ekoper acara 1 ekoper acara 1

EKOSISTEM SUNGAI
Qorina Prakasiwi
13/350170/PN/13365
Budidaya Perikanan
Intisari
Ekosistem sungai merupakan salah satu ekosistem perairan yang memiliki keterakaitan yang
erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Kualitas suatu ekosistem sungai sedikit banyak
juga berpengaruh pada kualitas kehidupan makhluk hidup yang ada di sekitar sungai, baik
manusia, tumbuhan, maupun hewan. Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik
ekosistem sungai dan faktor-faktor pembatasnya, mempelajari cara-cara pengambilan data
tolokukur (parameter) fisik, kimia, dan biologik suatu perairan, mempelajari korelasi antara
beberapa tolokukur lingkungan dengan komunitas biota perairan (plankton), dan mempelajari
kualitas perairan sungai berdasarkan indeks diversitas biota perairan. Praktikum ini dilakukan
di Sungai Winongo pada hari Kamis, 10 April 2014 pukul 13.30 WIB. Praktikum
dilaksanakan dengan membagi daerah sungai menjadi 3 stasiun, yaitu stasiun 1 berada di hulu
sungai, stasiun 2 berada di daerah tengah sungai, dan stasiun 3 berada di daerah hilir sungai.
Metode yang digunakan adalah dengan metode plot, yaitu kayu yang dibentuk bujur sangkar
seperti bingkai berukuran 40 x 40 cm. Berdasarkan indeks diversitas biota perairan Sungai
Winongo, stasiun yang paling baik kondisinya adalah stasiun 1, yaitu daerah hulu sungai,
dengan indeks diversitas plankton sebesar 4,32 ind/L.
Kata kunci: diversitas, ekosistem sungai, karakteristik, korelasi, kualitas, parameter

PENDAHULUAN
Manusia sering memanfaatkan sungai untuk keperluan mereka sehari-hari, seperti
pemanfaatan air sungai untuk dikonsumsi, MCK, dan tidak jarang pula untuk dijadikan
tempat pembuangan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem sungai memiliki peranan
yang banyak untuk kehidupan manusia. Namun, peranannya yang banyak inilah yang sering
disalah gunakan oleh manusia. Pemanfaatan sungai yang berlebihan dapat menyebabkan
menurunnya kualitas air sungai dan rusaknya ekosistem sungai. Oleh karena itu, dilakukanlah
praktikum ekologi perairan ini.
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik ekosistem sungai dan faktorfaktor pembatasnya. Lalu, mempelajari cara-cara pengambilan data parameter kimia, fisika,
dan biologi agar dapat mengetahui korelasi antara parameter lingkungan tersebut dengan
populasi biota perairan, khususnya plankton dan/atau makrobentos. Dan yang terakhir adalah
untuk mempelajari kualitas ekosistem sungai berdasarkan indeks diversitas biota perairan.
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik yang tak terpisahkan antara mahluk hidup dengan lingkungannya (Aryulina, 2004).
Dalam ekosistem, organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sebaliknya
lingkungan fisik juga akan mempengaruhi organisme untuk hidup (Hutagalung, 2004).
Sungai merupakan suatu badan air yang mengalir ke satu arah dari sumber (hulu) menuju
muara (hilir)(Asdak, 2004).
Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas
cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggihan

geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh

di tepi. Di samping itu pola temperatur perairan dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor
anthropogen (faktor yang di akibatkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas yang
berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya
perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung (Barus, 2003).
Pada dasarnya studi mengenai ekosistem perairan merupakan kajian tentang
struktur dan fungsi biota dalam ekosistem perairan bersangkutan. Hal ini berarti keberadaan
plankton tidak dapat dipisahkan dengan masalah kualitas perairannya sebagai tempat hidup
mereka. Selain kualitas perairan laut, plankton juga dipengaruhi oleh musim dan oseanografi
setempat misalnya dapat dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang dan arus (Wibisono,
2005). Plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir (Ewusie, 1990).
Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang
dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis (Barus, 2004). Disamping itu jumlah plankton
berfluktuasi (naik turun) dari jam ke jam, dari hari ke hari, dan musim ke musim (Whitten et
al., 1987). Penelitian yang kuantitatif yang seksama akhirnya menunjukkan bahwa produksi
makanan di kolam dan di perairan lainnya adalah terutama hasil fotosintesis organisme
plankton ini (Sastrodinoto, 1980).
Menurut Barus (2004) bahwa fitoplankton merupakan kelompok yang memegang
peranan penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil

mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh
fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air
lainnya yang membentuk rantai makanan. Fitoplankton dapat dikatakan sebagi pembuka
kehidupan di planet bumi ini, karena dengan adanya fitoplankton memungkinkan mahluk
hidup yang lebih tinggi tingkatannya ada di muka bumi. Dengan sifatnya yang autotrof,
fitoplankton mampu mengubah hara anorganik menjadi bahan organik dan penghasil oksigen
yang sangat mutlak diperlukan bagi kehidupan mahluk yang lebih tinggi tingkatannya
(Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Seperti fitoplankton, zooplankton terbanyak ditemukan di
danau atau bagian hilir sungai (Whitten et al., 1987). Pengaruh kecepatan arus terhadap
zooplankton jauh lebih kuat dibandingkan pada fitoplankton. Oleh karena itu umumnya
zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang rendah
serta kekeruhan air yang sedikit (Barus, 2004).
Untuk melengkapi kekurangan pendekatan fisika kimiawi dapat dilakukan dengan
memberdayakan komunitas makroinvertebrata, yaitu hewan-hewan yang tidak mempunyai
tulang belakang, berukuran relatif kecil, tidak bergerak, mempunyai siklus hidup yang
panjang dan mempunyai keanekaragaman tinggi yang tersebar di hulu sampai di hilir sungai.
Ditemukan suatu kelompok mikroinvertebrata mencerminkan kondisi air sungai apakah
masih baik (tidak mengalami pencemaran organik tertentu), atau telah mengalami
pencemaran organik terlarut atau telah mengganggu (Sudaryanti dan Wijarni, 2006).
Dalam pengukuran kualitas air secara umum, menggunakan metode purposive

sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengaan memperhatikan berbagai
pertimbangan kondisi serta keadaan daerah pengamatan (Fajri, 2013).
METODE
Praktikum ekologi perairan acara ekositem sungai ini dilaksanakan di sungai Winongo
pada hari Kamis tanggal 10 April 2014 pukul 13.30 WIB sampai dengan selesai. Praktikum

dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan dengan stasiun I berlokasi di hulu sungai, stasiun II
di bagian tengah sungai, dan stasiun III di hilir sungai.
Parameter-parameter yang diamati dalam praktikum ini ada 3 parameter, yaitu
parameter fisik yang meliputi suhu udara, suhu air, kecepatan arus dan debit air. Parameter
kimia meliputi kadar DO terlarut, kandungan CO2, alkalinitas, dan pH. Serta parameter
biologi, yaitu organisme yang ada di lokasi pengamatan. Alat-alat yang akan digunakan
dalam praktikum ini adalah bola tenis meja, stop-watch, roll-meter, penggaris, termometer,
botol oksigen, erlenmeyer, gelas ukur, pipet ukur, pipet tetes, ember plastik, plankton net,
mikroskop, kertas label, dan bolpoin. Pada praktikum ini juga digunakan berbagai bahan
untuk pengukuran parameter yaitu kertas pH atau pH meter, larutan MnSO4, larutan reagen
oksigen, larutan H2SO4 pekat, larutan 1/80 N Na2S2O3, larutan 1/44 N NaOH, larutan 1/50 N
H2SO4, larutan 1/50 N HCl, larutan indikator amilum, larutan indikator Methyl Red (MR),
larutan indikator Fenolftalein (PP), larutan Methyl Orange (MO), larutan 0,01 N kalium
permanganat, 6 N H2SO4, larutan 0,01 Asam oksalat dan larutan 4% formalin.

Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu metode dengan menggunakan kayu
yang dibentuk bujur sangkar seperti bingkai berukuran 40 x 40 cm. Semua substrat dasar
yang berada didalam plot diambil. Substrat yang kasar berupa batu dimasukkan dalam tempat
berisi air. Selanjutnya permukaan batu disikat perlahan dan seluruh makrobentos yang
diperoleh ditampung kemudian dipindahkan dengan menggunakan kuas halus ke dalam botol
yang sudah diisi dengan larutan fiksatif (formalin atau alkohol). Sedangkan untuk substrat
halus berupa kerikil, pasir, atau lumpur diletakkan diatas saringan (seine) bertingkat.
Selanjutnya substrat halus dicuci menggunakan air dan makrobentos yang diperoleh
dipindahkan dengan menggunakan kuas halus ke dalam botol yang sudah diisi dengan larutan
fiksatif (formalin atau alkohol).
Kandungan oksigen terlarut (DO) diukur dengan metode Winkler yaitu dengan
mengalikan 1000/50 dengan banyak larutan 1/80 N Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi
dari awal hingga akhir reaksi, lalu mengalikannya lagi dengan 0,1 mg/L.
Sedangkan untuk kandungan CO2 bebas dan alkalinitas dihitung dengan menggunakan
metode alkalimetri. Caranya adalah dengan mengalikan 1000/50 dengan banyak larutan
titran yang digunakan lalu dikalikan dengan 1 mg/L.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter

Fisik
Suhu Udara (◦C)
Suhu Air (◦C)
Kecepatan Arus (m/s)
Debit (m3/s)
Kimia
DO (ppm)
CO2 (ppm)
Alkalinitas (ppm)
Ph
Biologi
Densitas Plankton (idv/L)
Diversitas Plankton
Cuaca
Vegetasi

Hasil Pengamatan Parameter
Stasiun
1
2


3

26

22.7

25.33

28.52
0.286
0.318

25
0.34
1.8

27.33
0.8
2.25


5.54
9.67
32.2
7.1

1.4
45.2
91.5
7.2

3.8
6.88
124
7.1

4.32
1556
Mendung dan
Hujan

Rimbun dan
Bambu

2.87
1456
Mendung dan
Hujan
Rimbun dan
Bambu

2.79
753
Hujan
Rimbun dan
Bambu

Pembahasan
Praktikum Ekologi Perairan acara ekosistem sungai ini dilakukan di Sungai Winongo,
Yogyakarta. Praktikum dibagi menjadi 3 stasiun pengamatan, yaitu hulu, tengah, dan hilir.
Daerah sekitar sungai ini tergolong rimbun karena banyak ditumbuhi bambu-bambu yang

pepohonan rindang yang banyak. Dasar sungai berpasir dan berbatu, serta air sungainya
tergolong masih bening bersih. Pada hari-hari biasa, sungai ini biasa dipakai masyarakat
sekitar untuk mandi maupun tempat bermain anak-anak. Namun, aktivitas masyarakat sekitar
sungai tidak terlalu banyak terlihat karena hujan deras yang mengguyur stasiun pada saat
praktikum berlangsung.
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran
organisme baik dilautan maupun diperairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum, laju
pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu (Kordi dan Andi, 2009).
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas terhadap ikan-ikan atau biota akuatik. Suhu
dapat mengendalikan fungsi fisiologis organisme dan berperan secara langsung atau tidak
langsung bersama dengan komponen kualitas lainnya mempengaruhi kualitas akuatik.
Temperatur air mengendalikan spawing dan hatching, mengendalikan aktivitas, memacu atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan menyebababkan air menjadi panas atau dingin
sekali secara mendadak. Temperatur juga mempengaruhi berbagai macam reaksi fisika dan
kimiawi di dalam lingkungan akuatik (Souisa, 2009).

Suhu Udara (◦C)

