sebuah ruang
terbuka publik akan menarik orang jika terdapat
aktifitas dan orang dapat menyaksikannya.
Sedangkan ruang publik merupakan suatu lokasi
yang didesain (walau hanya minimal) dimana siapa
saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya,
interaksi diantara individu didalamnya tidak
terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para
pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari
norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang
publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat berfungsi
secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah
seperti etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan
estetika/keindahan (Jokomono, 2004)
Aspek etika mengandung pengertian tentang
bagaimana sebuah ruang publik dapat ‘diterima’
keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin
dimunculkan yang senantiasa melekat dengan
keberadaan ruang publik tersebut. Aspek fungsional
setidaknya
terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial merupakan
syarat utama menghidupkan ruang komunal, terdapat
orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial
juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan
yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang
untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika
ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal,
fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi.
Estetika formal merupakan estetika dimana obyek
keindahan memiliki jarak dengan subyek. Estetika
pengalaman dimana obyek dinikmati dengan
partisipasi atau interaksi dan estetika ekologi, obyek
keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan
adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap
ruang tersebut.
3.3. Pembentukan Ruang
manusia yang hanya bisa dirasakan secara kualitas
seiring manusia bergerak didalamnya. Namun ruang
juga hadir secara visual dalam wujud fisiknya melelui
cerapan indrawi manusia. Ruang terpersepsikan
berbeda oleh subyeknya, menurut Lefebvre (1991)
ruang dipahami sebagai formulasi triadik : conceived
space, ruang yang terkonsepsi dalam mental pikir
manusia, perceived space or spatial practice, ruang
yang tercerap indra manusia, lived space, ruang yang
tercipta dari hubungan sosial dalam kehidupan
manusia.
Conceived
space
memunculkan
bayangan
representasi pengamat ( planner, arsitek, scientist, dll)
secara sadar terhadap realitas yang akan dimunculkan
sebagai ruang yang mengidentifikasikan apa yang
dirasakan dan apa yang dipikirkan ( representations
of space). Produk arsitektur dalam kerangka
formulasi ini adalah pemahaman ideal tentang kota,
yaitu berupa gambar rencana penataan ruang kota
sebagai pencitraan dan orientasi ruang pada kota
yang secara fundamental mengkonstruksikan pola
pikir kita, bagaimana kita mengalami ruang di
perkotaan.
Perceived space adalah keterlibatan representasi yang
muncul dari elemen-elemen yang ditimbulkan oleh
ruang, yang memunculkan praktek keruangan (spatial
practice) sebagai hasil dari kegiatan dan perilaku
manusia dalam realita keseharian dan hubungannya
dengan realita kehidupan perkotaan, seperti
hubungannya dengan jaringan jalan ketempat tujuan.
Produk arsitektur dalam formulasi perceived space
merupakan produk material dari ruang yang bisa
dicerap oleh indera manusia melalui wujud lingkung
bangun.
Lived space adalah wujud ruang dari realitas itu
sendiri (spaces of representation), yaitu ruang yang
dihuni oleh penghuni dan pengguna lainnya melalui
jejaring hubungan sosial dalam kehidupan manusia.
Ruang yang dihasilkan dalam bentuk ruang-ruang
representational (spaces of representation) adalah
ruang yang berasal dari kebutuhan manusia
penghuninya atas dasar kebiasaan dalam praktik
keseharian. Dalam arti lain lived space-spaces of
representation merujuk pada ruang yang diproduksi
dan dihuni oleh mereka yang tidak ikut terlibat dalam
tindakan yang menghasilkan bangunan (perceived
space-spatial practice) maupun yang menggagas
ruang kota (conceived space-representation of
space).
IV. Gambaran Umum
Penelitian ini akan fokus menyoroti kawasan
kampung deret dan RW 01 Kel. Tanah Tinggi Kec.
Johar Baru Kotamadya Jakarta Pusat. RW 01 Kel.
Tanah Tinggi terdiri dari 14 RT dan merupakan salah
satu pintu gerbang bagi kelurahan Tanah Tinggi
karena berbatasan dengan kelurahan dan kecamatan
lain, dilihat dari letak geografisnya berada di bagian
tengah kota Jakarta dan termasuk kedalam
Kecamatan Johar Baru dengan luas wilayah ± 30.830
m² dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut
:
•
•
•
•
Utara : Jl. Letjend Soeprapto (Kel.
Bungur)
Timur : Jl. Tanah Tinggi IV (RW 03 Kel.
Tanah Tinggi)
Barat : Rel KA (Kel. Kramat)
Selatan : Jl. Tanah Tinggi I Gg 2 ( RW 02
Kel. Tanah Tinggi)
Dari hasil survei terdapat 3 jenis ruang publik yang
ada di Kampung Deret RW 01 RT 14 :
1.Ruang Publik I (Taman Bermain)
Ruang publik ini terdapat di ujung Kampung Deret
RT 14, berada di dekat portal, menjadi muka
kampung. Adanya permainan anak menjadi penanda
bahwa ruang publik ini diperuntukkan sebagai ang
bermain anak-anak bagi warga sekitar. Ruang
beralaskan perkerasan semen di keseluruhan
permukaan. Batas dengan selokan jalan dihiasi pot-
pot tanaman dari Dinas Pertamanan.
Gambar 4.1
Kondisi Fisik Ruang Publik I
Sumber:peneliti 2014
2.Ruang Publik II
Ruang seluas 3 x 4 m yang tertutup tembok setinggi
1.2 meter dengan pintu terkunci sekiranya
diperuntukkan sebagai ruang bersama, namun hingga
saat ini kondisi terkunci sehingga tidak dapat
dimanfaatkan warga. Kurangnya kemauan warga
untuk menggunakan ruang ini (dilihat dari intensitas
warga untuk menggunakan) menjadi pemicu
terkuncinya
tersebut.
Gambar 4.2
Kondisi Fisik Ruang Publik II
Sumber:peneliti 2014
ruang
3.Jalan
Jalan raya yang letaknya di depan perkampungan
dengan lebar ± 2 meter menjadi ruang yang intensitas
penggunaannya paling sering dibandingkan ruang
lainnya. Setiap harinya, berbagai kegiatan warga
pada jalanan seperti, bermain (anak-anak), berkumpul
(orang dewasa) khususnya ibu-ibu. Aktivitas pada
umumnya dilakukan mualai pukul 15.00 – 21.00.
Bahkan, jalanan digunakan sebagai tempat
beristirahat malam oleh warga khusunya anak muda
dan bapak-bapak.
Gambar 4.3
Kondisi Jalanan depan Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
Gambar 4.4
Pesebaran Ruang PublikKampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.Pola-Pola Ruang Komunal Di Kampung
deret Tanah Tinggi.
Ruang komunal sebagai ruang yang berfungsi untuk
wadah kegiatan interaksi sosial penghuni, baik yang
bersifat formal maupun informal merupakan ruangruang umum yang bersifat publik yang digunakan
bersama di luar unit hunian. Ruang-ruang tersebut
berupa koridor dan taman bermain. Pola rumah deret
Tanah Tinggi tersusun dalam bentuk blok bangunan
yang dihubungkan satu dengan lainnya membentuk
ruang bersama di bagian dalam sebagai pusat
orientasi. Pola hunian berbentuk deretan memanjang
satu sisi dengan penghubung selasar di sebelah depan
yang berfungsi sebagai teras maupun ruang bersama.
