Tradisi Hafalan Quran di Masyarakat Musl

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia
Ali Romdhoni1

Abstract
This article aims to show how far the system of memorization of
the Qur’an is still needed and has its own contribution in
preserving the originality of the Qur’an. Modern tools and media
which can record the authenticity of the Qur’an, such as symbol
(through writing) and sound (cassette and CD) have some
limitations. These medias are passive, and could not select the
valid data from manipulated data. Human memory, on the other
hand, is active and can fix the error of the text. This modern
technology, however, is very beneficial to ease the need in
Qur’anic studies.
Using ethnographical approach, this research proves that the
tradition of Qur’anic memorization can be divided into three
purposes: first, for pure ritual orientation, second, for Islamic
studies, and third for preserving the originality of the Qur’an.
Abstrak
Tulisan ini ingin menunjukkan sejauh mana sistem hafalan tetap
diperlukan dan memiliki wilayah tersendiri dalam menjaga

kemurnian al-Qur'an. Alat modern yang memiliki kemampuan
merekam keotentikan wahyu al-Qur’an baik dalam bentuk simbol
(tulisan) maupun suara (pita kaset dan kepingan CD) dalam batasbatas tertentu memiliki kelemahan. Piranti ini bersifat pasif, tidak
memiliki kemampuan menyeleksi manipulasi data, sementara
memori ingatan manusia bersifat aktif, bisa bekerja menyeleksi
apabila ada kesalahan naskah. Meskipun demikian, teknologi
semacam ini jelas akan sangat bermanfaat mempermudah
kebutuhan kajian kequr’anan.
Dengan metode etnografi, penelitian ini menunjukkan bahwa
tradisi hafalan Qur’an bisa dipilah menjadi tiga macam. Pertama,
menghafal al-Qur'an dengan orientasi murni ibadah, kedua, untuk
kajian keislaman, dan ketiga, memelihara kemurnian al-Qur'an.
Keywords: h}ifz} al-Qur’a>n, jam‘ al-Qur’an, illiterate.
1
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang. E-mail:
ali_romdhoni@yahoo.com

Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies – Vol. 4, No. 1, (2015): 1-18

ϭ


Ali Romdhoni

Pendahuluan
Dalam disiplin Ulumul Qur’an, proses perekaman wahyu (jam’ al-Qur’ân)
digolongkan menjadi dua kategori, yaitu: jam’ al-Qur’ân dalam arti menghafal,
dan menulis al-Qur'an. Masing-masing kategori memiliki wilayah kerja
tersendiri. Jam’ al-Qur’ân dalam arti menghafal, misalnya, merekam dan
menjaga al-Qur'an dari kepunahan dengan mengingat (menyimpan) dalam hati
dan fikiran. Sementara jam’ al-Qur’ân dalam arti menulis adalah melahirkan
keseluruhan ayat-ayat al-Qur'an dalam bentuk tulisan, sehingga wahyu yang
turun bisa dijumpai dalam bentuk verbalnya.
Hingga saat ini aktifitas menghafal dan menulis (mencetak mushaf) alQur’an terus berlangsung. Bahkan bisa dikatakan semakin mapan. Di negaranegara yang berpenduduk muslim di berbagai belahan dunia bisa dijumpai pusat
pendidikan keislaman dengan kegiatan utama menghafal al-Qur’an. Di sini,
menghafal tidak lagi dilihat sebagai cara atau tahapan untuk memahami pesan
wahyu, tetapi sudah menjadi paradigma keilmuan, bahkan tujuan. Di sisi lain,
ada sebagian umat Islam yang memanfaatkan teks al-Qur’an untuk mendalami
dan mengkaji secara kritis wahyu Tuhan itu.
Pertanyaannya, sejauh mana model hafalan al-Qur’an dan kajian teks alQur’an relevan untuk merekam wahyu dan sebagai proses pendidikan keislaman
saat ini? Sistem hafalan dibutuhkan pada masa awal turunnya Islam akan tetapi

apakah tetap efektif hingga hari ini? Adakah sistem lain yang lebih baik dan
menggantikan model hafalan, mengingat perkembangan zaman terjadi begitu
cepat sehingga memungkinkan ditemukan teknologi yang lebih canggih,
termasuk dalam hubungannya dengan perekaman wahyu Tuhan.
Ada yang menyatakan tidak diperlukannya lagi hafal al-Qur'an dengan
motivasi untuk mempertahankan eksistensi dan kemurnian al-Qur'an, atau bagi
para pengkaji ilmu keislaman, terutama tafsir dan Ulumul Qur’an. Artinya,
menghafalkan al-Qur'an paling tepat karena motivasi ibadah semata. Ungkapan
seperti ini didasari pemikiran karena sudah begitu banyaknya ditemukan metode
dan teknologi canggih sebagai sistem untuk merekam ayat-ayat al-Qur'an. Baik
dalam bentuk lisan atau pun dalam wujud suara, seperti pita kaset, kepingan
compact disc (CD), komputer dan lain sebagainya. Selain itu, hari ini juga sudah
tersedia berbagai ensiklopedi dan indeks seputar al-Qur'an.
Tulisan ini bermaksud menjawab bagaimana urgensi menghafal al-Qur'an
bagi para akademisi dan bagi kaum muslim, utamanya di Indonesia dalam
suasana yang sudah sangat maju seperti sekarang ini. Tulisan ini juga ingin
menunjukkan sejauh mana sistem hafalan tetap diperlukan dan memiliki
wilayah tersendiri dalam menjaga kemurnian al-Qur'an.

Ϯ


Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

Penulis memilih teori etnografi untuk menceritakan dan menelusuri objek
kajian. Etnografi merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu
masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni,
religi, bahasa. Etnografi merupakan kegiatan peneliti untuk memahami cara
orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan
sehari-hari. Bisa juga dipahami bahwa etnografi adalah pelukisan yang
sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku
bangsa yang dihimpun dari lokasi objek kajian dalam satu kurun waktu.2
Fenomena menghafal Qur’an di lingkungan masyarakat muslim Indonesia
merupakan aktifitas satu kelompok manusia yang meliputi cara berfikir,
berinteraksi dan bekerjasama dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, penulis
melakukan pengamatan, analisis, dan pengambilan kesimpulan di lapangan.
Selain itu juga mengkaji kumpulan literatur yang menghimpun jejak aktifitas
kaum penghafal Qur’an.
Akhirnya, tulisan ini adalah pelukisan yang sistematis dan analitis atas

suatu kebudayaan kelompok, masyarakat muslim penghafal Qur’an di
Indonesia, yang dihimpun dari lapangan dalam satu kurun waktu.
Sistem Memorisasi dan Masyarakat Niraksara
A. Teeuw dalam bukunya, Indonesia: Antara Kelisanan dan
Keberaksaraan menceritakan hasil riset lapangan tentang sistem memorisasi dan
masyarakat niraksara (buta huruf) yang dilakukan di berbagai kawasan di dunia,
termasuk di Asia Tenggara. Hasil penelitian itu menyimpulkan, dalam
masyarakat illiterate (buta huruf) akan sangat sulit terjadi penghafalan karya
yang panjang. Kesimpulan ini sekaligus membantah anggapan yang mengatakan
bahwa dalam masyarakat yang tidak mempunyai tulisan, satu-satunya jalan
untuk mengamankan ciptaan lisan adalah melalui penghafalan. Pasalnya,

2
Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat
atau etnik. Koentjaraningrat menjelaskan, kaum kolonial ini mencatat semua fenomena
(yang menurut mereka) menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi
tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku
bangsa. Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya merupakan kegiatan peneliti
untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena
teramati kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, etnogarafi adalah pelukisan yang

sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang
dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama. Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 57.

Vol. 4, No. 1, (2015)

ϯ

Ali Romdhoni

masyarakat yang tidak mengenal tulisan tidak mungkin bisa mengulang secara
persis teks-teks yang telah dihafalkan.
Dalam kasus tukang cerita, misalnya, setiap kali berpentas membawakan
puisi naratif lisannya, dia akan menciptakan kembali puisi-puisinya secara baru
dan spontan beserta gubahan-gubahannya. Artinya, di sini si tukang cerita
sebenarnya tidak bisa mengingat secara persis puisi-puisinya, karena itu, setiap
kali tampil akan terjadi penambahan atau pengurangan—berimprovisasi.
Lebih lanjut menurut Jack Goody, pada orang-orang yang tidak
mengenal tulisan tidak terjadi sistem memorisasi otak (ingatan). Pernyataan
antropolog Goody ini didasarkan pada pengamatannya terhadap masyarakat

Barat dan Afrika Barat. Ternyata memorisasi dalam kebudayaan lisan sangat
jarang terjadi. Secara umum dalam masyarakat-masyarakat sederhana,
pengulangan yang tepat dari bahasa yang baku, baik bersifat naratif atau tidak,
panjang atau pendek, hampir tidak pernah terjadi. Memorisasi justru merupakan
gejala yang khusus terikat pada kebudayaan yang sudah mengenal tulisan.
Goody kemudian menguatkan pendapatnya dengan menyuguhkan empat
alasan. Pertama, teknik memorisasi baru dimungkinkan oleh adanya teks tertulis
yang menjadi pegangan dan norma untuk penghafalan teks yang dianggap
penting oleh si penghafal, sementara dalam masyarakat lisan tidak ada teks
yang baku yang dapat dihafalkan secara exact (persis). Kedua, baru dalam
masyarakat yang mengenal naskah mulai ada sekolah, sementara sekolah
menjadi tempat mempelajari ilmu pengetahuan (termasuk baca-tulis) serta
mengembangkan teknik memorisasi berdasarkan teks tertulis. Ketiga, baru
melalui tulisan, hasil pengetahuan dapat disusun kembali secara sistematis
sehingga mudah dihafalkan, misalnya melalui daftar, tabel, serta tata bahasa.
Keempat, melalui tulisan akan terjadi kemungkinan visualisasi dan penghafalan
lewat mata. Melalui penglihatan, proses penghafalan akan terasa lebih gampang
ketimbang melalui pendengaran. Atau, paling tidak, dengan melihat teks yang
akan dihafalkan akan dapat memperkuat kesanggupan mental untuk
menghafalkannya. Yang terpenting lagi, melalui teks tertulis akan terjadi

memorisasi, penyalinan naskah secara harfiah (copying).
3

4

5

3
Tidak adanya rujukan yang baku dalam hafalan tertentu bisa memunculkan
beragam versi teks yang berasal dari hafalan yang sama. A. Teeuw, Indonesia: Antara
Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 4-5.
4
Jack Goody, The Interface Between the Written and the Oral (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 177, dikutip oleh A. Teeuw, Indonesia: Antara
Kelisanan dan Keberaksaraan, 7.
5
A. Teeuw, Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 4-7.

ϰ


Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

Di sisi lain, terdapat ribuan umat Islam yang memiliki kekuatan ingatan
dan ketepatan dalam menghafal ayat demi ayat al-Qur'an bukan dengan
membaca atau melihat sebelumnya, tetapi murni dari mendengarkan—karena
keterbatasan penglihatan. Adalah fakta, bahwa di berbagai belahan dunia Islam,
termasuk di Indonesia, banyak bisa dijumpai para penghafal mushaf al-Qur'an
yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan. Yang jelas, kemampuan mereka
dalam melantunkan bait demi bait ayat-ayat Tuhan tidak kalah teliti bila
dibanding dengan para penghafal lain yang memiliki kesempurnaan penglihatan.
Bahkan di antara mereka ada yang lebih unggul. Hal ini tentu menjadi catatan
tersendiri.
Namun demikian, kesimpulan Goody tetap bisa dimengerti, mengingat
fenomena maraknya umat Islam yang menghafal al-Qur'an dengan tanpa
melihat teks adalah pengecualian. Meskipun mereka menghafal dengan tidak
berpegang pada teks, tetapi di sekeliling mereka bisa dijumpai banyak sekali
orang yang mengerti bacaan al-Qur'an yang benar, sehingga apabila mereka
melakukan kesalahan bisa dengan mudah dibenarkan orang lain. Kondisi inilah

yang dimaksud Goody dengan bahasa “teks baku”.
Data sejarah menginformasikan, ketika wahyu (al-Qur'an) disampaikan
kepada Nabi Muhammad s.a.w., seketika itu juga Nabi memerintahkan para
sahabat (yang menguasai sistem baca-tulis Arab dengan baik) untuk
mengabadikan wahyu (al-Qur'an) dalam bentuk tulisan.6 Al-Zarqânî menulis,
pada masa-masa turunnya al-Qur'an, Nabi s.a.w. dikelilingi para penulis wahyu
yang handal - para sekretaris Nabi. Apabila turun wahyu dari Allah, segera Nabi
memanggil beberapa dari mereka. Para sahabat pilihan itu adalah al-Khulafâ’ alRâshidûn, Mu’âwiyah, Abân bin Sa’îd, Khâlid bin Walîd, Ubay bin Ka’b, Zaid
bin Thâbit, Thâbit bin Qais, Arqam bin Ubay, dan Hanzhalah bin al-Rabî’.7
Begitu besar dan pentingnya kodifikasi al-Qur'an, sehingga ia tidak
selesai dalam sekali tempo. Ia menjadi agenda program besar umat Islam, yang
melibatkan beberapa generasi di masa pertumbuhan Islam. Kodifikasi periode
pertama dimulai pada masa Rasulullah, kemudian ditindaklanjuti kodifikasi
periode kedua pada masa kekhalifahan Abû Bakar (memerintah 11-13 H/ 632634 M), dan kodifikasi periode ketiga terjadi pada masa pemerintahan ‘Uthmân

6

Segera setelah wahyu pertama turun Nabi memerintahkan para sahabat yang
bisa membaca dan menulis untuk mengabadikan al-Qur'an dalam bentuk tulisan (teks) selain juga dengan menghafalkannya. Proses ini terus berkelanjutan hingga peristiwa
turunnya wahu terakhir. Untuk proses penulisan dan penghafalan (jam’) al-Qur'an. AlZarkashi, al-Burhân, 170.

7
Baca al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, 368.
Vol. 4, No. 1, (2015)

ϱ

Ali Romdhoni

bin ‘Affân (memerintah 24-36 H/ 644-656 M). Ketiga generasi ini secara estafet
saling melanjutkan dan menyempurnakan program kodifikasi al-Qur'an.8
Nabi Muhammad s.a.w. memantau dan mengawal secara langsung proses
penulisan ayat al-Qur'an, begitu juga dengan proses penyusunan ayat-ayat dan
surah al-Qur’an. Ayat yang sudah dicatat kemudian disimpan di rumah Nabi,
sementara para pencatat juga membawa salinannya untuk arsip (koleksi) mereka
pribadi.9 Dengan model begini akan ada kontrol antara koleksi para pencatat
dan s}uh}uf yang tersimpan di kediaman Nabi Muhammad s.a.w. Di luar itu,
masih ada kontrol dari kalangan penghafal al-Qur'an (kelompok sahabat).
Tindakan Nabi Muhammad s.a.w. ini bisa dimaknai, bahwa reproduksi
teks secara exact (persis) akan membutuhkan teks tertulis sebagai sumber
utama untuk proses memorisasi. Karena itu, ketika itu juga Nabi
memerintahkan untuk mendokumentasikan wahyu dalam bentuk tulisan. Maka
sejak itu, sistem hafalan dan tulisan saling memperkuat dalam menjaga
keutuhan dokumentasi wahyu. Dengan demikian, kesimpulan Goody masih
relevan dalam konteks ini. Perintah Nabi ini tentu terkait dengan kepentingan
umat Islam di masa-masa yang akan datang, yaitu untuk mempelajari dan
menjaga al-Qur'an.
Tidak hanya dalam kasus al-Qur'an. Sistem seperti ini juga terjadi dalam
kebudayaan Hindu dengan Weda sebagai kitab suci, yang mana sistem
memorisasi yang kuat dikembangkan atas dasar tulisan. Tata bahasa Sanskerta
gubahan Panini yang sangat menunjang teknik penghafalan Weda yang amat
canggih di kalangan umat Brahmana tidak mungkin diciptakan tanpa pemakaian
simbol tulisan.10
Dari uraian paragraf di atas bisa disimpulkan, sistem hafalan dan tulisan
mushaf al-Qur’an akan saling membantu dan melengkapi dalam
mendokumentasikan sebuah data (informasi) sehingga tidak mengalami reduksi
yang berarti. Begitu pula dalam konteks al-Qur'an. Namun demikian, sampai di
sini masalah belum selesai. Tugas utama adalah mengkaji wahyu—yang sudah
terdokumentasikan, baik berupa tulisan mushaf maupun yang tersimpan dalam

8

Al-Zarkashi, al-Burhân, 164-171. Baca juga al-Shâlih, Mabâh}ith, 65-89; alZarqânî, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, 246. Lihat juga Muhammad ‘Ali al-S{âbûnî, al-Tibyân fî
Ulûm al-Qur'ân (Beirut: ’Âlim al-Kutub, cetakan pertama, 1985), 49-61.
9
Tidak heran, ketika kelak ‘Uthmân bermaksud menyeragamkan mushaf alQur'an, beberapa sahabat diketahui memiliki mushaf koleksi sendiri. Namun, mushafmushaf ini diminta oleh ‘Uthmân, untuk menghindari munculnya (potensi) konflik dan
perbedaan di tubuh umat Islam. Baca al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, 260.
10
Jack Goody, The Interface Between the Written and the Oral, 110-122, dikutip
oleh A. Teeuw, Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 7.

ϲ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

hati dan fikiran—itu sendiri, sehingga pesannya bisa dimengerti oleh umat
manusia.
Masyarakat Arab Sebelum al-Qur'an Turun: Illiterate
Bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, seperti Mesir,
Babilonia, atau China, bangsa Arab bisa dikatakan terlambat dalam hal bacatulis.11 Keterlambatan ini disebabkan oleh kecenderungan kehidupan bangsa
Arab itu sendiri. Menurut cerita, pada masa sebelum Islam mayoritas bangsa
Arab12 dikenal memiliki tabiat-tabiat kurang mendukung bagi tumbuhnya
tradisi baca-tulis. Tabiat-tabiat itu, misalnya: Pertama, masyarakat Arab zaman
dulu hidup secara nomad (berpindah-pindah) dari satu kawasan ke kawasan lain
dengan berbagai tujuan, seperti untuk mencari lahan yang subur,13 atau
menjauhi kemungkinan datangnya serangan musuh dari suku lain.14 Kebiasaan
berpindah-pindah ini membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk
membangun kebudayaan yang mapan, seperti budaya membaca dan menulis
(intelektualitas).
Memang ada sebagian masyarakat Arab yang hidup menetap di suatu
kawasan tertentu, tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Contoh dari komunitas
Arab yang hidup secara menetap adalah suku Quraisy. Mereka membentuk
aliansi perdagangan di Mekah.15 Menurut penuturan Bernard Lewis, sudah sejak
lama sebelum datangnya Islam, kota Mekah telah dihuni oleh suku Quraisy dari
Arab Utara. Banyak di antara mereka yang hidup dengan berdagang. Bahkan
sudagar-saudagar Quraisy telah membuat sindikat perdagangan lintas negara.
Mereka membuat kontrak perdagangan dengan para penguasa di Byzantium,
Abyssinia (Etiophia), dan negara-negara perbatasan Persia. Dalam rentang
11

Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy (London: Themes and Hudson, 1978),
7. Baca juga D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: PT. Multi Kreasi
Singgasana, 1992), 18.
12
Bangsa Arab merupakan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan
keluarga, keturunan (nasab) kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan
perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik, dan imperium birokratis.
Baca Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, second edition (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 3.
13
Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lain itu mengikuti
tumbuhnya stepa atau padang ruput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di
sekitar oasis (genangan air) setelah turun hujan. Rumput-rumput ini sangat dibutuhkan
masyarakat untuk menghidupi domba-domba, binatang unggulan mereka. Ali Mufrodi,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 5.
14
Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan Education, 1970),
tenth edition, 20.
15
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur'an: Penyempurnaan atas Karya
Richard Bell, terj. Taufik Adnan Amal, cetakan I (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), 98.
Vol. 4, No. 1, (2015)

