Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Be

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan
Bencana Gunungapi Merapi dalam
Perspektif Konstruksi Ruang-Waktu

RINGKASAN DISERTASI

YASIN YUSUP
NIM: 35410002
(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

Institut Teknologi Bandung
2016

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan
Bencana Gunungapi Merapi dalam
Perspektif Konstruksi Ruang-Waktu
Disertasi ini dipertahankan pada Sidang Terbuka Komisi Sekolah
Pascasarjana, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Institut Teknologi Bandung
Sabtu, 20 Februari 2016


YASIN YUSUP
NIM: 35410002
(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

Promotor: Prof. Arief Rosyidie, Ph.D
Ko-promotor I: Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D
Ko-promotor II: Ir. Teti Armiati Argo, MES, Ph.D
Institut Teknologi Bandung
2016

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Bencana
Gunungapi Merapi dalam Perspektif Konstruksi
Ruang-Waktu
Yasin Yusup
NIM: 35410002
Pendahuluan
Pemikiran resiliensi sejak kemunculannya 4 dekade lalu di bidang ekologi
berevolusi mulai dari resiliensi berbasis equilibrium (resiliensi rekayasa dan
ekologi) sampai dengan resiliensi berbasis non-equilibrium (resiliensi socialekologi atau evolusioner) (Davoudi, 2012). Resiliensi pada awalnya lebih dilihat
sebagai atribut sistem, tetapi pada perkembangan berikutnya resiliensi dilihat

sebagai hasil proses keagenan baik agensi manusia maupun bukan manusia (Rosin
dan Dwiartama, 2014), meskipun demikian ada keagenan lain yang belum
sepenuhnya diperhitungkan yaitu agensi proses relasional dan aliran material serta
agensi kewaktuan mencakup skala yang luas dan panjang (Jones, 2011). Di sisi lain
ada kecenderungan pemikiran resiliensi terjebak ke dalam menaturalisasi proses
sosial-ekologis, menanggalkan konten sosial, menyembunyikan mekanisme
bagaimana sistem dibangun secara social, dan depolitisasi pilihan nilai, serta tidak
bisa menangkap pengalaman hidup (Porter dan Davoudi, 2012; Simonsen, 2012).
Disinilah pentingnya Teori Produksi Ruang (Lefebvre, 1991) yang dilengkapi
dengan perspektif rhythmanalysis (Lefebvre, 2004) dan Actor Network Theory
yang diperluas (Latour, 2005; Jones, 2011) yang selanjutnya peneliti sebut sebagai
“konstruksi ruang-waktu” untuk bisa mengisi celah teoritik tersebut.
Istilah ‘konstruksi ruang-waktu’ adalah pengembangan dari konsepsi produksi
ruang Henri Lefebvre (1991) untuk konteks penelitian resiliensi terhadap bencana.
Dalam Survival of Capitalism (1976 [1973]), Lefebvre berpendapat bahwa krisis
kapitalisme telah dihindari dengan cara produksi ruang: “Kapitalisme telah

1

menemukan dirinya mampu menipiskan (jika tidak menyelesaikan) kontradiksi

internal selama satu abad, dan akibatnya, dalam seratus tahun sejak penulisan
Capital, telah berhasil mencapai 'pertumbuhan'. Kita tidak bisa menghitung berapa
harganya, tetapi kita tahu caranya: dengan menduduki ruang (by occupying space),
dengan memproduksi ruang (by producing a space). (Lefebvre, 1976 [1973], p.21).
Salah satu tujuan Lefebvre dalam menekankan pentingnya keruangan adalah untuk
menjelaskan kelangsungan kapitalisme di abad kedua puluh satu, yaitu kapitalisme
selamat (survived) melalui krisis dengan memproduksi ruang baru dan menempati
ruang. Oleh karena itu, Lefebvre (1996 [1968], p.130) membuat pembedaan yang
jelas antara industrialisasi dan urbanisasi. Industrialisasi berkaitan dengan alat-alat
produksi (means of production), sementara urbanisasi adalah tentang penataan
ruang (spatial arrangement) dan dampaknya terhadap pembentukan kehidupan
sehari-hari.

Dalam

dunia

modern,

urbanisasi


juga

telah

menggantikan

industrialisasi sebagai permasalahan kunci (key problematic) dalam masyarakat
modern (1991 [1974], hal.89).
Edensor

(2010)

menggambarkan

bagaimana

kapitalisme

bukan


hanya

memproduksi ruang untuk survivalnya, tetapi juga memproduksi waktu. Menurut
Edensor: “Irama ruang juga berubah dengan percepatan ritme konsumsi, fashion
dan inovasi di bawah kapitalisme konsumen semakin intensif. Pemendekan siklus
hidup produk, keusangan produk yang dipercepat, kecepatan mode menjadi
ketinggalan zaman dan digantikan oleh barang-barang trendi lainnya, dan strategi
lain yang memberi makan hasrat untuk berbeda yang berarti bahwa ritme
pemasaran, iklan dan pendapatan telah dipercepat bagi banyak orang.” Satu proses
melalui mana irama konsumsi menjadi tertulis di sebuah tempat digambarkan oleh
Mattias Kärrholm (2009), yang menunjukkan bagaimana pengecer di Malmo,
Swedia, berupaya untuk melakukan sinkronisasi irama komersial dengan irama
perkotaan sehari-hari dan mobilitas.

2

Peneliti melihat bagaimana kapitalisme survive bahkan tumbuh setelah
menghadapi beragam krisis yang menempanya dengan cara mendiami dan
memproduksi ruang, serta mensikronisasi irama komodifikasi dengan irama

kehidupan sehari-hari bisa menjadi inspirasi bagaimana komunitas di kawasan
rawan bencana bisa juga survive dan tumbuh karena ditempa oleh lingkungan
yang berisiko bencana. Resiliensi komunitas oleh karenanya bisa dicapai dengan
mengkonstruksi ruang-waktu adaptasi terhadap risiko bencana dan pemanfaatan
peluang penghidupan terkait, serta penyelarasan beragam irama (alam, budaya,
ekonomi, dan politik) untuk membangun resiliensi yang mencerminkan bagaimana
agensi proses relasional dan aliran material skala besar, agensi kewaktuan, agensi
nonhuman dan agensi manusia dinternalisasi dan diselerasaskan.
Meskipun Alexander (1993) sudah mengidentifikasi kecenderungan komunitas di
KRB untuk tetap menghuni daerah tersebut (ada faktor kelembaman geografis),
tetapi faktor penyebab yang mempengaruhinya belum dijelaskan secara
memuaskan. Begitu juga meskipun Smith (2009), Pelling (2003), dan Wisner dkk.
(2004) sudah menjelaskan bagaimana konstruksi ruang kerentanan terkait dengan
bencana, tetapi konsepsi tersebut belum bisa menjelaskan resiliensi mereka
terhadap bencana, sehingga mereka memilih hidup bersama bencana yang sudah
teruji sekian ratus tahun lamanya (Paton, 2006). Menindaklanjuti gagasan bahwa
peristiwa alam sesungguhnya tidak identik dengan bahaya (Burton dkk., 1978),
tetapi bisa menyediakan sumberdaya untuk penghidupan (Kelman dan Mather,
2008), dan bencana bisa menjadi faktor positif untuk perubahan dan inovasi sosial
dalam masyarakat (Birkmann dkk., 2010; Paton dan Johnston, 2006; Gunderson

dan Holling 2002; Folke, 2006; dan Folke dkk., 2010), penelitian ini ingin
mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan komunitas di KRB cenderung
memilih hidup bersama risiko bencana dan bagaimana mereka mengkonstruksi
ruang hidup bersama risiko dalam konteks ekonomi-politik, budaya dan ekologi,
serta bahaya yang berubah dari waktu ke waktu.

