Pengertian Politik Menurut Para Ahli Def

Pengertian Politik Menurut Para Ahli Defniii

Pengertian politik menurut para ahli - Menurut Ramlan Surbakti (1999 : 1) bahwa
defniii politik adalah interakii antara pemerintah dan maiaarakat dalam rangka
proiei pembuatan dan pelakianaan keputuian aang mengikat tentang kebaikan
beriama maiaarakat aang tinggal dalam iuatu wilaaah tertentu.

Defniii Politik Menurut Para Ahli - Dari pendapat di atai dapat diiimpulkan bahwa
politik merupakan ialah iatu iarana interakii atau komunikaii antara pemerintah
dengan maiaarakat iehingga apapun program aang akan dilakianakan oleh
pemerintah ieiuai dengan keinginan-keinginan maiaarakat dimana tujuan aang
dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.

Pengertian komunikaii penulii iederhanakan iecara umum iebagai “hubungan”
atau kegiatan upaaa interakii manuiia dengan lembaga dan dapat beriifat
langiung atau tidak langiung (melalui perantara/media maia), biia beriifat vertical
dan horizontal.

Hal itu didukung pula oleh pendapat Koiaiih Djahiri (2003 : 31) bahwa komunikaii
adalah : “Suatu proiei (proiei, reakii atau interakii) dan merupakan produk dari
pada kemampuan manuiia/lembaga pelaku aang beriangkutan”.


Dengan kata lain komunikaii adalah jantung dari kehidupan manuiia dan
maiaarakat ierta merupakan ialah iatu kebutuhan daiar aang dimiliki manuiia
dalam kehidupan bermaiaarakat. Tanpa proiei dan kegiatan ini manuiia/ kelompok
aang beriangkutan akan diberi gelar oleh kelompok lainnaa “apatii dan aioiial”.

Menurut F. Iijwara, (1995 : 42) politik ialah ialah iatu perjuangan untuk
memperoleh kekuaiaan atau iebagai tekhnik menjalankan kekuaiaan-kekuaiaan”.

Dari pendapat teriebut iaaa iimpulkan bahwa politik merupakan iebuah iarana
memperjuangankan kekuaiaan ierta mempertahankan kekuaiaan itu demi tujuan
aang ingin dicapai.
Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat diartikan iebagai aktivitai
perilaku atau proiei aang menggunakan kekuaiaan untuk menegakkan peraturanperaturan dan keputuian-keputuian aang iah berlaku di tengah maiaarakat.

Dengan demikian aturan-aturan dan keputuian aang tadi ditetapkan ierta
dilakianakan oleh pemerintah ditengah keadaan ioiial aag dipengaruhi oleh
kemajemukan / kebhinekaan, perbedaan kontroverii, ketegangan dan konfik oleh
karena itu perlunaa di tegakkan tata tertib iehingga dapat diharapkan dengan
penegakan tata tertib teriebut tidak akan terhadi perpecahan antar maiaarakat

Sebagai perbandingan beriama ini diiajikan pengertian politik dari iegi lain aang
dikutip dari oleh Pamudji.

Secara etimologii politik dari bahai Yunani “Polii” aang artinaa iama dengan kota
(Cita) atau negara kota (Cita State) dari polii timbul iitilah lain polite artinaa warga
negara, politicoi artinaa kewarganegaraan, politike techen artinaa kemahiran
berpolitik, dan ielanjutnaa orang-orang romawi mengambil iitilah teriebut ierta
menamakan pengetahuan tentang negara itu iebagai kemahiran tentang maialahmaialah kenegaraan.

Dengan demikian jelailah bahwa piolitik aang beriangkut paut dengan ioal-ioal
negara dan pemerintah.

Ada beberapa defniii mengenai pendidikan politik aang dikutip oleh Kartini Kartono
(1996 : 64) iebagai berikut :
Pendidikan politik adalah bentuk pendidikan orang dewaia dengan menaiapkan
kader-kader untuk pertarungan politik dan mendapatkan penaeleiaian agar
menadang dalam perjuangan politik
Pendidikan politik adalah upaaa edukatif aang internaiional, di iengaja dan
iiitematii untuk membentuk inividu iadar politik, dan mampu menjadi pelaku
politik aang bertanggung jawab iecara etii atau moril dalam mencapai tujuantujuan politik.


R. Haaer menaebut : pendidikan politik adalah uiaha membentuk manuiia menjadi
partiiipaii aang bertanggung jawab dalam politik.

Dari pendapat di atai dapat diiimpulkan bahwa uniur pendidikan dalam pendidikan
politik pada hakekatnaa merupakan aktivitai pendidikan diri (mendidik diri iendiri
dengan iengaja) aang terui menerui, hingga orang aang beriangkutan lebih
mampu dan memahami dirinaa iendiri ierta iituaii kondiii lingkungan iekitar,
kemudian mampu menilai iegala ieiuatu iecara kritii ierta mampu menentukan
iikap dan cara penanganan maialah-maialah aang terjadi di tengah-tengah
lingkungan hidupnaa dalam kehidupan bermaiaarakat

Pendidikan politik juga iebagai ialah iatu bagian dari pendidikan iecara umum
dimana iangat membutuhkan proiei pembinaan dalam proieinaa tentang hal ini
GBHN (1999) menegaikan iebagai berikut :

“Meningkatkan pendidikan politik iecara inteniif dan konfreheniif kepada
maiaarakat untuk mengembangkan budaaa politik aang demokratii, menghormati
keberagaman aipiraii, dan menunjang tinggi iupreemaii hukum dan hak aiaii
manuiia berdaiarkan pancaiila dan Undang-undang Daiar 1945”

Pengertian Politik

Hal ini memberikan iiaarat betapa pentingnaa pendidikan politik untuk di tanamkan
/ diterapkan pada iemua warga negara Indoneiia agar memiliki keiadaran politik
bangia. Melalui pendidikan politik diharapkan akan lahir warga negara aang
demokratii, patuh pada hukum iadar akan keberiamaan dan menghargai nilai
kemanuiiaa iecara beradab.

Adapaun tujuan dan inti dari pendidikan politik ieiuai dengan iii aang teriurat
dalam pancaiila iila ke-4 antara lain membuat rakaat menjadi melek politik atau
iadar politik, lebih kreatif dalam partiiipaii ioiial politik di era pembangunan iaat
ini, iekaligui juga menghumaniiaiikan maiaarakat agar menjadi “leefbaar” aaitu
lebih naaman dan iejahtera untuk ditempati oleh warga negara Indoneiia.

Referenii - Pengertian Politik Menurut Para Ahli Defniii

Surbakti Ramlan,(1999), Memahami ilmu politik, Gramedia Widia iarana Indoneiia,
Jakarta

Djahiri A Koiaiih, (2003), Politik kenegaraan dan hukum,Lab PPkn UPI Bandung


Iijwara F, (1995), Pengantar Ilmu Politik,Bina Cipta, Bandung.

Kartono Kartini, (1996) Pendidikan Politik, Mandiri Maju, Bandung

Etika Politik dan
Penerapannya
Sri
Sultan
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hamengku

Buwono

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular.
Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia
juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang
sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan
simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi

pun
diasosiasikan
dengan
“watak
binatang” 1.

Politik
“Kebun
Binatang”
Memang, pada sejak zaman dahulu, para budayawan dan filosof kerap menggunakan kisah-kisah perumpamaan
“dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub
Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Bahkan suatu ketika, Mahbub sendiri menulis kolom “Politik Kebun Binatang”
untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, walaupun ada
istilah homo hopini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan
melakukan
“pembenaran”.
Jika kita sempat mengunjungi Museum Purbakala Sangiran, dan sempat menyaksikan film dokumenter yang
diputar untuk pengunjung, betapa kita kaya sekali akan fosil, yang terkenalnya adalah fosil manusia
purba Pitecanthropus
Errectus yang

mirip
“manusia
kera”.
Digambarkan fosil-fosil itu adalah jawaban atas the missing link dari mata rantai evolusi sejarah asal-usul
manusia, dari “wujud binatang” menuju bentuknya yang sempurna. Untuk menuju (peradaban) sempurna butuh
proses evolusi jutaan tahun lamanya. Tetapi, mengapa “watak buas dan kejam” masih terus melekat? Di Surat AtTin dalam Al Qur’an ada istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada
level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut
pada
apa
yang
Pujangga
Ranggawarsita
sebut
sebagai
zaman
edan.

Uang
adalah
Panglima

Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik
dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar
baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik
diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan
golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.
Di sisi lain nasionalisme kita berubah menjadi “kebangsaan uang”. Tidak terlalu digubris bahwa nasionalisme kita
hanya akan berkembang dengan subur di alam demokrasi ini, bila Pancasila dijadikan acuan dalam etika politik.
Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat
dasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan poltik demokratis yang berbasis etika dan
moralitas.
Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami
kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang
seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa
depan bangsa ini kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan kerena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan
politik.
Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa
realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja.
Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada
Pancasila hancur karena politik identik dengan uang. Uang menjadi penentu segala-galanya dalam ruang publik.


Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi
sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman hanya sekedar simbol lahiriah yang menjelma dalam ritus dan
upacara. Iman tidak terkait dengan tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik. Politik tidak
tersentuh oleh etika iman, seperti yang diajarkan oleh sila pertama dari Pancasila, KeTuhanan Yang Maha Esa.
Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik paraelite dalam setiap jejak perjalanannya
membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya
sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa,
menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.
Jadi jika kita tarik logika yang ada di kepala masing-masing kelompok, (nyaris) tidak ada yang namanya
kepentingan bersama untuk bangsa. Yang ada hanyalah kebersaman fatamorgana. Seolah-olah kepentingan
bersama, padahal itu hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi. Hampir tidak ada kesepakatan
di mata para politisi kita tentang akan dibawa ke mana bangsa ini, karena semua merasa benar sendiri, dan tidak
pernah mau menyadari di balik pendapat yang ia nyatakan, mengandung kekurangan yang bisa ditutup oleh
pendapat kelompok lain. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati, dan tertimbun oleh arogansi
untuk
menguasai
kelompok
lain.
Memang benar alam raya ini penuh dengan perbedaan. Demikian pula politik, penuh dengan perbedaan pendapat.
Tapi di Indonesia perbedaan pendapat justru menjadi penghalang untuk mencapai visi bersama bangsa. Betapa

sedih melihat ketika demokrasi yang kita rasakan dibangun oleh para elite dengan cara manipulatif dan penuh
rekayasa
untuk
menjatuhkan
lawan.
Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik
keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis
dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara
apa
pun,
meski
bertentangan
dengan
pandangan
umum.
Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi
dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang
diperlukan
dan
mana

yang
dijauhi.
Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan
untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih
bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali
keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan
alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan
merasa
bersalah
bisa
dengan
mudah
diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut
sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif,
semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh,
karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya,
semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si
pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang
politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke
arah
“jual-beli”
menggunakan
uang
maupun
sesuatu
yang
bisa
dihargai
dengan
uang 2.

Budaya
Demokratis
Tidak dapat dimungkiri, sebagai bangsa, Indonesia begitu majemuk. Aneka kelompok, baik yang mengikat diri
secara kultural, ideologis maupun agamis, berkejaran dalam jagat ke-Indonesiaan. Sehubungan dengan itu,
persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak akta pendirian bangsa ini adalah mewujudkan tatanan hidup
bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta
irrasional,
seperti
kekerasan,
manipulasi,
kebohongan,
hegemoni,
dan
sebagainya.

Bersamaan dengan menggelindingnya demokratisasi, ke-berbagai-an (kebhinekaan) dan ke-berbagi-an (resource
sharing) yang sempat dibungkam secara ideologis semasa Orde Baru kembali bernapas. Ke-berbagai-an dan keberbagi-an yang sayang sejak berdirinya bangsa ini tidak pernah diberi kesempatan belajar bagaimana hidup
bersama
dan
berbagi
secara
rasional.
Yang ada hanya kuliah-kuliah kering tanpa persatuan-kesatuan, toleransi, dan kebersamaan. Ide-ide yang gegapgempita di ruang-ruang penataran, namun miskin secara praksis. Hasilnya, etika sosial pecah berantakan.
Demokrasi diajukan ke meja hijau. Demokrasi dituduh meriuh-rendahkan kehidupan politik yang dulu senyapsejuk. Disintegrasi! Itulah retorika magis yang membuka pintu bagi aparatur koersif untuk turun tangan. Pertikaian
sosial hanya bisa diredam dengan tangan besi. Tidak ada jalan lain. Demokrasi hanya retorika indah di seminarseminar, ruang kuliah, dan media massa. Masyarakat membutuhkan kedamaian bukan demokrasi. Demokrasi
dituding sebagai tidak indah. Wajahnya centang-perentang dan sukar disusun rapi. Damai lebih indah. Meski harus
menjatuhkan
diri
kembali
ke
pelukan
rezim
tangan
besi.
Sebuah tatanan hidup bersama secara rasional membutuhkan lebih dari sekadar reformasi demokratis-prosedural.
Reformasi yang semata meluruskan prosedur-prosedur politik yang melenceng dari garis demokrasi. Pemilu
multipartai dilangsungkan secara fair lima tahun sekali. Presiden dipilih langsung. Masa jabatannya dibatasi dua
kali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berfungsi proporsional dan maksimal, dan sebagainya. Demokrasi
prosedural
seperti
itu
belum
tentu
menghasilkan
etika
sosial.
Demokrasi semata menetapkan prosedur-prosedur guna menjamin apa yang disebut democratic liberites.
Sebagian democratic liberitiesyang umumnya dijamin adalah kebebasan berekspresi, berserikat, dan menjalankan
syariat agama. Namun, kebebasan berekspresi bisa dijadikan jalan untuk mengobarkan sentimen anti-etnis atau
agama tertentu. Kebebasan berserikat bisa dijadikan alasan untuk menghukum para bidah. Dan, kebebasan
beragama
tidak
mengatur
koeksistensi
antarumat
beragama.
Bagaimana demokrasi bisa seiring dengan etika sosial. Satu-satunya jalan adalah terwujudnya apa yang disebut
budaya demokratis (democratic culture). Demokrasi tanpa dibarengi budaya demokratis ibarat pelita tanpa
minyak. Nyala rezim demokratis di berbagai belahan dunia meredup karena gagal mewujudkan budaya demokratis
dalam
masyarakatnya.
Demokrasi sendiri menuntut terpatrinya tiga dimensi kultural. Dimensi pertama adalah kedaulatan populis.
Dimensi ini menuntut rakyat dan bukan pejabat publik yang berdaulat. Kewenangan pejabat-pejabat publik harus
senantiasa dijadikan obyek strukturisasi publik. Kesetaraan politik adalah kata kuncinya. Musuh besar dimensi
pertama
demokrasi
ini
adalah
segala
bentuk previlese sosial.
Dimensi kedua adalah kesetaraan warga negara. Dimensi ini menuntut setiap warga negara dipandang sebagai
subyek hukum yang setara dalam melibatkan diri secara politis. Melibatkan diri dalam hal ini bukan saja sebagai
pengadil proses-proses politik, tetapi juga sebagai partisipan aktif. Untuk itu, peluang warga negara untuk
mempengaruhi proses-proses politik harus dijamin setara. Demokrasi cacat bila satu atau beberapa kelompok
masyarakat memiliki defisit peluang dalam mengartikulasi keyakinan-keyakinannya dalam proses politik. Distribusi
ekonomi yang timpang bisa jadi salah satu pemicunya. Artikulasi gagasan didominasi donor-donor kaya.
Dimensi ketiga adalah diskursus demokrasi. Jika tiap-tiap warga negara dipandang sebagai rekanan dalam urusan
politik, mereka lebih dulu memposisikan diri sebagai individu yang bebas. Deliberasi individu harus berkonsentrasi
pada argumen untuk menolak atau menerima sebuah aksi kolektif sehingga warga negara yang agendanya ditolak,
paling tidak puas bahwa mereka berpeluang meyakinkan yang lain, bukan sekedar kalah suara.
Sensor, kebohongan, dan manipulasi adalah musuh-musuh utama dimensi ketiga demokrasi ini. Tiga dimensi
demokrasi-kontrol populis terhadap pejabat-pejabat publik, kesetaraan politik warga negara, diskursus politik
yang fair dan setara, menuntut tegaknya budaya demokratis. Budaya yang mengandung dua komponen pokok.
Pertama, kemandirian dan kedua, nalar publik. Budaya adalah struktur. Kebiasaan yang berulang dan
menghasilkan pola yang dihayati bersama. Pola kultural yang belum sepenuhnya lepas dari masyarakat kita adalah
pola-pola feodalisme. Stuktur kultural feodalisme amat berseberangan dengan kultur kemandirian. Feodalisme
adalah ketergantungfan in optima forma. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan
melemahkan
inisiatif
publik.

Rezim Orde Baru dengan jeli memanfaatkan kondisi kultural ini. Potensi apatisme politik dalam masyarakat
dikeraskan lewat perangkat koersif maupun ideologis. Kultur feodalisme juga mengerem pertumbuhan civil society.
Karena kekuasaan diagungkan, maka kekuatan non-pemerintah diremehkan. Politik ditafsirkan sebagai ajang cari
makan dan status. Karier yang bagus berarti kantung tebal dan status sosial yang kian membumbung.
Logikanya pun menjadi politik praktis: perebutan dan aksentuasi kekuasaan. Padahal civil society berpijak pada
logika politik yang berbeda. Logika politik civil society bukan bukan politik praktis, tetapi politik emansipatoris.
Artinya, politik guna membela hak dan membebaskan warga negara dari ketergantungan politis lewat konsistensi
dan advokasi. Sasarannya adalah naiknya posisi tawar masyarakat dan menciptakan budaya kemandirian yang
proaktif.
Demokrasi yang beretika sosial menuntut enyahnya irasionalitas dari tatanan hidup bersama. Untuk itu, nalar
publik mesti dijadikan sarana epistemik tiap perjumpaan ideologis. Prinsip nalar publik sederhana saja. Setiap
klaim apakah itu moral, filosofis, agamis, maupun ideologis, harus didasarkan pada satu argumentasi yang dapat
diterima semua pihak yang berkepentingan. Kata kuncinya adalahunderstandability dan communicability. Ini harus
dihayati
betul
oleh
tiap
individu
atau
kelompok
dalam
sebuah
rezim
demokratis.
Membudayakan nalar publik bukan tugas ringan. Dalam masyarakat yang sebagian besar masih dikungkung
kubah-kubah primordial, nalar yang dipakai masih bersifat privat. Nalar yang cenderung tertutup, sektarian, dan
tidak bisa menerima perbedaan. Sasarannya bukan mencari irisan kepentingan, tetapi efektifitas dan kesuksesan.
Kelompok atau individu lain dipandang sekadar sebagai sarana, bukan sebagai subyek diskursif yang setara.
Bagaimana membangun sebuah kultur demokratis? Tidak ada jalan lain kecuali menggelar strategi kebudayaan.
Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan
konseptual. Sistem yang berfokus pada penciptaan individu-individu yang otonom dan kritis dalam daya
pertimbangan. Otonom bukan berarti egosentris. Karena itu, pelajaran budi pekerti harus menekankan
perjumpaan, pengenalan, dan pemahaman “yang lain” (the others). Strategi pedagogis ini tentu membidik target
jangka panjang. Strategi yang amat menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini 3.