Parameter untuk mengidentifikasi pola-pola ruang
komunal di Rumah Deret Tanah Tinggi dibagi dalam
5 parameter, yaitu [i] sifat kegiatan (formal/
informal); [ii] frekwensi kegiatan (rutin/tidak rutin);
[iii] ruang yang digunakan (ruang yang direncanakan/
tidak direncanakan); [iv] skala kegiatan (intern RT/
antar RT); [v] jarak jangkauan (dekat/jauh).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sifat kegiatan
Sifat kegiatan ditentukan oleh berdasarkan
klasi- fikasi formal atau tidak formal,
kegiatan formal misalnya arisan, rapat RT,
sedangkan kegiatan formal misalnya
siskamling, duduk santai sambil mengobrol.
Frekwensi kegiatan
Frekwensi kegiatan dapat diidentifikasi
berdasarkan jam, harian, mingguan, bulanan.
Ruang yang digunakan
berupa ruang yang direncanakan sejak awal,
berbentuk ruang publik 2 (tanah kosong)
tengah rumah deret, ruang terbuka berupa
taman bermain. Ruang yang tidak
direncanakan sejak awal, berupa ruangruang yang digunakan sebagai ruang
bersama berupa jalan dan lorong jalan
Skala kegiatan
Skala kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu
skala intern RT/kelompok-kelompok kecil
dan antar RT.
Jarak jangkauan
Jarak jangkauan diukur berdasarkan jarak
antara unit hunian dengan ruang komunal,
bisa dekat, sedang, dan jauh.
Berdasarkan 5 parameter tersebut di atas, pola- pola
ruang komunal dibagi dalam 3 kelompok besar,
yaitu:
a. Pola dengan intensitas tinggi
Pola ruang komunal dengan intensitas tinggi lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang
tidak formal dengan frekwensi jam–harian, memanfaatkan ruang-ruang yang tidak direncanakan
seperti selasar, badan jalan dan, merupakan tempat
berinteraksi antar tetangga dengan jarak jangkauan
dari hunian relatif dekat.
b. Pola dengan intensitas sedang
Pola ruang komunal dengan intensitas sedang lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal
dan tidak formal dengan frekwensi mingguan,
memanfaatkan ruang-ruang yang direncanakan
seperti taman bermain dan tanah kosong dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif sedang.
c. Pola dengan intensitas rendah
Pola ruang komunal dengan intensitas rendah lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal
dengan frekwensi mingguan–bulanan, memanfaatkan
ruang-ruang yang direncanakan seperti ruang
pertemuan tertutup, parkir sepeda motor dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif jauh.
Berdasarkan identifikasi pola-pola ruang komu- nal
terdapat 3 bentuk pola, yaitu [i] pola dengan
intensitas tinggi; [ii] pola dengan intensitas sedang;
dan [iii] pola dengan intensitas rendah. Dari ketiga
pola ruang komunal tersebut, ternyata pola ruang
dengan intensitas tinggi lebih banyak dipengaruhi
oleh parameter-parameter: kegiatan yang tidak formal
dengan frekwensi jam – harian, memanfaatkan ruangruang yang tidak direncanakan seperti selasar toko
klontong , jalan, merupakan tempat berinteraksi antar
tetangga dengan jarak jangkauan dari hunian relatif
dekat.
Keberhasilan pola ruang komunal dengan intensitas
tinggi dalam mempertahankan eksistensinya lebih
banyak dipengaruhi oleh bagaimana penghuni
memanfaatkan ruang-ruang tersebut sebagai ruang
komunal. Kebutuhan ruang komunal dilakukan berdasarkan sebuah kesadaran bahwa interaksi sosial
merupakan bagian dari kebutuhan keseharian tanpa
harus dibatasi oleh sekat-sekat formal/tidak
formalnya kegiatan, bisa dilakukan kapan saja setiap
saat, dengan memanfaatkan ruang-ruang yang justru
tidak direncanakan dan relatif dekat dengan hunian.
Dengan kata lain aktifitas komunal lebih banyak
dilakukan secara spontan dan demokratis.
Intensitas
NO
A
B
C
D
E
POLA
PARAMETER
Tinggi
Sedang
Rendah
SIFAT KEGIATAN
Formal
√
Tidak Formal
√
√
FREKWENSI
KEGIATAN
Jam
√
Harian
√
Mingguan
√
Bulanan
√
SIFAT RUANG
Direncanakan
√
Tidak Direncanakan
√
√
SKALA
KEGIATAN
Intern RT/Kelompok
√
√
Antar RT
√
√
JARAK
JANGKAUAN
Dekat
√
Sedang
√
√
Jauh
√
Sumber:Penulis 2014
keberadaan konflik pada tanah kosong ini juga
menyebabkan tidak terpakanyainya lahan tersebut
untuk ruang bersama pada wilayah kampung deret ini
sehingga menyebabkan masyarakat bersepakat untuk
tidak memakai ruang tersebut.Hal tersebut juga
sesuai dengan pendapat lynch,1983 terjadi
penyesuaian ruang secara sendirinya yang
dipengaruhi oleh perilaku dan proses adaptasi
berdasarkan perilaku umum dan dapat diprediksi
melalui interaksi-interaksi yang terjadi dalam
hubungan sosial.
Gambar 5.1
Pola penggunaan Ruang Komunal pada
Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.1 Pembahasan
Berdasarkan pola-pola ruang komunal yang sudah
dipaparkan dalam uraian sebelumnya, kiranya dapat
memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya
meskipun penghuni sudah mengalami perubahan
seting fisik ruang dari yang sebelumnya berupa
rumah kumuh menjadi rumah formal, ternyata
penghuni berhasil melakukan upaya adaptasi
terutama dalam berinteraksi dengan tetangganya. Hal
tersebut selaras dengan konsep skema persepsi yang
dikembangkan oleh Bell (2001) bahwa sebuah
kondisi keterpaksaan yang diakibatkan oeh tekanan
ruang berdampak pada stres yang kemudian akan
mengarahkan kepada dua pilihan, yaitu berhasil atau
gagal. Dalam kasus di rumah deret Tanah tinggi,
penghuni berhasil mengatasi stres dengan cara
melakukan adaptasi dan langkah adjusment, dengan
demikian
keberhasilan
melakukan
adaptasi
merupakan langkah lanjutan yang mereka pilih.
