TUGAS ETIKA PROFESI SI 7C.docx

PERBAIKAN TUGAS
PELANGGARAN KODE ETIK KEDOKTERAN, HUKUM, DAN JURNALISTIK
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
SARI NURUL AINI
WIDIAWATI
SRIDA ARSANTI
MHD ADI SURYA
GISHA ATRIA
Kelas

: SI 7C

Mata kuliah : Etika Profesi


SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKADAN KOMPUTER
STMIK ROYAL KISARAN
2017

KEDOKTERAN
Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu isu tertentu, seperti pada informed consent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktik
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau
rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari :
a. semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu
tentang haknya dan lebih asertif,
b. semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari
luasnya arus informasi,
c. komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga
masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan
d. provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh
penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam
bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal
adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut
berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of
conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
melahirkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik
Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,

kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter,
seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan
hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence
(melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan
yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah toolsdalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan,
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical

ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari
pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum
tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para
seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain
itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medik dengan Panitia Etik di
dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan
di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi
dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih
berat seperti kewajiban menjalani pendidikan/pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK
setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar

norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal
profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda.
Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata
dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa
oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan
di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group atau para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktik Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan
surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,

membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak
perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen
umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang
dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of

proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga
tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable
doubt tingkat
kepastiannya
dianggap
melebihi
90%,
sedangkan
pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli

menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat
masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi
tingkat kepastian yang dibutuhkan.
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di
Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory
professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct
in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilahistilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran
yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Jenis Malpratek : Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara
lain :
 Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang.
 Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
 Harga pelayanan medis semakin tinggi, dan sebagainya.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek
etik ini antara lain :
Di bidang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan
janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter
kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

Di bidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan
yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa

mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi
berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang
diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
Jenis Malpratik : Malpraktik Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridik ini menjadi :
Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan
kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)

Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
 Adanya kesalahan (schuld)





Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter,
maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
 Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
 Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
 Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

 Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Malpraktek
Pidana (Criminal Malpractice)

Jenis Malpratek : Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan
dokter yang tidak benar.
Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi
serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang
hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau
izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini
merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam
KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang
melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat
dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum
pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.

Sumber : https://www.bastamanography.id/pelanggaran-etika-kedokteran/

HUKUM
PENGERTIAN HUKUM
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku
manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat
berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum
adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum
maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan
mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
JENIS-JENIS HUKUM DI INDONESIA
Hukum secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat.
Hukum pidana merupakan hukum publik, artinya bahwa Hukum pidana mengatur hubungan
antara para individu dengan masyarakat serta hanya diterapkan bilamana masyarakat itu
benar-benar memerlukan.
Van Hamel antara lain menyatakan bahwa Hukum Pidana telah berkembang menjadi Hukum
Publik, dimana pelaksanaannya sepenuhnya berada di dalam tangan negara, dengan sedikit
pengecualian. Pengeualiannya adalah terhadap delik-delik aduan (klacht-delicht). Yang
memerlukan adanya suatu pengaduan (klacht) terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar
negara dapat menerapkannya.
Maka Hukum Pidana pada saat sekarang melihat kepentingan khusus para individu bukanlah
masalah utama, dengan perkataan laintitik berat Hukum Pidana ialah kepentingan
umum/masyarakat. Hubungan antara si tersalah dengan korban bukanlah hubungan antara
yang dirugikan dengan yang merugikan sebagaimana dalam Hukum Perdata, namun
hubungan itu ialah antara orang yang bersalah dengan Pemerintah yang bertugas menjamin
kepentingan umum atau kepentingan masyarakat sebagaimana ciri dari Hukum Publik.
Contoh Hukum Privat (Hukum Sipil)
 Hukum sipil dalam arti luas (Hukum perdata dan hukum dagang)
 Hukum sipil dalam arti sempit (Hukum perdata saja)

 Dalam bahasa asing diartikan :

a)

Hukum sipil : Privatatrecht atau Civilrecht

b)

Hukum perdata : Burgerlijkerecht

c)

