Gejala Serangan Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.)

TINJAUAN PUSTAKA

  Biologi Oryctes rhinoceros

  Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera Famili : Scarabaeidae Genus : Oryctes Spesies : Oryctes rhinoceros L

  Kumbang ini meletakkan telur pada tunggul-tunggul karet, kelapa dan kelapa sawit yang telah dipotong dan bahan organik lainnya (Mangunsoekarjo dan Semangun, 2003). Imago betina kumbang ini dapat bertelur 3 sampai 4 kali selama hidupnya dengan jumlah telur 30 butir dalam sekali bertelur. Telur berwarna putih, bentuk oval, diletakkan oleh imago betina 5-15 cm di bawah permukaan bahan organik. Telur yang baru diletakkan berukuran 2,3 x 3,5 mm dan lamanya stadia telur 8-12 hari (Allorerung dan Hosang, 2003).

  Larva yang baru menetas berwarnah putih dan setelah dewasa berwarnah putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm. Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan bahkan ada pula yang mencapai 2-4 bulan lamanya. Stadim larva terdiri dari tiga instar yaitu: Instar I selama 11-12 hari, instar II selama 12-21 hari, dan instar III 60-165 hari (Anonimus, 2010).

  Gambar 2. Larva O. rhinoceros

  Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan dan panjang 5-8 cm yang terbungkus dari kokon dari tanah yang berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas dua fase yaitu: Fase I lamanya satu bulan yang merupakan perubah bentuk dari larva ke pupa dan fase II lamanya tiga minggu merupakan perubahan bentuk dari pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Anonimus, 2010).

  Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah badanya berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34-45 mm dan lebarnya 20 mm. Culanya yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini. Cula kumbang jantan lebih panjang dari cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini mempunyai mandible yang kuat dan cocok untuk melubangi pohon (Borror, 1971).

  

Gambar 4. Imago Oryctes rhinoceros

Gejala Serangan Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.)

  Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf “V”. Gejala ini merupakan ciri khas serangan kumbang

  

O. rhinoceros (Direktorat Jendral Perkebunan, 2008). Kumbang ini menggerek pucuk-

pucuk atau umbut kelapa sawit sejak ditanam dan dapat berlanjut sampai umur 25 tahun.

  Pelepah di atas bagian yang diserang akan putus dan mengering atau busuk dan tunas baru keluar dari samping (Lubis, 1992).

  Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan dan seekor kumbang menggerek selama 4-6 hari sebelum pindah ke tanaman lain. Oleh karena itu populasi O. rhinoceros yang rendah dapat mengakibatkan kerusakan tanaman kelapa sawit yang berat (Chenon dan Pasaribu, 2005).

  Kumbang tanduk O. rhinoceros umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menghasilkan hingga 69%. Di samping itu, kumbang tanduk juga mematikan tanaman muda sampai 25% (Primatani, 2006)

  Pengendalian

  Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat (dengan nama dagang Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat ini berguna sebagai alat kendali populasi hama dan sebagai perangkap massal.

  Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (PPKS, 2009). Pengendalian dengan menggunakan feromon untuk mengendalikan populasi hama O. rhinoceros sudah dilakukan oleh beberapa negara antara lain Filipina, Malaysia, Srilanka, India, Thailand dan Indonesia (APCC 2006). Hal ini dilakukan mengingat O. rhinoceros adalah hama yang berbahaya baik pada tanaman kelapa yang masih di pembibitan sampai tanaman dewasa (Singh and Rethinam, 2005).

  Penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27 ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan (APCC, 2006). Kumbang O. hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam (Balitka, 1989). Oleh sebab itu penggunaan feromon dapat menyelamatkan tanaman kelapa dari ancaman kehilangan produksi bahkan kematian tanaman. Penggunaan perangkap feromon dapat menurunkan populasi hama dan tingkat kerusakan hama sampai batas tidak merugikan serta menurunkan penggunaan insektisida dan kerusakan lingkungan (Roelofs, 1978). Di samping itu, feromon dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan penggunaan virus di lokasi-lokasi pelepasan virus untuk mengendalikan O. rhinoceros (APCC, 2006).

  Perangkap Feromon

  Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring populasi maupun pengendalian hama (Nation, 2002). Di samping itu feromon bermanfaat juga dalam proses reproduksi dan kelangsungan hidup suatu serangga. Keberhasilan penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per satuan waktu, penguapan bahan kimia, kecepatan angin dan temperatur (Klowden, 2002).

  Feromon ini mempunyai bahan aktif Ethyl-4 methyloctanoate dimana bahan aktif ini 10 kali lipat lebih efektif dibandingkan feromon terdahulu yang bahan aktifnya Ethyl

  

chrysanthemumate . Feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember plastik

  dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 60 hari (Utomo dkk, 2007).

  Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Serangga

  Jika lingkungan cocok dan pakan cukup, kumbang badak terbang dalam jarak yang dekat saja. Namun jika pakan kurang baik kumbang bisa terbang sampai sejauh 10 km (Pracaya, 2007).

  a. Angin

  Angin berpengaruh terhadap perkembangan hama, terutama dalam proses penyebaran hama tanaman. Misalnya kutu daun dapat terbang terbawa angin sejauh 1.300 km. Kutu loncat (Heteropsylla cubana), penyebarannya dipengaruhi oleh angin. Seperti halnya pada tahun 1986, pernah terjadi letusan hama (outbreak atau explosive) kutu loncat lamtoro pada daerah yang luas dalam waktu relatif singkat. Belalang kayu (Valanga nigricornis Zehntneri Krauss), bila ada angin dapat terbang sejauh 3-4 km.

  Selain mendukung penyebaran hama, angin kencang bisa menghambat bertelurnya kupu- kupu, bahkan sering menimbulkan kematian (Arantha, 2010).

  b. Cahaya

  Beberapa aktivitas serangga dipengarui oleh responya terhadap cahaya sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengarui aktifitas dan distribusi lokalnya. Habitat serangga dewasa (imago) dan serangga pradewasa (larva dan pupa) ada yang sama dan ada yang berbeda. Pada ordo lepidoptera, larva aktif makan dan biasanya menjadi hama, sedangkan serangga dewasanya hanya menghisap nectar atau madu bunga. Pada ordo coleoptera, umumnya larva dan imago aktif makan dengan habitat yang sama sehingga kedua-duanya menjadi

C. Suhu

  Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu Tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang ( menurun ). Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 15 C, suhu optimum 25 C dan suhu maksimum 45 C. Pada suhu optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian ( mortalitas ) sebelum batas umur akan sedikit ( Jumar, 2000).

  d. Kelembaban / Hujan

  Kelembaban atau curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem. Pada umumnya serangga lebih tahan terhadap lebih banyak air, bahkan beberapa serangga yang bukan serangga air dapat tersebar karena hanyut bersama air. Akan tetapi, kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras merupakan bahaya bagi beberapa serangga ( Jumar, 2000).

  e. Makanan

  Kita mengetahui bahwa makanan merupakan sumber gizi yang dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang biak. Jik makanan tersedia dengan kualitas yang cocok, maka populasi serangga akan naik cepat. Sebaliknya, jika keadaan makan kurang maka populasi serangga juga akan menurun. Pengaruh jenis makanan , kandungan air suatu jenis serangga hama. Dalam hubungannya dengan makanan , masing – masing jenis serangga memiliki kisaran makanan ( inang ) dari satu sampai banyak makanan ( inang ) ( Jumar, 2000)

  Faktor-Faktor yang Pempengarui Pertumbuhan dan Perkembangan Populasi

  Menurut Andrewartha dan Birch (1954 ) menyatakan bahwa kelangsungan hidup, perkembangan dan kerapatan populasi di lapangan ditentukan oleh :

  1. Tersedianya sumberdaya makanan seperti makanan dan ruang tempat hidup.

  2. Aksesibilitas sumberdaya dan kemampuan individu-individu populasi untuk mencapai dan memperoleh sumberdaya (antara lain sifat penyebaran, pemencaran dan kemampuan mencari).

  3. Waktu atau kesempatan yang memanfaatkan laju pertumbuhan (r) yang tinggi misalnya pada keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan.

  (Tarumingkeng, 1994).

  Bila sejumlah kecil populasi tertentu menyerbu suatu habitat baru dan disukai, jumlah mereka akan semakin bertambah sampai mencapai suatu maksimum yang dapat didukung oleh lingkungan. Kelompok individu yang menyerbu suatu habitat yang disukai tidak segera bertambah jumlahnya. Hal itu memerlukan waktu bagi individu-individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya yang baru, menemukan pasangan dan menghasilkan individu muda (Michael, 1995).

  Jumlah individu dalam suatu populasi tidak pernah tetap sepanjang waktu. Perubahan-perubahan dalam ukuran populasi dapat disebabkan oleh kelahiran, imigrasi, populasi sedangkan dua kejadian yang terakhir menyebabkan pengurangan rapatan populasi ( Michael, 1995).

  Andrewartha and Birch (1954) mengartikan bahwa hubungan antara empat komponen yaitu iklim, makanan, patogen dan tempat tinggal sebagai lingkungan untuk suatu organisme. Contohnya di Brazil, populasi serangga kadang-kadang berubah-ubah pada awal musim, terutama oleh faktor lingkungan yang mendukung seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. Coleoptera dan serangga lainnya akan melimpah setelah hujan. Di hutan alami, kelimpahan dan perkembangan spesies kumbang scarabid sangat dipengaruhi oleh ph tanah, tanaman penutup dan kepadatan makanan mereka (kamarudin dkk, 2005).

  Kelakuan menggambarkan respon hewan terhadap lingkungannya. Serangga sangat sensitif terhadap variasi lingkungan, dan serangga dapat merubah kelakuan mereka dalam merespon naik turunnya kondisi lingkungan atau perubahan lingkungan. Serangga, khususnya yang dapat terbang dan berpindah untuk menghindari naik turunnya temperatur, kelembaban, zat kimia atau faktor abiotik lainnya untuk menghindar dari kondisi yang merugikan (Schowalter, 1996).