BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak di Kabupaten Karo Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor gizi memegang peranan penting. Oleh sebab itu perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan mulai sejak masa kehamilan, bayi, anak balita, pra sekolah, anak SD/MI, remaja dan dewasa sampai usia lanjut (Depkes RI, 2005). Dari seluruh siklus kehidupan ini, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan.

  Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi (Kurang Energi Kronis/KEK) mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah/BBLR.

  Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak, terlebih lagi apabila mendapat ASI Eksklusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi sampai masa balita.

  Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan pertumbuhan. Balita yang kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR lagi dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya akan menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak.

  Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui pemantauan Tinggi Badan Anak. Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010).

  Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis.

  Penelitian Soekirman (2000) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah di Indonesia sebesar 30% di pedesaan dan 18% di wilayah perkotaan. Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak yang mengalami gangguan pertumbuhan juga masih tinggi, salah satunya di Kabupaten Barito sebesar 36,4% (Nurhamidi, 2008).

  Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus kehidupan seperti Kurang Energi Protein pada balita, Ibu Hamil KEK, kurang zat mikro (vitamin A, zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak, maka diperlukan kebijakan dan strategi dalam perbaikan gizi di setiap siklus kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk memperbaiki status gizi masyarakat. Program ini merupakan bagian integral dari program kesehatan yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan melalui suatu rangkaian upaya mulai dari perumusan masalah, penetapan tujuan, penentuan strategi intervensi yang tepat sasaran, identifikasi kegiatan serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi (Depkes RI, 2010).

  Menurut Azwar (2004), untuk meningkatkan pelayanan gizi dan pemantauan pertumbuhan pada masyarakat, pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian ‘best practise’ (efektif dan efisien) dan lokal spesifik. Untuk menghasilkan program yang efektif dalam upaya perbaikan gizi diperlukan perencanaan, monitoring dan evaluasi yang baik. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan sumber daya yang berkompeten di bidangnya untuk menanggulangi masalah gizi di masyarakat.

  Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya kesehatan dalam program perbaikan gizi selama ini masih belum efektif (sasaran tercapai) dan efisien dalam arti penggunaan sumber daya (input) yang minimal dapat mengahasilkan keluaran yang optimal. Hal ini dikarenakan kebijakan penggunaan sumberdaya kesehatan untuk kegiatan program perbaikan gizi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi masing-masing daerah yang dapat mempengaruhi pencapaian efektivitas pelayanan gizi (Alibas, 2006).

  Indonesia telah melaksanakan upaya perbaikan gizi sejak tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) melalui intervensi yang mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pemantauan dan penanganan gizi buruk (Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat.

  Hasil riskesdas menunjukkan besaran masalah gizi di Indonesia seperti masalah KEP yaitu gizi kurang, pendek dan kurus dimana prevalensi gizi kurang terjadi peningkatan sebesar 18,4% pada tahun 2007 menjadi 19,6% pada tahun 2013, begitu juga halnya dengan prevalensi pendek pada anak balita sebesar 36,8% pada tahun 2007 meningkat menjadi 37,3% pada tahun 2013 tetapi untuk prevalensi kurus terjadi penurunan dimana pada tahun 2007 sebesar 13,6% menjadi 12,1% pada tahun 2013. Untuk kunjungan ke posyandu, frekuensi kunjungan balita ke Posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran berdasarkan hasil riskesdas 2007, proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di Posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24- 35 bulan turun menjadi 73,3%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, terjadi peningkatan untuk proporsi anak yang tidak pernah dipantau pertumbuhannya sebesar 34,3%. Untuk cakupan vitamin A secara nasional meningkat menjadi 75,5% begitu juga dengan persentase garam beryodium tingkat rumah tangga terjadi peningkatan sebesar 77,1% demikian juga halnya prevalensi pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil dimana pada tahun 2010 sebesar 18 % meningkat pada tahun 2013 sebesar 33,2 %. Hasil riskesdas juga menunjukkan proporsi anak pendek untuk anak baru masuk sekolah (umur 6-7 tahun) yaitu untuk anak laki-laki 27,7% dan anak perempuan 25,5%. WHO (2010) yang dikutip dari hasil riskesdas (2013) menyatakan bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek

  ≥ 40%. Sebanyak 14 propinsi termasuk kategori berat dan 15 propinsi termasuk kategori serius dan salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil riskesdas ini dapat dinalisis bahwa kejadian kurang gizi pada balita dan masalah gangguan pertumbuhan anak masih mengalami peningkatan.

  Ini sejalan dengan penelitian Handayani, dkk (2008) yang menyatakan bahwa masih banyak balita yang berstatus gizi kurang sehingga status gizi anak perlu ditingkatkan dengan mengadakan program pemberian makanan tambahan (PMT). Begitu juga dengan pernyataan Jahari (2005) dimana penurunan masalah KEP tidak konsisten, karena prevalensinya turun naik dan bila dipilah menjadi gizi kurang dan gizi buruk prevalensinya masih tinggi pada tahun 2003. Selanjutnya Jahari juga menyatakan bahwa masalah tinggi badan terutama prevalensi anak balita pendek (stunted) menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti dan cenderung meningkat.

  Meningkatnya prevalensi ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada anak sudah merupakan masalah yang serius. Hal senada juga diungkapkan oleh Atmarita (2004) tentang status gizi anak baru masuk sekolah yang hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi, dengan kata lain masih banyak anak dikategorikan pendek sekitar 30-40%.

  Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi, Kabupaten Karo telah melakukan kegiatan program perbaikan gizi yaitu 1) penanggulangan KEP melalui pemantauan pertumbuhan, penanganan gizi buruk dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), ASI Eksklusif, 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, 3) penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil, dan 4) peningkatan SDM bidang gizi melalui pelatihan-pelatihan. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian indikator outputnya dengan melihat capaian target yang telah ditetapkan sebelumnya dan hasilnya menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo masih dibawah target.

  Berdasarkan hasil program penanggulangan KEP melaui kegiatan pemantaun pertumbuhan di posyandu yang dilihat dari pencapaian indikator D/S selama 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dimana pada tahun 2009 sebesar 55,8%, tahun 2010 57,6% tahun 201152,7% tahun 2012 61,7% dan hanya sedikit peningkatan pada tahun 2013 sebesar 65,4% masih jauh dibawah target yang ditetapkan sebesar 80 %. Untuk capaian ASI Eksklusif terjadi peningkatan dimana pada tahun 2009 sebesar 14,3% meningkat pada tahun 2013 sebesar 55% tapi masih dibawah target pencapaian yaitu 75%. Begitu juga halnya dengan capaian pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil masih dibawah target pencapaian yaitu sebesar 82,9% pada tahun 2013 sedangkan target sebesar 93%. Untuk kasus gizi buruk terjadi penurunan dimana pada tahun 2013 hanya 13 kasus tapi untuk jumlah balita gizi kurang terjadi peningkatan dimana pada tahun 2011 sebanyak 265 balita menderita gizi kurang menjadi 357 balita pada tahun 2013 (Dinkes Kab. Karo, 2013). Kasus kurang gizi pada balita sering terjadi seperti fenomena gunung es yang tidak muncul kepermukaan akibat dari pendataan yang kurang baik.

  Survey Tinggi Badan Anak Baru masuk Sekolah (TBABS) di Kabupaten Karo telah dilaksanakan sebanyak 3 kali yaitu tahun 1998, 2003 dan 2008. Dari hasil pengukuran tahun 1998 didapatkan prevalensi anak usia sekolah dengan gangguan pertumbuhan sebesar 25,2%. Pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 18,8% dan pada tahun 2008 terjadi peningkatan sebesar 25,8%. Sedangkan rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah baik pada tahun 2003 dan 2008 masih dibawah angka nasional yaitu 110,5 cm untuk anak laki-laki dan 109,2 untuk anak perempuan.

  Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 Kecamatan dengan 19 Puskesmas, dilihat dari ketenagaan mempunyai 25 orang Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas berlatar belakang pendidikan gizi yang artinya semua puskesmas telah memiliki tenaga pelaksana gizi dengan rata-rata tenaga 1 orang per puskesmas. Dengan tenaga ini diharapkan dapat melayani penduduk Kabupaten Karo yag berjumlah 358.823

  2

  jiwa yang tersebar dalam wilayah seluas 2.127,25 km (Profil Dinkes Kab. Karo, 2013). Jika dilihat dari Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit dengan mengacu pada metode perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan pendekatan rasio terhadap nilai tertentu yang menyatakan bahwa pada tahun 2014 diharapkan tenaga gizi 24 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2011) maka jumlah TPG Puskesmas di Kabupaten Karo belum mencukupi dan ini dapat membuat penanganan masalah gizi belum maksimal.

  Menurut Hadi (2005), tenaga gizi yang bekerja di Dinas Kesehatan maupun di Rumah Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan D1. Kompetensi yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan masalah gizi dan kesehatan saat ini, apalagi untuk menangani masalah gizi dan kesehatan 10 – 20 tahun mendatang. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa program gizi belum menunjukkan hasil yang nyata dalam penanggulangan masalah gizi. Keberhasilan program sangat ditentukan oleh ketepatan dalam melakukan intervensi. Intervensi tidak hanya dari sisi masyarakat, tetapi juga dari sisi managemen. Masih kurang tingginya pencapaian cakupan program gizi dan meningkatnya prevalensi gangguan pertumbuhan kemungkinan disebabkan karena pelaksanaan program perbaikan gizi yang tidak maksimal sementara sejauh ini belum banyak dilakukan analisis pelaksanaan program perbaikan gizi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi sedangkan informasi ini sangat dibutuhkan untuk perumusan kebijakan program perbaikan gizi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan analisis pelaksanaan program perbaikan gizi yang berhubungan dengan program gizi balita dan difokuskan dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan pada anak baru masuk sekolah. Diambil program gizi balita karena gangguan pertumbuhan merupakan gambaran dari status gizi masa lalu yang dapat dilihat pada masa balita.

  1.2. Permasalahan

  Bagaimanakah pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak di Kabupaten Karo tahun 2014?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Menganalisis pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di Kabupaten Karo tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Institusi Pendidikan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan kajian guna pengembangan teori upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak.

  2. Bagi Puskesmas sebagai bahan informasi agar dapat dipakai sebagai evaluasi dan perencanaan terhadap upaya penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan anak.

  3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai masukan dalam perumusan kebijakan program perbaikan gizi untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan.