Sektor Pertanian Perlu Upaya Akselerasi
Sektor Pertanian: Perlu Upaya Akselerasi Pertumbuhan
Oleh:
Hidayat Amir
Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan
Email: hamir@fiskal.depkeu.go.id
Pendahuluan
Pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir telah berhasil mengubah
struktur perekonomian Indonesia dari perekonomian yang berbasis kepada sektor pertanian
menjadi perekonomian yang berbasis pada sektor industri. Hal ini terlihat jelas dalam data
kontribusi sektoral utama sebagaimana tergambar dalam Grafik 1. Kontribusi sektor
pertanian terhadap perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada tahun 1962
menjadi hanya 14,7% pada tahun 2011, bahkan sempat turun pada level 13% pada tahun
2005 dan 2006.
Pada periode yang sama, sektor industri (manufaktur dan nonmanufaktur) mengalami
peningkatan yang cukup berarti, dari sebesar 11,9% menjadi 47,2% dari total PDB.
Sementara kontribusi sektor jasa berfluktuatif pada level sekitar 30-40%. Kontribusi sektor
industri manufaktur tumbuh dari level di bawah 10% pada 1962 menjadi 29,1% pada 2001,
namun mengalami kecenderungan stagnasi pada periode selanjutnya. Sektor industri
nonmanufaktur terdiri atas pertambangan (termasuk migas), konstruksi, listrik, gas dan air
bersih. Migas menjadi pemeran utama dalam komponen pertumbuhan ekonomi dalam
rentang tahun 1970-an dan 1980-an (Amir, 2014).
Grafik 1. Transformasi Perekonomian Sektoral – Tenaga Kerja
(% tenaga kerja)
Kinerja Sektoral (value added, % PDB)
60
60
50
50
40
40
35.9
29,1
30
30
24,3
20
20
14,7
10
10
Pertanian
Jasa-jasa
Industri
Manufaktur
0
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
2011
2008
2005
2002
1999
1996
1993
1990
1987
1984
1981
1978
1975
1972
1969
1966
1963
1960
0
Sumber: Amir (2014)
Keterangan: Industri non-manufaktur: pertambangan (termasuk migas), kontruksi, listrik,
gas, dan air
Namun demikian, tatkala kontribusi output sektoralnya telah menurun tajam, bukan
berarti bahwa sektor pertanian sudah tidak menjadi faktor penting dalam perekonomian
Indonesia. Data tahun 2011 (World Bank, 2013) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih
menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi yaitu sebesar 35,9% dari total 151,9 juta angkatan
kerja. Sementara sektor industri hanya menyerap 20,6%. Sisanya sebesar 43,5% diserap
oleh sektor jasa. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi permasalahan
ketimpangan struktural sebagai akibat proses industrialisasi yang ditempuh selama empat
dekade terakhir (mulai awal tahun 1970-an). Perubahan struktural dalam output
perekonomian dari sektor agraris ke sektor industri tidak diikuti oleh perubahan struktur
ketenagakerjaan.
Satu lagi yang perlu dicatat ialah terlihatnya fenomena deindustrialisasi dimana sektor
manufaktur mengalami penurunan kontribusi dari sebesar 29,1% di tahun 2001 menjadi
hanya sebesar 24,3%. Hal ini menjadi indikator serius adanya hambatan yang besar dalam
proses industrialisasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Felipe (2013) mengkonfirmasi kondisi transformasi
perekonomian Indonesia tersebut diatas. Felipe (2013) mengklasifikasikan negara-negara di
dunia yang telah berhasil melakukan industrialisasi dan yang belum dalam dua kategori,
yaitu dilihat dari sisi output dan ketenagakerjaan. Hasil klasifikasi disusun dalam suatu
matriks, Indonesia masuk kepada kategori negara low middle-income countries yang telah
berhasil melakukan industrialisasi dari sisi output tetapi belum berhasil dari sisi
ketenagakerjaan. Sekali lagi, peran output sektor pertanian sudah menurun drastis tetapi
sektor ini masih ‘dihuni’ oleh rumah tangga atau tenaga kerja yang cukup banyak.
Apabila dilihat lebih detail perbandingan tingkat pertumbuhan sektoral antartahun
selama periode 2001-2012 terlihat sebagaimana dalam Tabel 1. Angka yang dicetak tebal
menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan PDB. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor yang memiliki
tingkat pertumbuhan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2012) dengan tingkat
pertumbuhan di atas 10%. Selanjutnya diikuti oleh: Sektor Perdagangan, Sektor Hotel dan
Restoran, Sektor Konstruksi dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Dari Sektor Industri
Pengolahan, Subsektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi. Sektor industri ini merupakan sektor yang erat kaitannya
dengan Sektor Pertanian.
Dalam periode ini, sektor Pertanian secara umum memiliki tingkat pertumbuhan yang
relatif rendah, yaitu hanya di kisaran 2,8% (2004) dan 4,8% (2008). Ketika dilihat lebih detail
terhadap lima subsektor pertanian maka didapati bahwa subsektor Perikanan memiliki
tingkat pertumbuhan yang lebih baik, bahkan dalam dua tahun terakhir tingkat
pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PDB. Subsektor
Tanaman Perkebunan dan Subsektor Peternakan dan Hasil-hasilnya juga memiliki potensi
pertumbuhan yang relatif tinggi walaupun masih di bawah tingkat pertumbuhan PDB. Pada
tahun 2001 dan 2002, kedua subsektor ini mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi (lebih
tinggi dari pertumbuhan PDB), namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan
tingkat pertumbuhan yang signifikan. Dalam empat tahun terakhir kedua subsektor ini
memiliki tendensi peningkatan tingkat pertumbuhan. Sementara itu, subsektor kehutanan
memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif rendah bahkan mendekati nol (2008) atau bahkan
negatif (2005-2007). Hal ini mungkin terkait dengan kebijakan untuk konversi hutan,
sehingga eksploitasi dari subsektor kehutanan menjadi melambat.
Namun yang
disayangkan ialah tingkat pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan yang dalam
tiga tahun terakhir hanya di kisaran 2%. Padahal pada tahun 2008 dan 2009 mampu tumbuh
tinggi (lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB) yaitu masing-masing di angka 6,1% dan
5,0%. Padahal subsektor ini merupakan bagian sektor pertanian yang terpenting dalam
pencapaian target ketahanan pangan nasional.
Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Sektoral (%)
Lapangan Usaha /
Sektor
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
3,3
3,4
3,8
2,8
2,7
3,4
3,5
4,8
4,0
3,0
3,4
4,0
a. Tanaman Bahan
Makanan
0,2
2,1
3,6
2,9
2,6
3,0
3,4
6,1
5,0
1,6
1,8
2,9
b. Tanaman
Perkebunan
7,8
5,8
4,4
0,4
2,5
3,8
4,6
3,7
1,7
3,5
4,5
5,1
c. Peternakan &
hasil2nya
9,5
6,5
4,1
3,3
2,1
3,4
2,4
3,5
3,5
4,3
4,8
4,8
d. Kehutanan
2,4
2,3
0,5
1,3 -1,5 -2,9 -0,8
0,0
1,8
2,4
0,8
0,2
e. Perikanan
4,9
3,4
5,0
5,6
5,9
6,9
5,4
5,1
4,2
6,0
7,0
6,5
2. Pertambangan
0,3
1,0 -1,4 -4,5
3,2
1,7
1,9
0,7
4,5
3,9
1,4
1,5
3. Industri
Pengolahan
3,3
5,3
5,3
6,4
4,6
4,6
4,7
3,7
2,2
4,7
6,1
5,7
4. Listrik, Gas dan
Air Bersih
7,9
8,9
4,9
5,3
6,3
5,8 10,3 10,9 14,3
5,3
4,8
6,4
5. Konstruksi
4,6
5,5
6,1
7,5
7,5
8,3
8,5
7,6
7,1
7,0
6,6
7,5
6. Perdagangan,
Hotel dan Rest
3,9
4,3
5,4
5,7
8,3
6,4
8,9
6,9
1,3
8,7
9,2
8,1
7. Pengangkutan
dan Komunikasi
8,1
8,4 12,2 13,4 12,8 14,2 14,0 16,6 15,8 13,4 10,7 10,0
8. Keu, Real Estat
dan Jasa Perus
6,8
6,7
6,7
7,7
6,7
5,5
8,0
8,2
5,2
5,7
6,8
7,1
9. Jasa-jasa
3,2
3,8
4,4
5,4
5,2
6,2
6,4
6,2
6,4
6,0
6,7
5,2
PDB
3,6
4,5
4,8
5,0
5,7
5,5
6,3
6,0
4,6
6,2
6,5
6,2
PDB Tanpa Migas
4,9
5,2
5,7
6,0
6,6
6,1
6,9
6,5
5,0
6,6
7,0
6,8
1. Pertanian
Sumber: BPS.
Data yang terdapat dalam Tabel 1 tersebut memang hanya menggambarkan lebih
lanjut transformasi struktural yang telah terjadi dalam perekonomian Indonesia. Data ini juga
hanya menyajikan secara global perubahan tingkat pertumbuhan antarsektor/subsektor.
Belum mampu mendeskripsikan tentang apa yang terjadi, yang menjadi penyebab atas
dinamika tingkat pertumbuhan yang ada. Hal ini tentu membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat dicatat dari uraian tersebut di atas, yaitu:
(1) sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi bagi perekonomian Indonesia sebagai
akibat proses industrialisasi selama empat dekade terakhir; (2) proses transformasi
struktural tidak diikuti secara selaras oleh transformasi ketenagakerjaan, tenaga kerja di
sektor pertanian masih cukup tinggi ketika kontribusi ekonominya sudah sangat rendah; (3)
sektor pertanian tetap penting utamanya dalam konteks ketahanan pangan, namun proses
industrialisasi sepertinya tidak mengait dengan sektor pertanian ini. Hal ini terlihat dari
tingkat pertumbuhan subsektor industri makanan, minuman dan tembakau yang relatif tinggi
tetapi subsektor tanaman bahan makanan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat
rendah.
Sektor Pertanian: Peran Penting dan Problema Pembangunan
Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh Syafa'at (2005) menerangkan bahwa sektor
pertanian memberikan peranan yang penting dalam perekonomian setidaknya dalam
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan dimana
sebagian besar penduduk pedesaan bermata-pencaharian utama sebagai petani;
2.
Sebagai penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk yang
jumlahnya semakin bertambah;
3.
Sebagai pemacu proses industrialisasi, utamanya bagi industrialisasi yang memiliki
keterkaitan yang cukup besar dengan sektor pertanian;
4.
Sebagai penyumbang devisa negara, karena sektor pertanian menghasilkan produkproduk pertanian yang tradable dan berorientasi pada pasar ekspor; dan
5.
Sebagai pasar bagi produk dan jasa sektor nonpertanian.
Peran penting dalam bidang ketahanan pangan sebagaimana diindikasikan tersebut di
atas, kini menjadi topik hangat dalam pembangunan perekonomian dunia. Kekhawatiran
dunia akan terjadinya defisit pangan yang diakibatkan oleh merosotnya produktivitas di
sektor pertanian pangan dan meningkatnya jumlah penduduk dunia menjadi fokus perhatian
pembangunan dunia. Kekhawatiran ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan
harga pangan dunia pada dekade ini. Harga riil rata-rata pada tahun 2009 tercatat 17% lebih
tinggi dibanding harga pada tahun 2006. Diproyeksikan harga pangan akan tetap tinggi pada
periode yang akan datang. Kedua, tingginya harga pangan akan berakibat buruk kepada
penduduk miskin, mengingat proporsi terbesar penduduk miskin merupakan net-buyers
untuk produk pangan bahkan lebih dari separuh pendapatan rumah tangga kelompok ini
dibelanjakan untuk pangan. Ketiga, isu perubahan iklim global juga memberikan andil
kepada memburuknya kinerja sektor pertanian dunia (Asian Development Bank, 2009).
Sementara itu, Khudori (2011a) mengindikasikan bahwa proses pembangunan selama
ini belum berhasil memajukan sektor pertanian di Indonesia. Untuk mendukung
argumentasinya, Khudori (2011) mengemukakan beberapa fakta antara lain: (1) terjadinya
fenomena gerontokrasi1 tenaga kerja di sektor pertanian sebagai akibat industrialisasi yang
berjalan tidak mengait langsung dengan sektor pertanian, (2) menurunnya produktivitas
lahan maupun tenaga kerja sektor pertanian, dan (3) angka kemiskinan di pedesaan—di
mana mayoritasnya adalah petani—cenderung lebih tinggi dibanding angka kemiskinan di
perkotaan.
Apabila dilihat data lebih detail tentang produktivitas sektor pertanian yang diukur
dengan nilai tambah per tenaga kerja maka sebagaimana terlihat dalam Grafik 2 berikut ini.
Terlihat bahwa produktivitas sektor pertanian walaupun mengalami pertumbuhan yang
cukup signifikan, nilai tambah per tenaga kerja sebesar US$332 pada tahun 1991, naik lebih
dari dua kali lipat menjadi US$683 pada tahun 2011. Namun dari sisi nilainya masih sangat
jauh di bawah sektor jasa-jasa dan sektor industri. Bahkan gap jaraknya semakin melebar.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara mitra (Chile, Republik Korea, dan Afrika
Selatan) maka terlihat bahwa pertumbuhan produktivitas pertanian Indonesia masih sangat
rendah dan pertumbuhannya pun tidak secepat negara-negara tersebut.
Ini salah satunya mungkin disebabkan oleh cara bertani di Indonesia yang masih
belum
mengalami
kemajuan.
Coba
dibayangkan
cara
bertani
Indonesia,
masih
menggunakan metode yang sama dibandingkan dengan dua atau tiga dekade silam. Sektor
pertanian belum cukup menggunakan teknologi dalam proses produksinya.
Grafik 2. Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian
Nilai tambah per tenaga kerja di Indonesia
Nilai tambah per tenaga kerja di pertanian
(angka konstan 2000 dalam US$)
(angka konstan 2000 dalam US$)
1
Gerontokrasi ialah kondisi dimana sektor pertanian didominasi oleh sumber daya manusia usia lanjut, yang
biasanya produktivitasnya sudah mulai menurun.
Pertanian
Industri
Jasa-jasa
4000
3500
3803
2868
Chile
Korea, Rep.
Indonesia
South Africa
10.0
9.5
8.5
2500
2061
2000
8.0
7.5
1500
7.0
1292
683
500
6.5
6.0
2010
2007
2004
2001
1998
1995
1992
1989
1986
1983
1980
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
5.5
1995
1993
332
1991
0
10.5
9.0
3000
1000
at Ln scale
4500
Sumber: Amir (2014).
Selain itu, walaupun secara total sektor pertanian merupakan penyumbang devisa,
tetapi kalau coba didetailkan bukan berarti tidak mengandung permasalahan. Grafik-3
berikut memberikan gambaran adanya permasalahan tersebut secara tegas dan jelas.
Indonesia sebagai negara dengan basis agraris masih memiliki ketergantungan dari
komoditas impor untuk produk-produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan.
Surplus sektor pertanian secara total merupakan sumbangan sektor perkebunan. Kondisi ini
mengindikasikan adanya permasalahan besar terkait ketahanan pangan nasional. Tatkala
sisi permintaan meroket sejalan dengan tingkat konsumsi nasional sebagai akibat adanya
perubahan demografis dan meningkatnya kelas menengah, namun dari sisi penawaran
tingkat produksi domestik pertanian tanaman pangan tidak mampu memenuhinya. Wal hasil,
kelebihan permintaan ini harus ditambal dengan impor. Pernyataan ini bukan untuk
menunjukkan perlunya kebijakan anti-impor tetapi lebih untuk menunjukkan ironi dan missmanagement.
Grafik 3. Neraca Ekspor-Impor Pertanian (Januari – Desember 2012)
23,141
PERTANIAN
14,375
-2,294
Peternakan
-1,090
33,565
Perkebunan
32,634
-1,351
Hortikultura
-1,769
Nilai (juta USD)
-6,779
Tanaman pangan
Volume (juta kg)
-15,400
Sumber: Pusdatin, Kementerian Pertanian.
Perlindungan dan Pemberdayaan: Upaya Akselerasi Pertumbuhan Sektor Pertanian
Wajah pertanian Indonesia ialah ironi. Indonesia negeri yang kaya dengan sumbersumber alam pertaniannya, salah satu negara dengan biodiversitas terkaya di dunia, dengan
iklim yang sangat bersahabat untuk pertanian tetapi seakan potensi itu tidak nyata
kontribusinya. Ini menjadi semacam paradoks. Khudori (2011b) menyebut ada tiga
paradoks. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Para petani sebagai penghasil
hasil pangan justru merupakan kelompok masyarakat yang banyak dalam posisi miskin atau
rentan miskin dan paling rawan pangan. Kedua, paradoks pertumbuhan. Walaupun sektor
pertanian
mengalami
pertumbuhan
namun
subsektor
pangan
justru
mengalami
pertumbuhan minus. Ketiga, paradoks ekspor-impor. Dengan lahan yang luas, iklim yang
cocok, dan plasma nutfah berlimpah, Indonesia berpotensi menjadi pemberi makan dunia
(feed the world) tetapi justru neraca perdagangan subsektor tanaman pangan, hortikultura,
dan peternakan mengalami negatif.
Dalam atmosfer yang seperti inilah, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dipersiapkan. UU ini diharapkan mampu menjadi
landasan legal kepastian aspek hukum bagi pendekatan pembangunan pertanian yang lebih
komprehensif dan sistematis. Perlindungan karena memang nyata adanya para petani yang
berusaha dengan skala kecil atau bahkan para buruh tani yang sangat rentan dan lemah.
Mereka semua perlu mendapat perlindungan pemerintah. Tidak cukup itu mereka juga perlu
diberdayakan agar mampu tumbuh, mandiri, dan berdaulat.
Perlindungan petani dilakukan melalui berbagai strategi, yaitu: (1) pembangunan
sarana dan prasarana produksi, (2) kepastian usaha, (3) harga komoditas, (4) penghapusan
praktek ekonomi biaya tinggi, (5) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (6)
sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan (7) asuransi
pertanian. Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan melalui strategi: (1) pendidikan
dan pelatihan, (2) penyuluhan dan pendampingan, (3) pengembangan sistem dan sarana
pemasaran, (4) konsolidasi dan jaminan luasan lahan, (5) penyediaan fasilitas pendanaan
dan permodalan, (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, dan (7)
penguatan kelembagaan petani.
Dengan tujuh strategi perlindungan dan tujuh strategi pemberdayaan maka diharapkan
kualitas hidup petani dapat ditingkatkan, produktivitasnya dapat dinaikkan untuk mendorong
akselerasi pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor pangan dan peternakan.
Namun perlu diingat bahwa UU ini hanya memberikan jaminan di atas kertas. Perlu kerja
keras
mengejawantahkan
untuk
menjadi
kenyataan.
Hasil
penelitian
Tim
PPRF
menunjukkan bahwa dukungan kepada para petani tidak cukup hanya dukungan aspek
pembiayaan namun pula memerlukan dukungan manajemen dan pendampingan agar
tercipta rantai nilai dengan aktivitas usaha lainnya. Para petani perlu didorong agar mampu
berkoloni untuk meningkatkan skala usahanya menjadi skala ekonomi yang layak untuk
dukungan pendanaan, permodalan yang cukup, penggunaan teknologi yang tepat guna dan
sentuhan manajemen modern.
Referensi
Amir, H. (2014). Pertanian dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia. In F.
Saragih, H. Amir, & Insyafiah (Eds.), Program Pembiayaan Sektor Pertanian. Jakarta:
Nagamedia Pustaka.
Asian Development Bank. (2009). Operational plan for sustainable food security in Asia and
the Pacific. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank.