Pola-pola ruang komunal yang berhasil dibangun
merupakan pola-pola dengan intensitas tinggi yang
dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak
formal dengan frekwensi jam–harian, memanfaatkan
ruang-ruang yang tidak direncanakan untuk ruang
komunal seperti badan jalan dan selasar toko
kelontong di depan rumah mereka , merupakan
tempat berinteraksi antar tetangga dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif dekat. Hal tersebut
selaras dengan pendapat Bonner (dalam gerungan,
1991) bahwa kebutuhan penghuni dari statu
lingkungan permukiman dalam hubungannya dengan
kegiatan interaksi sosial adalah terpenuhinya
kebutuhan untuk melakukan kontak sosial secara
individu maupun kelompok. Hal tersebut diperkuat
oleh Soekanto (1990), bahwa interaksi sosial adalah
kunci dari kehidupan sosial, karena tanpa adanya
interaksi tidak mungkin ada kehidupan bersama. Hal
tersebut dipertegas oleh Lang (1987) bahwa ruang
komunal memberikan kesempatan kepada orang
untuk bertemu, tetapi untuk menjadikan hal itu
diperlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin
secara individu yang membawa orang secara
bersama-sama dalam sebuah aktifitas, diskusi atau
topik umum. Sebuah ruang publik akan menarik
orang jika terdapat aktifitas dan orang dapat
menyaksikannya.
Selanjutnya berdasarkan observasi lapangan saya,
Ruang komunal adalah sebuah seting yang
dipengaruhi oleh tiga unsur selain unsur fisiknya
yaitu manusia sebagai pelaku, kegiatan dan pikiran
manusia. Berdasarkan pengertian tersebut maka
seting tidak dapat dipahami secara utuh tanpa
keterkaitan ketiga unsur-unsur tersebut. Bagi
Lefebvre, dalam bukunya “The Production of Space”,
ruang diproduksi secara sosial terhadap ruang yang
terbentuk oleh pikiran masyarakat. Istilah ‘produksi’
yang digunakan oleh Lefebvre berhubungan dengan
produksi sosial yang mencakup aspek keruangan.
Makna ‘produksi’ disini bukanlah mengenai produksi
dari sebuah barang atau jasa, namun merupakan
sebuah proses dari banyaknya keberagaman karya
dan bentuk. Dalam hal ini produksi merupakan
sebuah interaksi sosial yang terjadi, sehingga
menciptakan sebuah ruang, dengan subjek yang
melakukannya adalah manusia. Produksi ruang
bermula ketika manusia bersosialisasi dalam sebuah
ruang yang yang sama, kemudian interaksi tersebut
menciptakan zona ruang mereka sendiri, yang
kemudian zona tersbut dapat di gunakan dengan
orang lain.
Selain
itu
perubahan
persepsi
masyarakat
menciptakan sebuah ruang ambigu. Yang menurut
Carmona, 2008 tentang Ambiguous space yang
merupakan ruang yang dipergunakan untuk aktivitas
peralihan dari kegiatan utama warga yang biasanya
berbentuk seperti ruang bersantai,dll . sebenarnya
menurut saya ruang tersebut merupakan ruang yang
diciptakan antara ruang yang direncanakan dan ruang
yang dipakai oleh masyarakat sehingga ruang
tersebut menggunakan ruang sesuai dengan
kebudayaannnya.
Membangun ruang komunal pada hakekatnya
merupakan upaya penghuni agar ruang-ruang
komunal yang mereka butuhkan tetap dalam posisi
yang rigid dan solid sehingga tidak mudah dicerai
beraikan.
Mengingat
bahwa
keberhasilan
membangun ruang komunal merupakan tindakan
yang spontan dan demokratis sangat selaras dengan
pemikiran Ambrose (dalam Sudaryono, 2004) bahwa
penghuni mempunyai peran yang sentral sebagai
kekuatan yang menjadi pembentuk lingkungan
binaan, dengan kata lain kekuatan berada di tangan
penghuni untuk menciptakan ruang komunal.
tinggal di rumah deret, kegiatan berinteraksi sosial
masih dipengaruhi oleh kognisi mereka, yaitu
cenderung untuk memanfaatkan ruang-ruang terbuka
seperti depan toko klontong dan badan jalan dengan
jarak yang relatif dekat dari huniannya sebagai ruang
komunal. Oleh karena itu pola-pola ruang komunal
yang terbangun bersifat berkelompok dengan
intensitas penggunaan tinggi, sedang, dan rendah.
Ruang komunal dengan intensitas penggunaan tinggi
cen- derung dekat dengan huniannya.
Dalam
upaya
membangun
kampung
deret
berikutnya, di sarankan agar memperhatikan
kebutuhan ruang komunal karena penghuni
cenderung membutuhkan ruang komunal tanpa sekatsekat formalitas, dan nampaknya perilaku sosial
budaya penghuni masih terpaku dalam kognisinya
bahwa interaksi sosial bisa dilakukan dimanapun dan
kapanpun seperti ketika mereka tinggal di tempat
sebelumnya..
Daftar Pustaka
•
•
•
•
V. Kesimpulan
•
Ruang komunal yang berhasil dibangun oleh
penghuni kampung deret Tanah Tinggi justru
merupakan ruang-ruang yang tidak direncanakan
sebagai ruang komunal seperti depan toko klontong
dan badan jalan terutama yang dekat dengan hunian
dengan sifat kegiatan informal dan dengan frekwensi
yang sangat sering. Hal tersebut menunjukkan bahwa
proses adaptasi tidak selamanya menghasilkan
keinginan yang sama sesuai dengan perencanaannya.
•
Pola-pola ruang komunal yang terbangun di
Kampung deret Tanah Tinggi memiliki karakteristik
yaitu tercipta berdasarkan kondisi kognitif
penghuninya. Sebelum mereka tinggal di rumah
Deret , kognisi mereka sudah dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan saat tinggal di kampungkampung. Mereka memanfaatkan halaman rumah,
sebagai ruang komunal. Kemudian saat mereka
•
•
•
•
Bell,
P.A.
(2001).
Environmental
Psychology. Harcourt Brace College
Publisher, Forth Worth.
Budihardjo, E. (2006). Sejumlah Masalah
Permukiman Kota, Cetakan ke-5, PT.
Alumni, Bandung.
Carr dan Rekan (1992). Public Space.
Cambridge University Press. New York.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T. & Tiesdell,
S. 2003. Public Places Urban Spaces, The
Dimensions of Urban Design. Architectural
Press. University Press. Cambridge.
Gerungan, W.A. (1991). Psikologi Sosial.
Eresco, Bandung.
Muhadjir, N. (2000). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin,
Yogyakarta.
Lefebvre, Henry (2004). The Production of
Space, Blackwell Publishing, UK
Lynch, Kevin. (1981). Good City Form.
MIT Press, Massachusetts.
Lang, Jon (1987). Creating Architectural
Theory; The Role of the Behavioural
Sciences in Environmental Design. Van
Nostrand Reinhold Company. New York
Purwanto, E. (2010). Kecenderungan
Perubahan Bentuk serta Pola Tata Ruang
Rumah Standar di Rusun Pekunden dan
Bandarharjo Semarang, Laporan Akhir
Penelitian Hibah dibiayai oleh DIPA
Fakultas Teknik Undip.
•
•
Sudaryono, dkk. (2004). Laporan Akhir:
Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem
Mainstream Perencanaan Pembangunan
Lokal. Dalam: Riset Unggulan Terpadu
Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan
(RUKK III), (tidak dipublikasikan).
Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu
Pengantar. Rajawali Press, Jakarta.
Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat
Faris Rifqi Ihsan
Jurusan Kajian Pengembangan Perkotaan, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup besar, Untuk
mengatasi hal tersebut pemerintah DKI membangun kampung deret untuk mengatasi permukiman
kumuh. keterbatasan lahan membuat perubahan fungsi ruang publik menjadi ruang bersama. Pada
penelitian kualitatif ini ingin mengetahui pola penggunaan ruang komunal di Kampung deret tanah
tinggi tersebut. Penelitiaan yang menggunakan metode pengamatan prilaku (Behavioural mapping ) ini
menunjukan fungsi ruang-ruang yang tidak direncanakan sebagai ruang komunal seperti depan toko
klontong dan badan jalan . Hal ini menunjukan ruang komunal tercipta berdasarkan kondisi kognitif
penghuninya sebelum mereka tinggal di rumah deret.
Kata Kunci : pola pengunaan , ruang komunal, Kampung deret
1. Latar Belakang
Kota yang baik adalah kota yang dapat
mengakomodir kebutuhan penghuninya (Esariti,
2009). Berbagai macam kebutuhan tersebut
bervariasi bergantung pada karakter penghuni kota.
Kesesuaian antara kebutuhan dan karakter penghuni
kota kemudian akan mempengaruhi kenyamanan dan
kepuasan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Kenyamanan dan kepuasan merupakan tolak ukur
salah satu kriteria fit yang merupakan satu dari 5
kriteria pada Konsep Good City Form atau sebuah
bentuk kota yang baik. Konsep Good City Form
memiliki 5 elemen pembentuk yaitu Vitality, Sense,
Fit, Access, dan Control (Lynch, 1975).
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini
menunjukkan perkembangan yang cukup besar,
dimana hal tersebut merupakan salah satu solusi
untuk memenuhi tingginya tingkat kebutuhan para
penduduk untuk mendapatkan tempat tinggal sebagai
akibat dari meningkatnya jumlah penduduk Indonesia
yang tinggal diperkotaan, terutama yang tinggal di
kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Pesatnya
perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang
umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat
diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga
telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan
permukiman kumuh. Meningkatnya permukiman
kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada
peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir
di perkotaan, meningkatnya potensi kerawanan dan
konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan
masyarakat,
menurunnya
kualitas
pelayanan
prasarana dan sarana perrmukiman
Dalam rangka menangani permukiman kumuh di
kota, pemerintah DKI Jakarta menerapkan program
kampung deret . Konsep tersebut merupakan konsep
penataana lingkungan permukiman kumuh melalui
Konsolidasi Tanah Perkotaan. Pada konsep ini
diarahkan kembali pada pembangunan permukiman
murni
melalui
pembangunan
kembali
(redevelopment) bangunan rumah dan prasarana
lingkungannya di atas lahan yang telah ditempati
(lahan asal). Penanganan dilakukan dengan
konsolidasi lahan melalui penataan ulang dan
pembagian parsil kapling kembali setelah disisihkan
lahan untuk prasarana dan sarana (jalan, ruang
terbuka hijau, taman usaha dan bangunan koperasi).
Suatu hal terpenting dari bentuk penanganan yang
dilakukan adalah menggunakan pembangunan
perumahan sebagai entry point untuk pengembangan
kemampuan usaha ekonomi masyarakat, melalui
penyediaan ruang usaha pada bangunan rumah yang
baru , Dengan menggunakan konsep tersebut
pemerintah DKI berharap dapat membawa warga dari
yang biasa hidup di tempat yang kumuh dan tidak
layak ke tempat bersih, teratur, dan sehat.
Fenomena keterbatasan ruang bisa menjadi salah satu
hal yang membuat terjadinya fungsi ruang publik,
menjadi ruang bersama. Namun tidak hanya itu,
karena ruang bersama merupakan ruang yang
aktivitasnya bernilai kebersamaan. Ruang bersama
pada masa ini, bukan selalu telah ada sejak dulu atau
warisan tradisi. Ruang bersama dapat terjadi dengan
atribut atau setting tertentu, misalnya adanya naungan
matahari bisa menjadi tempat berkumpul bersama,
dimana bayang - bayang dapat menghadirkan
ruang(Pangarsa, 2009). Kedinamisan ruang bersama
merupakan solusi drikebutuhan ruang akan aktivitas
yangguyub. Adanya konflik ruang mungkin terjadi
apabila tidak adanya kebersamaan atau kesepakatan
bersama mengenai pemakaian ruang
Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya,
manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif
untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap
lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang
menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhannya.
Terjadinya ruang komunal di kampung deret tidak
lepas dari pemahaman interaksi manusia dengan
lingkungannya. Perilaku manusia merupakan pusat
perhatian dalam hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia menginderakan objek di
lingkungannya, hasil penginderaan diproses sehingga
timbul makna tentang objek tersebut yang kemudian
disebut dengan persepsi (Wirawan, 1992). Persepsi
merupakan proses untuk memperoleh informasi
tentang lingkungan seseorang (Lang, 1987). Persepsi
bisa berubah-ubah karena adanya proses fisiologik.
Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya,
manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk
mengadakan
reaksi-reaksi
tertentu
terhadap
lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang
menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhankebutuhannya. Proses hubungan dengan lingkungan
yang terjadi sejak individu berinteraksi melalui
penginderaan sampai dengan terjadinya reaksi,
digambarkan dalam skema persepsi oleh Bell (dalam
Wirawan, 1992) adalah sebagai berikut yang diambil
dari pola penggunaan ruang komunal pada rumah
susun untuk keluarga pra sejahtera. (lihat Gambar 1).
Hasil interaksi manusia dengan objek menghasilkan
persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi
berada dalam batas optimal, maka individu dikatakan
dalam keadaan homeo statis, yaitu keadaan yang
serba seimbang dan biasanya selalu ingin
dipertahankan oleh setiap individu karena menimbul-
kan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika
objek dipersepsikan sebagai di luar batas optimal,
maka individu akan mengalami stres, terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan coping untuk
menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
Penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya
disebut dengan adaptasi, sedangkan penyesuaian
lingkungan terhadap individu disebut adjusment.
Demikian pula terkait ruang komunal perkotaan yang
dilihat melalui pendekatan teori dalam Good City
Form dari Kevin Lynch mengenai kesesuaian (fit).
Lynch mengatakan bahwa kesesuaian ruang
mempengaruhi aktivitas yang berlangsung di
dalamnya, lebih lanjut lagi ia juga berpendapat
bahwa kecukupan jumlah merupakan aspek mendasar
dari fit (kesesuaian). Selain itu Lynch (1960) juga
menyebutkan akan terjadi penyesuaian ruang secara
sendirinya yang dipengaruhi oleh perilaku dan proses
adaptasi berdasarkan perilaku umum dan dapat
diprediksi melalui interaksi-interaksi yang terjadi
dalam hubungan sosial. Fleksibilitas pedagang
tersebut akan menciptakan tempat baru yang lebih
atraktif
supaya
dapat
mempertahankan
keberadaannya di wilayah tersebut
Pertanyaan muncul mengapa ruang komunal menjadi
sesuatu yang penting dalam kehidupan di kawasaan
permukiman di kampung deret? Dikatakan penting
karena penghuni membutuhkan sebuah tempat atau
ruang untuk dapat berinteraksi dengan tetangga.
Kegiatan interaksi sosial menjadi kebutuhan yang
sangat hakiki apalagi mereka sudah mempunyai
kebiasaan sebelum tinggal di Kampung deret.
Bagaimana mereka dapat mewujudkan keinginan
untuk dapat berinteraksi di kampung deret,
sedangkan di sisi lain tempat/ruang sebagai tempat
berinteraksi tidak ada lagi seperti halnya saat mereka
menghuni
rumah
tinggal
formal
dengan
memanfaatkan halaman, .Penelitian ini akan
mengungkap bagaimana penghuni membangun polapola ruang komunalnya di kampung deret yang sudah
dihuni puluhan tahun dengan pendekatan adaptasi
mereka.
1.1. Manfaat penelitian.
Berdasarkan pengungkapan pola-pola ruang komunal
akan didapatkan sebuah saran yaitu panduan desain
Kampung deret yang mampu mengadaptasi
kebutuhan penghuninya terutama kebutuhan ruang
komunal sebagai sarana berinteraksi sosial yang
berbeda dengan ketika mereka bertempat tinggal di
rumah horisontal di kampung-kampung Oleh karena
itu saya ingin menulis tentang pola penggunaan ruang
bersama pada kawasan kampung deret.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan merupakan
metode observasi dan survey. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
membuat gambaran/paparan dan menggali secara
cermat serta mendalam tentang fenomena sosial
terkait interaksi sosial yang menggunakan ruang
publik (fisik) tanpa melakukan hipotesis.
Teknik penggalian data dan informasi di lakukan
dengan teknik observasi berupa pemetaan perilaku
(behavioural mapping). Menurut Haryadi (1995),
behavioral mapping digambarkan sebagai cara untuk
mengungkap pola-pola ruang yang tercipta akibat
hubungan timbal balik antara manusia dengan ruang,
diwujudkan dalam bentuk sketsa dan diagram
mengenai suatu area dimana manusia melakukan
kegiatannya.
Tujuannya
adalah
untuk
menggambarkan
perilaku
dalam
peta,
mengidentifikasikan jenis frekuensi perilaku, serta
menunjukkan kaitan perilaku dengan wujud
perancangan yang spesifik. Terdapat dua cara untuk
melakukan behavioral mapping yaitu:
1.
2.
Place Centered Mapping
metode pengamatan perilaku untuk
mengetahui bagaiman manusia atau
sekelompok manusia memanfaat- kan,
menggunakan atau mengakomodasikan
perilakunya ke dalam suatu situasi
waktu dan tempat tertentu. Dengan kata
lain, perhatian dari teknik ini adalah
satu tempat yang spesifik baik kecil
maupun besar
Person Centered Mapping
metode
pengamatan
yang
menentukan pada pergerakan manusia
pada suatu periode waktu tertentu.
Dengan demikian teknik ini berkaitan
tidak hanya satu tempat atau lokasi akan
tetapi dengan beberapa tempat atau
lokasi.
Sedangkan pada data sekunder berbagai instansi yang
terkait dan informasi berupa tulisan, Koran, bukubuku dan studi literature.
ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang
terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya
(Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidangbidang linier yang saling bertemu yaitu, bidangbidang dasar/alas, bidang-bidang vertikal dan bidangbidang penutup (atap). Sedangkan public space yang
terbentuk di luar ruangan yang dibatasi oleh unsur
buatan disebut juga urban space.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban
space, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2
(dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the
street). Ruang kota, baik berupa lapangan maupun
koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen
rancang kota yang sangat penting dalam
pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial
(Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa
ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi.
Dalam pengertian yang paling umum, ruang publik
dapat berupa taman, tempat bermain, jalan, atau
ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan
sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat
dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun
kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat
suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari
atau kegiatan berkala. (Kusumawijaya, 2006).
Ruang publik kota sebagai ruang yang dapat diakses
oleh setiap orang dengan sendirinya harus
memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang
menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang
publik sebagai ruang bersama merupakan bagian
integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya
pengendalian
terhadap
kebebasan
tersebut.
Pengendalian dalam penggunaan ruang publik
berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang
lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif,
demokratis dan bermakna (Putnam, 1993) yang
mempunyai arti:
1.
2.
3. Tinjauan Pustaka
3.1. Ruang Publik
Secara umum public space dapat didefinisikan
dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah
terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan
orang- orang tak terbatas siapa saja, dan space atau
3.
Responsif dalam arti ruang publik harus
dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
dan kepentingan luas.
Demokratis berarti ruang publik seharusnya
dapat digunakan oleh masyarakat umum dari
berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan
budaya serta aksesibilitas bagi berbagai
kondisi fisik manusia.
Bermakna yang berarti ruang publik harus
memiliki tautan antara manusia, ruang,
dunia luas dan konteks sosial.
Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat
interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan
kualitas kapital sosial. Ruang-ruang publik tersebut
yang selama ini menjadi tempat warga melakukan
interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan
tanpa dipungut biaya. Tetapi kebanyakan ruang
publik kota diduduki secara intens atau menetap dan
selama tidak ada yang keberatan maka penguasaan
itu akan semakin kuat. Seperti menduduki pedestrian
sebagai tempat berdagang, sedangkan pedestrian
adalah ruang publik untuk tempat pejalan kaki.
3.2. Ruang Bersama/Communal Space
Menurut (Shirvani, 1985), definisi dari ruang
komunal adalah ruang tempat untuk berkumpul,
bersosialisasi antar penghuni, tempat bermain anak,
dan tempat untuk melakukan aktifitas-aktifitas publik
lainnya.
Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen
keras (hardscape) yang meliputi jalan, pedestrian,
taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan
perkotaan (Shirvani, 1985). Sedangkan Prinz (1980)
menyatakan ruang terbuka merupakan pembentuk
struktur dasar sketsa sebuah kota. Ruang terbuka
dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalanjalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman
kecil. Simpulan yang bisa ditarik dari beberapa
pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang
yang terbentuk, berupa softscape dan hardscape,
dengan kepemilikan privat maupun publik untuk
melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam
konteks perkotaan. Secara garis besar tipologi ruang
terbuka adalah park (taman), square (lapangan),
water front (area yang berbatasan air), street (jalan)
dan lost space.
Ruang komunal (berasal dari kata communal yang
berarti berhubungan dengan umum) merupakan ruang
yang menampung kegiatan sosial dan diguna- kan
untuk seluruh masyarakat atau komunitas (Wijayanti,
2000).
Menurut Lang (1987), ruang komunal memberi- kan
kesempatan kepada orang untuk bertemu, tetapi
untuk menjadikan hal itu diperlukan beberapa
katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang
membawa orang secara bersama-sama dalam sebuah
aktifitas, diskusi atau topik umum. Sebuah ruang
terbuka publik akan menarik orang jika terdapat
aktifitas dan orang dapat menyaksikannya.