ϳ

Ali Romdhoni

waktu yang sangat lama, komunitas pedagang (saudagar) dari suku Quraisy
terus memimpin aliansi perdagangan itu.16
Kedua, masyarakat Arab hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme
kesukuan (chauvinisme; ‘as}abiyyah) yang sangat kental. Antara satu suku
dengan suku lainnya sering terjadi persaingan yang sangat ketat. Tidak jarang
mereka terlibat dalam pertikaian, saling membanggakan kelompok dan
keturunannya masing-masing sembari merendahkan kelompok dan keturunan
yang lain.17 Dalam kondisi seperti ini, hampir bisa dipastikan, peperangan selalu
menjadi penyelesaian akhir, bahkan peperangan bisa berlarut-larut hingga
bertahun-tahun.18 Oleh karena itu, muncul istilah yang sangat masyhur untuk
menyebut perang berkepanjangan yang melibatkan kabilah-kabilah Arab, yaitu
Ayyâmu al-‘Arab.
Di antara sekian banyak perang antar kabilah-kabilah Arab yang pernah
terjadi, ada perang yang sangat masyhur dan dikenang oleh masyarakat Arab,
yaitu: pertama, Perang al-Basûs. Perang ini terjadi sebelum Islam lahir dan
berlangsung selama empat puluh tahun. Yang terlibat dalam perang ini adalah
Kabilah Bakr dan Taghlib—keduanya keturunan Wail. Menurut cerita,
terjadinya perang ini dipicu oleh binatang unta milik al-Basûs, seorang
perempuan tua dari Kabilah Bakr. Gara-gara salah satu personil Kabilah Taghlib
melukai unta ini, dua suku akhirnya terlibat pertempuran dalam waktu yang
cukup lama.19 Kedua, Perang Dahîs dan al-Ghubarâ’. Perang ini terjadi antara
‘Abasa dan Dzubiyan—keduanya adalah putera Baghid} bin Raith bin
Ghathavan. Perang ini terjadi karena taruhan pacuan kuda yang diadakan oleh
Qais bin Zuhair dan Haml bin Badr bin Raith. Perang ini berlangsung dalam
waktu kurang lebih empat puluh tahun. Ketiga, Ayyâm al-Fijâr. Ayyâm al-Fijâr
adalah peperangan yang terjadi pada bulan-bulan suci antara kabilah-kabilah
yang berdiam di tanah Hijaz. al-Fijâr I terjadi antara Kinanah dan Hawazan.
Peristiwa ini tidak menimbulkan korban yang serius. Al-Fijâr II terjadi antara
Kabilah Quraisy dengan Hawazan. Pada peristiwa ini kedua belah pihak yang
bertikai bisa didamaikan oleh Harb bin Uyamah. Al-Fijâr III terjadi antara
Kinanah dengan Hawazan. Al-Fijâr IV terjadi antara Quraisy bersekutu dengan
Baca Bernard Lewis, The Arabs in History, cet.1 (New York: Harper
Torchbooks, 1960), 23.
Abî ’Umar Ahmad ibn Muhammad ibn ’Abd Rabbih al-Andalusî, al-’Iq alFarîd, juz 3 (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1973), 313.
Ja’far Subhani, al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah, terj. Muhammad
Hasyim dan Meth Kierana, cetakan ke-1 (Jakarta: Lentera, 1996). 12.
Perang al-Basûs diceritakan secara detail oleh Hasan Ibrahim Hasan dalam
bukunya, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. A. Bahauddin (Jakarta: Kalam Mulia,
2006), 90.
16

st

17

18

19

ϴ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

Kinanah melawan Hawazan. Perang al-Fijâr IV ini merupakan yang terbesar di
antara keempat perang al-Fijâr yang pernah terjadi. Perang ini terjadi pada
tahun kedua puluh enam sebelum kerasulan Nabi Muhammad (yaitu ketika
Rasulillah berusia empat belas tahun).
Masyarakat Arab dengan struktur sosial yang demikian kacau dan
cenderung bersinggungan dengan komunitas di sekitarnya tentu akan kesulitan
untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang bersatu dan melembaga. Tidak
adanya stabilitas keamanan ini juga membuat masyarakat ini tidak memiliki
waktu untuk membangun tradisi intelektual, termasuk mempelajari sistem bacatulis. Bisa dikatakan, pada masa-masa (sebelum Islam) ini tulisan masih
menjadi sesuatu yang langka. Kepandaian menulis hanya dikuasai beberapa
orang, yaitu para bangsawan dan tokoh spiritual (misalnya, tukang ramal atau
dukun), bahkan, masyarakat umum masih menganggapnya sebagai suatu yang
ajaib dan supranatural—sesuatu yang mengagumkan. Baru kemudian ketika
Islam lahir, Nabi Muhammad atas petunjuk al-Qur'an mempelopori pengenalan
tulisan pada khalayak ramai (publik).
Namun demikian, sebuah sumber mengatakan bahwa sejak 1000 tahun
sebelum masehi (SM) sebuah tulisan jenis Musnad sudah berkembang di
lingkungan masyarakat Arab kuno. Tulisan jenis Musnad, menurut al-Muqrizî,
banyak dipakai oleh masyarakat Himyar dan raja-raja ‘Âd. Namun, dugaan ini
sulit dibuktikan karena tidak ada peninggalan sejarah yang bisa ditemukan.
Bahkan pada masa-masa selanjutnya tulisan jenis Musnad harus ditinggalkan
20

21

22

23

24

20
Peristiwa-peristiwa perang ini disebut al-Fijâr karena terjadi pada bulan-bulan
suci, yaitu bulan-bulan yang dinyatakan haram melakukan perang, tetapi masyarakat
Arab melanggar ketentuan itu. Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 100-108.
21
Bahkan sebuah riwayat menyebutkan, Nabi sendiri terlibat dalam peperangan
tersebut bersama paman-pamannya.
22
Ini merupakan praktik yang lazim dalam budaya yang terutama bersifat lisan.
Sajak-sajak Arab zaman pra-Islam juga disimpan dalam ingatan. W. Montgomery Watt,
Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998),
27.
23
Menurut para ahli tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryanî.
Pendapat ini didasarkan pada kemiripan bentuk huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf
Suryanî. Habîbullâh Fad}â’ilî, At}las al-Khat}t} wal-Khut}ût}, cetakan ke-1 (Siria: Dar Thalas
lid Dirasat wal Tarjamah wan Nashr, 1993), 10. Baca juga Ilham Khoiri R, Al-Qur'an dan
Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), 52. Pendapat lain mengatakan, bahwa alfabet
Arab sebelum Islam lahir dari tulisan Funisia. Tetapi ada juga pendapat yang meyakini
bahwa tulisan Arab dan Kan’an tumbuh bersamaan di kepingan Jazirah Sinai. Di tempat
ini pada tahun 1904-1905 ditemukan beberapa ukiran bertuliskan huruf-huruf yang
mendekati bentuk tulisan Mesir Hierogliph. Lihat Kâmil al-Bâbâ, Rûh} al-Khat}t} al’Arabî, cetakan pertama (Beirut: Dâr al-’Ilm wa al-Malâyîn, 1983), 21.
24
D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, 26-27. Baca juga Ibn Khaldûn,
Muqaddimah (Kairo: Must}afâ Muhammad, t.th.), 418.