Felipe (2013). Asia’s economic transformation: where to, how, and how fast? Presentasi
pada Badan Kebijakan Fiskal, 3 September 2013
Khudori. (2011a). Kado Manis pada Hari Tani. Koran Tempo, diakses 26 September 2011,
dari http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/09/26/index.shtml
Khudori. (2011b). Paradoks Pertanian Indonesia. Koran Tempo, 23 Maret 2011. Retrieved
from http://www.tempo.co/read/kolom/2011/03/23/345/Paradoks-Pertanian-Indonesia
Syafa'at, N., et al. (2005). Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional: Argumentasi
Teoritis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
World Bank. (2013). World Development Indicators (Publication. Retrieved 27 May 2013:
http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators
Oleh:
Hidayat Amir
Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan
Email: hamir@fiskal.depkeu.go.id
Pendahuluan
Pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir telah berhasil mengubah
struktur perekonomian Indonesia dari perekonomian yang berbasis kepada sektor pertanian
menjadi perekonomian yang berbasis pada sektor industri. Hal ini terlihat jelas dalam data
kontribusi sektoral utama sebagaimana tergambar dalam Grafik 1. Kontribusi sektor
pertanian terhadap perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada tahun 1962
menjadi hanya 14,7% pada tahun 2011, bahkan sempat turun pada level 13% pada tahun
2005 dan 2006.
Pada periode yang sama, sektor industri (manufaktur dan nonmanufaktur) mengalami
peningkatan yang cukup berarti, dari sebesar 11,9% menjadi 47,2% dari total PDB.
Sementara kontribusi sektor jasa berfluktuatif pada level sekitar 30-40%. Kontribusi sektor
industri manufaktur tumbuh dari level di bawah 10% pada 1962 menjadi 29,1% pada 2001,
namun mengalami kecenderungan stagnasi pada periode selanjutnya. Sektor industri
nonmanufaktur terdiri atas pertambangan (termasuk migas), konstruksi, listrik, gas dan air
bersih. Migas menjadi pemeran utama dalam komponen pertumbuhan ekonomi dalam
rentang tahun 1970-an dan 1980-an (Amir, 2014).
Grafik 1. Transformasi Perekonomian Sektoral – Tenaga Kerja
(% tenaga kerja)
Kinerja Sektoral (value added, % PDB)
60
60
50
50
40
40
35.9
29,1
30
30
24,3
20
20
14,7
10
10
Pertanian
Jasa-jasa
Industri
Manufaktur
0
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
2011
2008
2005
2002
1999
1996
1993
1990
1987
1984
1981
1978
1975
1972
1969
1966
1963
1960
0
Sumber: Amir (2014)
Keterangan: Industri non-manufaktur: pertambangan (termasuk migas), kontruksi, listrik,
gas, dan air
Namun demikian, tatkala kontribusi output sektoralnya telah menurun tajam, bukan
berarti bahwa sektor pertanian sudah tidak menjadi faktor penting dalam perekonomian
Indonesia. Data tahun 2011 (World Bank, 2013) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih
menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi yaitu sebesar 35,9% dari total 151,9 juta angkatan
kerja. Sementara sektor industri hanya menyerap 20,6%. Sisanya sebesar 43,5% diserap
oleh sektor jasa. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi permasalahan
ketimpangan struktural sebagai akibat proses industrialisasi yang ditempuh selama empat
dekade terakhir (mulai awal tahun 1970-an). Perubahan struktural dalam output
perekonomian dari sektor agraris ke sektor industri tidak diikuti oleh perubahan struktur
ketenagakerjaan.
Satu lagi yang perlu dicatat ialah terlihatnya fenomena deindustrialisasi dimana sektor
manufaktur mengalami penurunan kontribusi dari sebesar 29,1% di tahun 2001 menjadi
hanya sebesar 24,3%. Hal ini menjadi indikator serius adanya hambatan yang besar dalam
proses industrialisasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Felipe (2013) mengkonfirmasi kondisi transformasi
perekonomian Indonesia tersebut diatas. Felipe (2013) mengklasifikasikan negara-negara di
dunia yang telah berhasil melakukan industrialisasi dan yang belum dalam dua kategori,
yaitu dilihat dari sisi output dan ketenagakerjaan. Hasil klasifikasi disusun dalam suatu
matriks, Indonesia masuk kepada kategori negara low middle-income countries yang telah
berhasil melakukan industrialisasi dari sisi output tetapi belum berhasil dari sisi
ketenagakerjaan. Sekali lagi, peran output sektor pertanian sudah menurun drastis tetapi
sektor ini masih ‘dihuni’ oleh rumah tangga atau tenaga kerja yang cukup banyak.
Apabila dilihat lebih detail perbandingan tingkat pertumbuhan sektoral antartahun
selama periode 2001-2012 terlihat sebagaimana dalam Tabel 1. Angka yang dicetak tebal
menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan PDB. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor yang memiliki
tingkat pertumbuhan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2012) dengan tingkat
pertumbuhan di atas 10%. Selanjutnya diikuti oleh: Sektor Perdagangan, Sektor Hotel dan
Restoran, Sektor Konstruksi dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Dari Sektor Industri
Pengolahan, Subsektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi. Sektor industri ini merupakan sektor yang erat kaitannya
dengan Sektor Pertanian.