Sedangkan ruang publik merupakan suatu lokasi
yang didesain (walau hanya minimal) dimana siapa
saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya,
interaksi diantara individu didalamnya tidak
terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para
pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari
norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang
publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat berfungsi
secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah
seperti etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan
estetika/keindahan (Jokomono, 2004)
Aspek etika mengandung pengertian tentang
bagaimana sebuah ruang publik dapat ‘diterima’
keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin
dimunculkan yang senantiasa melekat dengan
keberadaan ruang publik tersebut. Aspek fungsional
setidaknya
terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial merupakan
syarat utama menghidupkan ruang komunal, terdapat
orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial
juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan
yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang
untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika
ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal,
fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi.
Estetika formal merupakan estetika dimana obyek
keindahan memiliki jarak dengan subyek. Estetika
pengalaman dimana obyek dinikmati dengan
partisipasi atau interaksi dan estetika ekologi, obyek
keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan
adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap
ruang tersebut.
3.3. Pembentukan Ruang
manusia yang hanya bisa dirasakan secara kualitas
seiring manusia bergerak didalamnya. Namun ruang
juga hadir secara visual dalam wujud fisiknya melelui
cerapan indrawi manusia. Ruang terpersepsikan
berbeda oleh subyeknya, menurut Lefebvre (1991)
ruang dipahami sebagai formulasi triadik : conceived
space, ruang yang terkonsepsi dalam mental pikir
manusia, perceived space or spatial practice, ruang
yang tercerap indra manusia, lived space, ruang yang
tercipta dari hubungan sosial dalam kehidupan
manusia.
Conceived
space
memunculkan
bayangan
representasi pengamat ( planner, arsitek, scientist, dll)
secara sadar terhadap realitas yang akan dimunculkan
sebagai ruang yang mengidentifikasikan apa yang
dirasakan dan apa yang dipikirkan ( representations
of space). Produk arsitektur dalam kerangka
formulasi ini adalah pemahaman ideal tentang kota,
yaitu berupa gambar rencana penataan ruang kota
sebagai pencitraan dan orientasi ruang pada kota
yang secara fundamental mengkonstruksikan pola
pikir kita, bagaimana kita mengalami ruang di
perkotaan.
Perceived space adalah keterlibatan representasi yang
muncul dari elemen-elemen yang ditimbulkan oleh
ruang, yang memunculkan praktek keruangan (spatial
practice) sebagai hasil dari kegiatan dan perilaku
manusia dalam realita keseharian dan hubungannya
dengan realita kehidupan perkotaan, seperti
hubungannya dengan jaringan jalan ketempat tujuan.
Produk arsitektur dalam formulasi perceived space
merupakan produk material dari ruang yang bisa
dicerap oleh indera manusia melalui wujud lingkung
bangun.
Lived space adalah wujud ruang dari realitas itu
sendiri (spaces of representation), yaitu ruang yang
dihuni oleh penghuni dan pengguna lainnya melalui
jejaring hubungan sosial dalam kehidupan manusia.
Ruang yang dihasilkan dalam bentuk ruang-ruang
representational (spaces of representation) adalah
ruang yang berasal dari kebutuhan manusia
penghuninya atas dasar kebiasaan dalam praktik
keseharian. Dalam arti lain lived space-spaces of
representation merujuk pada ruang yang diproduksi
dan dihuni oleh mereka yang tidak ikut terlibat dalam
tindakan yang menghasilkan bangunan (perceived
space-spatial practice) maupun yang menggagas
ruang kota (conceived space-representation of
space).
IV. Gambaran Umum
Penelitian ini akan fokus menyoroti kawasan
kampung deret dan RW 01 Kel. Tanah Tinggi Kec.
Johar Baru Kotamadya Jakarta Pusat. RW 01 Kel.
Tanah Tinggi terdiri dari 14 RT dan merupakan salah
satu pintu gerbang bagi kelurahan Tanah Tinggi
karena berbatasan dengan kelurahan dan kecamatan
lain, dilihat dari letak geografisnya berada di bagian
tengah kota Jakarta dan termasuk kedalam
Kecamatan Johar Baru dengan luas wilayah ± 30.830
m² dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut
:
•
•
•
•
Utara : Jl. Letjend Soeprapto (Kel.
Bungur)
Timur : Jl. Tanah Tinggi IV (RW 03 Kel.
Tanah Tinggi)
Barat : Rel KA (Kel. Kramat)
Selatan : Jl. Tanah Tinggi I Gg 2 ( RW 02
Kel. Tanah Tinggi)
Dari hasil survei terdapat 3 jenis ruang publik yang
ada di Kampung Deret RW 01 RT 14 :
1.Ruang Publik I (Taman Bermain)
Ruang publik ini terdapat di ujung Kampung Deret
RT 14, berada di dekat portal, menjadi muka
kampung. Adanya permainan anak menjadi penanda
bahwa ruang publik ini diperuntukkan sebagai ang
bermain anak-anak bagi warga sekitar. Ruang
beralaskan perkerasan semen di keseluruhan
permukaan. Batas dengan selokan jalan dihiasi pot-
pot tanaman dari Dinas Pertamanan.
Gambar 4.1
Kondisi Fisik Ruang Publik I
Sumber:peneliti 2014
2.Ruang Publik II
Ruang seluas 3 x 4 m yang tertutup tembok setinggi
1.2 meter dengan pintu terkunci sekiranya
diperuntukkan sebagai ruang bersama, namun hingga
saat ini kondisi terkunci sehingga tidak dapat
dimanfaatkan warga. Kurangnya kemauan warga
untuk menggunakan ruang ini (dilihat dari intensitas
warga untuk menggunakan) menjadi pemicu
terkuncinya
tersebut.
Gambar 4.2
Kondisi Fisik Ruang Publik II
Sumber:peneliti 2014
ruang
3.Jalan
Jalan raya yang letaknya di depan perkampungan
dengan lebar ± 2 meter menjadi ruang yang intensitas
penggunaannya paling sering dibandingkan ruang
lainnya. Setiap harinya, berbagai kegiatan warga
pada jalanan seperti, bermain (anak-anak), berkumpul
(orang dewasa) khususnya ibu-ibu. Aktivitas pada
umumnya dilakukan mualai pukul 15.00 – 21.00.
Bahkan, jalanan digunakan sebagai tempat
beristirahat malam oleh warga khusunya anak muda
dan bapak-bapak.
Gambar 4.3
Kondisi Jalanan depan Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
Gambar 4.4
Pesebaran Ruang PublikKampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.Pola-Pola Ruang Komunal Di Kampung
deret Tanah Tinggi.
Ruang komunal sebagai ruang yang berfungsi untuk
wadah kegiatan interaksi sosial penghuni, baik yang
bersifat formal maupun informal merupakan ruangruang umum yang bersifat publik yang digunakan
bersama di luar unit hunian. Ruang-ruang tersebut
berupa koridor dan taman bermain. Pola rumah deret
Tanah Tinggi tersusun dalam bentuk blok bangunan
yang dihubungkan satu dengan lainnya membentuk
ruang bersama di bagian dalam sebagai pusat
orientasi. Pola hunian berbentuk deretan memanjang
satu sisi dengan penghubung selasar di sebelah depan
yang berfungsi sebagai teras maupun ruang bersama.