3

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode regressive-progressive untuk bisa menyelidiki
akar kerentanan maupun resiliensi suatu komunitas dalam konteks politikekonomi, ekologi, social, budaya dan bahaya yang berubah-ubah dari waktu ke
waktu. Sebagai bagian dari proyek menuang kembali Marx (Butler, 2012),
Lefebvre menawarkan metode regressive-progressive untuk menyelidiki ruang
dengan mengkreasikan kembali materialisme dialektik (Stanek, 2008: 7 dalam
Wang, 2014: 6). Lefebvre berargumentasi bahwa ruang social harus diselidiki baik
melalui kompleksitas vertikal (historisitas ruang) maupun kompleksitas hosirontalnya (kondisi komunitas dalam periode waktu historis tertentu).

Lefebvre

berargumentasi bahwa sejarah ruang adalah meningkatnya tingkatan urbanisasi.

Sepanjang sumbu sejarah ruang, Lefebvre menggunakan istilah ‘abstract space’
dan ‘absolute space’ untuk menunjukkan kedua ekstrem, dimana ruang absolute
berarti alam dan kehidupan komunitas di wilayah desa, dan ruang abstrak space
berarti lingkungan binaan dan budaya kota di wilayah kota (Lefebvre, 2003[1970],
pp.15-16). Wang (2014: 59) merepresentasikan sumbu Lefebvre, dengan cara
mengkombinasikan periodisasi sejarah kota dengan triad ruang (spatial triad).
Sumbu vertikal merepresentasikan dimensi waktu, sementara sumbu horizontal
merepresentasikan dimensi ruang. Kupasan longitudinal sepanjang sumbu vertikal
merepresentasikan ruang sosial dan corak produksi (mode of production) tertentu.
Urbanisasi dapat dilihat sebagai proses transformasi spasial dari ruang mutlak ke
ruang abstrak. Ketika urbanisasi telah mencapai 100%, kota memasuki fase 'zona
kritis' yang Lefebvre ramalkan sebagai suatu waktu saat revolusi perkotaan akan
terjadi (Lefebvre, 2003 [1970], pp.5, 16-17). Menurut Marxis ortodoks, revolusi
adalah hasil dari perjuangan kelas. Meskipun Lefebvre setuju bahwa kelas
dominan dan kelas bawahan berada dalam posisi yang kontradiktif, baginya
fondasi dari kontradiksi adalah keruangan (spatial). Dengan memproduksi ruang

4

baru (misalnya, penciptaan ruang baru di daerah pedesaan) dan pendudukan ruang

(misalnya, pembaharuan perkotaan di daerah perkotaan), urbanisasi menyebabkan
marjinalisasi kelas pekerja dari pusat kota ke pinggiran. Kontradiksi kelas karena
itu diubah menjadi kontradiksi pada ruang di dalam kota. Lefebvre menggunakan
istilah fenomena urban untuk menekankan bahwa urbanisasi itu sendiri, bukan
industrialisasi, yang merupakan masalah kunci masyarakat modern (Lefebvre,
1991 [1974], hal.89 dalam Wang, 2014). Di KRB Merapi urbanisasi juga terjadi,
ditandai dengan pergeseran corak ekonomi subsisten ke ekonomi pasar pada tahun
1980-an, setelah program pembangunan orde baru masuk ke dalam KRB.
Urbanisasi ini selain di satu sisi membawa kemakmuran bagi warga KRB, tetapi di
sisi lain juga menciptakan kerentananan bagi warga, khususnya terkait dengan
rutinitas keseharian seperti merumpur di saat aktivitas letusan G. Merapi tinggi dan
rusaknya jalan evakuasi akibat penambangan pasir (Dove, 2008; Donovan, 2010;
Hakim, 2013; Nazaruddin, 2013).
Metode regressive-progessive memiliki tiga tahapan (Elden, 2006), yaitu: a)
Deskriptif. Observasi, tetapi dengan mata terinformasikan oleh pengalaman dan
teori umum. Di latar depan: observasi partisipatif di lapangan. Elden mengingatkan
untuk hati-hati dalam menggunakan teknik survei (wawancara, kuesioner,
statistik); b) Analytic-regressive. Analisis realitas seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Mencoba untuk memberikannya tanggal yang tepat (agar tidak
terbatas pada penjabaran balik masa lalu tanpa tanggal (undated 'archaisms') yang

tidak bisa dibandingkan satu sama lain); c) Historical-genetic. Studi perubahan ini
atau itu pada struktur yang sebelumnya sudah diberi tanggal, disebabkan oleh
pengembangan lebih lanjut (internal atau eksternal) dan oleh subordinasi terhadap
keseluruhan struktur. Mencoba untuk mencapai klasifikasi genetik formasi dan
struktur, dalam kerangka kerja keseluruhan struktur. Dengan demikian upaya untuk
kembali ke masa kini (kontemporer) seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam
rangka untuk menemukan kembali masa sekarang (the present). Menurut Elden

5

(2004): “Lefebvre sebagaimana Marx merupakan seorang pemikir ‘the possible’.
Hal ini bisa dilihat dari corak analisis regressive-progressive. ‘Tahapan suksesif
regressive-progressive’, seperti klaim Lefebvre, ‘memperkenankan kita untuk
mengeksplorasi kemungkinan baru (the possible), yaitu baik analisis historis
regressive tentang kondisi kemungkinan saat ini (the present), menggunakan saat
ini (the present) untuk memahami masa lalu (the past), dan masa lalu untuk
mengetahui saat ini; dan analisis progressive revolusioner yang membuka
kemungkinan baru di masa depan (the future).
Penelitian ini terkait dengan resiliensi komunitas di Kawasan Rawan Bencana,
sehingga peneliti mengadaptasi Diagram Ruang-Waktu Sejarah Ruang menjadi

Diagram Ruang-Waktu Perkembangan dan Pergeseran Corak Adaptasi di KRB G.
Merapi.

Sumbu

menggambarkan

vertikal
corak

terkait
produksi

perubahan
pada

tingkatan

waktu

tertentu,

“urbanisasi”
diganti

yang
dengan

perkembangan dan pergeseran corak adaptasi terhadap risiko letusan Gunungapi
Merapi. Penelitian ini fokus kepada letusan-letusan Merapi pada dekade terakhir
Abad 20 dan dekade awal Abad 21 yang menjadi momen-momen penting bagi
‘kematian’ maupun ‘kehidupan’1 atau lebih tepatnya naik dan turunnya corak
adaptasi tertentu, serta transformasi beragam corak adaptasi terhadap risiko
bencana letusan (seperti transformasi adaptasi berbasis kepercayaan lokal ke
adaptasi berbasis sains dan teknologi; transformasi adaptasi berbasis teknokratik ke
adaptasi yang lebih bersifat community base; transformasi adaptasi yang bersaing
menjadi adaptasi yang saling bekerja bersama-sama). Lintasan historis (historical
trajectory) corak adaptasi yang beragam dan silih-berganti menunjukkan apa yang
disebut Holling (2003) sebagai: “tarian melalui siklus tumbuh (K), roboh (Ω),
reorganisasi (α), dan pembentukan kembali (r).” Dinamika letusan menjadi momen

Meminjam istilah Jane Jacobs ‘the life’ and ‘the death’ dalam The Death and Life
of the Great American Cities (New York: Random House, 1961)
1

6

perubahan corak adaptasi tersebut. Menurut Elden: “Momen merupakan waktuwaktu penting ketika ortodoksi yang ada terbuka untuk ditantang, ketika hal-hal
tersebut berpotensi untuk dibatalkan atau diubah secara radikal, momen krisis
dalam arti asli dari istilah tersebut. Lefebvre lebih mengistimewakan pentingnya
instan [momen], daripada gagasan Bergsonian tentang durée [durasi]. (Elden,
2014: ix)”. Bencana dan peristiwa letusan ekstrem menjadi momen-momen
transformatif baik kebijakan, penghidupan, maupun corak adaptasi (Birkmann
dkk., 2010; Johnson dkk., 2005; Pelling dan Dill, 2010; Gunderson dan Holling,
2002) di Merapi yaitu:
1. Letusan 1994 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi teknokratik
menuju corak adaptasi berbasis komunitas atau sering disebut sebagai
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komununitas (PRBBK), seperti dalam
kasus pembentukan PASAG Merapi, khususnya untuk Komunitas Kalitengah
Lor dan Deles.
2. Letusan 2006 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi berbasis
kompetisi menjadi corak adaptasi berbasis forum, seperti dalam kasus FORUM
Merapi.
3. Letusan 2010 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi berbasis
kepercayaan local menjadi corak adaptasi berbasis sains dan teknologi, seperti
dalam kasus komunitas Pelemsari.
Berbeda dengan Wang, pada sumbu horizontal pada diagram sejarang ruang-waktu
adaptasi,

peneliti menambahkan tingkatan ruang dari ruang keseharian hidup

(everyday life), mediasi, dan global (Merrifield, 2005; 1993). Disini dialektika
antara ruang representasional dengan representasi ruang dimediasi oleh praktek
ruang; begitu juga kontradiksi antara the lived dan the conceived dimediasi oleh the
perceived. Sumbu horizontal selain mereprentasikan agensi manusia juga
merepresentasikan agensi paroses relasional skala yang besar seperti dinamika
lempeng tektonik global yang berpengaruh terhadap pola dan tingkah laku letusan.

7

Begitu juga sumbu vertikal merepresentasikan agensi kewaktuan termasuk waktu
geologi dan geomorfologi yang mempengaruhi ritme letusan, selain waktu historis.
Diagram pada Gambar I merupakan sintesis dari beberapa analisis beberapa
analisis sebelumnya yaitu semiotika, fenomenologi, dan ANT.

Letusan 2010
Sains dan teknologi
Spaces of
representation/
Lived Space
Kepercayaan Lokal
Forum
Letusan 2006

Spatial practice/
Perceived space

Spaces of
representation/
Lived Space

Spatial practice/
Perceived space

Representations
of space/
Conceived space

Representations
of space/
Conceived space

Kompetisi
Community based
Letusan 1994
Teknokratik

Spaces of
representation/
Lived Space
Everyday

Spatial practice/
Perceived space

Representations
of space/
Conceived space

Mediation

Global

Gambar I Sejarah dan Prospek Ruang-Waktu Corak Adaptasi di KRB Merapi
Analisis deskriptif dalam penelitian ini membahas dampak letusan pada 3 dusun di
KRB yang berbeda-beda paka kurun yang sama atau analisis sinkronik. Analyticregressive dan historical-genetic membahas tentang akar kerentanan dan resiliensi
masing-masing komunitas di KRB 3, termasuk kemungkinan baru adaptasi
alternative (the possible).

8

Hasil dan Pembahasan
Analisis Risiko Bencana Letusan dan Atribut Resiliensi
Mendasarkan Gambar II (Cronin dkk., 2013), terlihat, bukaan kawah dan arah
aliran piroklastik letusan 2010 mengarah ke Kali Woro dan Dusun Deles, tetapi
karena terhalang bukit Kukusan dan Kendil, arah aliran piroklastiknya berbelok
mengikuti alur Kali Gendol dan surukan piroklastiknya naik Bukit Cemara dan
menghantam Dusun Kinahrejo-Pelemsari, meski begitu ada sebagaian surukan
piroklastik masuk di alur Kali Woro dan sebagian menaiki bukit Kendil, tetapi
berhenti di sana (letusan pertama dan kedua). Baru pada letusan puncak surukan
piroklastik mampu menerjang Bukit Kendil dan menghancurkan Dusun Kalitengah
Lor, tetapi tidak sampai menghancurkan Dusun Deles.
Menggunakan 4 aspek resiliensi menurut Walker dkk. (2004), yaitu garis lintang
(latitude), daya tahan (resistence) dan ketidakstabilan (precariousness), dan
panarchy maka dapat disimpulkan bahwa berurutan 3 dusun itu dari yang paling
sempit menuju yang paling lebar resiliensinya adalah Pelemsari, Kalitengah Lor,
dan Deles, meskipun demikian ke-empat aspek resiliensi itu dinamis dari satu
letusan ke letusan lainnya, begitu juga dari waktu ke waktu. Seperti selama Abad
20, ke-4 aspek resiliensi di lereng selatan boleh dikatakan sama-sama masih lebar
untuk ketiga dusun tersebut karena letusan masih mengarah ke lereng Barat, tetapi
memasuki dekade akhir abad 20 dan dekade awal abad 21 (letusan 1994, VEI = 2;
2006, VEI = 2; dan 2010, VEI = 4), ke-4 aspek resiliensinya semakin menurun dari
satu letusan ke letusan lainnya, seiring dengan letusan semakin mengarah ke lereng
selatan, bahkan di tahun 2010 untuk Dusun Pelemsari dan Kalitengahlor ambang
batasnya sudah terlampaui, sementara untuk Dusun Deles sudah mendekati
ambang batasnya atau hampir mirip dengan kondisi Dusun Pelemsari saat letusan
2006.

9

Gambar II Tahapan Letusan 2010 dan dampaknya terhadap Dusun-dusun
Penelitian. Letusan 2010 secara umum dibedakan menjadi 3 yaitu
letusan pembuka yang terjadi 26 Oktober, saat itu Dusun Kalitengah
Lor dan Deles masih aman; begitu juga dengan letusan kedua tanggal
2-3 November, Dusun Kalitengah dan Deles pun masih aman; tetapi
pada letusan puncak 5 November, Dusun Kalitengah Lor habis

10

terkena surukan piroklastik, semantara Dusun Deles tetap aman, lihat
tanda bintang. Dari hasil wawancara dan dokumen; sampai dengan
tanggal 3 atau bahkan 4 November 2010 masih ada warga yang
berani pulang untuk memberi makan ternak sapi atau fenomena “part
timer evacuation” masih berlangsung. Dengan kata lain relasi dengan
ternak yang tidak ikut dievakuasi meningkatkan kerentanan warga
dusun di lereng Merapi. Barak Pengungsian warga Kalitengah Lor di
Dusun Glagahmalang juga terkana awan panas, lihat tanda kotak; 4
orang relawan meninggal; tetapi warga sudah meninggalkan barak
tersebut, sebelumnya.
Mendasarkan struktur geologi, setting morfologi lereng selatan, dan letusan 1994,
2006, dan 2010, serta analisis profil melintang dusun-dusun tersebut sebelumnya
(Yusup, 2009); dapat disimpulkan pula bahwa ambang batas Dusun Pelemsari
adalah letusan dengan skala VEI 2-3, Dusun Kalitengah Lor letusan dengan skala
VEI 3-4, sementara Dusun Deles, letusan dengan skala VEI 4-5.
Selama abad 20, keberadaan bukit di lereng selatan sebagai morfologi pelindung
dan interaksinya dengan arah letusan ke barat dan letusan tipe merapi memberikan
keleluasaan (opportunity) bagi warga di lereng selatan untuk melakukan aktivitas
sehari-harinya seperti biasa, bahkan di saat G. Merapi meletus sekalipun; sehingga
tidak mengherankan bisa terjadi fenomena semacam evakuasi paruh waktu (part
timer evacuation) yang ‘direstui pemerintah’ di satu sisi; di sisi lain pemerintah
merasa tidak perlu mengevakuasi ternak, maupun fenomena kaum muda atau
relawan menjaga kampung halamannya di saat letusan berlangsung, seperti
diidentifikasi Donovan (2010), Mei dkk. (2013) dan Nazaruddin (2013). Namun
demikian disinilah letak jebakannya, ketika warga menjadi nyaman dengan kondisi
tersebut dalam waktu yang cukup lama, sensitivitas terhadap bahaya menjadi
menurun yang bisa menjebak mereka ke dalam false sense of security atau bahkan
memitoskan lereng selatan aman dari letusan, karena letusan bisa diabaikan
dampaknya atau dengan kata lain aspek dinamika fisik (the perceived) dalam triad

11

ruang Lefebvre (Schmid, 2008) dilepaskan dari alam fikir dan pengalaman warga
(the conceived dan the lived).
Dalam perspektif ANT, keleluasaan warga di lereng selatan Merapi selama abad 20
merupakan hasil konstruksi dari agensi nonhuman yang terbentuk dari relasi antara
adanya bukit sebagai morfologi pelindung, letusan tipe Merapi, dan arah letusan
ke barat. Ketika unsur penyusun relasi itu berubah, seperti terjadi letusan tipe
eksplosif dan arah letusan berubah ke selatan, maka keleluasaan warga untuk
melakukan aktivitas sehari-hari di sana, tidak tersedia lagi. Oleh karenanya ke-4
aspek atau atribut resiliensi tersebut tidaklah kaku dan tetap, seperti dalam
perspektif Euclidean, tetapi dinamis dan selalu membuka kemungkinan lain.
Bahkan dalam ‘kasus ekstrem’; seandainya di Merapi terjadi letusan lain selain
letusan effusive tipe Merapi dan letusan eksplosif tipe plinian atau St. Vincent yang
memiliki skala letusan > VEI 4, misalnya letusan tipe volcano-tectonic yang
pernah diidentifikasi oleh Bemmelen terjadi Tahun 1006, maka ke-4 atribut
resiliensi untuk masing-masing dusun tersebut sudah tidak berlaku sama sekali,
karena semua dusun akan hancur dalam waktu yang bersamaan, tidak terpengaruh
tingkatan seperti dalam analisis tadi. Disinilah pentingnya mempertimbangkan
agensi proses relasional dan aliran material skala besar termasuk agensi kewaktuan
(Jones, 2011) dalam pembuatan peta KRB (Thouret dkk., 2000). Sampai saat ini
kedua bentuk agensi itu belum menjadi pertimbangkan, padahal asumsi peta KRB
yang mendasarkan data historis letusan 100 tahun tersebut sudah berulangkali
terlampaui. Peta Daerah Bahaya G. Merapi sejak petama kali dibuat oleh Stehn
pada tahun 1935, telah direvisi 5 kali, mengikuti dinamika letusan yang berubahubah dari sisi besaran letusan, tipe letusan, sebaran letusan, jangkauan letusan yaitu
berturut-turut oleh Suryo (1956), Reksowirogo (1972), Pardiyanto, dkk (1978)
(dalam Alzwar dkk., 1988), Hadisantono, dkk (2002), dan terakhir Peta Kawasan
Rawan Bencana Gunung Merapi oleh PVMG (2011). Oleh karenanya menjadi
penting untuk memasukkan agensi proses relasional dan aliran material, serta

12

agensi

kewaktuan

dalam

pembuatan

peta

KRB,

karena

bila

tidak

dipertimbangakan akan selalu terjadi fenomena risk transference bagi wilayah di
luar KRB yang tidak dikontrol. Urip Bahagia, Kepala BPBD Sleman menceritakan
bagaimana korban terbesar letusan 2010 justeru warga di luar KRB III, yang tidak
masuk dalam rencana kontinjensi (contingency plan) pemerintah saat itu:
“Tahun 2010 itu saya punya scenario dalam rencana kontinjensi plan itu
bahwa pengalaman yang sudah jarak ini 7 km maksimal, sehingga kami
menyusun scenario pada waktu itu 10 km, sehingga pada waktu dinyatakan
siaga saya mengevakuasi daerah/kawasan 10 km, sehingga saya
menyatakan 7 km ke atas ini yang bahaya, saya masih punya reserve
[cadangan] 3 km, sehingga orang-orang yang di barak pengungsian yang
jaraknya 10 km aman [letusan pertama], di Jetis, Glagaharjo, Kepuharjo,
semua satu garis 10 km ini aman; tetapi ternyata apa yang terjadi bahwa
ada perubahan karena kemarin ini periodenya 100 tahunan ini maka
letusannya menjadi besar dan merapi itu eksplosif baru kali ini, tapi saya
salut pada BPPTKG ramalannya 2010 paling hebat. Selama ini Merapi
efusif terus. Merapi selalu efusif. Nah kemarin eksplosif, sehingga orang
yang 10 km kesana sampai ke puncak itu saya amankan . Nah yang 10
kesana tidak saya ungsikan. sehingga ketika kemarin meletus 2010; yang
meninggal itu, justeru yang 10 ke atas, 12 km ke atas. Ini kemblekan
[keruntuhan aliran piroklastik], karena apa? Pada waktu itu [perubahan
zona bahaya] diputuskan 20 km itu, jam setengah 10 malam dan letusan itu
terjadi jam 12 kurang 2 menit. Berarti hanya 2 jam. Nah ketika 2 jam itu
kawan-kawan yang kurang dari 10 km sudah tak ungiskan. Gampang
[mudah] diungsikan karena dia sudah ngelumpuk [berkumpul] di
pengungsian, sehingga ketika saya pindah di Meguwoharjo ndak ada
masalah. karena orangnya sudah jadi satu. Nah mereka yang tidur di rumah
itulah yang meninggal. Karena apa? Saya harus nggugahi siji-siji
[membangunkan satu-satu], waktunya ndak mungkin (27 Juli 2013).