Catatan
Akhir
Power tends to corrupt dan Ethics has no place in politics adalah dua adagium klasik dalam textbook ilmu politik
yang ingin menunjukkan betapa mudahnya kita terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika.
Sebaliknya, adagium ini pulalah yang membuat kita untuk selalu tidak jenuh dan letih meneriakkan perlunya etika
politik dalam mengemban tugas dan tanggung jawab bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori politik, etika
politik bukanlah sekadar gagasan himbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis seperti
sinyalemen adagium di atas. Minimum ada tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur
muatan
etika
politik
dari
sebuah
politik
atau
pun
kebijakan
publik 4.
Prasyarat pertama adalah prinsip kehati-hatian (principle of prudence), sebuah prinsip yang “mempertanyakan”
secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dari para
pemegang kunci kekuasaan politik. Dalam prinsip ini, sebuah tindakan yang memiliki motif untuk “memihak”
kepentingan lebih luas dibanding dengan kepentingan sempit partai atau diri sendiri akan memiliki nilai etika yang
jauh
lebih
tinggi
dan
terpuji.
Prinsip kedua adalah prinsip tatakelola (principle of governance) yang berhubungan dengan masalah etika di dalam
“proses” pengambilan keputusan ataupun penetuan tindakan. Prinsip ini menyangkut pengukuran terhadap
standar-standar yang digunakan di dalam menentukan sebuah tindakan ataupun kebijakan. Kesadaran akan
pentingnya akuntabilitas, transparansi dan soladiritas, secara otomatis, akan melahirkan perilaku dan keputusan
yang
jauh
lebih
etis.
Prinsip yang ketiga adalah prinsip pilihan rasional (principle of rational choice) yang secara metodologis
menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan ataupun kebijakan
dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan atau keputusan yang memiliki manfaat yang sangat tinggi dan
signifikan bagi kepentingan umum jauh lebih etis dibanding tindakan yang hanya melayani kepentingan pribadi
ataupun
kepentingan
manuver
partai
politik
yang
sesaat.

Dalam kehidupan politik sehari-hari, baik biaya (costs) maupun manfaat (benefits) tidak selalu hadir dalam bentuk
fisik-material. Namun juga kedua aspek tersebut dapat diurai dalam bentuk nilai-nilai simbolik seperti trust,
stabilitas, soladiritas, ataupun loyalitas. Dari uraian tersebut, kita perlu mengingatkan pentingnya muatan etika
politik
sebagai
acuan
bersama
bagi
jagat
perpolitikan
kita.
Setidaknya ada tiga muatan etika politik yang saya usulkan. Pertama, watak baru yang berakar budaya, berwatak
progresif dan memihak bangsa. Kedua, kebhinnekaan, kebersamaan, kerukunan, dan kebangsaan Indonesia perlu
dirajut ulang serta Pancasila ditegakkan kembali. Ketiga, membela rasa keadilan rakyat, mengabdi Ibu Pertiwi
demi
kesejahteraan
rakyat
dan
kemuliaan
negara.[]

__________
Pidato Dies yang disampaikan dalam Temu Akbar Alumni Dies Natalis Ke-40 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2008.

1 M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
2
Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
3
Donny Gahral Adian, “Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi“, Kompas, Opini, 22 Juli 2002.
4 Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.

http://www.ietneg.go.id/index.php?
option=com_content&taik=view&id=2802&Itemid=222

Etika Politik

MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA
(Pancaiila Sebagai Etika Politik)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Pengamalan Pancaiila dalam kehidupan iekarang ini memang iudah tidak rahaiia
lagi kalau iemakin memudar iaja iehingga iangat iulit untuk ditemukan. Tidak

terkecuali di kalangan intelektual dan kaum elit politik bangia Indoneiia tercinta ini.
Kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum ierta hankam merupakan ranah
kerjanaa Pancaiila di dunia Indoneiia aang iudah menjadi daiar negara dan
membawa negara ini merdeka hingga iekarang ini. Secara hukum Indoneiia
memang iudah merdeka ielama itu, namun jika kita telah iecara individu hal itu
belum terbukti. Maiih banaak penaimpangan aang dilakukan para elit politik dalam
berbagai pengambilan keputuian aang ieharuinaa menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancaiila dan keadilan bagi ieluruh warga negara Indoneiia. Keadilan aang
ieharuinaa mengacu pada Pancaiila dan UUD 1945 aang mencita-citakan rakaat
aang adil dan makmur iebagaimana mana termuat dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 1 dan 2 hilanglah iudah ditelan kepentingan politik pribadi.

Pancaiila iebagai iuatu iiitem fliafat pada hakikatnaa merupakan iuatu nilai
iehingga merupakan iuatu nilai iehingga merupakan iumber dari iegala
penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan
lainnaa. Dalam Filiafat Pancaiila terkandung didalamnaa iuatu pemikiranpemikiran aang beriifat kritii, mendaiar, raiional, iiitematii dan kompreheniif
(menaeluruh) dan iiitem pemikiran ini merupakan iuatu nilai. Oleh karena itu iuatu
pemikiran fliafat tidak iecara langiung menaajikan norma-norma aang merupakan
pedoman dalam tindakan atau iuatu aipek prakiii melainkan iuatu nilai-nilai aang
beriifat mendaiar. Sebagai iuatu nilai, Pancaiila merupakan daiar-daiar aang
beriifat fundamental dan univerial bagi manuiia baik dalam hidup bermaiaarakat,
berbangaia dan bernegara.

B.

RUMUSAN MASALAH

Ø Pengertian Pancaiila
Ø Pengertian Etika
Ø Pengertian Politik
Ø Pengertian Nilai
Ø Pengertian Moral
Ø Etika Politik dan Etika Pancaiila
Ø Nilai Etik dalam Pancaiila
Ø Etik dalma Kehidupan Kenegaraan dan Hukum

Ø Kritii Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan
Ø Etika Kehidupan Bangia

C.

KAJIAN TEORI

Adapun metode aang digunakan dalam penuliian makalah ini adalah dengan
menggunakan metode kepuitakaan, aakni :membaca dan merangkum hal-hal
penting apa iaja aang aang di ambil dari bahan pembuatan makalah ini aaitu buku
pendidikan pancaiila dan mengutip dari internet.

BAB II
PEMBAHASAN

Ø Pengertian Pancaiila
Pancaiila adalah daiar faliafah Negara Indoneiia iebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945. Oleh Sebab itu, kewajiban ietiap warga Negara Indoneiia
harui mempelajari, mendalami, menghaaati, dan mengamalkannaa dalam iegala
bidang kehidupan.
Ø Pengertian Etika
Etika adalah ilmu aang mempertanaakan tanggung jawab dan kewajiban manuiia.
Etika dibagi menjadi tiga aaitu khuiui, individual dan ioiial, Etika khuiui adalah
etika aang mempertanaakan priniip-priniip daiar dengan hubungan dengan
kewajiban manuiia dalam berbagai lingkup kehidupan . Sedangkan etika iocial
adalah etika aang mempertanaakan tanggung jawab dan kewajiban manuiia
iebagai mahluk ioiial atau umat manuiia
Etika individu adalah etika aang mempertanaakan tanggung jawab dan kewajiban
manuiia iebagai makhluk individu terhadap dirinaa iendiri.

Ø Pengertian Politik
Pengertian politik beraial dari kata Politici aang memiliki makna bermacam-macam
kegiatan dalam iuatu iiitem politik atau negara aang menaangkut proiei tujuan
penentuan-penentuan tujuan dari iiitem itu dan diikuti dengan pelakianaan tujuantujuan itu. Pengambilan keputuian atau deciiionimaking mengenai apakah aang
menjadi tujuan dari iiitem politik itu aang menaangkut ielekii antara beberapa
alternatif dan penauiunan ikala prioritai dari tujuan-tujuan aang dipilih.
Untuk pelakianaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakianaan-kebijakianaan
umum atau public policiei, aang menaangkut pengaturan dan pembagian atau
diitributioni dari iumber-iumber aang ada. Untuk melakukan kebijakianaankebijakianaan itu diperlukan iuartu kekuaiaan (power), dan kewenangan
(authorita) aang akan dipakai baik untuk membina kerjaiama maupun
menaeleiaikan konfik aang mungkin timbul.
Ø Pengertian Nilai
Nilai di bagi menjadi tiga aaitu :
1.
Nilai Daiar aaitu aiai-aiai aang kita terima iebagai dalil aang kurang lebih
mutlak.
2.
Nilai Initrumental aaitu pelakianaan umum nilai-nilai daiar, aang biaianaa
dalam wujud norma ioiial atau norma hukum, aang ielanjutnnaa akan
terkriitaliiaii oleh lembaga-lembaga aang ieiuai dengan kebutuhan tempat dan
waktu.
3.

Nilai Praktii aaitu nilai aang ieiungguhnaa kita lakianakan dalam kenaataan.

Ø Pengertian Moral
Pengertian moral aaitu iuatu ajaran baik atau buruk tentang perbuatan dan
kelakuan. Di dalam Pancaiila iebagai nilai moral perorangan, moral bangia, dan
moral negara mempunaai pengertian :
1.
Daiar negara repuplik Indoneiia aang merupakan iumber dari iegala iumber
hukum aang ada dan berlaku.
2.
Pandangan hidup bangia Indoneiia aanng dapat memperiatukan ierta
memberi petunjuk dalam mencapai keiejahteraan.
3.
Jiwa dan kepribadian bangia Indoneiia karena pancaiila merupakan ciri khai
bangia Indoneiia.

Ø Etika Politik dan Etika Pancaiila
Etika dan politik terdapat hubungan aang pararel aaitu hubungan teriimpul pada
tujuan aang iama-iama ingin dicapai , tujuan aang ingin dicapai oleh etika dan
politik adalah terbinanaa warga negara aang baik , aang iuiila , aang ietia pada
negara. Dari iemua tujuan teriebut merupakan tanggung jawab dan kewajiban
moral dari ietiap warga Negara iebagai modal pokok untuk membentuk iuatu
kehidupan bernegara berpolitik aang baik dan rohani.
Pengertian politik dalam proiei pemakainnaa dewaia ini iudah teraia
iangat jauh menaimpang atau jauh lebih luai dari pengertian aialnaa,
koniekueniinaa adalah timbul peraiangka iikap iinii , iikap muka dua. Diiamping
timbulnaa iikap pura-pura bidang politik ,atau orang aang berkecimpung dalam
bidang ini. Kaitannaa dengan pancaiila maka etika politik dengan raia etik tidak
lain adalah etika Pancaiila . Pancaiila iebagai etika politik bagi bangia dan negara
Indoneiia adalah etika aang dijiwai oleh faliafah negara Pancaiila. aaitu:
1.

Etika aang berjiwa Ketuhanan aang Maha Eia

2.

Etika aang berprikemanuiiaan

3.

Etika aang dijiwai oleh raia keiatuan naiional

4.

Etika aang berjiwa demokraii

5.

Etika aang berkeadilan ioiial

Ø Nilai Etika dalam Pancaiila
Etika memberi manuiia orientaii bagaimana ia melakukan iemua tindakan ieharihari aang menjadi pegangan. Adapun nilai-nilai etika aang terkandung dalam
pancaiila tertuang dalam berbagai tatanan iebagai berikut:
1.

Tatanan bermaiaarakat

2.

Tatanan bernegara

3.

Tatanan kerjaiama antar negara atau tatanan luar negeri

4.

Tatanan pemerintah daerah

5.

Tatanan hidup beragama

6.

Tatanan bela negara

7.

Tatanan pendidikan

8.

Tatanan berierikat

9.

Tatanan hukum dan keikutiertaan dalam pemerintah

10. Tatanan keiejahteraan ioiial
Ø Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum
Etika adalah iebuah cabang fliafat aang berbicara mengenail nilai dan moral aang
menentukan perilaku manuiia dalam hidupnaa, manuiia dalam hidupnaa tidak
terlepai dari bantuan orang lain untuk itu manuiia perlu hidup berkelompok aang
menampilkan iniane berfkir dan iekaligui iebagai iniane uiaha.
Memberikan analiiii terhadap kenegaraan tidak lepai kaitannaa dengan hukum.
negara adalah itatui hukum iuatu illegal iocieta haiil perjanjian bermaiaarakat.
Pada umunaa kegiatan kenegaraan kaitannaa dengan haiil perjanjian
bermaiaarakat orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan meliputi
1.

Bentuk hukum atau kewenangan legiilatif

2.

Menerapkan hukum atau kewenangan ekiekutif

3.

Menegakkan hukum atau kewenangan audikatif

Oleh iebab itu analiiii negara tidak dapat dipiiahkan dari analiiii tata hukum,
dapat dikatakan bahwa etika dalam kehidupan kenegaraan dan hukum tidak lepai
dari analiiii fungii kenegaraan, iaitem pemerintah, hak dan kewajiban warga
negara dan penduduk aang iemua diatur dalam etika kenegaraan dan tatanan
hukum iebuah negara.

Ø Evaluaii Kritii Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan
Terdapat etika dalam kaitannaa dengan nilai dan norma aaitu etika deikriptif aaitu
beruiaha meneropong iecara kritii dan raiional iikap dan pola perilaku manuiia
dan apa aang dikejar oleh manuiia dalam hidupnaa. Dalam etika ini membicarakan
mengenai penghaaatan nilai, tanpa menilai, dalam iuatu maiaarakat tentang iikap
orang dalam menghadapi hidup dan tentang kondiii-kondiii aang mungkin manuiia
bertindak iecara etii,
Etika normatif adalah etika aang beruiaha menetapkan berbagai iikap dan
pola perilaku ideal aang ieharuinaa dimiliki oleh manuiia dan tindakan apa aang
ieharuinaa diambil. Dalam etika ini terkandung norma-norma aang menuntun
tingkah laku manuiia ierta memberi penilaian dan himbauan kepada manuiia
untuk bertindak iebagaimana aang ada dalam norma-norma. Seiuai dengan pola
pendekatan etika kritii dan raiionel, etika menuntun orang untuk mengambil iikap
dalam hidup. Dengan etika deikriptif, manuiia diiodori fakta iebagai daiar

mengambil putuian tentang iikap dan perilaku aang akan diambil, iedangkan etika
normatif manuiia diberi norma iebagai alat penilai atau daiar dan kerangka
tindakan aang akan diputuikan.
Ø Etika Kehidupan Bangia
Bangia Indoneiia adalah pluralitai atau bermacam-macam ieperti iuku, budaaa,
rai, bahaia dan iebagainaa. Anugerah teriebut harui diiaukuri dengan cara
menghargai kemajemukan tetap dipertahankan, iejak terjadi kriiii
multidimeniional muncul ancaman aang ieriui terhadap periatuan bangia aang
diiebabkan oleh beberapa faktor baik aang beraial dari dalam negeri maupun luar
negeri. Dengan demikian melalui ketetapan MPR/VI/MPR/2001 telah menetapkan
tentang etika kehidupan bangia untuk diamalkan oleh ieluruh bangia Indoneiia.
Tap teriebut diiuiun diiuiun dengan makiud untuk membantu menaadarkan
tentang arti penting tegaknaa etika dan moral dalam kehidupan berbangia, iedang
tujuannaa adalah agar menjadi acuan daiar meningkatkan kualitai manuiia aang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia ierta kepribadian Indoneiia dalam
kehidupan berbangia . Pokok etika dalam kehidupan berbangia mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladanan, iportiftai , diiiplin , etoi kerja, kemandirian, iikap
toleranii, raia malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan ierta martabat diri
iebagai warga negara Indoneiia. Macam-macam etika dalam berbangia meliputi :
1.

Etika ioiial dan budaaa

2.

Etika politik dan pemerintahan

3.

Etika ekonomi dan biinii

4.

Etika penegakan hukum aang berkeadilan

5.

Etika keilmuan

6.

Etika lingkungan

BAB III
PENUTUP
Keiimpulan
Pancaiila merupakan daiar faliafah Negara Indoneiia iebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945. Etika adalah ilmu aang mempertanaakan tanggung
jawab dan kewajiban manuiia. Etika dibagi menjadi tiga aaitu khuiui, individual
dan ioiial. Nilai dibagi menjadi tiga aaitu :
Ø Nilai Daiar aaitu aiai-aiai aang kita terima iebagai dalil aang kurang lebih
mutlak.
Ø Nilai Initrumental aaitu pelakianaan umum nilai-nilai daiar, aang biaianaa
dalam wujud norma ioiial atau norma hukum, aang ielanjutnnaa akan
terkriitaliiaii oleh lembaga-lembaga aang ieiuai dengan kebutuhan tempat dan
waktu.
Ø Nilai Praktii aaitu nilai aang ieeiungguhnaa kita lakianakan dalam kenaataan.
Pancaiila iebagai nilai moral perorangan,moral bangia,dan moral negara
mempunaai pengertian iebagai berikut :
Ø Daiar negara repuplik indoneiia aang merupakan iumber dari iegala iumber
hukum aang ada dan berlaku.
Ø Pandangan hidup bangia indoneiia aanng dapat memperiatukan ierta memberi
petunjuk dalam mencapai keiejahteraan.
Ø Jiwa dan kepribadian bangia indoneiia karena pancaiila merupakan ciri khai
bangia indoneiia.
Memberikan analiiii terhadap kenegaraan tidak lepai kaitannaa dengan hukum.
Negara adalah itatui hukum iuatu illegal iocieta haiil perjanjian bermaiaarakat.

Pada umunaa kegiatan kenegaraan kaitannaa dengan haiil perjanjian
bermaiaarakat. Bangia Indoneiia adalah pluralitai atau bermacam-macam ieperti
iuku, budaaa, rai, bahaia dan iebagainaa, untuk menjaga pluralitai maka di
tetapkan MPR/VI/MPR/2001 telah menetapkan tentang etika kehidupan bangia
untuk diamalkan oleh ieluruh bangia Indoneiia.
Saran
Kita iebagai warga negara aang baik harui mengerti bagaimana politik itu
iendiri aang ieharuinaa dilakianakan ieiuai dengan amanah Pancaiila, tidak
bertentangan dan bukan bagaimana pancaiila dipolitikkan oleh para penguaia
negara khuiuinaa negara Indoneiia.

Daftar puitaka
fle.upi.edu/...Pancaiila.../PANCASILA_SEBAGAI_ETIKA.pdf.
goegito dkk.2010.pendidikan oancaiila.UNNES:iemarang
http://friimi.blogipot.com/

SBY Langgar Etika Politik di
Konvensi Demokrat
INILAH.COM, Jakarta - Ide menjaring calon presiden melalui konvensi yang diselenggarakan
Partai Demokrat dianggap menabrak dan melanggar etika. Ide tersebut dianggap tidak lepas
dari peranan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
"Ini menerobos sekat-sekat lain. Kita senang kalau calon independen tapi jangan kader partai lain.
Devide et impera. Itu melanggar etika politik. Yang dilanggar etika, berkonvensi tapi minus etika
politik," ujar Pengamat Politik dari LIPI, Siti Zuhro, Sabtu (31/8/2013).
Seperti diketahui, ada beberapa kader parpol lain yang diundang oleh komite konvensi untuk jadi
peserta konvensi Capres Demokrat. Beberapa nama itu adalah Ketua Majelis Pertimbangan
Nasional Partai NasDem Endriartono Sutarto, politikus Partai Golkar Jusuf Kalla, politikus PDI-P
Rustriningsih, dan kader PKB Mahfud MD.
Namun hanya Endriartono Sutarno yang akhirnya menerima untuk ikut konvensi Capres Partai
Demokrat. Keputusan Endriartono ini tidak begitu saja mulus, sebab buntut dari keputusan itu,
Endriartono dipecat dari Partai NasDem.
Menurut Siti, terlepas dari hal tersebut, pelaksanaan konvensi Partai Demokrat merupakan sebuah
terobosan baru untuk menjaring capres di era Demokrasi saat ini.
Ide yang pernah dilakukan Partai Golkar berhasil diadopsi Demokrat lebih baik.
"Kalau konvensi memang benar-benar kan bisa dari buttom up mulai dari tingkat desa misalnya
hingga ke pusat penjaringannya. Jadi harusnya berjenjang mulai dari bawah," ujar Siti Zuhro. [mvi]

http://naiional.inilah.com/read/detail/2024976/iba-langgar-etika-politik-di-konveniidemokrat#.UjQSLtK8BWQ

SBY Ajari 11 Kandidat Konvensi
soal Etika Politik
Juru Bicara Komite Konvenii Caprei Partai Demokrat Rulla Charii mengatakan,
dalam pertemuan itu SBY memberikan wejangan kepada 11 peierta konvenii ioal
etika berpolitik.

"SBY berpeian agar para kandidat dalam kampanae tidak iuka menaerang lawan,
tidak menggunakan black campaign, tidak nganeh-anehi, tidak membawa ientimen
agama, tidak memberi janji muluk-muluk, tidak menguiung tema ideologi tertentu,
iiap dan menguaiai maialah," ujar Rulla, di Jakarta, Rabu (11/9/2013).

SBY juga mengingatkan kepada 11 peierta konvenii Caprei Demokrat untuk biia
mengkontrol iaat berbicara di dalam debat-debat terbuka.

"Menguiung iii kepentingan rakaat dan menggunakan itrategi dan taktik aang
tepat," tandainaa.

Dalam pertemuan ini hadir juga beberapa petinggi Partai Demokrat dan jajaran
komite konvenii caprei. [mei]
http://naiional.inilah.com/read/detail/2028473/iba-ajari-11-kandidat-konvenii-ioaletika-politik#.UjQSMNK8BWQ

Kriiii Etika Politik
Poited Jula 27, 2010
Filed under: eiai |
Indoneiia berada dalam lumpur kriiii etika politik (publik). Puncak gunung ei kriiii
ini terlihat ketika para pejabat publik lebih mementingkan kariernaa ketimbang
menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnaa menaukieikan dan memuliakan
jabatan aang diembannaa. Kaiui Andi Nurpati aang meninggalkan KPU merupakan
ialah iatu aang mencolok dari kecenderungan pengabaian etika politik itu.
Setidaknaa ada tiga priniip etii aang harui dijunjung tinggi oleh ietiap pejabat
publik. Pertama, menghormati initituii karena initituii lebih beiar dari pribadinaa.
Kedua, pejabat publik harui mengutamakan kepentingan publik di atai kepentingan
pribadinaa. Ketiga, dalam menunaikan tugainaa, pejabat publik harui beriifat
impariial.

Ketika beriedia –bahkan mendaftarkan diri– untuk jabatan-jabatan tertentu,
meitinaa mereka menaadari bahwa kewajiban untuk menunaikan tugai itu hingga
berakhirnaa maia jabatan. Dengan meninggalkan jabatan iebelum waktunaa,
timbul keian bahwa jabatan baru jauh lebih diinginkan dan lebih terpandang, aang

iecara tidak langiung merupakan pelecehan terhadap jabatan aang akan
ditinggalkannaa. Mereka juga lupa, ketika terpilih menduduki jabatan aang akan
ditinggalkannaa itu, mereka telah menutup keiempatan orang lain aang barangkali
lebih bertanggung jawab.

Bagi Andi Nurpati, iituaiinaa lebih buruk. Pertama, cara menampilkan dirinaa aang
iecara iimbolik menunjukkan keialehan formal ternaata tidak memenuhi
ekipektaii publik dalam eienii keialehan etiknaa. Kedua, menjadi aktivii partai
pada umumnaa merupakan itaiiun perlintaian untuk menduduki jabatan publik.
Akan halnaa Andi Nurpati, jabatan publik juitru jadi perlintaian untuk menjadi
aktivii partai. Bukan iaja hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap initituii
KPU, melainkan juga menimbulkan tanda tanaa ihwal kenetralan dan
impariialitainaa ielaku komiiioner KPU ielama ini.

Kriiii etika politik itu juga tidak hanaa terjadi pada agen-agen maiaarakat politik,
melainkan juga melanda agen-agen maiaarakat iipil. Bagaimana media, khuiuinaa
televiii, menaaangkan kaiui video porno Ariel Peterpan iecara vulgar dan overexpoiure merupakan puncak gunung ei kriiii etika dalam kehidupan maiaarakat
iipil.

Contoh lain aang biia diajukan adalah ketidakmampuan maiaarakat iipil untuk
tidak hanaut dalam politik uang. Maiaarakat iipil dibangun atai daiar keikhlaiankeiukare laan (voluntariim). Karena itu, kecenderungan melibatkan kuaia uang
dalam pemilihan pimpinan ormai-ormai ioiial-keagamaan merupakan bentuk
pembunuhan terhadap watak daiar maiaarakat iipil, aang membuatnaa kehilangan
kewibawaan ekiiiteniial.

Dengan demikian, tampak jelai bahwa kriiii etika politik itu meliputi dan
melibatkan republik iecara keieluruhan. Iitilah republik, “rei publica” (uruian
publik), iendiri meliputi ieluruh initituii, komunitai, dan wacana aang membentuk
tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luai ketimbang ranah pemerintah.
Hollenbach berargumen, jika aang dimakiud dengan ranah politik itu meliputi
keieluruhan aktivitai manuiia dalam kehidupan publik, maka hal itu jauh lebih luai
ketimbang iebatai initituii legiilatif, ekiekutif, dan audikatif.

Dengan demikian, initituii civil iocieta –media, komunitai agama, dan lain-lain–
memiliki peran publik aang dapat mempengaruhi kebijakan publik dan kehidupan

republik melalui pengaruhnaa terhadap berbagai komunitai, wacana, ierta pada
pemahaman budaaa warga negara.

Karena itu, uiaha mengataii kriiii etika politik itu harui mengerahkan korekii total
atai karakter iupraitruktur dan infraitruktur kehidupan publik. Pada tingkat
iupraitruktur, perlu diperkuat pemahaman pejabat publik mengenai “deontologi” ,
aakni priniip-priniip kewajiban dan tanggung jawab pejabat publik. Pokok pikiran
keempat Pembukaan UUD 1945 (Ketuhanan Yang Maha Eia menurut daiar
kemanuiiaan aang adil dan beradab) mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penaelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanuiiaan aang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakaat aang luhur.

Etika politik dapat membantu uiaha aparatur negara untuk membumikan faliafah
dan ideologi negara aang luhur ke dalam realitai politik aang naata. Etika politik
memperioalkan tanggung jawab manuiia iebagai manuiia ierta manuiia iebagai
warga negara –terhadap negara, hukum aang berlaku, dan tatanan publik lainnaa.

Dengan demikian, pendidikan moral ieperti aang diajarkan oleh agama tidak cukup
mengajarkan keialehan perional. Perhatian perlu diluaikan ke arah keialehan
ioiial (publik). Moral publik bukanlah penjumlahan jutaan moral perieorangan,
melainkankan dibangun melalui pemupukan “modal moral” iecara kolektif, dengan
menginveitaiikan potenii kebajikan perieorangan ini ke dalam mekaniime politik
aang biia mempengaruhi perilaku maiaarakat.
httpi://jurnaltoddoppuli.wordpreii.com/2010/07/27/kriiii-etika-politik/

Etika dan Moral Politik vi Penegakan Hukum
Oleh : Dri. M. Sofaan Lubii, SH.
« back to articlei
Dalam praktiknaa antara Politik dan Hukum memang iulit dipiiahkan, karena ietiap
iuatu rezim aang iedang berkuaia diietiap negara punaa “politik hukum” iendiri
dalam melakiana koniep tujuan pemerintahannaa khuiuinaa aang berhubungan
dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknaa baik di dalam negeri
maupun di luar negeri.

Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan aang
diikuti adanaa pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan aang
dijalankannaa juga ikut berganti, dan ietiap kebijakan politik harui memerlukan
dukungan berupa paaung hukum aang merupakan politik hukum dari kekuaiaan
rezim aang iedang berkuaia agar rezim teriebut memiliki landaian aang iah dari
koniep dan itrategi politik pembangunan aang dijalankannaa. Strategi politik dalam
memperjuangkan politik hukum teriebut harui dijalankan dengan mengindahkan
etika dan moral politik.

Adapun “Etika Politik” harui dipahami dalam konteki “etika dan moral iecara
umum”. Bicara tentang “etika dan moral” ietidaknaa terdiri dari tiga hal, aaitu:
pertama, etika dan moral Individual aang lebih menaangkut kewajiban dan iikap
manuiia terhadap dirinaa iendiri. Salah iatu priniip aang iecara khuiui relevan
dalam etika individual ini adalah priniip integraii pribadi, aang berbicara mengenai
perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama
baiknaa iebagai pribadi aang bermoral. Kedua, etika moral ioiial aang mengacu
pada kewajiban dan hak, iikap dan pola perilaku manuiia iebagai makhluk ioiial
dalam interakiinaa dengan ieiamanaa. Tentu iaja iebagaimana hakikat manuiia
aang beriifat ganda, aaitu iebagai makhluk individual dan ioiial. Ketiga, etika
Lingkungan Hidup aang berkaitan dengan hubungan antara manuiia baik iebagai
makhluk individu maupun iebagai kelompok dengan lingkungan alam aang lebih
luai.

Indoneiia iebagai negara aang berdaiarkan Hukum aang keberadaannaa
merupakan produk dari “keputuian politik” dari politik hukum iebuah rezim aang
iedang berkuaia, iehingga tidak biia dihindarkan dalam proiei penegakan hukum
iecara impliiit ‘campur tangan rezim aang berkuaia’ paiti ada. Apalagi iaitem
Pemerintahan Indoneiia dalam konteki “Triai Politica” penerapannaa tidaklah
murni, dimana antara Legiilatif, Ekiekutif dan Yudikatif keberadaannaa tidak berdiri
iendiri. Indoneiia menjalankan koniep triai politica dalam bentuk ‘iparation of
poweri’ (pemiiahan kekuaiaan) bukan ‘diviiion of power’ (pembagian kekuaiaan).
Dimana tanpak di dalam proiei pembuatan undang-undang peran pemerintah
begitu dominan menentukan diberlakukannaa hukum dan undang-undang di negeri
ini.

Kenaataan ini iebenarnaa dapat menimbulkan ketidak puaian rakaat dalam proiei
penegakan hukum di Indoneiia apa lagi di iiii lain para politikui di negeri ini kurang
memahami dan menghormati “etika politik” iaat mereka menjalankan proiei
demokraii aang ielalu cenderung melanggar hukum dan aturan main aang mereka
iepakati iendiri, iehingga tidak berlebihan banaak aang mempertanaakan moral

politik dari para politikui bangia ini. Ekiei dari ketidakpuaian rakaat di dalam
praktik demokraii dan penegakan hukum aang terjadi ielama ini telah
memunculkan fenomena diitruit dan diiintegraiibangia aang pada gilirannaa
mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran iejak tahun 2001, MPR-RI
mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangia. Dimana lahirnaa TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnaa pemahaman
terhadap etika berbangia, bernegara, dan beragama. Munculnaa kekahwatiran para
wakil rakaat di MPR teriebut terungkap iejak terjadinaa kriiii multidimenii aang
memunculkan ancaman aang ieriui terhadap periatuan bangia, dan terjadinaa
kemunduran pelakianaan etika kehidupan berbangia. Hal itu tampak dari konfik
ioiial aang berkepanjangan, berkurangnaa iopan iantun dan budi luhur dalam
pergaulan ioiial, melemahnaa kejujuran dan iikap amanah dalam kehidupan
berbangia, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundangundangan aang berlaku di negeri ini.

Jadi etika politik pada gilirannaa punaa kontribuii aang kuat bagi baik-tidaknaa
proiei penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum aang
iudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah iudah runaamnaa
penegakan hukum di negeri tercinta Indoneiia.

Maka iebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau tidak mau kita iemua
harui iegera membangun moral bangia ini, beri rakaat contoh dan iuri teladan
aang baik dari para Penguaia, pa