Parameter untuk mengidentifikasi pola-pola ruang
komunal di Rumah Deret Tanah Tinggi dibagi dalam
5 parameter, yaitu [i] sifat kegiatan (formal/
informal); [ii] frekwensi kegiatan (rutin/tidak rutin);
[iii] ruang yang digunakan (ruang yang direncanakan/
tidak direncanakan); [iv] skala kegiatan (intern RT/
antar RT); [v] jarak jangkauan (dekat/jauh).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sifat kegiatan
Sifat kegiatan ditentukan oleh berdasarkan
klasi- fikasi formal atau tidak formal,
kegiatan formal misalnya arisan, rapat RT,
sedangkan kegiatan formal misalnya
siskamling, duduk santai sambil mengobrol.
Frekwensi kegiatan
Frekwensi kegiatan dapat diidentifikasi
berdasarkan jam, harian, mingguan, bulanan.
Ruang yang digunakan
berupa ruang yang direncanakan sejak awal,
berbentuk ruang publik 2 (tanah kosong)
tengah rumah deret, ruang terbuka berupa
taman bermain. Ruang yang tidak
direncanakan sejak awal, berupa ruangruang yang digunakan sebagai ruang
bersama berupa jalan dan lorong jalan
Skala kegiatan
Skala kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu
skala intern RT/kelompok-kelompok kecil
dan antar RT.
Jarak jangkauan
Jarak jangkauan diukur berdasarkan jarak
antara unit hunian dengan ruang komunal,
bisa dekat, sedang, dan jauh.
Berdasarkan 5 parameter tersebut di atas, pola- pola
ruang komunal dibagi dalam 3 kelompok besar,
yaitu:
a. Pola dengan intensitas tinggi
Pola ruang komunal dengan intensitas tinggi lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang
tidak formal dengan frekwensi jam–harian, memanfaatkan ruang-ruang yang tidak direncanakan
seperti selasar, badan jalan dan, merupakan tempat
berinteraksi antar tetangga dengan jarak jangkauan
dari hunian relatif dekat.
b. Pola dengan intensitas sedang
Pola ruang komunal dengan intensitas sedang lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal
dan tidak formal dengan frekwensi mingguan,
memanfaatkan ruang-ruang yang direncanakan
seperti taman bermain dan tanah kosong dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif sedang.
c. Pola dengan intensitas rendah
Pola ruang komunal dengan intensitas rendah lebih
banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal
dengan frekwensi mingguan–bulanan, memanfaatkan
ruang-ruang yang direncanakan seperti ruang
pertemuan tertutup, parkir sepeda motor dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif jauh.
Berdasarkan identifikasi pola-pola ruang komu- nal
terdapat 3 bentuk pola, yaitu [i] pola dengan
intensitas tinggi; [ii] pola dengan intensitas sedang;
dan [iii] pola dengan intensitas rendah. Dari ketiga
pola ruang komunal tersebut, ternyata pola ruang
dengan intensitas tinggi lebih banyak dipengaruhi
oleh parameter-parameter: kegiatan yang tidak formal
dengan frekwensi jam – harian, memanfaatkan ruangruang yang tidak direncanakan seperti selasar toko
klontong , jalan, merupakan tempat berinteraksi antar
tetangga dengan jarak jangkauan dari hunian relatif
dekat.
Keberhasilan pola ruang komunal dengan intensitas
tinggi dalam mempertahankan eksistensinya lebih
banyak dipengaruhi oleh bagaimana penghuni
memanfaatkan ruang-ruang tersebut sebagai ruang
komunal. Kebutuhan ruang komunal dilakukan berdasarkan sebuah kesadaran bahwa interaksi sosial
merupakan bagian dari kebutuhan keseharian tanpa
harus dibatasi oleh sekat-sekat formal/tidak
formalnya kegiatan, bisa dilakukan kapan saja setiap
saat, dengan memanfaatkan ruang-ruang yang justru
tidak direncanakan dan relatif dekat dengan hunian.
Dengan kata lain aktifitas komunal lebih banyak
dilakukan secara spontan dan demokratis.
Intensitas
NO
A
B
C
D
E
POLA
PARAMETER
Tinggi
Sedang
Rendah
SIFAT KEGIATAN
Formal
√
Tidak Formal
√
√
FREKWENSI
KEGIATAN
Jam
√
Harian
√
Mingguan
√
Bulanan
√
SIFAT RUANG
Direncanakan
√
Tidak Direncanakan
√
√
SKALA
KEGIATAN
Intern RT/Kelompok
√
√
Antar RT
√
√
JARAK
JANGKAUAN
Dekat
√
Sedang
√
√
Jauh
√
Sumber:Penulis 2014
keberadaan konflik pada tanah kosong ini juga
menyebabkan tidak terpakanyainya lahan tersebut
untuk ruang bersama pada wilayah kampung deret ini
sehingga menyebabkan masyarakat bersepakat untuk
tidak memakai ruang tersebut.Hal tersebut juga
sesuai dengan pendapat lynch,1983 terjadi
penyesuaian ruang secara sendirinya yang
dipengaruhi oleh perilaku dan proses adaptasi
berdasarkan perilaku umum dan dapat diprediksi
melalui interaksi-interaksi yang terjadi dalam
hubungan sosial.
Gambar 5.1
Pola penggunaan Ruang Komunal pada
Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.1 Pembahasan
Berdasarkan pola-pola ruang komunal yang sudah
dipaparkan dalam uraian sebelumnya, kiranya dapat
memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya
meskipun penghuni sudah mengalami perubahan
seting fisik ruang dari yang sebelumnya berupa
rumah kumuh menjadi rumah formal, ternyata
penghuni berhasil melakukan upaya adaptasi
terutama dalam berinteraksi dengan tetangganya. Hal
tersebut selaras dengan konsep skema persepsi yang
dikembangkan oleh Bell (2001) bahwa sebuah
kondisi keterpaksaan yang diakibatkan oeh tekanan
ruang berdampak pada stres yang kemudian akan
mengarahkan kepada dua pilihan, yaitu berhasil atau
gagal. Dalam kasus di rumah deret Tanah tinggi,
penghuni berhasil mengatasi stres dengan cara
melakukan adaptasi dan langkah adjusment, dengan
demikian
keberhasilan
melakukan
adaptasi
merupakan langkah lanjutan yang mereka pilih.