Suhu Udara

28
26 26
24
22
20
1

25.33
22.7
2

3

Stasiun

Hujan deras yang mengguyur Yogyakarta saat praktikum dilaksanakan jelas terlihat
pada grafik hasil pengamatan suhu udara di stasiun-stasiun pengamatan yang semuanya
terukur dibawah 27oC. Pada stasiun 1(hulu sungai) suhu udara terukur 26oC, stasiun 2(tengah
sungai) terukur 22.7oC, dan stasiun 3(hilir sungai) terukur 25.33oC. Suhu udara yang paling
tinggi dari tiga stasiun adalah di stasiun 1, lalu stasiun 3, dan suhu udara yang paling rendah
adalah pada stasiun 2. Suhu udara di stasiun 2 terukur paling rendah disebabkan karena hujan
deras yang terus mengguyur selama praktikum dilakukan. Selain itu juga karena rimbunnya
vegetasi di sekitar sungai, sehingga panas matahari tidak banyak yang masuk, dan juga
karena letak sungai yang berada dibawah pemukiman dan jauh dari jalan raya.
Kondisi suhu udara di Indonesia yang dapat mencapai angka 35°C dengan kelembaban
80% (Yayasan LPMB PU, 1993). Menurut Lippsmeir (1994), batas-batas kenyamanan untuk
kondisi khatulistiwa adalah pada kisaran suhu udara 22,5ºC - 29ºC dengan kelembaban udara
20 - 50%. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan praktikum, suhu udara di daerah
sungai Winongo termasuk dalam batas nyaman suhu di khatulistiwa.

Suhu Air (◦C)

Suhu Air
29
28.5
28
27
26
25
24
23
1

27.33
25

2
Stasiun

3

Sedangkan suhu air yang terukur di tiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada grafik
diatas. Grafik tersebut menunjukkan bahwa suhu air terukur di stasiun 1 adalah sebesar
28,5oC, pada stasiun 2 sebesar 25oC, dan stasiun 3 sebesar 27,33oC. Suhu air yang paling
tinggi adalah di stasiun 1, diikuti stasiun 3, lalu stasiun 2. Sungai Winongo ini memiliki
kedalaman air kurang lebih 1 m. Dalam stratifikasi kolom air berdasarkan perbedaan suhu
(Boyd, 1988), perairan dengan kedalaman 1 meter memiliki kisaran suhu air dari 28 oC
sampai 32oC. Ketiga hasil pengukuran suhu air menunjukkan bahwa suhu air sungai Winongo
pada saat praktikum dilaksanakan berada dibawah suhu normal suatu perairan. Hal tersebut
dikarenakan keadaan sekitar sungai yang rimbun sehingga cahaya dan/atau panas matahari
sedikit terserap oleh air sungai. Faktor lain yang dapat menyebabkan rendahnya suhu air
adalah terjadinya hujan deras saat praktikum. Berdasarkan grafik diatas, stasiun 2 memiliki
suhu air yang paling rendah diantara tiga stasiun. Hal tersebut karena hujan deras yang terusmenerus mengguyur di stasiun 2, yaitu sungai Winongo bagian tengah, serta letak sungai
yang berada di bawah pemukiman warga dan tertutup bambu-bambu, juga pepohonan.

Kecepata Arus (m/s)

Kecepatan Arus
1
0.8

0.8

0.6
0.4
0.2
0.29
0
1

0.34
2

3

Stasiun

Adanya perbedaan keterjalan dari topografi aliran sungai menyebabkan kecepatan arus
mulai dari daerah hulu sampai ke hilir bervariasi. Daerah hulu ditandai dengan kecepatan arus
yang tinggi dan kecepatan arus tersebut akan semakin berkurang pada aliran sungai yang

mendekati daerah hilir (Barus, 2004). Namun, hal ini tidak terjadi di sungai Winongo, daerah
hulunya berarus lambat dan terus mengalami kenaikan kecepatan arus sampai ke hilir. Pada
stasiun 1 kecepatan arus terhitung sebesar 0,286 m/s, di stasiun 2 terhitung 0,34 m/s, dan
stasiun 3 sebesar 0,8 m/s. Penyimpangan data hasil pengamatan dengan teori tersebut dapat
terjadi karena adanya perbedaan topografi antar stasiun.

Debit Air(m3/s)

Debit Air
2.5
2
1.5
1
0.5 0.32
0
1

1.8

2

2.25

3

Stasiun

Debit air terhitung di stasiun 1 adalah 0,318 m3/s, stasiun 2 sebesar 1,8 m3/s, dan stasiun
3 sebesar 2,25 m3/s. Dari data tersebut terlihat bahwa debit air dari hulu sampai ke hilir
semakin besar. Meningkatnya debit air dari hulu ke hilir ini dapat disebabkan karena hujan
deras yang mengguyur stasiun-stasiun pengamatan. Hujan deras ini tentunya akan semakin
menambah debit air di sepanjang sungai. Berawal dari bertambahnya debit air di hulu sungai,
lalu mengalir ke daerah tengah sungai, dan makin bertambah banyak saat masuk ke daerah
hilir sungai Winongo.

Densitas Plankton (ind/L)

Densitas Plankton vs Stasiun
2000
1556
1500

1456

1000
753
500
0
stasiun 1

stasiun 2

stasiun 3

Menurut Muchtar (2002), fitoplankton merupakan salah satu parameter biologi yang
erat hubungannya dengan fosfat dan nitrat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton disuatu
perairan tergantung tergantung pada kandungan zat hara fosfat dan nitrat. Sama halnya seprti
zat hara lainnya, kandungan fosfat dan nitrat disuatu perairan, secara alami terdapat sesuai
dengan kebutuhan organisme yang hidup diperairan tersebut.
Pada hasil pengamatan di sungai Winongo, densitas plankton di stasiun 1 adalah 1556
ind/L, stasiun 2 sebanyak 1456 ind/L, dan stasiun 3 sebanyak 753 ind/L. Densitas plankton
dari daerah hulu ke daerah hilir semakin kecil. Hal tersebut dapat disebabkan karena
kecepatan arus yang berbeda pada masing-masing stasiun. Kecepatan arus dan debit air akan
mempengaruhi keberadaan plankton karena plankton bergerak dengan cara mengikuti arus
(Wibisono,2005). Selain itu, plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir
(Ewusie, 1990).
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus dan debit air memiliki korelasi
dengan densitas plankton yang ada di suatu perairan. Perairan dengan arus yang lambat
cenderung memiliki densitas plankton yang cukup banyak, sedangkan perairan dengan arus
deras akan cenderung lebih sedikit densitas planktonnya karena plankton tumbuh subur di
daerah yang kecepatan arusnya tidak terlalu besar. Faktor lain yang mempengaruhi densitas
plankton adalah kualitas air itu sendiri. Daerah hulu adalah daerah sungai yang belum terkena
dampak pencemaran lingkungan, seperti limbah rumah tangga maupun pabrik. Sehingga
kualitas airnya masih baik dan dapat dihuni banyak plankton. Sedangkan daerah hilir
merupakan daerah sungai yang menjadi tempat berkumpulnya limbah-limbah dari sepanjang
sungai tersebut. Limbah-limbah itu mengandung bahan-bahan yang membuat plankton tidak
dapat hidup di dalamnya. Oleh karena itu, daerah hilir cenderung memiliki densitas plankton
yang lebih rendah.

Diversitas Plankton (ind/L)

Diversitas Plankton vs Stasiun
5
4

4.32

3

2.87

2.79

2
1
0
stasiun 1

stasiun 2

stasiun 3

Diversitas plankton di stasiun 1 paling tinggi diantara tiga stasiun. Hal tersebut
disebabkan karena daerah hulu sungai belum terkena dampak dari aktivitas manusia, seperti
pembuangan limbah rumah tangga maupun pabrik. Kualitas air menjadi hal yang sangat
mempengaruhi keanekaragaman biota yang dapat hidup di dalam suatu perairan. Ditemukan
suatu kelompok mikroinvertebrata mencerminkan kondisi air sungai apakah masih baik (tidak
mengalami pencemaran organik tertentu), atau telah mengalami pencemaran organik terlarut
atau telah mengganggu (Sudaryanti dan Wijarni, 2006). Daerah hulu yang kualitas airnya
masih baik dan mengandung berbagai macam nutrisi tentunya disukai banyak jenis plankton
untuk tumbuh dan hidup disana. Berbeda dengan daerah tengah dan hilir yang telah tercemar
berbagai limbah dan sampah dari rumah tangga maupun pabrik. Grafik diversitas plankton
menunjukkan penurunan diversitas plankton dari daerah hulu sampai ke hilir sungai
Winongo. Diversitas plankton di stasiun 1 adalah 4,32 ind/L, stasiun 2 2,87 ind/L, dan stasiun
3 2,79 ind/L.