Hukum dagang : Handelsrecht

Contoh hukum Hukum Publik
 Hukum Tata Negara
 Yaitu mengatur bentuk dan susunan suatu negara serta hubungan kekuasaan anatara
lat-alat perlengkapan negara satu sama lain dan hubungan pemerintah pusat dengan
daerah (pemda)
 Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara),
 mengatur cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat
perlengkapan negara;
 Hukum Pidana,
 mengatur perbuatan yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa saja yang
melanggar dan mengatur bagaimana cara mengajukan perkara ke muka pengadilan
(pidana dilmaksud disini termasuk hukum acaranya juga). Paul Schlten dan
Logemann menganggap hukum pidana bukan hukum publik.
 Hukum Internasional (Perdata dan Publik)
a) Hukum perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara
warga negara suatu bangsa dengan warga negara dari negara lain dalam hubungan
internasional.
b)
Hukum Publik Internasional, mengatur hubungan anatara negara yang satu dengan
negara yang lain dalam hubungan Internasional.
Macam-macam Pembagian Hukum
1.Menurut sumbernya :
 Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
 Hukum adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
 Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam
perjanjian Negara.
 Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
 Hukum doktrin, yaitu hukum yang terbentuk dari pendapat seseorang atau beberapa
orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
2.Menurut bentuknya :

 Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan
 Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam
keyakinan masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundangan.

3.Menurut tempat berlakunya :
 Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
 Hukum internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia
internasional.
4.Menurut waktu berlakunya :
 Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
 Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan
datang.
 Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala
waktu dan untuk segala bangsa di dunia.
5. Menurut cara mempertahankannya :
 Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan
dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
 Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur tentang
bagaimana cara melaksanakan hukum material
6. Menurut sifatnya :
 Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai
paksaan mutlak.
 Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak
yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
7.Menurut wujudnya :
 Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
 Hukum subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada
orang tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
8.Menurut isinya :
 Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan
yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
 Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat
kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI HAKIM DAN JAKSA
A. CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI HAKIM
1. Asmadinata
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi pemecatan secara tidak hormat kepada hakim
ad hoc tipikor, Asmadinata. Sanksi berat diberikan kepada Asmadinata karena hakim ini telah
menemui seorang ‘broker’ atau makelar kasus. Alasan pemecatan menurut Pimpinan sidang MKH, I
Made Tara, ialah karena Asmadinata telah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Kasus Asmadinata berawal dari kasus korupsi Ketua DPRD Grobogan yang ditangani oleh
Asmadinata –dan beberapa hakim lainnya- di Pengadilan Tipikor Semarang. Asmadinata dihubungi
oleh Kartini Marpaung (seorang hakim ad hoc) untuk bertemu dengan Heru Krisbandono (hakim ad
hoc tipikor Pontianak).
Pada pertemuan pertama, Heru meminta tolong kepada Asmadinata untuk membebaskan tersangka
kasus korupsi yang ditanganinya. Namun, Asmadinata mengaku menolak permintaan ini. Setelah itu,
terjadi pertemuan kedua di sebuah hotel. Pada pertemuan itu, Asmadinata tak segera menghindar dari
Heru. Padahal, dalam pertemuan pertama, dia sudah mengetahui bahwa Heru adalah sebuah broker
(makelar) kasus untuk perkara DPRD Grobogan.
Lalu, pada 9 Agustus 2012, setelah dua kali pertemuan dengan Heru, digelar rapat permusyawaratan
hakim untuk kasus Ketua DPRD Grobogan. Pada rapat ini majelis hakim telah sepakat menghukum
sang Ketua DPRD. Namun, begitu rapat selesai, Asmadinata mengajukan dissenting opinion (DO)
atau pendapat berbeda. Asmadinata berpendapat bahwa terdakwa seharusnya bebas.
2. Vica Natalia
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) akhirnya memutuskan menjatuhkan sanksi pemberhentian secara
hormat dengan hak pensiun terhadap Hakim PN Jombang, Vica Natalia. Vica Natalia dinilai terbukti
melanggar Keputusan Bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial Tahun 2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan Peraturan Bersama (PB) MA dan KY Tahun
2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH gara-gara berselingkuh dengan seorang hakim dan advokat.
MKH berkesimpulan hakim terlapor terbukti beberapa kali menerima Gali Dewangga (advokat) di
rumahnya pada malam hari, keduanya juga bertemu di Bali pada jam kerja tanpa izin atasannya, dan
Vica menulis surat cinta kepada Dewangga. Selain itu Vica Juga bertemu Agung Wijaksono (hakim)
di Hotel Borobudur dan berfoto bersama.

Atas dasar itu, menurut MKH, hakim terlapor terbukti melanggar SKB Tahun 2009 tentang KEPPH
huruf c butir 3.1 ayat (1), butir 5.1 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (4a), Pasal 11 ayat (3a) Peraturan Bersama
MA dan KY Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH. Ketentuan itu mewajibkan hakim
menghindari dan harus berperilaku tidak tercela, hakim wajib menjaga kewibawaan dan martabat
lembaga peradilan dan profesi.

3. Acep Sugiana
Acep Sugiana harus rela melepaskan profesi impiannya sejak dia kuliah yakni hakim. Majelis
Kehormatan Hakim yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) baru
saja memecat Hakim Pengadilan Negeri Singkawang itu dengan hormat sebagai hakim.
Menurut pimpinan sidang MKH Suparman Marzuki di Gedung MA, terlapor terbukti melanggar kode
etik hakim. Terlapor dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dengan hak pensiun (dengan hormat).
Suparman menjelaskan pemberian hak pensiun kepada Acep karena majelis mempertimbangkan
beberapa pembelaan yang disampaikan oleh Acep. Di antaranya, dia masih memiliki anak-anak yang
kecil. Acep juga mengaku masih menjadi tulang punggung keluarga, karena ayahnya hanya seorang
supir angkot.
Acep dinilai telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim karena berselingkuh dengan
perempuan lain bernama Thu Fu Liang. Istri Acep, bernama Erna, melaporkan perselingkuhan ini ke
KY.
4. Nuril Huda
Hakim yang juga sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini dijatuhi
sanksi non palu alias tidak boleh bersidang selama 2 tahun. Dalam masa itu pula Nuril tidak akan
diberikan tunjangan apapun dan hanya akan mendapat gaji pokok sebagai hakim.
Hukuman itu dijatuhkan setelah Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menyatakan Nuril terbukti
menerima uang Rp20 juta dari seorang advokat yang perkaranya disidangkan oleh Nuril. Menurut
MKH, perbuatan Nuril itu sudah termasuk pelanggaran kode etik. Hukuman yang dijatuhkan MKH ini
lebih ringan ketimbang rekomendasi Komisi Yudisial agar Nuril diberhentikan secara tetap dengan
tetap memperoleh pensiun.
5. Lumban Tobing
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi pemberhentian secara hormat dengan hak
pensiun terhadap Hakim PN Binjai Raja MG Lumban Tobing. Lumban Tobing dinyatakan terbukti
melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH) lantaran diketahui sebagai pengguna narkoba dan pernah bertemu dengan pihak
yang berperkara.
Lumban Tobing terima uang sebesar Rp 8 juta dan sabu dari terdakwa narkoba melalui rekannya
bernama Yuwono. Pemberian itu ditujukan meringankan vonis terdakwa menjadi 2 tahun penjara
yang ditangani Lumban Tobing.
Sidang pleno KY diputuskan, Lumban Tobing terbukti melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY
tentang KEPPH, khususnya melanggar prinsip berlaku adil terkait larangan berkomunikasi dengan

pihak yang berperkara, berperilaku jujur, dan menghindari perbuatan tercela, menjaga kepercayaan
masyarakat, larangan meminta atau menerima sesuatu atau hadiah/janji.
6. Achmad Yamanie
Mantan Hakim Agung Achmad Yamanie resmi diberhentikansecara tidak hormat alias dipecat
lantaran terbukti mengubah draf putusan PK, terpidana narkoba Hengky Gunawan. Surat
pemberhentian tersebut diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Januari 2013
lalu.
Sebagaimana di lansir di hukumonline.com, dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang
diketuai Prof Paulus Efendi Lotulung memutuskan untuk memberhentikan secara tidak hormat.
Yamanie dianggap terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim lantaran mengubah
draf putusan PK, terpidana narkoba Hengky Gunawan. Yamanie mengubah amar putusan Hengky
dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara.
Itu tadi 6 hakim yang telah dikenai sanksi oleh Majelis Kehormatan Hakim. Sebenarnya masih banyak
hakim lain yang dikenai sanksi.

B. CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI JAKSA
1. Hamzah Tadza
Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Hamzah Tadza, menyatakan bahwa jaksa yang
menangani kasus Gayus Tambunan telah melakukan pelanggaran berat. Hamzah menegaskan, karena
ditemukan indikasi kesengajaan, tidak menutup kemungkinan akan berujung pada pemberhentian
tidak hormat. Pemberhentian tidak hormat akan menunggu seluruh hasil pemeriksaan selesai
dilakukan dengan juga melakukan konfrontir dengan Gayus Tambunan, penyidik kepolisian,serta
pengacara Gayus.
Pelanggaran berat yang dilakukan oleh jaksa yang menangani perkara Gayus bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980. PP itu menyebutkan bahwa setiap pegawai negeri harus
“disiplin”, yakni disiplin dalam ucapan, tulisan, dan perbuatan baik di dalam maupun di luar jam
kerja. Hamzah menegaskan, jika kemudian ditemukan ada indikasi pidana, yakni menerima uang alias
gratifikasi dalam menangani perkara, maka mengacu pada PP No. 20/2008, Jaksa Agung berhak
memberhentikan sementara statusnya sebagai jaksa berdasarkan rekomendasi Jaksa Agung Muda
Pengawasan. “Apabila nanti ada salah seorang jaksa terbukti pidana Jaksa Agung berhak
memberhentikan,”tandasnya.
Kejaksaan Agung sendiri telah telah menetapkan lima orang aparaturnya sebagai terlapor dugaan
pelanggaran etika profesi dalam kasus pajak Gayus Halomoan Tambunan. Para terlapor itu adalah
jaksa P16 selaku peneliti Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia Sukmasari, dan Ika Savitrie Salim
dan jaksa P16A Nazran Aziz dari Kejari Tangerang, sebagai jaksa sidang.
Para pejabat struktural yang turut diperiksa adalah Kasubbag Tata Usaha pada Direktorat
Prapenuntutan Rohayati, karena mengetahui alur administrasinya, Kasubdit Kamtibum dan TPUL
pada Direktorat Prapenuntutan Jampidum Mangiring, yaitu tempat berkas masuk. Tak lupa, Direktur
Prapenuntutan Poltak Manullang, Direktur Penuntutan Pohan Lasphy, juga ikut diperiksa. Hamzah

menegaskan, dalam pemeriksaan yang dilakukan tersebut yang paling bertanggungjawab adalah
Ketua Jaksa Peneliti Berkas Cirus Sinaga yang sekarang menjadi Asisten Pidana Khusus di Kejaksaan
Tinggi Jawa Tengah serta Direktur Prapenuntutan Poltak Manulang yang menjadi Kepala Kejaksaan
Tinggi Maluku. “Dalam kasus ini keduanya yang paling bertanggung jawab,”tegasnya. Hamzah
bilang, jabatan struktural keduanya kini sudah resmi dicopot.

Sumber : http://efansamuel.blogspot.co.id/2015/04/contoh-kasus-pelanggaran-etikaprofesi.html
JURNALISTIK
Pengertian Jurnalistik bermula dari kata Journal (catatan harian atau catatan peristiwa
sehari-hari). Pengertian jurnalistik tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja
kepenulisan dan produksi berita. Jurnalistik bisa diartikan sebagai ilmu dan bidang kajian
mengenai pengemasan informasi dengan menggunakan media massa. Sebagai ilmu dan
bidang kajian, jurnalistik masuk dalam cakupan bidang komunikasi. Biasanya di dunia
akademik perguruan tinggi, ilmu jurnalistik menjadi bagian dari fakultas komunikasi.
Jurnalis bertugas untuk mengumpulkan, menginterpretasikan, dan menyebarkan berita
untuk pembaca. Mereka memiliki keahlian dalam mengamati dan investigasi, selain dari
kemampuan untuk menulis dengan akurat dan menarik.
Jurnalis dapat bekerja dimana saja, seperti kantor surat kabar, majalah, publikasi stasiun tv,
radio dan masih banyak lagi. Sewaktu bertugas, untuk mendapatkan data dan bahan yang
akurat dan menarik, mereka perlu menghadiri berbagai acara dan pertemuan, mengadakan
wawancara, berkonsultasi dengan ahli ataupun konsultan. Setelah informasi yang dibutuhkan
telah rampung dikumpulkan, mereka akan mulai menulis, dan hasil tulisan tersebut akan
dipublikasikan, baik secara cetak atau digital.
Untuk dapat menjalankan tugas dengan baik, mereka juga perlu menguasai sisi-sisi
teknis seperti menyusun tampilan naskah, memilih atau mengambil foto yang tepat untuk
menjadikan bahan tulisan lebih menarik dan lain sebagainya.
Sejarah Kode Etik Jurnalistik
Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan,
dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode, Berikut
kelima periode tersebut:
1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17
Agustus 1945. Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru.
Berhubung masih baru, pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat
menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan, maka
belum terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya, pada periode ini pers
berjalan tanpa kode etik.

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi ketika
organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik. Saat itu baru ada semacam konvensi yang
ditungakan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip
kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.

3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.Walaupun
dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya
berlaku bagi anggota PWI sendiri, padahal organisai wartawan lain juga memerlukan Kode
Etik Jurnalistik. Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula
Kode Etik Jurnalistik. Waktu itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri dari
tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey , Soendoro,
Wonohito, L.E Manuhua dan A. Aziz. Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut
ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T.
Sjahril, dan disahkan pada 30 September 1968.Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme
Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi
anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.
4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan. Menurut pasal 4
Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan, ditegaskan,
wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah
disahkan pemerintah. Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh
pemerintah.Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satusatunya organisasi wartawan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut,
maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia
adalah milik PWI.
5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi, paradigma
dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun
1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam
memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai organisasi wartawan
baru. Akibatnya, dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi
banyak.Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung
melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni
2000. Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik
Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
Kode Etik Jurnalistik

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi
sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas
serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik:
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,
dan tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa
atau cacat jasmani.
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional
Fungsi
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan
dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun,
Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan.M. Alwi
Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi
wartawan.Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers
dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui

keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya
mengandung empat asas, yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu,
Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan
public. Asas demokratis ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional.Sebab, dengan adanya
hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang
terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu
secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai
profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Misalnya Pers harus membuat,
menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan
indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap
nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus
menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan
fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi
latar belakang , dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan
memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial
yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang
mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam
menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh
moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang
berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak
menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun
fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak
menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan
anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak
akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk
itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam
memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
Berbagai faktor dapat menyebabkan hal itu terjadi. Dari pengalaman hampir seperempat abad
dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi antara lain karena faktor-faktor
sebagai berikut:

FaktorKetidaksengajaan
1. Tingkat profesionalisme masih belum memadai, antara lain meliputi:
- Tingkat upaya menghindari ketidaktelitian belum memadai.
- Tidak melakukan pengecekan ulang.
- Tidak memakai akal sehat.
- Kemampuan meramu berita kurang memadai.
- Kemalasan mencari bahan tulisan atau perbandingan.
- Pemakaian data lama (out of date) yang tidak diperbarui.
- Pemilihan atau pemakian kata yang kurang tepat.
2. Tekanan deadline sehingga tanpa sadar terjadi kelalaian.
3. Pengetahuan dan pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik memang masih terbatas.
Faktor Kesengajaan
1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi sejak awal
sudah ada niat yang tidak baik.
2. Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik Jurnalistik
dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik
3. Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau pesaing sesama
pers secara tidak wajar dan tidak sepatutnya sehingga sengaja membuat berita yang tidak
sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
4. Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan kriminalitas sehingga
sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya jurnalistik.

CONTOH –CONTOH PENYIMPANGAN KODE ETIK JURNALISTIK
1.Penyiaran Berita Yang Tidak Memenuhi Kode Etik Jurnalistik
Penyiaran berita atau informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalis dapat terjadi
karena adanya ketidaksengajaan.kebebasan per sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik
tanpa menimbulkan kerugian baik secara moril maupun financial bagi narasumber yang
diberitakan.Tidakan penyimpangan kode etik jurnalis seperti ini sangat brtentangan dengan
nilai dan moral pancasila sebagai idiologi Negara. Pers seharusnya menghasilkan berita yang
factual dan jelas sumbernya yang berisi rekayasa pengambilan gambar dan pemuatan atau
pengambilan gambar,foto ,suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber berita
2.Peradilan Oleh Pers
Berita kurang berimbang dan tanpa pihak kedua kadang terlalu jauh mengadili orang
tertentu. Sehingga seperti memihak kepada suatu kelompok atau oknum tertentu. Pers
senantiasa berusaha untuk meralat setiap pemberitaan yang telah dipublikasikan yang
ternyata tidak sesuai dan dapat merugikan pihak lainnya. Sebaiknya memberitakan informasi
yang berimbang yang artinya memberikan ruang atau waktu kepada masing-masing pihak
secara proporsional sehingga tidak akan menyulut kebencian antar kelompok atau dapat
mengganggu integrasi masyarakat

3.Pembentuk Opini Yang Menyesatkan
Terkadang dalam suatu masyarakat terdapat berita yang kurang dapat dicermati secara
tepat,dan dapat membentuk opini publik demi kepentinngan tertentu. Korban yang merasa
dirugikan akan pemberitaan pers dapat melaporkan permasalahannya tersebut kepada Dewan
Pers agar media massa yang melansi berita tersebut dikenakan sangsi atau hukuman yang
sesuai dengan yang dilakukan.

4.Bentuk Tulisan Yang Provokatif
Banyak berita yang terkadang dapat menibulkan emosi masyarakat , hal ini terjadi
karena ketidaksengajaan penulis atau suatu redaksi tertentu atau juga mungkin karena
disebabkan oleh sumber berita.Sebagai seorang penulis tidak boleh menyiarkan berita yang
berbentuk opini serta hal lainnya yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya
terjadi.Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
secara langsung
5. Pelanggaran Terhadap Ketentuan Undang-Undang Hukum Pidana
Pemerintahan menjamin HAM dalam ketentuan perundangan yaitu:
Pasal 28 uud 1945 yang berbunyi ,kemerdekaan berserikat dan berkumpul ,
mengeluarkanpikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.
Pasal 28 F UUD 1945 perubahan kudua yang berbunyi: setiap orang berhak berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya , serta
berhak untuk mencari , memperoleh , memiliki , menyimpan , mengolah dan menyampaikan
infrmasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.
UU Pers No. 40 tahun 1999 dalam pasal 2 dan pasal 4 ayat 1.Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsifprinsif demokrasi , keadilan , dan supremasi hukum.
Pasal 4 ayat 1
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
6. Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda." Adapun
yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu dua tokoh militer
Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan wakil presiden, serta Edy
Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana
pers sering kurang memperhatikan kredibilitas narasumber.
Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang wartawan
berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta. Berceritalah Nani dengan
bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal sekaligus, masing-masing Try Sutrisno
dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja.
Tetapi, karena pertimbangan jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.
Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus pemimpin

umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena didengarnya langsung dari mulut
seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia
juga mengaku sudah tiga kali mencoba mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh
penjaganya.
Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak
memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri pengakuan
tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan kisahnya. Biasanya sudah
lumrah bahwa para pramuria bercerita tentang kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan
daya tarik mereka. Soal kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini
pada awalnya tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali
kebenaran berita yang akan disiarkannya.
Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu meragukan atau
skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan kebenarannya sebelum
boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu belum layak disiarkan.
Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia mengadukan
sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh pengadilan wartawan tersebut akhirnya
dihukum enam bulan penjara.

PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK OLEH TVONE
Sabtu, 30 Maret 2016 18:16 WIB
|edited by Gilang
Pamela Agatha – 8News
8NEWS – Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari
adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan normanorma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi
setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan
etika profesi sebagai pedoman operasion