Pola-pola ruang komunal yang berhasil dibangun
merupakan pola-pola dengan intensitas tinggi yang
dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak
formal dengan frekwensi jam–harian, memanfaatkan
ruang-ruang yang tidak direncanakan untuk ruang
komunal seperti badan jalan dan selasar toko
kelontong di depan rumah mereka , merupakan
tempat berinteraksi antar tetangga dengan jarak
jangkauan dari hunian relatif dekat. Hal tersebut
selaras dengan pendapat Bonner (dalam gerungan,
1991) bahwa kebutuhan penghuni dari statu
lingkungan permukiman dalam hubungannya dengan
kegiatan interaksi sosial adalah terpenuhinya
kebutuhan untuk melakukan kontak sosial secara
individu maupun kelompok. Hal tersebut diperkuat
oleh Soekanto (1990), bahwa interaksi sosial adalah
kunci dari kehidupan sosial, karena tanpa adanya
interaksi tidak mungkin ada kehidupan bersama. Hal
tersebut dipertegas oleh Lang (1987) bahwa ruang
komunal memberikan kesempatan kepada orang
untuk bertemu, tetapi untuk menjadikan hal itu
diperlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin
secara individu yang membawa orang secara
bersama-sama dalam sebuah aktifitas, diskusi atau
topik umum. Sebuah ruang publik akan menarik
orang jika terdapat aktifitas dan orang dapat
menyaksikannya.
Selanjutnya berdasarkan observasi lapangan saya,
Ruang komunal adalah sebuah seting yang
dipengaruhi oleh tiga unsur selain unsur fisiknya
yaitu manusia sebagai pelaku, kegiatan dan pikiran
manusia. Berdasarkan pengertian tersebut maka
seting tidak dapat dipahami secara utuh tanpa
keterkaitan ketiga unsur-unsur tersebut. Bagi
Lefebvre, dalam bukunya “The Production of Space”,
ruang diproduksi secara sosial terhadap ruang yang
terbentuk oleh pikiran masyarakat. Istilah ‘produksi’
yang digunakan oleh Lefebvre berhubungan dengan
produksi sosial yang mencakup aspek keruangan.
Makna ‘produksi’ disini bukanlah mengenai produksi
dari sebuah barang atau jasa, namun merupakan
sebuah proses dari banyaknya keberagaman karya
dan bentuk. Dalam hal ini produksi merupakan
sebuah interaksi sosial yang terjadi, sehingga
menciptakan sebuah ruang, dengan subjek yang
melakukannya adalah manusia. Produksi ruang
bermula ketika manusia bersosialisasi dalam sebuah
ruang yang yang sama, kemudian interaksi tersebut
menciptakan zona ruang mereka sendiri, yang
kemudian zona tersbut dapat di gunakan dengan
orang lain.
Selain
itu
perubahan
persepsi
masyarakat
menciptakan sebuah ruang ambigu. Yang menurut
Carmona, 2008 tentang Ambiguous space yang
merupakan ruang yang dipergunakan untuk aktivitas
peralihan dari kegiatan utama warga yang biasanya
berbentuk seperti ruang bersantai,dll . sebenarnya
menurut saya ruang tersebut merupakan ruang yang
diciptakan antara ruang yang direncanakan dan ruang
yang dipakai oleh masyarakat sehingga ruang
tersebut menggunakan ruang sesuai dengan
kebudayaannnya.
Membangun ruang komunal pada hakekatnya
merupakan upaya penghuni agar ruang-ruang
komunal yang mereka butuhkan tetap dalam posisi
yang rigid dan solid sehingga tidak mudah dicerai
beraikan.
Mengingat
bahwa
keberhasilan
membangun ruang komunal merupakan tindakan
yang spontan dan demokratis sangat selaras dengan
pemikiran Ambrose (dalam Sudaryono, 2004) bahwa
penghuni mempunyai peran yang sentral sebagai
kekuatan yang menjadi pembentuk lingkungan
binaan, dengan kata lain kekuatan berada di tangan
penghuni untuk menciptakan ruang komunal.
tinggal di rumah deret, kegiatan berinteraksi sosial
masih dipengaruhi oleh kognisi mereka, yaitu
cenderung untuk memanfaatkan ruang-ruang terbuka
seperti depan toko klontong dan badan jalan dengan
jarak yang relatif dekat dari huniannya sebagai ruang
komunal. Oleh karena itu pola-pola ruang komunal
yang terbangun bersifat berkelompok dengan
intensitas penggunaan tinggi, sedang, dan rendah.
Ruang komunal dengan intensitas penggunaan tinggi
cen- derung dekat dengan huniannya.
Dalam
upaya
membangun
kampung
deret
berikutnya, di sarankan agar memperhatikan
kebutuhan ruang komunal karena penghuni
cenderung membutuhkan ruang komunal tanpa sekatsekat formalitas, dan nampaknya perilaku sosial
budaya penghuni masih terpaku dalam kognisinya
bahwa interaksi sosial bisa dilakukan dimanapun dan
kapanpun seperti ketika mereka tinggal di tempat
sebelumnya..
Daftar Pustaka
•
•
•
•
V. Kesimpulan
•
Ruang komunal yang berhasil dibangun oleh
penghuni kampung deret Tanah Tinggi justru
merupakan ruang-ruang yang tidak direncanakan
sebagai ruang komunal seperti depan toko klontong
dan badan jalan terutama yang dekat dengan hunian
dengan sifat kegiatan informal dan dengan frekwensi
yang sangat sering. Hal tersebut menunjukkan bahwa
proses adaptasi tidak selamanya menghasilkan
keinginan yang sama sesuai dengan perencanaannya.
•
Pola-pola ruang komunal yang terbangun di
Kampung deret Tanah Tinggi memiliki karakteristik
yaitu tercipta berdasarkan kondisi kognitif
penghuninya. Sebelum mereka tinggal di rumah
Deret , kognisi mereka sudah dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan saat tinggal di kampungkampung. Mereka memanfaatkan halaman rumah,
sebagai ruang komunal. Kemudian saat mereka
•
•
•
•
Bell,
P.A.
(2001).
Environmental
Psychology. Harcourt Brace College
Publisher, Forth Worth.
Budihardjo, E. (2006). Sejumlah Masalah
Permukiman Kota, Cetakan ke-5, PT.
Alumni, Bandung.
Carr dan Rekan (1992). Public Space.
Cambridge University Press. New York.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T. & Tiesdell,
S. 2003. Public Places Urban Spaces, The
Dimensions of Urban Design. Architectural
Press. University Press. Cambridge.
Gerungan, W.A. (1991). Psikologi Sosial.
Eresco, Bandung.
Muhadjir, N. (2000). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin,
Yogyakarta.
Lefebvre, Henry (2004). The Production of
Space, Blackwell Publishing, UK
Lynch, Kevin. (1981). Good City Form.
MIT Press, Massachusetts.
Lang, Jon (1987). Creating Architectural
Theory; The Role of the Behavioural
Sciences in Environmental Design. Van
Nostrand Reinhold Company. New York
Purwanto, E. (2010). Kecenderungan
Perubahan Bentuk serta Pola Tata Ruang
Rumah Standar di Rusun Pekunden dan
Bandarharjo Semarang, Laporan Akhir
Penelitian Hibah dibiayai oleh DIPA
Fakultas Teknik Undip.
•
•
Sudaryono, dkk. (2004). Laporan Akhir:
Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem
Mainstream Perencanaan Pembangunan
Lokal. Dalam: Riset Unggulan Terpadu
Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan
(RUKK III), (tidak dipublikasikan).
Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu
Pengantar. Rajawali Press, Jakarta.