DO(ppm)

DO
5.54
6
5
4
3
2
1
0
1

3.8
1.4
2
Stasiun

3

Oksigen adalah salah satu unsur kimia penunjang utama kehidupan. Dalam air laut,
oksigen dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk proses respirasi dan untuk mengurangi
zat organik oleh mikroorganisme. Ketiadaan oksigen dalam suatu perairan akan
menyebabkan organisme dalam perairan tersebut tidak akan hidup dalam waktu yang lama.
Oleh karena itu salah satu cara untuk menjaga kelestarian kehidupan dalam laut adalah
dengan cara memantau kadar oksigen dalam perairan tersebut (Hutagalung et-al, 1985).
Menurut Susanto (2002), suatu limbah yang mengandung bahan pencemar masuk ke
lingkungan perairan dapat menyebabkan perubahan kualitas air. Salah satu efeknya adalah
menurunnya kadar oksigen terlarut yang berpengaruh terhadap fungsi fisiologis organisme
akuatik. Air limbah memungkinkan mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia
beracun berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan tersebar ke lingkungan.
Grafik tersebut menunjukkan kandungan oksigen di tiap stasiun sungai Winongo.
Kandungan oksigen di stasiun 1 adalah 5,54 ppm, stasiun 2 1,4 ppm, dan stasiun 3 3,8 ppm.
Semakin ke hulu (daerah atas) kandungan oksigen terlarutnya semakin tinggi, karena di
daerah hulu lebih banyak dijumpai tumbuhan air sehingga lebih banyak oksigen yang
dihasilkan dari proses fotosintesis (Hutagalung, 2004). Teori tersebut dapat dibuktikan
dengan keadaan kandungan oksigen pada stasiun hulu yang terhitung paling tinggi dari tiga
stasiun yang diamati. Namun ada faktor lain yang memengaruhi data hasil pengamatan
sehingga menghasilkan grafik yang berbeda dengan teorinya. Faktor tersebut adalah suhu
air/udara, suhu air/udara berbanding lurus dengan kandungan oksigen dalam suatu perairan.
Laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu (Kordi dan Andi, 2009).
Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh kadar oksigen. Apabila suhu air/udara tinggi maka
kandungan oksigennya juga tinggi. Tingginya nilai suhu dapat meningkatkan kebutuhan
plankton akan oksigen. Sehingga, seiring dengan banyaknya organisme yang ada di dalam
suatu perairan, semakin sering pula terjadi aktifitas fisiologi (respirasi maupun fotosintesis),
maka akan semakin banyak pula kandungan oksigen dalam perairan tersebut. Kondisi normal
kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 14.6 ppm pada 0 oC hingga 7 ppm
pada 35oC pada tekanan udara 1 atm. Kadar oksigen di ketiga stasiun pengamatan berada
diluar kondisi normal kadar oksigen perairan tawar. Hujan lebat sangat berpengaruh pada
perbedaan data hasil pengamatan dan teori yang ada.
Kelarutan maksimum oksigen dalam air pada tekanan 1 atm berkisar dari 15 mg/L pada
0ºC sampai 8 mg/L pada 30ºC. Maka, air yang bersuhu rendah dapat mengikat O 2 dua kali
lebih besar dari air bersuhu hangat (Wetzel, 2001).

CO2 (ppm)

CO2
50
40
30
20
9.67
10
0
1

45.2

6.88
2

3

Stasiun

Dengan meningkatnya suhu air, maka aktivitas metabolisme organisme perairan yang
membutuhkan O2 dan mengeluarkan CO2 juga semakin tinggi. Hal tersebut menyebabkan
kandungan O2 terlarut menjadi semakin menipis, sedangkan hasil metabolisme, yaitu CO2
semakin meningkat. Namun hal tersebut tidak terjadi dalam pengamatan yang telah
dilakukan. Kadar CO2 pada stasiun 1 yang memiliki suhu air paling tinggi diantara ketiga
stasiun malah terhitung kecil. Faktor lain dapat menyebabkan data hasil pengamatan berbeda
dengan teori yang ada. Seperti faktor pencemaran, stasiun hulu merupakan stasiun yang
belum terkena dampak pencemaran air, sehingga kondisi airnya masih baik dan seimbang.
Seharusnya CO2 yang terdapat di hulu sungai terhitung lebih sedikit daripada stasiun
hilir. Namun, pada praktikum kali ini CO2 di hulu sungai lebih besar, terhitung 9,67 ppm,
daripada CO2 di hilir sungai yang terhitung sebesar 6,88 ppm, meskipun perbedaan kadarnya
kurang dari 5 ppm. Stasiun tengah sungai Winongo mengandung kadar CO 2 yang paling
tinggi, yaitu 45,2 ppm diantara semua stasiun. Hal tersebut disebabkan kondisi hujan deras
pada saat praktikum yang menyebabkan berbagai bahan yang mengandung CO 2 larut di
dalam air sungai dan menghilangkan O2 di dalamnya.