Vol. 4, No. 1, (2015)

ϵ

Ali Romdhoni

penggunanya karena munculnya tulisan jenis lain, yaitu Kindi dan Nabt}î.25
Tulisan jenis Nabt}î inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai bentuk tulisan
Arab paling awal. Tulisan jenis ini dipakai oleh suku Nabt}î, ras Arab yang
mendiami wilayah utara Jazirah Arabia di negeri Yordan dengan pusat
pemerintahannya di kota Puerto pada abad 1 SM.26
Keterangan dalam The Encyclopaedia of Islam27 memberikan informasi
yang lebih jelas lagi, bahwa bukti arkeologis menunjukkan suatu bentuk tulisan
sudah dikenal di Arabia selama berabad-abad. Selain diketemukan sebuah
prasasti dalam bahasa Arab selatan yang umurnya, diduga, sebelum era Kristen,
juga diketemukan sebuah prasasti di Arabia barat-laut dalam abjad Nabataea,
Lihyânî dan Samûdî yang diduga dibuat pada abad-abad sebelum munculnya
Nabi Muhammad. Untuk bahasa Arab klasik dan tulisan Arab, peninggalan
paling awal adalah tiga grafiti yang terdapat pada dinding sebuah kuil di Suriah,
yang bertanggal kira-kira 300 SM, sementara empat prasasti Kristen yang
ditemukan termasuk abad keenam. Tetapi, yang jelas belum ditemukan prasasti
awal (yang tingkat akurasi dan keotentikannya tidak bisa dibantah) di sekitar
Mekah dan Madinah.28
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa masyarakat yang mendiami
kawasan semenanjung Arabia sudah sejak lama (sekitar 1.600 tahun sebelum alQur'an turun) telah mengenal budaya baca-tulis. Namun pertanyaannya, sampai
seberapa besar tulisan dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan hidup manusia
sehari-hari. Dengan kata lain, apakah tradisi baca-tulis sudah menjadi budaya

25

Abdul Karim Husain, Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf
Arab (Kudus: Menara Kudus, t.th.), 7.
26
Secara geografis wilayah Kerajaan Nabt}î sangat strategis. Kerajaan ini pernah
mengalami masa-masa kejayaan. Wilayahnya mengalami pemekaran, sehingga daerah
kekuasaannya membentang luas dari Semenanjung Jazirah Arab hingga ke kawasan
tetangga-tetangganya yang berada di sebelah utara. Anggapan ini diperkuat dengan
bukti-bukti yang berwujud inskripsi pahatan purbakala. Lihat Kâmil al-Bâbâ, Rûh} alKhat}t} al-’Arabî, 20-23. Baca juga W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur'an, 4647. Baca juga D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, 32-37. Baca C. Israr, Dari Teks
Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), 37-38. Habîbullâh
Fad}â’ilî, At}las al-Khat}t} wal-Khut}ût}, 97-100.
27
”Arabiyya” dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua (Leiden dan
London, 1960), dikutip oleh Watt, Richard Bell: Pengantar Al-Qur'an, 28.
28
Untuk mengatakan bahwa di kedua tempat ini, Mekah dan Madinah, juga
sangat dimungkinkan sudah memiliki tradisi baca-tulis, beberapa pakar mendasarkan
pada argumen, bahwa kedua wilayah ini ramai dengan aktifitas perdagangannya. Masa
masyarakat yang demikian, kecakapan baca-tulis hampir bisa dipastikan dikuasai banyak
orang, yaitu untuk keperluan administrasi perniagaan. Baca Watt, Richard Bell:
Pengantar Al-Qur'an, 28.

ϭϬ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

kolektif atau hanya milik sebagian kecil dari masyarakat Arab; dalam hal apa
saja sebuah sistem tulisan digunakan?
Yang jelas, masyarakat Arab kuno belum memanfaatkan tulisan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari secara maksimal. Hal ini juga diakui oleh Hasan
Ibrahim Hasan.29 Menurut Hasan, ada dua faktor yang menyebabkan sejarah
bangsa Arab kuno hampir tidak dikenal sama sekali. Pertama, karena tidak
adanya kesatuan politik di wilayah itu. Masyarakat Arab adalah komunitas yang
terdiri dari suku-suku yang hidupnya berpindah-pindah. Di antara mereka
mudah berperang antara satu suku dengan suku yang lain. Yang lebih penting,
mereka tidak memiliki kesatuan orientasi menjadi bangsa satu yang besar dan
berdaulat secara politik.
Kedua, karena bangsa Arab tidak mengenal tulisan. Mayoritas dari
mereka adalah orang-orang yang tidak bisa baca-tulis, sehingga berbagai
peristiwa penting yang terjadi pada mereka tidak dibukukan kecuali pada akhir
masa pemerintahan Amawi. Sebelum masa itu, berita tentang Arab hanya
bersandar pada periwayatan yang disampaikan secara lisan. Ini mengecualikan
kondisi masyarakat Arab yang berada di ujung selatan Jazirah Arab, seperti
masyarakat Kerajaan Saba’ dan Ma’in. Khusus untuk berita mengenai
masyarakat di kedua wilayah ini bisa dilacak pada berbagai peninggalan mereka
yang masih utuh dan terpelihara hingga sekarang.
Dengan kondisi yang demikian, bisa dipahami ketika sistem yang
pertama kali digunakan untuk mengabadikan wahyu yang turun adalah hafalan,
atau menyimpannya dalam hati dan fikiran. Namun demikian, kita juga
mengetahui bahwa setelah itu Nabi segera memerintahkan para sahabat untuk
menulisnya. Ini maknanya, Nabi juga melihat perlunya sistem tulisan dalam
mengabadikan wahyu. Bukan berarti sistem hafalan kurang kokoh dalam
memelihara wahyu, tetapi sistem hafalan adalah langkah paling efektif dan yang
paling mungkin dalam kondisi saat itu. Untuk menyempurnakan kebutuhan
umat Islam di masa yang akan datang, sistem hafalan harus didukung dengan
adanya teks baku sebagai acuan.
Dari paragraf-paragraf di atas bisa disimpulkan, tradisi menghafal
memang sudah tumbuh subur di kalangan masyarakat Nabi Muhammad bahkan
sejak Islam belum ada. Tidak mengherankan, ketika wahyu turun, menghafal
teks menjadi salah satu sistem yang digunakan untuk merekam al-Qur’an.
Kegiatan menghafal al-Qur’an begitu diminati. Selain dalam ajaran agama
Islam ritual ini dijanjikan pahala yang sangat besar, masyarakat yang melingkari
Nabi sudah memiliki kebiasaan menghafal.
29

Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1.
Vol. 4, No. 1, (2015)

ϭϭ

Ali Romdhoni

Proses Transformasi Pengetahuan
Masyarakat Arab kuno tidak memiliki perhatian serius dalam hal
pendidikan untuk anak-anak mereka. Tempat-tempat belajar juga masih sangat
sulit ditemukan di wilayah Arab, termasuk di Mekah dan Madinah. Pendidikan
yang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab saat itu hanya berdasarkan
kebutuhan mereka. Itu pun hanya bersifat ala kadarnya saja. Biasanya, anakanak mereka secara langsung diajari oleh para orang tuanya.30 Karena ini,
mereka menjadi jauh dari akses ilmu pengetahuan yang berkembang secara luas
saat itu.31
Masyarakat Arab kuno bahkan tidak memiliki budaya baca-tulis dan
tidak menganggap catatan sebagai suatu hal yang penting. Model yang mereka
pakai dalam menyimpan informasi adalah hafalan. Akibatnya, sejarah
kehidupan masyarakat ini tidak terdokumentasi dengan baik dalam bentuk
tulisan.32 Sebagian besar dari masyarakat Arab merupakan orang-orang yang
tidak tahu aksara (buta huruf). Kalau pun ada di antara mereka yang bisa
menulis, jumlahnya sangat sedikit, biasanya adalah para pemuka masyarakat.
Itu pun dianggap sebagai kekuatan supra-natural.33 Selain itu, dalam jumlah
yang sangat sedikit, tulisan juga dipergunakan untuk kebutuhan perniagaan dan
menulis puisi-puisi terbaik—yang biasanya kemudian digantungkan di Ka’bah
(mu’allaqât). Kondisi ini menjadikan bangsa Arab mengandalkan hafalan, yang
pada akhirnya menjadi tolok ukur kecerdasan dan kemampuan intelektual
seseorang.34
Dalam hal ilmu politik, ekonomi, sosial, kedokteran dan lain-lain, bangsa
Arab sangat ketinggalan bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di
sekitarnya seperti Romawi dan Persia. Meski begitu, bangsa Arab memiliki
kelebihan lain yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain di sekitarnya, misalnya:
dalam bidang astronomi, meteorologi, arkeologi, sedikit tentang sejarah, nasab
(asal-usul keturunan), pengobatan, perdukunan, serta bahasa dan sastra.35
Bahkan di bidang bahasa dan sastra, harus diakui, bahwa kemampuan mereka
sangat cemerlang. Mereka memiliki perhatian yang sangat besar terhadap

30

Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 118.
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, cetakan ke-11 (Dar al-Kutub, 1975), 3.
32
Hasan Qâsim Habash al-Bayâtî, Rih}lah al-Mus}ha} f al-Sharîf (Beirut: Dâr alQalam, 1414), 61. Lihat juga Muhammad Shukrî al-Alusî, Bulûgh al-Adâb fî Ma’rifah
Ah}wa>l al-’Arab, Vol. I (Beirut: Dâr al-Kutûb al-’Ilmiyah, t.th.), 38.
33
M. M. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Musthofa
Ya’qub, cetakan ke-1 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 75.
34
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1998), 71.
35
Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, 72.
31

ϭϮ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

bahasa dan keindahan sastra. Hal ini karena mereka memiliki perasaan halus dan
ketajaman penilaian terhadap sesuatu.36
Khusus dalam bidang meteorologi, arkeologi, dan ilmu nasab, bisa
dikatakan, bidang-bidang ini merupakan pengetahuan masyarakat Arab yang
bersifat murni yang lahir karena dorongan lingkungan dan karakter negeri Arab
itu sendiri. Tentang ilmu meteorologi, misalnya, tidak mengherankan bila
pengetahuan ini dikuasai oleh masyarakat Arab, karena mereka mahir dalam
mengikuti pergantian musim dan dalam mengenal waktu-waktu turun hujan.
Kemudian ilmu arkeologi, mereka mahir dalam bidang ini karena masyarakat
Arab secara khusus sudah menguasai pengetahuan tentang peninggalan (jejak)
para pendahulu mereka. Hal ini didukung oleh kondisi alam padang gersang
yang ditutupi oleh pasir yang mempermudah karakter mereka untuk menguasai
ilmu tersebut. Selanjutnya, masyarakat Arab juga menguasai ilmu nasab. Hal ini
karena jazirah Arab adalah daerah yang dihuni oleh bangsa yang komposisi
penduduknya terdiri dari kabilah-kabilah yang tinggal saling berjauhan. Atas
dasar ini, mereka sangat berhajat agar asal-usul mereka terpelihara sebagai
sandaran dan tempat meminta bantuan—guna menjalin persekutuan atau guna
menggalang kerja sama dalam melakukan suatu serangan kepada musuh-musuh
mereka atau saat berlomba memperebutkan kursi kepemimpinan.37
Seperti itulah proses transformasi ilmu pengetahuan di antara orangorang Arab. Ia hanya terjadi dengan cara-cara yang sangat sederhana melalui
tradisi lisan—pihak pertama menyampaikan secara lisan dan pihak kedua
mendengarkan, untuk kemudian menghafalkannya. Bisa dipastikan, pada masamasa ini (sebelum Islam muncul) belum ada buku berbahasa Arab bisa dijumpai
di jazirah Arab. Al-Qur'an adalah buku pertama berbahasa Arab. Al-Qur'an
melalui wahyu pertamanya, iqra’ (artinya, “Bacalah!”) telah menjadi penanda
dimulainya sebuah era baru: satu era di mana mencari ilmu pengetahuan adalah
satu pekerjaan yang harus dilakukan oleh setiap orang. Era baru yang berarti
bahwa setiap orang yang berilmu punya kewajiban untuk mengajar kepada
orang lain. Ini terlihat, antara lain, beberapa saat setelah Nabi sampai di
Madinah, segera dia menyediakan sarana belajar-mengajar dengan menyeru
kepada para sahabat yang memenuhi kriteria terpelajar: ballighû ‘annî walaw
36
Yunus Ali al-Muhdar dan Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab, cetakan
pertama (Surabaya: Bina Ilmu), 1983, 18.
37
Di samping itu, masyarakat Arab juga menguasai ilmu-ilmu lain yang lahir
karena dorongan kondisi alam padang pasir yang tandus dan gersang, yang lebih tepat
disebut sebagai sejumlah pngetahuan ketimbang disebut sebagai ilmu-ilmu dengan
makna seperti yang kita kenal dewasa ini. Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 119120.

Vol. 4, No. 1, (2015)

ϭϯ

Ali Romdhoni

âyah. Era baru di mana penulisan ilmu pengetahuan (menulis buku) mulai
dilakukan. Ini terlihat pada upaya Nabi yang mempekerjakan enam puluh
penulis wahyu sebagai kado dalam memerangi kebodohan masyarakat kala itu.38
Menurut penulis, langkah Nabi dalam mengumpulkan para penulis
handal, yang dari sana lahir satu komunitas pengkaji wahyu, adalah proses
penciptaan lingkungan yang kondusif bagi kemungkinan terpeliharanya teks
baku al-Qur'an. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam kesimpulan kajian yang
dilakukan Goody. Tanpa masyarakat ini, teks baku sebagai rujukan penghafal
al-Qur'an sulit terwujud, kecuali pada diri Nabi. Akan tetapi Nabi
mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, dan demi kelestarian kajian
ilmu-ilmu keislaman.
Di sini menunjukkan, masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur'an
belum memanfaatkan membaca dan menulis untuk mengakses dan
mengabadikan ilmu pengetahuan. Dalam kondisi yang demikian, kita bisa
memaklumi kenapa untuk pertama-tama al-Qur'an diabadikan dengan hafalan;
dan baru kemudian diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah Nabi
Muhammad. Pada masa selanjutnya, antara model hafalan dan tulisan saling
melengkapi dan menguatkan. Jelasnya, dalam sejarahnya al-Qur'an diabadikan
dengan sistem hafalan dan tulisan.
Tahfidz al-Qur’an: Antara Kajian, Ritual dan Orientasi Pembelajaran
Hari ini kita menjumpai umat Islam, khususnya di Indonesia, begitu
meminati dan mengagungkan al-Qur’an. Di antara ekspresi mencintai al-Qur’an
adalah dengan menghafalnya. Karena itu, kita bisa menemukan pusat
pendidikan yang secara khusus mencetak anak didiknya menjadi seorang h}a>fiz}.
Umumnya, pusat kegiatan semacam ini berada di pesantren-pesantren
tradisional (pesantren h}uffa>z)} . Sekedar menyebut, di Kudus, Jawa Tengah
terdapat Pondok Tahfidz Yanbu'ul Qur'an, kemudian Pondok Tahfidz Qur'an
BUQ Betengan Bintoro Demak, Pondok tahfidz di Tebu Ireng, Jombang, dan di
berbagai wilayah di Indonesia.
Yang menarik, banyak di antara para penghafal al-Qur’an ini yang
mendudukkan aktifitasnya (menghafal al-Qur’an) tidak lagi menjadi sarana
untuk menggapai target setelahnya—tetapi telah menjadi tujuan itu sendiri.
Penulis melakukan penelitian di beberapa lembaga pendidikan keislaman yang
secara khusus mendisain anak-didik untuk menjadi seorang h}a>fiz}. Hasilnya,
mayoritas di antara mereka memposisikan menghafal al-Qur’an sebagai tujuan.
38
Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, terj. Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), 184.

ϭϰ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

Fenomena ini menarik penulis untuk memetakan masyarakat peminat
(‘pengkaji’) al-Qur’an, utamanya dengan mengaitkan fenomena banyaknya
penghafal al-Qur’an di Indonesia. Pertama, pengkaji al-Qur’an yang
memposisikan al-Qur’an sebagai teks yang mulia namun sekaligus
memungkinkan dikaji secara kritis, untuk keperluan menggali kandungan
maknanya. Kelompok ini mendudukkan aktifitas perekaman wahyu dalam hati
dan fikiran sebagai proses untuk mencapai pemahaman ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an. Kelompok ini mengkaji al-Qur’an secara kritis,
dan dalam batas-batas tertentu melakukan kritik. Mereka terus menggali dan
mencari metodologi terbaru dalam memahami al-Qur’an, termasuk melibatkan
teori-teori modern (sastra, bahasa, filsafat, sosiologi, dan lain-lain).
Kedua, pengkaji al-Qur’an yang memandang predikat ‘h}a>fiz}’ sebagai
prestasi tertinggi. Kelompok ini memposisikan hafal al-Qur’an sebagai tujuan,
tidak lagi proses. Bagi kelompok ini, hafal Al-Qur’an adalah orientasi, target.
Tidak ada target lagi setelah menghafal, karena tujuan akhir mereka adalah
menghafal Al-Qur’an. Oleh karena itu, wacana yang berkembang di tengahtengah mereka adalah bagaimana teknik menghafal Al-Qur’an dengan cepat,
memiliki hafalan yang kuat, dan lain sebagainya. Tidak terfikirkan oleh mereka,
bagaimana metodologi pemahaman Al-Qur’an dalam rangka memecahkan
persoalan kontemporer, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelusuran penulis, dalam kategori kedua ini juga terdapat
tingkatan. Sebagian mereka menghafal dengan tanpa terlebih dahulu membekali
diri dengan kemampuan makhraj yang baik. Mereka memiliki kemampuan bacatulis al-Qr’an kemudian memutuskan untuk menghafal al-Qur’an. Sebagian
mereka memberi perhatian cukup terhadap pembelajaran makhraj, wakaf,
washal (termasuk ilmu tajwid) sebelum melangkah pada aktifitas menghafal alQur’an. Sebagian lagi bahkan melengkapi kemampuannya pada qira’at sab’ah.
Ketiga, pengkaji al-Qur’an yang mendudukkan Al-Qur’an sebagai firman
Allah, yang dengan membacanya akan menjadi bentuk ibadah (al-muta’abbad
bitila>watihi).39 Kelompok ini tidak mengkaji al-Qur’an secara kritis tetapi juga
tidak menjadikan ‘hafal al-Qur’an’ sebagai orientasi. Motivasi utama mereka
menghafal al-Qur’an adalah sebagai bentuk ibadah. Meskipun demikian,
berdasarkan penuturan para penghafal al-Qur’an dalam kategori ini yang
berhasil penulis temui, mereka rata-rata menuturkan memiliki pengalaman
39
Al-Qur’a>n huwa kala>mulla>hi al-mu’jizu, al-munazzalu ala> kha>tamil anbiya>’i
wal mursali@na, biwa>sit}ati l-ami@ni Jibri@la alaihissala>mu al-maktu>bu fil-mus}ha} fi, almanqu>lu ilaina> bi t-tawa>turi, al-muta’abbadu bi tila>watihi, al-mabdu>’u bi su>rati lfa>tih}ati, al-mukhtatamu bi su>rati al-na>si. Baca pengertian al-Qur’an dalam Ali S}a>bu>ni>,
al-Tibyan fi Ulumil Qur’an (Beirut: Alimul Kutub, t.th), 7.

Vol. 4, No. 1, (2015)

ϭϱ

Ali Romdhoni

spiritual. Misalnya, ada sugesti positif akibat dari aktifitas menghafal al-Qur’an.
Mereka merasa mudah dalam menyerap disiplin ilmu tertentu di luar
kequr’anan. Pendeknya, dengan menghafal al-Qur’an mereka merasa
‘tercerahkan’.
Dalam pandangan penulis, lembaga tahfidz al-Qur’an yang menjamur di
Indonesia mayoritas adalah kategori kedua dan ketiga.
Kesimpulan
Hafalan al-Qur'an tetap relevan dan dibutuhkan bagi para pengkaji studi
keislaman, bahkan hingga sekarang. Sistem hafalan diperlukan dan memiliki
wilayah tersendiri yang tidak terjangkau sistem lain. Alat moderen yang
memiliki kemampuan merekam keotentikan wahyu al-Qur’an baik dalam
bentuk simbol (tulisan) maupun suara (pita kaset dan kepingan CD) dalam
batas-batas tertentu memiliki kelemahan. Pasalnya, piranti ini bersifat pasif,
tidak memiliki kemampuan menyeleksi manipulasi data. Sementara memori
ingatan manusia bersifat aktif, bisa bekerja menyeleksi apabila ada kesalahan
naskah. Meskipun, teknologi semacam ini jelas akan sangat bermanfaat
mempermudah kebutuhan kajian kequr’anan. Dengan demikian, hafalan bisa
dilihat dari tiga sisi. Pertama, menghafal al-Qur'an dengan orientasi murni
ibadah, kedua, untuk kajian keislaman, dan ketiga, memelihara kemurnian alQur'an. Wallâh a‘lam bi al-s}awâb.[]

Daftar Pustaka
Al-Qur'an al-Karim.
Amîn, Ahmad. Fajr al-Islâm. Cetakan ke-11. Dar al-Kutub, 1975.
al-Alusî, Muhammad Shukrî. Bulûgh al-Adâb fî Ma’rifah Ah}wa>l al-’Arâb. Vol.
I. Beirut: Dâr al-Kutûb al-’Ilmiyah, t.th.
Azami, M. M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj. Ali Musthofa
Ya’qub. Cetakan ke-1. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Al-A'zami, M. M.. Sejarah Teks Al-Qur'an. Terj. Sohirin Solihin, dkk. Jakarta:
Gema Insani Press, 2005.
al-Bâbâ, Kâmil. Rûh} al-Khat}t} al-’Arabî. Cetakan pertama. Beirut: Dâr al-’Ilm
wa al-Malâyîn, 1983.
al-Bayâtî, Hasan Qâsim Habash. Rih}lah al-Mus}h}af al-Sharîf. Baerut: Dâr alQalam, 1414.

ϭϲ

Vol. 4, No. 1, (2015)

Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia

Fad}â’ilî, Habîbullâh. At}las al-Khat}t} wal-Khut}ût}, cetakan ke-1. Siria: Dar T{alas
li al- Dirasat wa al- Tarjamah wa al-Nashr, 1993.
Goody, Jack. The Interface Between the Written and the Oral. Cambridge:
Cambridge University Press, 1987.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. A. Bahauddin.
Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, History of The Arabs. London: Macmillan
Education, 1970. Tenth edition
Husain, Abdul Karim. Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf
Arab. Kudus: Menara Kudus, t.th.
ibn ’Abd Rabbih al-Andalusî, Abî ’Umar Ahmad ibn Muhammad. al-’Iq alFarîd. Baerut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1973.
Ibn Khaldûn, Muqaddimah. Mesir: Musthafâ Muhammad, t.th..
Israr, C. Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab. Jakarta: Yayasan
Masagung, 1985.
Khoiri R, Ilham. Al-Qur'an dan Kaligrafi Arab. Jakarta: Logos, 1999.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Second edition. Cambridge:
Cambridge University Press, 2002.
Lewis, Bernard. The Arabs in History. Cet.1 New York: Harper Torchbooks,
1960
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
al-Muhdar, Yunus Ali dan Bey Arifin. Sejarah Kesusastraan Arab. Cetakan
pertama. Surabaya: Bina Ilmu., 1983
Romdhoni, Ali. “Al-Qur'an dan Masyarakat Pembaca.” Dalam Surat Kabar
Mahasiswa Amanat, IAIN Walisongo Semarang. Edisi 109 AgustusSeptember 2007.
Romdhoni, Ali. “Al-Qur’an: Memerangi Illiteracy Mencipta Peradaban Ilmu
Pengetahuan” Journal of Qur’an and Hadith Studies 1, 1 (2012).
Romdhoni, Ali. ”Al-Qur'an dan Literasi Arab.” Tesis Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, 2009.
al-S{âbûnî, Muhammad ‘Ali. al-Tibyân fî Ulûm al-Qur'ân. Beirut: ‘Âlam alKutub, cetakan pertama, 1985.
al-S{âlih, Subhi. Mabâhith fî Ulûm al-Qur’ân. Cetakan ke-17. Beirut: Dâr al-‘Ilm
li al-Malâyîn, 1988.
Safadi, Yasin Hamid. Islamic Calligraphy. London: Themes and Hudson, 1978.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1998.
st,

Vol. 4, No. 1, (2015)

ϭϳ

Ali Romdhoni

Sirojuddin AR., D. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: PT. Multi Kreasi Singgasana,
1992.
Subhani, Ja’far. al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah. Terj. Muhammad
Hasyim dan Meth Kierana, cetakan ke-1. Jakarta: Lentera, 1996..
Teeuw, A. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka
Jaya, 1994.
Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Al-Qur'an: Penyempurnaan atas Karya
Richard Bell. Terj. Taufik Adnan Amal, cetakan I. Jakarta: CV.
Rajawali, 1991.
Watt, W. Montgomery. Richard Bell: Pengantar al-Qur'an. Terj. Lillian D.
Tedjasudhana. Jakarta: INIS, 1998.
Wawancara dengan Agus BM (9 September 2011.
Wawancara dengan M. Aziz (12 Nopember 2011.
Wawancara dengan M.Jamil (Oktober 2011..
Wawancara dengan N. Nur Cholis (3 Desember 2011.
Al-Zarkashî. al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân. Kairo: Dâr al-Hadîth, 2006.
al-Zarqânî, Muhammad ‘Abdul Az}îm. Manâhil al-‘Irfân fî Ulûm al-Qur’ân. Jilid
1. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996.

ϭϴ

Vol. 4, No. 1, (2015)