Akar Kerentanan dan Resiliensi Komunitas di KRB Merapi
Di KRB Merapi khususnya lereng selatan; letusan 1994. 2006 dan 2010 menjadi
momen penting titik balik dalam kesiagsiagaan terhadap bencana, lihat Gambar
III dan Gambar IV Bagian A. Corak adaptasi baru (community based disaster

13

management) atau disingkat CBDRR mulai tumbuh membayangi corak adaptasi
berbasis kepercayaan local dan corak adaptasi teknokratik, lihat Gambar IV
Bagian C dan Bagian B dan Gambar III. Momen bencana 2010 dengan ruang
representasi meninggalnya Mbah Marijan dan penyematan gelar Mbah untuk
Surono) dibaca secara simbolik sebagai pergantian corak adaptasi berbasis budaya
dengan pola adaptasi berbasis sains dan teknologi (Nazaruddin, 2013). Peneliti
tidak sepenuhnya sepakat dengan Nazaruddin (2013) yang melihat letusan 2010
sebagai sesuatu yang tidak terpahami dan pada akhirnya dikeluarkan dari sistem
pengetahuan warga (Nazaruddin, 2013), tetapi justeru malah memperluas
pengetahuan warga bahwa ancaman Merapi bukan sekedar letusan tipe Merapi
yang menghasilkan awan panas guguran yang mengikuti alur sungai tetapi letusan
eksplosif yang menghasilkan surukan piroklastik (atau dalam istilah warga ‘geni’)
yang bisa melampaui hambatan topografi, yang berimplikasi pada rekonstruksi
ulang konsep kerentanan di Merapi dari rentan hanya bagi 4 kelompok2, tetapi
kelompok rentan juga termasuk relawan sendiri.3 Tewasnya beberapa relawan yang
terjebak di Dusun Pelemsari maupun di barak pengungsian di Glagaharjo menjadi
ruang representasional bahwa konsepsi kelompok rentan perlu dirubah; begitu juga
Menurut Ngatimin dan Badiman : “ the ‘beware’ status means evacuating as
soon as possible the vulnerable groups including the elderly, children and infants,
pregnant or lactating women, and increasing preparedness of people”
(Nazaruddin, 2013:56)

2

“Kalau kita menyebut rentan di Merapi kadang-kadang kita berfikir; satu ibu
hamil, orang tua, anak-anak, perempan. Nek kadung wis dadi pakem, itu malah ada
yang jadi rentan baru: relawan! Saya [relawan] jadi sombong di situ. Merubah
pakem ini, harus dirubah biar kalimatnya tidak seperti itu. Rentan itu seperti itu
tapi biar relawan tidak jadi rentan, ini juga harus ada solusi. Kalau pakemnya
seperti itu, rentan selanjutnya relawan. Kan dadi PD motorku anyar bensinku
kebak dalane alus, ning rentan malahan karena kamu tidak tahu ini lho cepetnya
sepeti ini, jauhnya seperti ini, tapi awan panas kan melalui sungai? Ya awan panas
melalui sungai, tapi genine [surukan piroklastik] lho. Itu yang harus menjadi
pemikiran kita.” (Sukiman, 19 Maret 2015)

3

14

banyaknya korban jiwa di luar KRB III termasuk korban di dusunnya Mbah
Marijan yang bertahan di dusunnya menjadi ruang representasional bahwa risiko
bencana bersifat dinamis tidak bisa dibatasi secara kaku dan tetap hanya
berdasarkan pengalaman masa lalu yang terbatas, seperti dikatakan Sukiman:
“Padahal kalau itu kembali ke kebiasaan tadi, biasane mung udan awu kok,
kapan? Harus begitu, selama kamu hidup? Tapi ini dulu batu-batunya mulai
kapan Mbah? Sak kelinganku. Sak kelingane njenengan tapi sak derengane
njenengan tukul urip metenger kuwi kanan kiri njenengan [Seingat saya.
Seingat kamu, tapi sebelum kamu lahir itu di kanan kiri kamu] sudah ada
batu besar. Itu asalnya dari mana ya? Mengajak relawan berfikir seperti
itu, kalau tidak seperti itu malah bisa jadi keliru relawan malah jadi
[kelompok] rentan baru. Mbah Marijan itu seumurnya Mbah Marijan itu
sana itu cuman hujan abu, tahun berapa lahirnya? Kan harus seperti itu;
terus Merapi kalau mau seperti sebelumnya Mbah Marijan kapan? Ya
terserah Merapi. Kalau begitu: ‘wayahe nyisih kudu nyisih wayahe bali
kudu bali, ra kudu ninggal kampong tandur sak lawase, ning aja penakpenak wayahe kudu nisih’ [waktunya menyingkir harus menyingkir,
waktunya kembali harus kembali, tidak harus meninggalkan kampong dan
pertanian selamanya, tetapi jangan terlena saatnya harus menghindar].
Begitu kira-kira, untuk siapa? Semua, harus semua tidak ada yang tentengan
dewe neng kono [tidak ada yang bertahan di atas].”
Sebelum letusan 2010 relawan tidak mengungsi, tetapi menjaga kampong
halamannya, dan bekerja seperti hari biasa, seperti dikatakan Sihono "Only the old
and children and pregnant women were evacuated, the young and fit stayed in the
village and carried on working as normal. Fatimah mengidentifikasi banyaknya
korban relawan pada letusan 2010 dikontraskan dengan korban letusan 1994 yang
kebanyakan kelompok rentan yang jadi korban disebabkan karena karena peran
gender. Pada erupsi 1994, mayoritas korban meninggal di Dusun Turgo akibat
awan panas adalah anak-anak dan lansia perempuan. Saat itu keterampilan
penyelamatan diri [keahlian yang dimiliki relawan] menjadi pembeda mengapa
keterpaparan dan dampak bencana pada anak-anak

dan lansia lebih berisiko.

Namun ketika erupsi 2010, mayoritas korbannya justeru laki-laki.

15

Sains dan teknologi
Letusan 2010

Kepercayaan Lokal
Forum
Letusan 2006

Spaces of
representation: Mbah
Marijan
meninggal/Lived
Space: krisis mitos;
CBDRM dominan

Spaces of
representation: Mbah
Maridjan bertahan di
kampungnya/ Lived
Space: Mitos Lereng
selatan Berjaya;
CBDRM membayangi
Kepercayaan lokal

Spatial practice:
Warga terjebak
letusan; relokasi
mandiri/Perceived
space: Pelemsari
hancur

Spatial practice:
Sebagian besar tidak
evakuasi/ Perceived
space: Pelemsari
masih aman

Representations of
space: Pelemsari
masuk zona
merah/Conceived
space: ATL terlarang
untuk hunian

Representations of
space: KRB tidak
berubah/Conceived

space: penurunan
status aktivitas tidak
akurat

Kompetisi
Community based
Letusan 1994
Teknokratik

Spaces of
representation: Hujan
Abu/Lived Space:
Keyakinan tempat
Aman meningkat;
embrio CBDRM

Spatial practice: tidak
evakuasi/ Perceived
space: tidak ada
dampak berarti

Representations of
space: Dusun Turgo
“dihapus dari peta:/
Conceived space:
Relokasi untuk Dusun
Turgo

Kepercayaan Lokal
Everyday

Mediation

Global

Gambar III Konstruksi Ruang-waktu Kerentanan-Resiliensi Komunitas Pelemsari
Disini tampak bahwa laki-laki juga dihadapkan pada risiko karena peran gender
yang ada. Mayoritas di antara korban yang meninggal ini adalah laki-laki yang
tetap tinggal di rumah dan kampung. Salah satu alasannya adalah karena
pandangan budaya bahwa menjadi laki-laki harus berani mengambil risiko dan
yang menjadi paling akhir mengungsi. Menjadi laki-laki berarti tidak takut
mengambil risiko, tidak boleh ragu dan tidak boleh larut dalam kesedihan, seperti
menangis. Bukankah itu konstruksi yang kuat tentang bagaimana maskulinitas
menjadi bagian dari kehidupan seorang laki-laki? Ini menggambarkan, bahkan

16

dengan konstruksi gender yang ada sekalipun, dapat mengantarkan laki-laki dalam
kondisi yang berisiko (Fatimah, 2012: 15). Peneliti sepakat dengan Fatimah bahwa
ada pengaruh budaya patriarki terkait kerentanan relawan, tetapi bukan semata
faktor budaya tersebut, perubahan karakter letusan juga berpengaruh, termasuk
faktor-faktor lainnya seperti kepercayaan lokal, ekonomi, dan sebagainya yang
jalin-menjalin satu dengan lainnnya mengkonstruksi kerentanan relawan. Donovan
(2012; 2010) menemukan ‘bukan hanya kepercayaan local yang mempengaruhi
keenggananan melakukan evakuasi, tetapi faktor ekonomi (khususnya ternak) juga
berpengaruh. Relasi dengan ternak dan keamanan kampung yang menyebabkan
penduduk melakukan evakuasi hanya ‘paroh waktu’ saja (“part timer evacuation”)
dan penduduk “non rentan” termasuk relawan tidak evakuasi, tetapi

menjaga

kampung halamannya, mereka hanya akan evakuasi bila keadaan benar-benar
berbahaya’. Yunus (1996) juga menemukan 3 faktor yang mempengaruhi mengapa
penduduk “berani” hidup di daerah yang berisiko; yaitu kepercayaan lokal,
kerusakan yang tidak mendadak, dan melimpahnya sumber pendapatan; sementara
Putranto (1990) menemukan juga faktor kondisi lingkungan sosial yang bagus.
Hubungan interpersonal antar penduduk kampung membawa perasaan senasib
sepenanggungan dalam menghadapi masalah lingkungan. Mereka secara sosial
memiliki pertalian yang erat, melalui gotong-royong membantu sesama
menciptakan lingkungan persaudaraan yang baik (Yunus, 1996).
Dengan demikian persepsi risiko bahwa daerah mereka aman dipengaruhi baik
konteks fisik (pengalaman bencana masa lalu), budaya (keberadaan juru kunci dan
mitos local), kepercayaan terhadap otoritas (akurasi status aktivitas G. Merapi),
politik lokal (otoritas Juru Kunci dibanding kaum muda dengan pengetahuan
barunya), sosial (bencana dihadapi bersama), ekonomi (relasi dengan ternak
sebagai penghidupan utama), dan keamanan dusun (kaum muda tidak evakuasi
karena menjaga dusun dari pencurian dan penjarahan).

17

> 1994

A
Komunitas di
Lereng Selatan
G. Merapi

1994

> 2010

> 2006

2010

2006

> 2010

B

1994

2006

Komunitas
Pelemsari
2010
Abad 20

C

> 2006 > 1994

Kaum Muda di
Pelemsari

> 2010

18

2010

2006

1994

Gambar IV Letusan 1994, 2006 dan 2010 (lihat Ω di bagian A) menjadi momen penting
transformasi pengelolaan risiko bencana dari technocratic based menjadi
community based di Lereng Selatan Merapi (lihat α di bagaian A), tetapi
khusus Dusun Pelemsari, transformasi itu tidak terjadi sampai dengan
letusan 2010 (lihat α di Gambar B). Meskipun sebagian pemuda mengikuti
pelatihan kesiapsiagaan bencana dan tergabung dalam komunitas PASAG
Merapi mulai melihat pentingnya CBDRM setelah letusan 1994 dan 2006
(lihat α di Gambar C), namun mainstream corak adaptasi bencana tetap
cultural based (kepercayaan local) dan Juru Kunci menjadi rujukan utama
(lihat r dan K di Gambar B) yang sudah berjalan sejak awal abad 20.
Letusan 2010 (lihat Ω di bagaian B) menjadi momen transformative dari
adaptasi berbasis budaya menjadi adaptasi berbasis sainstek (lihat α di
bagian B).

Fakto-faktor tersebut terhubung satu dengan lainnya dan jalin-menjalin
mempengaruhi persepsi risiko yang keliru dan mengurangi sensitivas warga
terhadap dinamika risiko bencana. Gaillard dan Dibben (2008) menyebut faktorfaktor tersebut sebagai “faktor struktural yang boleh jadi melebihi pentingnya
faktor persepsi risiko dalam menentukan tingkah laku warga. Faktor ini sifatnya
budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Faktor struktural tidak terikat dengan bahaya
vulkanik dan bertindak sebagai kendala yang kuat terhadap pengambilan keputusan
warga dan kapasitas untuk melindungi diri mereka sendiri.” Peneliti tidak
sepenuhnya sepakat dengan Gaillard yang cenderung memisahkan faktor stuktural
dengan faktor fisik (ancaman letusan), karena seperti temuan di atas bahwa faktor
pengalaman bencana sangat menentukan sikap warga, berkelindan dengan faktor
lainnya, seperti dalam ungkapan Juru Kunci Asih: “kalau dulu itu [sebelum letusan
2010], karena dulu belum pernah terjadi korban dan belum pernah terjadi hujan
batu pasir sampai sini. Itu jadi kebiasaan warga saja.” Di sini faktor fisik (the
perceived) dalam bentuk pengalaman bencana masa lalu melegitimasi kepercayaan
lokal yang ada: yakni

mitos lereng selatan aman (the lived), sebaliknya

kepercayaan lokal tersebut menghalangi warga untuk melihat bahwa ancaman dan
risiko bencana semakin besar dan nyata.

19

Konstruksi Ruang-Waktu Adaptasi Alternatif
Sukiman membayangkan dan menggambarkan bagaimana respon warga Deles saat
erupsi merapi ke dapannya: “Ketika Merapi sedang erupsi yang secara periodic
setiap 3 sampai 5 tahunan sekali, kami mengungsi layaknya sedang refreshing,
karena kami sudah sangat siap, kami sangat menyadari keberadaan kami, bahwa
kami hidup selaras berdampingan dengan anugerah dan juga bahaya merapi”.
Apa yang digambarkan Sukiman masih merupakan sebuah ‘obyek virtual’ yang
menggambarkan kemungkinan sebuah ruang-waktu yang berbeda (the possibility
of differential space-time) yang merupakan wujud dari transformasi kehidupan
sehari-hari, manajemen diri sendiri (autogestion) dan politik difference (Wilson,
2013). Menjadikan letusan menjadi ‘momen refreshing’ bukan ‘mengungsi’
menjadi mungkin terwujud karena warga Deles telah membiasakan tindakan
resiliensi sehari-hari (the everyday acts of resilience) dan membangun relasi desa
bersaudara sebagai tempat pengungsian yang nyaman, seperti diceritakan Sukiman
sebagai berikut:
“Masing-masing KK mempunyai [tabungan siaga], dikelola setiap RT dan
ditabung ke bank, per orang memegang buku satu-satu. Jadi nanti suatu
saat nanti kalau terjadi Merapi itu erupsi atau meletus, itu ya seperti hari
raya itu, kita refreshing bukan mengungsi, karena kita sudah mempunyai
modal dari tabungan siaga itu.”
“Kehidupan di Desa Manjung bagi pengungsi; ‘Kami bagaikan di rumah
sendiri, kami lupa bahwa [kami berada] di desa lain karena mengungsi 2
hari semua kehidupan tetap berjalan seperti layaknya di rumah sendiri’,
pelayanan dan sumbangan mental dari warga Manjung membuat kami
krasan. Hari kedua anak-anak yang sekolah tetap bisa sekolah diterima di
Sekolah Dasar Manjung I dan II. Ternak yang kami bawa disediakan
tempat oleh warga Manjung, rumput di bebaskan kemanapun mau.”
Kondisi pengungsian yang diceritakan Sukiman sangat kontras dengan
pengungsian resmi pemerintah. Masalah yang terjadi di barak pengungsian antara
lain masalah kesehatan seperti penyakit saluran nafas, batuk, flu dan penyakit

20

lainnya. Selain masalah kesehatan fisik, para korban juga rentan mengalami
masalah kesehatan psikologis (Kusumaningtyas,

2014).

Agustina

(2010)

menyebutkan bahwa korban yang tinggal di barak pengungsian Stadion
Maguwoharjo sangat bosan karena diperlakukan hanya untuk makan dan tidur,
selain itu peristiwa [letusan] juga mengguncang jiwa para korban. Korban Erupsi
Merapi tahun 2010 juga mengeluh tentang layanan kesehatan yang terlalu jauh dari
barak pengungsian, sehingga menyebabkan banyaknya korban sakit yang tidak
mendapatkan pertolongan (Agustina, 2010). Keluhan lain yang diungkapakan
korban Erupsi Merapi tahun 2010 di barak pengungsian adalah keterbatasan akan
ketersediaan air bersih, bantuan yang tidak terdistribusi dengan cepat, tepat dan
merata, serta kurangnya privasi diantara pengungsi (Agustina, 2010).
Letusan sebagai ‘momen refreshing’ menjadi istimewa karena bisa menjawab
keraguan Nazaruddin (2013) yang mempertanyakan apakah letusan bisa menjadi
semacam momen istirahat atau momen liburan yang diisi dengan kegiatan rekreasi
seperti dalam masyarakat modern bagi warga Merapi? Menurut peneliti letusan
sebagai momen refreshing bukan sekedar melepas kepenatan dari rutinitas kerja,
tetapi juga terkait dengan bagaimana menyelaraskan diri dengan anugerah dan
bahaya Merapi, seperti tercermin dalam kalimat “Kami sangat menyadari
keberadaan kami, bahwa kami hidup selaras berdampingan dengan anugerah dan
juga bahaya merapi”. Kalimat tersebut mencerminkan pemikiran dialektik yang
‘menekankan proses, pergerakan, aliran, relasi, dan terutama kontradiksi’
(Merrifield, 1993). Kontradiksi sering disebut segai fitur utama dialektika (Kojeve,
1980; Lefebvre, 1968; Mao, 1954); yang bisa dipahami sebagai semacam
perkembangan atau pergerakan yang tidak serasi (incompatible) dari elemen yang
berbeda di dalam keseluruhannya dimana setiap elemen di dalam sebuah hubungan
secara simultan mendukung dan merongrong yang lainnya (Ollman, 1993).
Memandang letusan sekaligus sebagai anugerah dan bahaya merupakan pemikiran
dilakektik yang menunjukkan sebuah kontradiksi karena letusan tidak identik

21

dengan salah satunya apakah melulu bahaya atau sumberdaya. Baik letusan sebagai
bahaya maupun anugerah merupakan ‘kesatuan proses atau sebagai satu momen
khususnya saja’ (Merrifield, 1993).
Menyikapi letusan sebagai ‘momen refreshing’ dengan melakukan evakuasi
merupakan bentuk konkrit hidup selaras dengan anugerah dan bahaya Merapi
karena pada saat letusan terjadi baik momen bahaya maupun momen anugerah
sedang berlangsung yang bila penduduk berada pada jalannya momen (ruangwaktu) itu berlangsung, maka yang terjadi adalah bencana. Mengungsi sebagai
‘momen refreshing’ mencerminkan warga memahami dan berusaha menyelaraskan
dengan irama Merapi, seperti dinyatakan Sukiman : “wayahe nyisih kudu nyisih
wayahe bali kudu bali, ora kudu ninggalke kampung tandur sak lawase ning aja
penak-penak nek wayahe kudu nyisih."4 Meskipun demikian, sampai dengan
letusan 2010, peneliti menemukan bahwa masih ada benturan antar elemen irama
lingkungan, misalkan antara irama letusan dengan kebutuhan hewan domestik yang
menjadikan warga KRB melakukan part-timer evacuation untuk merumput dan
memberi makan hewan ternaknya yang tentu saja meningkatkan kerentanan
komunitas di KRB III, karena merumput disaat letusan dalam momen bahaya bisa
berakibat bencana. Praktek merumput menjadi tak terhindarkan karena sudah
menjadi rutinitas ruang-waktu (time-space routine) keseharian warga semenjak
kebijakan penetapan kawasan lindung oleh pemerintah Belanda dan menjadi
semakin intensif sejak tahun 1990-an manakala beternak sapi perah menjadi
andalan pendapatan sehari-hari yang sudah terintegrasi dengan sistem pasar.
Merumput sudah menjadi “reproduksi ruang dan waktu abstrak yang mengenakan
setting hukum ruang-waktu yang tidak kelihatan, menstrukturkan perilaku
keseharian” warga di KRB Merapi (Butler, 2008). Di sisi lain pemerintah sampai
4

Waktunya menyingkir harus menyingkir, waktunya kembali harus kembali, tidak
harus meninggalkan kampung halaman, pertanian, selamanya, tetapi jangan lengah
saat harus menyingkir

22

dengan letusan 2010 belum merasa perlu mengevakuasi ternak, ditambah letusan
tipe Merapi yang lebih terkonsentrasi di sekitar sungai aktif yang belum
membahayakan dusun di lereng merapi, sehingga part-timer evacuation menjadi
solusi “jalan tengah”, di satu sisi penduduk mengungsi, tetapi ternaknya tetap di
kampung halamannya. Akan tetapi begitu tipe letusannya berubah menjadi
eksplosif dengan skala yang besar seperti letusan Merapi 2010, part-timer
evacuation menjadi sangat berisiko. Dengan demikian mengungsi bersama ternak
sebagai momen refreshing seperti digagas Sukiman menjadi alternatif konstruksi
ruang-waktu adaptasi baru atau seperti dikatakan Butler (2008) “penegasan
kembali corak irama alternative (alternative rhythmic modes) yang membawa
prospek munculnya sebuah ‘differential space-time’ yang mampu menggantikan
dominasi ruang abstrak dan waktu linier-nya yang terukur (quantified, linear time).
Di sini peneliti melihat “momen refreshing” lebih mirip dengan konsep festival
Lefebvre dibandingkan konsep liburan Olwig5 yang merepresentasikan baik
“kegembiraan, paguyuban, partisipasi dalam [festival]” maupun “sebuah kerjasama
dengan tatanan alami (natural order)” (Butler, 2003; Nazaruddin, 2013). Menurut
Butler ‘festival adalah cara bagi masyarakat untuk merangkul dan mengikat alam
serta menyambut anugerahnya. Festival rutin merupakan cara merayakan irama
dan siklus alam yang teratur di mana kehidupan manusia terjalin di dalamnya..
[Festival] ini boleh jadi meninggalkan komunitas dalam bahaya di kemudian hari,
Menurut Nazaruddin (2013): “Dalam ritme lanskap ini, letusan merupakan
sebuah ambang batas (threshold). Kita mungkin membandingkannya dengan ide
Olwig tentang liminalitas dan permusiman di negara-negara Barat, dimana ia
menyatakan (Olwig 2005: 261): "Perubahan siklus musim ditandai dengan
libur/hari suci - secara harfiah 'seluruh' hari, nama tersebut menyarankan semacam
jeda atau istirahat dalam aliran normal waktu." Olwig mencontohkan Juli sebagai
salah satu liburan utama tersebut. Kesamaan mendasar antara irama G. Merapi dan
Barat ini bisa diperhatikan, yaitu adanya perubahan siklus dan batasnya, tetapi kita
juga bisa menggarisbawahi perbedaan: karakter ritme G. Merapi, batasnya adalah
letusan, bukan liburan.”

5

23

saat bencana alam melanda, tetapi disitulah tepatnya pengakuan terhadap kekuatan
alam dan kelemahan manusia dan itulah jantungnya festival.”

Kesimpulan dan kontribusi ilmiah
Penelitian ini menemukan beragam alasan lain selain ekonomi, mulai dari cara
pandang terhadap peristiwa alam dan risiko bencananya, keterikatan dengan tempat
(place attachment), bencana sebagai pengubah ke arah keadaan yang lebih baik,
dan beragam upaya adaptasi baik sosial maupun spiritual yang belum dibahas oleh
Alexander (1993). Penelitian ini menemukan 9 alasan yang mendasari komunitas
di KRB memilih hidup bersama risiko bencana: 1) letusan dilihat sebagai berkah
bukan bencana. Temuan ini memperkuat tesis Burton dkk. (1993), Kelman dan
Mather (2008) tentang peristiwa alam tidak identik dengan bencana saja, tetapi
terkait juga dengan sumberdaya untuk penghidupan; 2) bagi warga KRB, wilayah
di lereng Atas Merapi tidak lebih berisiko dibanding tempat lainnya, bencana pun
bisa terjadi dimana saja; oleh karenanya relokasi dianggap bukan solusi yang tepat.
Temuan ini memperkuat teori living with risk dan no zero risk (UNISDR, 2004;
Nagasaka, 2008); 3) warga memahami wataknya G. Merapi dan berusaha
menyesuaikan dengan irama atau ritme letusannya; sejalan rhyhmanalysis Lefebvre
(2004) dan Ingold (2000); 4) tanah Merapi merupakan sumber penghidupan utama
atau bahkan satu-satunya sumber kehidupan bagi warga lereng atas Merapi atau
dengan kata lain masyarakat di Lereng Merapi merupakan ‘resource dependency
society’ (Adger, 2000), oleh karenanya ketika menerima relokasi pun akses dan
kepemilikan lahan di daerah terdampak menjadi syarat suksesnya program
relokasi; 5) tanah Merapi tidak tergantikan dengan lainnnya, hubungan emosional
warga dengan lingkungannya sangat tinggi (place attachment) seperti dijelaskan
Chen dkk. (2013:11); 6) letusan dan dampak letusan dihadapi bersama-sama baik
dalam komunitas sendiri (bonding social capital) maupun dengan komunitas yang

24

lebih besar (bridging dan linking social capital), memperkuat tesis peran modal
social dalam adaptasi terhadap bencana (Laituri dan Kodrich, 2008; Nugroho,
2011; Siembieda, 2005 Putnam, 2000; Woolcock, 2001); 7) warga masih
mempercayai bukit di sekelilingnya bisa menjadi pelindung dari bahaya yang lebih
besar; 8) saat bencana terjadi dan menimbulkan kerugian material yang besar
termasuk rumah dan asset lainnnya, diterimanya sebagai acceptable risk (Sutanta
dkk., 2013, dan Bell dkk., 2004), dan ketika ada korban jiwa pun diterimanya
dengan ikhlas, sehingga aspek traumatic cepat berlalu, memperkuat peran spirit
budaya dalam resiliensi terhadap bencana sepert

Hakka spirit (Jang dan

LaMendola, 2006); dan 9) letusan membawa perubahan yang positif, termasuk
transformasi social dan ekonomi dan kesiapsiagaan terhadap bencana, memperkuat
temuan Paton (2006b), Birkmann dkk., 2010; Gunderson dan Holling 2002; Folke,
2006; dan Folke dkk., 2010.
Konstruksi ruang hidup selaras bersama risiko bencana tidak bisa dilepaskan dari
konteks bahaya maupun konteks politik, ekonomi, ekologi, social, dan budaya.
Dinamika Letusan 1994 yang menyebabkan 64 Warga Turgo meninggal dan
Letusan 2006 yang menyebabkan “Geger Boyo” ambrol dan membentuk kawah
baru menghadap tenggara yang menyebabkan tingkat risiko bencana awan panas di
lereng selatan meningkat, disikapi secara berbeda oleh komunitas PelemsariKinahrejo di saat komunitas lain bergerak meningkatkan kesiapsiagaan terhadap
bencana. Kebanyakan warga justeru semakin yakin dengan kepercayaan lokal
mereka bahwa daerahnya benar-benar aman. Di sini faktor fisik khususnya dampak
bencana yang tidak signifikan dirasakan warga (the perceived) selama lebih kurang
100 tahun sebelumnya, bahkan di saat letusan mengarah langsung ke kampong
mereka pun, dampak bencana yang mereka rasakan tidak besar, melegitimasi
kepercayaan lokal yang ada; yakni

mitos lereng selatan aman (the lived),

sebaliknya kepercayaan lokal tersebut menghalangi warga untuk melihat bahwa
ancaman dan risiko bencana semakin besar dan sudah di depan mata. Letusan 1994

25

dan letusan 2006 yang mengarah ke selatan tidak dicerap (the perceived) dan
dikonsepsikan (the conceived) sebagai risiko bencana letusan semakin besar atau
dengan kata lain kepercayaan lokal menurunkan sensitivitas warga terhadap risiko
bencana letusan. Pada konteks ini warga Pelemsari boleh dikatakan terjebak dalam
determinisme budaya dimana mitos menguat atau dengan kata lain the lived
terputus dengan dinamika the perceived dan the conceived.

Komunitas ini

cenderung memisahkan ruang dan waktu dan membekukan lereng selatan G.
Merapi sebagai zona aman dalam bentuk mitos lereng selatan aman, sehingga
ruang-waktu aman menjadi kaku dan tetap. Disinilah letak jebakannya, ketika
warga menjadi nyaman dengan kondisi tersebut dalam waktu yang cukup lama,
sensitivitas terhadap bahaya menurun dan menjebak mereka ke dalam perasaan
aman yang keliru (false sense of security). Saat terjadi dinamika letusan, warga
menjadi tidak siap dan kaget dan akhirnya terjebak letusan dan terjadilah bencana.
Komunitas di KRB Merapi mengembangkan mekanisme adaptasi empan papanempan wektu untuk menari selaras dengan irama letusan merapi, menyesuaikan
diri secara ruang-waktu dengan momen bahaya dan momen sumberdaya dari
letusan tersebut. Sepanjang letusan dalam momen bahaya warga menyingkir
sementara dari KRB, begitu momen bahaya reda, dan letusan beralih ke momen
sumberdaya, warga kembali ke kampong halamannya untuk memanfaatkan
sumberdaya yang dibawa letusan. Inilah bentuk living in harmony bersama risiko
bencana letusan dan peluang penghidupan versi warga yang berbeda dengan living
in harmony versi pemerintah yang cenderung melihat ancaman bencana letusan
tidak bisa diadaptasi, o