Alkalinitas (ppm)

Alkalinitas
150

124

91.5

100
32.2
50
0
1

2

3

Stasiun

pH

pH
7.25
7.2
7.15
7.1
7.1
7.05
7
1

7.2
7.1

2

3

Stasiun

pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah
dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah(keasaman tinggi), kandungan oksigan
terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan
selera makan akan berkurang. Hal ini sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini,
maka usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 – 9.0 dan kisaran
optimal adalah ph 7,5 – 8,7 (Kordi dan Andi, 2009). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pH pada stasiun hulu adalah 7,1, pada stasiun tengah 7,2, dan stasiun hilir 7,1.
Alkalinitas di stasiun 1, yaitu 32,2 ppm, stasiun 2 91,5 ppm, dan stasiun 3 124 ppm.
Mackeret et. al. berpendapat bawa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan
alkalinitas. Alkalinitas mencapai 0 apabila nilai pH< 5. Semakin tinggi nilai pH semakin
tinggi nilai alkalinitas. Nilai pH juga dapat dipengaruhi oleh kadar CO2 dalam air. Apabila
CO2-nya tinggi, maka akan terjadi kenaikan nilai pH meskipun tidak terlalu signifikan. Ratarata pH pada ketiga stasiun masih berada dalam range pH netral. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa ketiga stasiun masih berada dalam kondisi yang normal dan belum
tercemar, walaupun alkalinitasnya tergolong sangat tinggi untuk perairan tawar. Pada air
tawar yang normal mempunyai alkalinitas 40 ppm, tapi nilai rangenya berkisar antara 20-30
ppm (Van Wyk Dan Scarpa, 1999). Perbedaan data hasil dengan teori disebabkan karena
faktor eksternal, yaitu hujan lebat.
KESIMPULAN
Ekosistem sungai Winongo memiliki karakteristik yang rimbun dan bersuhu sejuk,
dasarnya ada yang bebatuan, berpasir, dan juga berlumpur, topografinya cukup landai,
berarus sedang. Berdasarkan data-data parameter lingkungan yang diambil dan diamati pada
praktikum kali ini, disimpulkan bahwa daerah hulu (stasiun 1) adalah daerah yang paling

baik. Hal ini disebabkan karena DO, CO2, pH, dan alkalinitasnya yang masih baik. Namun,
hasil praktikum kali ini bisa saja berubah bila dilakukan di lain hari saat cuacanya cerah,
tidak hujan deras. Pada praktikum kali ini dapat dilihat bahwa beberapa parameter
lingkungan sangat berkaitan dengan komunitas biota perairan sungai. Suhu udara maupun air
sangat berpengaruh akan kandungan oksigen dalam perairan dan berlanjut pada banyaksedikitnya organisme dalam perairan tersebut. Cahaya matahari juga memengaruhi ekosistem
perairan karena berperan dalam proses fotosintesis fitoplankton yang ada di dalam perairan.
Densitas dan diversitas plankton dan makrobentos juga dipengaruhi oleh kecepatan arus air
karena plankton tidak bisa hidup dalam air yang berarus deras. Berdasarkan indeks diversitas
biota perairan, kualitas perairan di daerah hulu sungai Winongo masih baik dan sebaiknya
harus tetap dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, D. 2004. Biologi SMA untuk Kelas X. Erlangga. Jakarta.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press.
Medan.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Hutagalung, R.A. 2004. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
Lippsmeir, G. 1994. Bangunan Tropis. Erlangga. Jakarta.
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wetzel, R.G. 2001. Limnology. 4th. W. B. Saunders. Co. Philadelphia. Pensylvania.
Whitten JA, Mustafa M, Henderson A. 1987. Ekologi Sulawesi. Universitas Gajah Mada
Press. Yogyakarta.
Wibisono, M.S, 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.