Dalam periode ini, sektor Pertanian secara umum memiliki tingkat pertumbuhan yang
relatif rendah, yaitu hanya di kisaran 2,8% (2004) dan 4,8% (2008). Ketika dilihat lebih detail
terhadap lima subsektor pertanian maka didapati bahwa subsektor Perikanan memiliki
tingkat pertumbuhan yang lebih baik, bahkan dalam dua tahun terakhir tingkat
pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PDB. Subsektor
Tanaman Perkebunan dan Subsektor Peternakan dan Hasil-hasilnya juga memiliki potensi
pertumbuhan yang relatif tinggi walaupun masih di bawah tingkat pertumbuhan PDB. Pada
tahun 2001 dan 2002, kedua subsektor ini mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi (lebih
tinggi dari pertumbuhan PDB), namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan
tingkat pertumbuhan yang signifikan. Dalam empat tahun terakhir kedua subsektor ini
memiliki tendensi peningkatan tingkat pertumbuhan. Sementara itu, subsektor kehutanan
memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif rendah bahkan mendekati nol (2008) atau bahkan
negatif (2005-2007). Hal ini mungkin terkait dengan kebijakan untuk konversi hutan,
sehingga eksploitasi dari subsektor kehutanan menjadi melambat.
Namun yang
disayangkan ialah tingkat pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan yang dalam
tiga tahun terakhir hanya di kisaran 2%. Padahal pada tahun 2008 dan 2009 mampu tumbuh
tinggi (lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB) yaitu masing-masing di angka 6,1% dan
5,0%. Padahal subsektor ini merupakan bagian sektor pertanian yang terpenting dalam
pencapaian target ketahanan pangan nasional.
Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Sektoral (%)
Lapangan Usaha /
Sektor
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
3,3
3,4
3,8
2,8
2,7
3,4
3,5
4,8
4,0
3,0
3,4
4,0
a. Tanaman Bahan
Makanan
0,2
2,1
3,6
2,9
2,6
3,0
3,4
6,1
5,0
1,6
1,8
2,9
b. Tanaman
Perkebunan
7,8
5,8
4,4
0,4
2,5
3,8
4,6
3,7
1,7
3,5
4,5
5,1
c. Peternakan &
hasil2nya
9,5
6,5
4,1
3,3
2,1
3,4
2,4
3,5
3,5
4,3
4,8
4,8
d. Kehutanan
2,4
2,3
0,5
1,3 -1,5 -2,9 -0,8
0,0
1,8
2,4
0,8
0,2
e. Perikanan
4,9
3,4
5,0
5,6
5,9
6,9
5,4
5,1
4,2
6,0
7,0
6,5
2. Pertambangan
0,3
1,0 -1,4 -4,5
3,2
1,7
1,9
0,7
4,5
3,9
1,4
1,5
3. Industri
Pengolahan
3,3
5,3
5,3
6,4
4,6
4,6
4,7
3,7
2,2
4,7
6,1
5,7
4. Listrik, Gas dan
Air Bersih
7,9
8,9
4,9
5,3
6,3
5,8 10,3 10,9 14,3
5,3
4,8
6,4
5. Konstruksi
4,6
5,5
6,1
7,5
7,5
8,3
8,5
7,6
7,1
7,0
6,6
7,5
6. Perdagangan,
Hotel dan Rest
3,9
4,3
5,4
5,7
8,3
6,4
8,9
6,9
1,3
8,7
9,2
8,1
7. Pengangkutan
dan Komunikasi
8,1
8,4 12,2 13,4 12,8 14,2 14,0 16,6 15,8 13,4 10,7 10,0
8. Keu, Real Estat
dan Jasa Perus
6,8
6,7
6,7
7,7
6,7
5,5
8,0
8,2
5,2
5,7
6,8
7,1
9. Jasa-jasa
3,2
3,8
4,4
5,4
5,2
6,2
6,4
6,2
6,4
6,0
6,7
5,2
PDB
3,6
4,5
4,8
5,0
5,7
5,5
6,3
6,0
4,6
6,2
6,5
6,2
PDB Tanpa Migas
4,9
5,2
5,7
6,0
6,6
6,1
6,9
6,5
5,0
6,6
7,0
6,8
1. Pertanian
Sumber: BPS.
Data yang terdapat dalam Tabel 1 tersebut memang hanya menggambarkan lebih
lanjut transformasi struktural yang telah terjadi dalam perekonomian Indonesia. Data ini juga
hanya menyajikan secara global perubahan tingkat pertumbuhan antarsektor/subsektor.
Belum mampu mendeskripsikan tentang apa yang terjadi, yang menjadi penyebab atas
dinamika tingkat pertumbuhan yang ada. Hal ini tentu membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat dicatat dari uraian tersebut di atas, yaitu:
(1) sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi bagi perekonomian Indonesia sebagai
akibat proses industrialisasi selama empat dekade terakhir; (2) proses transformasi
struktural tidak diikuti secara selaras oleh transformasi ketenagakerjaan, tenaga kerja di
sektor pertanian masih cukup tinggi ketika kontribusi ekonominya sudah sangat rendah; (3)
sektor pertanian tetap penting utamanya dalam konteks ketahanan pangan, namun proses
industrialisasi sepertinya tidak mengait dengan sektor pertanian ini. Hal ini terlihat dari
tingkat pertumbuhan subsektor industri makanan, minuman dan tembakau yang relatif tinggi
tetapi subsektor tanaman bahan makanan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat
rendah.
Sektor Pertanian: Peran Penting dan Problema Pembangunan
Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh Syafa'at (2005) menerangkan bahwa sektor
pertanian memberikan peranan yang penting dalam perekonomian setidaknya dalam
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan dimana
sebagian besar penduduk pedesaan bermata-pencaharian utama sebagai petani;
2.
Sebagai penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk yang
jumlahnya semakin bertambah;
3.
Sebagai pemacu proses industrialisasi, utamanya bagi industrialisasi yang memiliki
keterkaitan yang cukup besar dengan sektor pertanian;
4.
Sebagai penyumbang devisa negara, karena sektor pertanian menghasilkan produkproduk pertanian yang tradable dan berorientasi pada pasar ekspor; dan
5.
Sebagai pasar bagi produk dan jasa sektor nonpertanian.
Peran penting dalam bidang ketahanan pangan sebagaimana diindikasikan tersebut di
atas, kini menjadi topik hangat dalam pembangunan perekonomian dunia. Kekhawatiran
dunia akan terjadinya defisit pangan yang diakibatkan oleh merosotnya produktivitas di
sektor pertanian pangan dan meningkatnya jumlah penduduk dunia menjadi fokus perhatian
pembangunan dunia. Kekhawatiran ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan
harga pangan dunia pada dekade ini. Harga riil rata-rata pada tahun 2009 tercatat 17% lebih
tinggi dibanding harga pada tahun 2006. Diproyeksikan harga pangan akan tetap tinggi pada
periode yang akan datang. Kedua, tingginya harga pangan akan berakibat buruk kepada
penduduk miskin, mengingat proporsi terbesar penduduk miskin merupakan net-buyers
untuk produk pangan bahkan lebih dari separuh pendapatan rumah tangga kelompok ini
dibelanjakan untuk pangan. Ketiga, isu perubahan iklim global juga memberikan andil
kepada memburuknya kinerja sektor pertanian dunia (Asian Development Bank, 2009).
Sementara itu, Khudori (2011a) mengindikasikan bahwa proses pembangunan selama
ini belum berhasil memajukan sektor pertanian di Indonesia. Untuk mendukung
argumentasinya, Khudori (2011) mengemukakan beberapa fakta antara lain: (1) terjadinya
fenomena gerontokrasi1 tenaga kerja di sektor pertanian sebagai akibat industrialisasi yang
berjalan tidak mengait langsung dengan sektor pertanian, (2) menurunnya produktivitas
lahan maupun tenaga kerja sektor pertanian, dan (3) angka kemiskinan di pedesaan—di
mana mayoritasnya adalah petani—cenderung lebih tinggi dibanding angka kemiskinan di
perkotaan.
Apabila dilihat data lebih detail tentang produktivitas sektor pertanian yang diukur
dengan nilai tambah per tenaga kerja maka sebagaimana terlihat dalam Grafik 2 berikut ini.
Terlihat bahwa produktivitas sektor pertanian walaupun mengalami pertumbuhan yang
cukup signifikan, nilai tambah per tenaga kerja sebesar US$332 pada tahun 1991, naik lebih
dari dua kali lipat menjadi US$683 pada tahun 2011. Namun dari sisi nilainya masih sangat
jauh di bawah sektor jasa-jasa dan sektor industri. Bahkan gap jaraknya semakin melebar.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara mitra (Chile, Republik Korea, dan Afrika
Selatan) maka terlihat bahwa pertumbuhan produktivitas pertanian Indonesia masih sangat
rendah dan pertumbuhannya pun tidak secepat negara-negara tersebut.
Ini salah satunya mungkin disebabkan oleh cara bertani di Indonesia yang masih
belum
mengalami
kemajuan.
Coba
dibayangkan
cara
bertani
Indonesia,
masih
menggunakan metode yang sama dibandingkan dengan dua atau tiga dekade silam. Sektor
pertanian belum cukup menggunakan teknologi dalam proses produksinya.
Grafik 2. Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian
Nilai tambah per tenaga kerja di Indonesia
Nilai tambah per tenaga kerja di pertanian
(angka konstan 2000 dalam US$)
(angka konstan 2000 dalam US$)
1
Gerontokrasi ialah kondisi dimana sektor pertanian didominasi oleh sumber daya manusia usia lanjut, yang
biasanya produktivitasnya sudah mulai menurun.
Pertanian
Industri
Jasa-jasa
4000
3500
3803
2868
Chile
Korea, Rep.
Indonesia
South Africa
10.0
9.5
8.5
2500
2061
2000
8.0
7.5
1500
7.0
1292
683
500
6.5
6.0
2010
2007
2004
2001
1998
1995
1992
1989
1986
1983
1980
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
5.5
1995
1993
332
1991
0
10.5
9.0
3000
1000
at Ln scale
4500
Sumber: Amir (2014).
Selain itu, walaupun secara total sektor pertanian merupakan penyumbang devisa,
tetapi kalau coba didetailkan bukan berarti tidak mengandung permasalahan. Grafik-3
berikut memberikan gambaran adanya permasalahan tersebut secara tegas dan jelas.
Indonesia sebagai negara dengan basis agraris masih memiliki ketergantungan dari
komoditas impor untuk produk-produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan.
Surplus sektor pertanian secara total merupakan sumbangan sektor perkebunan. Kondisi ini
mengindikasikan adanya permasalahan besar terkait ketahanan pangan nasional. Tatkala
sisi permintaan meroket sejalan dengan tingkat konsumsi nasional sebagai akibat adanya
perubahan demografis dan meningkatnya kelas menengah, namun dari sisi penawaran
tingkat produksi domestik pertanian tanaman pangan tidak mampu memenuhinya. Wal hasil,
kelebihan permintaan ini harus ditambal dengan impor. Pernyataan ini bukan untuk
menunjukkan perlunya kebijakan anti-impor tetapi lebih untuk menunjukkan ironi dan missmanagement.
Grafik 3. Neraca Ekspor-Impor Pertanian (Januari – Desember 2012)
23,141
PERTANIAN
14,375
-2,294
Peternakan
-1,090
33,565
Perkebunan
32,634
-1,351
Hortikultura
-1,769
Nilai (juta USD)
-6,779
Tanaman pangan
Volume (juta kg)
-15,400
Sumber: Pusdatin, Kementerian Pertanian.
Perlindungan dan Pemberdayaan: Upaya Akselerasi Pertumbuhan Sektor Pertanian
Wajah pertanian Indonesia ialah ironi. Indonesia negeri yang kaya dengan sumbersumber alam pertaniannya, salah satu negara dengan biodiversitas terkaya di dunia, dengan
iklim yang sangat bersahabat untuk pertanian tetapi seakan potensi itu tidak nyata
kontribusinya. Ini menjadi semacam paradoks. Khudori (2011b) menyebut ada tiga
paradoks. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Para petani sebagai penghasil
hasil pangan justru merupakan kelompok masyarakat yang banyak dalam posisi miskin atau
rentan miskin dan paling rawan pangan. Kedua, paradoks pertumbuhan. Walaupun sektor
pertanian
mengalami
pertumbuhan
namun
subsektor
pangan
justru
mengalami
pertumbuhan minus. Ketiga, paradoks ekspor-impor. Dengan lahan yang luas, iklim yang
cocok, dan plasma nutfah berlimpah, Indonesia berpotensi menjadi pemberi makan dunia
(feed the world) tetapi justru neraca perdagangan subsektor tanaman pangan, hortikultura,
dan peternakan mengalami negatif.
Dalam atmosfer yang seperti inilah, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dipersiapkan. UU ini diharapkan mampu menjadi
landasan legal kepastian aspek hukum bagi pendekatan pembangunan pertanian yang lebih
komprehensif dan sistematis. Perlindungan karena memang nyata adanya para petani yang
berusaha dengan skala kecil atau bahkan para buruh tani yang sangat rentan dan lemah.
Mereka semua perlu mendapat perlindungan pemerintah. Tidak cukup itu mereka juga perlu
diberdayakan agar mampu tumbuh, mandiri, dan berdaulat.
Perlindungan petani dilakukan melalui berbagai strategi, yaitu: (1) pembangunan
sarana dan prasarana produksi, (2) kepastian usaha, (3) harga komoditas, (4) penghapusan
praktek ekonomi biaya tinggi, (5) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (6)
sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan (7) asuransi
pertanian. Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan melalui strategi: (1) pendidikan
dan pelatihan, (2) penyuluhan dan pendampingan, (3) pengembangan sistem dan sarana
pemasaran, (4) konsolidasi dan jaminan luasan lahan, (5) penyediaan fasilitas pendanaan
dan permodalan, (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, dan (7)
penguatan kelembagaan petani.
Dengan tujuh strategi perlindungan dan tujuh strategi pemberdayaan maka diharapkan
kualitas hidup petani dapat ditingkatkan, produktivitasnya dapat dinaikkan untuk mendorong
akselerasi pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor pangan dan peternakan.
Namun perlu diingat bahwa UU ini hanya memberikan jaminan di atas kertas. Perlu kerja
keras
mengejawantahkan
untuk
menjadi
kenyataan.
Hasil
penelitian
Tim
PPRF
menunjukkan bahwa dukungan kepada para petani tidak cukup hanya dukungan aspek
pembiayaan namun pula memerlukan dukungan manajemen dan pendampingan agar
tercipta rantai nilai dengan aktivitas usaha lainnya. Para petani perlu didorong agar mampu
berkoloni untuk meningkatkan skala usahanya menjadi skala ekonomi yang layak untuk
dukungan pendanaan, permodalan yang cukup, penggunaan teknologi yang tepat guna dan
sentuhan manajemen modern.
Referensi
Amir, H. (2014). Pertanian dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia. In F.
Saragih, H. Amir, & Insyafiah (Eds.), Program Pembiayaan Sektor Pertanian. Jakarta:
Nagamedia Pustaka.
Asian Development Bank. (2009). Operational plan for sustainable food security in Asia and
the Pacific. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank.
Felipe (2013). Asia’s economic transformation: where to, how, and how fast? Presentasi
pada Badan Kebijakan Fiskal, 3 September 2013
Khudori. (2011a). Kado Manis pada Hari Tani. Koran Tempo, diakses 26 September 2011,
dari http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/09/26/index.shtml
Khudori. (2011b). Paradoks Pertanian Indonesia. Koran Tempo, 23 Maret 2011. Retrieved
from http://www.tempo.co/read/kolom/2011/03/23/345/Paradoks-Pertanian-Indonesia
Syafa'at, N., et al. (2005). Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional: Argumentasi
Teoritis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
World Bank. (2013). World Development Indicators (Publication. Retrieved 27 May 2013:
http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators