BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Agency - Pengaruh Implementasi Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Profitabilitas Perusahaan Bumn Di Indonesia Dengan Kepemilikan Pemerintah Sebagai Variabel Moderating
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Agency
Teori keagenan (Agency Theory) menyatakan bahwa kinerja perusahaan khususnya profitabilitas dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik/investor) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik kepentingan antar agen sering disebut sebagai masalah keagenan.
Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggungjawaban mereka terhadap prinsipal. Manajemen dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan. Manajemen memiliki insentif untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya yang justru dapat merugikan pihak investor secara tidak langsung (Setiawan, Bernik dan Sondari : 2006).
Coprorate governance diperlukan untuk melindungi para pemegang
saham yang telah memberikan uangnya kepada manejemen perusahaan untuk mengambil keuntungan dari kondisi dimana telah terjadinya pemisahan antara pemilik perusahaan dengan yang mengelola perusahaan. Para pemegang saham akan memilih Board of Director’s untuk menampung aspirasinya akan tetapi pihak manajemen dapat mempengaruhi proses ini untuk kepentingan pribadinya (Lubis,2008).
2.1.2. Pengertian Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dalam periode tertentu (Riyanto, 2001). Profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan efektifitas manajemen perusahaan dalam memanfaatkan sumber dananya untuk menghasilkan laba yang dihasilkan dari penjualan ataupun investasi penjualan. Tingkat profitabilitas perusahaan merupakan hasil akhir dari berbagai kebijakan dan keputusan yang dilakukan manajer perusahaan.
Profitabilitas perusahaan dapat diketahui dengan cara membandingkan laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut.
Profitabilitas juga merupakan salah satu alat analisis untuk mengevaluasi suatu kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan menurut Helfert (1997) adalah hasil dari banyak keputusan individual yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen. Hasil dari kinerja perusahaan dapat dilihat dari seberapa jauh perusahaan dapat mencapai tujuan yang telah dibuat. Perusahaan yang dapat mencapai hampir semua tujuan atau target yang telah dibuat, biasanya disebut dengan keuntungan, dan itu dapat dikatakan bahwa perusahaan sudah memiliki kinerja yang baik. Pengukuran profitabilitas masing-masing dihubungkan dengan penjualan (Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Operating Profit Margin), total aktiva (Assets Turnover, Basic Earning Power, Return on Assets), investasi (Return On Investment) dan modal sendiri (Return on Equity).
Penelitian ini menggunakan rasio keuangan untuk mengukur profitabilitas perusahaan yaitu Return on Equity (ROE). ROE dipilih karena GCG itu sendiri salah satu tujuannya adalah untuk melindungi para pemegang saham yang telah memberikan uangnya berupa modal kepada manajemen perusahaan untuk diolah menjadi keuntungan. ROE menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola modal yang tersedia untuk mendapatkan laba bersih, ini merupakan rasio yang lebih tinggi dan lebih baik untuk mengukur profitabilitas menurut bidang dan sudut pandang pemilik (Helfert: 1997) karena perusahaan dapat menambah laba ditahan dan mampu membayar dividen lebih tinggi.
2.1.3. Rasio Profitabilitas ( Return On Equity)
Return on Equity merupakan suatu pengukuran dari penghasilan/Income
yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen) atas modal yang mereka investasikan didalam perusahaan (Syamsuddin:2009). Secara umum tentu saja semakin tinggi return saham/penghasilan yang diperoleh semakin baik kedudukan pemilik perusahaan.
Rasio ini menunjukkan keberhasilan atau kegagalan pihak manajemen dalam memaksimumkan tingkat hasil pengembalian investasi pemegang saham dan menekankan pada hasil pendapatan sehubungan dengan jumlah yang diinvestasikan (Astuti: 2004).
Rasio ini juga digunakan untuk mengukur kinerja manajemen perusahaan dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak.
Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan sehingga kemungkinan suatu perusahaan dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba setelah pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional setelah dikurangi pajak. Rata-rata total ekuitas adalah rata-rata modal inti yang dimiliki perusahaan, perhitungan modal inti dilakukan berdasarkan ketentuan kewajiban modal minimum yang berlaku (Almilia, Herdiningtyas; 2005). Rasio ini banyak diamati oleh para pemegang saham (baik pemegang saham pendiri maupun pemegang saham baru) serta para investor di pasar modal yang ingin membeli saham yang bersangkutan. Rasio ROE merupakan indikator penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari perusahaan yang bersangkutan.
2.1.4. Mekanisme Good Corporate Governance
Latar belakang timbulnya good corporate governance adalah akibat dari berbagai praktek tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahaan-perusahaan besar yang menimbulkan krisis ekonomi. Untuk mengatasi krisis ekonomi itu dan meredam kepanikan para investor yaitu dengan mengeluarkan undang-undang yang terkenal dengan nama Sarbanes-Oxley Act 2002. Undang-undang ini berisi penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam menjabarkan dan menegakkan good corporate governance baik di Amerika maupun di Indonesia.
Agoes (2009) mendefinisikan bahwa tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, peran direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan penilaian kinerjanya.
Dan Organizations for Economic Coorperation and Development-OECD (Tjager dkk, 2004 dalam Agoes: 2009) menyatakan bahwa: “Good corporate
governance sebagai suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham,
direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.” Keputusan Menteri BUMN Indonesia No.KEP-117/M-MBU/2002 mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai berikut: "Tata kelola perusahaan adalah suatu proses dan struktur yang digunakan BUMN untuk meningkatkan efisiensi organisasi/keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dalam rangka mencapai nilai seluruh stakeholder/pemegang saham untuk prospek jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya, sesuai dengan peraturan pemerintah dan prinsip etika."
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat diketahui bahwa good
corporate governance merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang baik
guna mengarahkan dan mengendalikan perusahaan untuk mencegah timbulnya kecurangan atau kesalahan dari pihak menejemen yang dapat merugikan komisaris, investor, kreditur, pemerintah dan masyarakat serta pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Tjager dkk, 2003 (dalam Agoes, 2009) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan Good Corporate Governance itu bermanfaat, yaitu:
1. Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukan bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoritis praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Konsep Good Corporate Governance merupakan upaya perbaikan terhadap sistem dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi dalam arti sempit. Namun harus disadari bahwa betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para pelaku bisnis itu sendiri.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa kontribusi BUMN terhadap keterpurukan keuangan dan moneter negara sangat signifikan. Atas dasar hal tersebut, sepanjang tahun 2002 pemerintah memberlakukan beberapa peraturan tentang kewajiban untuk menerapkan corporate governance dilingkungan BUMN. Penerapan GCG telah menjadi kebutuhan yang nyata bagi peningkatan kinerja BUMN. Berdasarkan analisis yang cukup komprehensif dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan penerapan GCG dalam BUMN telah cukup lengkap dan memadai. Bahkan hasil penelitian sebuah lembaga penelitian menghasilkan data yang menunjukkan bahwa kinerja BUMN Terbuka yang telah menerapkan prinsip-prinsip GCG menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang belum (Surya &Yustiavandana: 2008).
Informasi akuntansi memberikan input yang paling penting ke dalam mekanisme Corporate Governance. Informasi akuntansi secara impilisit/tersirat digunakan untuk menunjukkan apakah aksi governance melawan manajemen dibutuhkan, dan untuk membantu menentukan pengeluaran stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum dan penurunan kinerja keuangan (Arijanto: 2011).
Untuk mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG, muncul suatu ide tentang organ tambahan dalam struktur perseroan. Organ-organ tambahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerapan good corporate governance didalam perusahaan-perusahaan di Indonesia dan meningkatkan perlindungan bagi para kreditur (Surya &Yustiavandana: 2008). Organ-organ tambahan tersebut seperti : komisaris independen, direktur independen/direktur tidak terafiliasi, komite audit, sekretaris perusahaan dan lain sebagainya.
2.1.4.1. Ukuran Dewan Direksi
Dewan direksi (dalam Surya &Yustiavandana: 2008) merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan perusahaan dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut. Direksi sendiri menurut UU Perseroan Terbatas adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan dengan ketentuan Anggaran Dasar. Direksi bertanggungjawab penuh atas manajemen perusahaan. Direksi harus memastikan bahwa perusahaan telah sepenuhnya menjalankan seluruh ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Chtourou, Jean dan Lucie (2001) ukuran dewan direksi yang lebih besar dapat memonitor proses pelaporan keuangan dengan lebih efektif dibandingkan ukuran dewan direksi yang lebih kecil. Fokusnya setiap dewan direksi terhadap bidang yang dikelola dapat mempengaruhi keuntungan yang dicapai serta tingkat pengembalian atas modal yang telah diinvestasikan para pemegang saham. Besarnya ukuran dewan direksi yang ideal menurut Jensen (1993) adalah tujuh (7) orang sebab jika jumlah dewan direksi yang terlalu besar yang lebih dari tujuh orang akan memberikan kesempatan kepada manajemen untuk melakukan manipulasi data.
Dewan direksi menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif. Tujuannya adalah untuk mencapai kepastian yang berkenaan dengan kebenaran informasi keuangan, efektivitas dan efisiensi proses pengelolaan perusahaan, dan kepatuhan pada peraturan dan perundang-undangan yang terkait serta mangamankan investasi dan asset perusahaan sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja perusahaan.
2.1.4.2. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris menurut Surya & Yustiavandana (2008) merupakan organ yang mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi. Dewan komisaris memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan terutama dalam penerapan tata kelola perusahaan yang sehat. Dewan komisaris terletak pada inti dari tanggungjawab corporate
governance untuk memastikan bimbingan mekanisme yang strategis. Manajemen
bertanggung jawab atas efisiensi perusahaan serta daya saing, dan dewan komisaris adalah titik fokus yang tepat dalam keberhasilan dan pelestarian korporasi (Keputusan Menteri Indonesia No 117/2002).
Dewan komisaris memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kualitas informasi dalam laporan keuangan. Besarnya ukuran dewan komisaris menunjukkan semakin banyak pula pemegang saham dalam perusahaan tersebut. Hal ini menunjukkan modal yang dikelola oleh manajemen semakin besar pula sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat pengembalian modal perusahaan yang diharapkan karena pemegang saham menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga professional tujuannya agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang sangat efisien. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas di perusahaan, sehingga manajemen bertanggung jawab kepada dewan untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan perusahaan (NCCG, 2006). Selain itu, fungsi dewan komisaris adalah untuk memastikan perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial (CSR) dan mempertimbangkan pemangku kepentingan dalam memantau efektifitas dari praktik tata kelola perusahaan (Kode Nasional Good Corporate Governance , 2006).
2.1.4.3. Komisaris Independen
Komisaris independen menurut Surya & Yustiavandana (2008) adalah komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas, pejabat atau yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi pengelolaan perusahaan.
Ruang lingkup tugas dan wewenang serta tanggung jawab anggota komisaris secara umum telah diatur dalam Undang-Undang RI No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada Undang-Undang tersebut tidak dipisahkan peran khusus dari komisaris independen. Undang-Undang tersebut diberi keleluasaan masing-masing perusahaan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan syarat- syarat dan tanggung jawab keanggotaan dewan komisaris secara lebih rinci sesuai dengan rujukan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perusahaan.
Kementerian Indonesia menetapkan persyaratan untuk komisaris independen melalui BUMN Indonesia Keputusan Menteri Nomor 117/2002, dalam bagian keempat ini berkomentar bahwa perusahaan BUMN wajib memiliki komisaris independen secara proporsional sama dengan saham yang dimiliki oleh pemegang saham non-pengendali. Dalam aturan ini minimum persyaratan untuk komisaris independen adalah 20 persen dari keanggotaan dewan komisaris.
Komisaris independen harus diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dari antara orang-orang yang tidak berafiliasi dengan pemegang saham mayoritas, setiap anggota dewan direksi dan anggota lain dari dewan komisaris.
Komisaris independen merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono: 2005). Adanya komisaris independen, maka kepentingan pemegang saham, baik mayoritas dan minoritas tidak diabaikan, karena komisaris independen lebih bersikap netral terhadap keputusan yang dibuat oleh pihak manajer.
2.1.4.4. Komite Audit
Komite audit merupakan organ yang dibentuk dan berada dibawah dewan komisaris yang beranggotakan satu atau lebih anggota dewan komisaris dan dapat berasal dari kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas lainnya yang dibutuhkan dan harus bebas dari pengaruh direksi, eksternal auditor dan hanya bertanggungjawab kepada dewan komisaris (Surya & Yustiavandana: 2008).
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP- 103/MBU/2002 mengenai pembentukan komite audit bagi Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa komisaris/dewan pengawas BUMN dapat membentuk komite audit, yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu komisaris/dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit bersifat mandiri baik dalam pelaksanaan tugasnya maupun dalam pelaporan, dan bertanggungjawab langsung kepada komisaris/dewan pengawas.
Komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, maka kontrol terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraanya sendiri dapat diminimalisasi (Juanda: 2009). Komite audit bertanggungjawab atas Sistem Pengendalian Internal (SPI) perusahaan agar aktivitas operasional perusahaan semakin efisien dan efektif, dimana pada akhirnya tingkat laba perusahaan semakin tinggi dan tingkat kesejahteraan pemegang saham atas pengembalian modal pun akan semakin meningkat.
2.1.5. Kepemilikan Pemerintah
Kepemilikan Pemerintah adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemerintah sebagai agen monitoring eksternal disebabkan oleh besarnya investasinya pada pasar modal (Yonedi & Sari: 2009). Kepemilikan dalam BUMN mempunyai artian khusus bahwa pemiliknya tidak dapat mengontrol secara langsung perusahaannya. Pemilik hanya diwakili oleh pejabat yang ditunjuk (misalnya Menteri). Kesepakatan dapat terjadi antara wakil pemilik dengan manajemen, wakil pemilik dan pihak manajemen dengan kreditur (Hastuti,2005).
Perusahaan-perusahaan pemerintah mulai dirubah struktur kepemilikannya atau dengan kata lain diprivatisasi. Perubahan struktur ini mengandung banyak pro dan kontra. Penelitian yang mendukung tentang privatisasi ini diantaranya penelitian Gupta,Ham, Svejnar : 2000 (dalam Setiawan,Bernik dan Sondari: 2006) bahwa privatisasi akan menyebabkan performansi yang lebih baik.
Kepemilikan oleh pemerintah menurut Shleifer dan Vishny :1997 (dalam Yonedi & Sari: 2009) yang berarti kepemilikan tersebut terkonsentrasi, justru akan mendorong pengendalian atas perusahaan untuk melakukan ekspropriasi atau dominasi terhadap pemegang saham minoritas. Kepemilikan pemerintah memiliki keuntungan dalam pelayanan sebagai institusional alternatif untuk regulasi. Ini menunjukkan pemerintah sebagai pemegang saham dan pemangku kepentingan mempunyai hak dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kebijakan dalam mekanisme Good Corporate Governance. Manfaat Good
Corporate Governance akan dilihat dari premium yang bersedia dibayar oleh
investor atas ekuitas perusahaan (harga pasar). Jika ternyata investor bersedia membayar mahal, maka nilai pasar perusahaan yang menerapkan Good Corporate
Governance juga akan lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak
menerapkan atau mengungkapkan praktek Good Corporate Governance (Juanda: 2009). Tujuan jenis kepemilikan ini tidak hanya memaksimalkan nilai pemegang saham namun juga bertujuan untuk menambah nilai perusahaan dan pengembalian modal berupa keuntungan kepada Pemerintah.
2.1.6. Good Corporate Governance di Indonesia
Sejarah tata kelola perusahaan di Indonesia berhubungan erat dengan krisis keuangan Asia Tenggara. Krisis dimulai di Thailand dan menyebar ke Filipina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Seorang pengamat ekonomi menyatakan bahwa tragedi keuangan Asia tahun 1997 adalah tonggak dalam sejarah perusahaan pemerintahan di Indonesia. Hal itu mencerminkan bahwa kondisi keuangan pada pertengahan Agustus tahun 1997 yaitu dengan nilai rupiah turun drastis sebesar 27% terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Krisis berdampak parah pada sejumlah Negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, mata uang Indonesia terdepresiasi hampir 80% dan beberapa perusahaan, terutama di sektor perbankan, bangkrut (Kamal :2010).
Pelaksanaan Pedoman Umum Good Corporate Governance oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia baik perusahaan terbuka (Emiten/Perusahaan Publik) maupun perusahaan tertutup pada dasarnya bersifat comply and explain. Di mana perusahaan diharapkan menerapkan seluruh aspek pedoman Good
Corporate Governance ini. Apabila seluruh aspek pedoman ini belum
dilaksanakan maka perusahaan harus mengungkapkan aspek yang belum dilaksanakan tersebut beserta alasannya dalam laporan tahunan. Namun demikian mengingat Pedoman ini hanya merupakan acuan sedangkan pelaksanaannya diharapkan diatur lebih lanjut oleh otoritas masing-masing industri maka penerapan ini bersifat voluntary dan tidak terdapat sanksi hukum apabila perusahaan tidak menerapkan pedoman ini.
Saat ini, Bapepam-LK sebagai otoritas pasar modal tidak mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk menerapkan pedoman ini, namun beberapa substansi yang terdapat dalam pedoman ini diadopsi oleh Bapepam-LK ke dalam peraturan-peraturan Bapepam-LK yang sifatnya mandatory seperti kewajiban pembentukan komite audit dan keberadaan komisaris independen dalam perusahaan. Dengan demikian, Bapepam-LK dapat memberikan sanksi atas ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Lebih lanjut, Bapepam-LK juga mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk mengungkapkan pelaksanaan tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan seperti frekuensi rapat dewan komisaris dan direksi, frekuensi kehadiran anggota dewan komisaris dan direksi dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran komite audit, pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan direksi serta remunerasi dewan komisaris dan direksi (Purwanti, et al :2010).
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Yonnedi & Sari (2009) melakukan penelitian “Impact of Corporate
Governance Mechanisms on Firm Performance; Evidence from Indonesia’s State
– Owned Enterprises (SOEs)” . Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa : (1)
Terdapat hubungan yang positif signifikan mengenai pengaruh dewan komisaris terhadap ukuran kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA, ROE dan Sales
Employe Ratio (SER). (2) Adanya pengaruh negatif signifikan dari komposisi
dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA namun tidak berpengaruh terhadap ROE dan SER. (3) Kepemilikan pemerintah memiliki dampak negatif signifikan terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan ROE. Pada umumnya, perusahaan BUMN Indonesia masih harus merancang mekanisme tata kelola perusahaan yang lebih efektif.
Achjari, Suryaningsum, dan Sari (2009) melakukan penelitian yang berjudul “ Implementation of Good Corporate Governance and Financial
Performance: Lessons from Telecommunication and Technology Sector in South
East Asia ”. Hasil penelitian mereka menunjukkan , faktor-faktor yang
mempengaruhi laba bersih (Net Profit) itu bervariasi. Di Indonesia, kepemilikan masyarakat (Publik) dan tindakan korporasi mempengaruhi Net Profit. Di Malaysia, faktor-faktor yang berpengaruh adalah tindakan korporasi, kepemilikan publik independen, kualitas laporan keuangan yang telah diaudit, dan Return on
asset (ROA). Sementara itu, di Singapura faktor-faktor yang signifikan adalah
aksi korporasi, kepemilikan publik independen, dan ROA. Selanjutnya, di Thailand menunjukkan bahwa semua variabel signifikan. Namun, di Filipina menunjukkan semua variabel tidak signifikan. Terakhir, di Vietnam, aksi korporasi, jumlah anggota GCG dan ROA secara keseluruhan mempengaruhi Net Profit .
Dalam penelitian Pratolo (2007) yang berjudul “Good Corporate
Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia: Aspek Audit Manajemen dan
Pengendalian Intern sebagai Variabel Eksogen serta Tinjauannya Pada Jenis Perusahaan”, menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara audit manajemen dan pengendalian internal secara langsung. Pengaruh audit manajemen dan pengendalian internal, penerapan prinsip GCG secara langsung baik parsial dan simultan mempengaruhi kinerja perusahaan. Dan secara tidak langsung, manajemen audit dan kontrol kinerja mempengaruhi perusahaan internal melalui penerapan prinsip-prinsip GCG, tidak ada perbedaan dalam kinerja perusahaan dan level pada jenis perusahaan GCG. Penelitian lain menghasilkan bahwa kontrol internal memiliki pengaruh tertinggi terhadap penerapan prinsip GCG dan kinerja perusahaan.
Setiawan, Bernik, dan Sondari (2006) melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Struktur Kepemilikan, Karakteristik Perusahaan, Dan Karakteristik Tata Kelola Korporasi Terhadap Kinerja Perusahaan Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel struktur kepemilikan yang dilihat dari proporsi kepemilikan publik dan proporsi kepemilikan asing, keduanya mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Untuk berbagai variabel yang mencerminkan karakteristik perusahaan, yaitu size, masa listing, dan kompleksitas usaha memberikan pengaruh yang positif dan signifikan. Sedangkan untuk kelompok perusahaan dan leverage ratio ternyata keduanya memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan. Untuk variabel karakteristik tata kelola korporasi, yaitu proporsi komisaris independen terhadap jumlah direksi dan proporsi jumlah keluarga dalam dewan direksi mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan. Kemudian jumlah komite keluarga dalam dewan direksi mempunyai pengaruh yang sebaliknya yaitu positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Hastuti (2005) melakukan penelitian berjudul “Hubungan Antara Good
Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan
(studi kasus pada perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta)”. Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Tidak ada korelasi tentang struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan. (2) Tidak ada korelasi tentang akuntabilitas terhadap kinerja perusahaan. (3) Terdapat korelasi yang signifikan tentang transparansi dengan kinerja perusahaan.
Tabel 2.1 Review Penelitian TerdahuluPENELITI& JUDUL
VARIABEL HASIL PENELITIAN PENELITIAN
Efa Yonnedi, dan Variabel Independen Hasil penelitiannya menyimpulkan Dewi Yulia Sari ;Ukuran Dewan Komisaris bahwa:(1) Terdapat hubungan yang positif (X1),
(SNA 12, 2009) dan signifikan mengenai pengaruh Dewan Komposisi Dewan Komisaris Komisaris terhadap Ukuran Kinerja
Impact of Corporate (X2), Perusahaan. (2) Adanya pengaruh yang Kepemilikan Pemerintah
Governance Mechanisms signifikan dari Komposisi Dewan Komisaris on Firm Performance; (X3), terhadap Kinerja Perusahaan. (3)
Evidence from Indonesia’s State – Owned Enterprises Variabel Dependen Kepemilikan Pemerintah memiliki dampak (SOEs) (Y);Kinerja Perusahaan negatif signifikan terhadap Kinerja BUMN:ROA (Y ) 1 Perusahaan, Pada umumnya, Perusahaan ROE (Y 2 ) BUMN Indonesia masih harus merancang
Sales-Employee Ratio (Y
3 )
mekanisme tata kelola perusahaan yang lebih efektif.Didi Achjari, Variabel Independen ; Hasil penelitian menunjukkan : Sri Suryaningsum dan, Kepemilikan Publik (X1),
1. Di Indonesia, kepemilikan Publik dan Ratna Candra Sari Struktur Organisasi GCG tindakan korporasi mempengaruhi Net (X2), Profit . (SNA 12, 2009) 2.
Di Malaysia, faktor-faktor yang berpengaruh adalah Tindakan Korporasi, Lanjutan Tabel 2.1.
PENELITI & JUDUL PENELITIAN
VARIABEL HASIL PENELITIAN
Tindakan Korporasi (X3), Kualitas Laporan Keuangan Auditan (X4), ROA (X5), Variabel Dependen (Y) ; Net Profit Kepemilikan Publik, Kualitas Laporan
Keuangan yang telah diaudit, dan ROA.
3. Di Malaysia, faktor-faktor yang berpengaruh adalah Tindakan Korporasi, Kepemilikan Publik, Kualitas Laporan Keuangan yang telah diaudit, dan ROA.
4. Di Singapura faktor-faktor yang signifikan adalah aksi korporasi, kepemilikan publik, dan ROA.
5. Di Thailand menunjukkan bahwa semua variabel signifikan.
6. Di Filipina menunjukkan semua variabel tidak signifikan.
7. Di Vietnam, aksi korporasi, jumlah anggota GCG dan ROA secara keseluruhan mempengaruhi Net Profit. Lanjutan Tabel 2.1.
Implementation of Good Corporate Governance and Financial Performance: Lessons from Telecommunication and Technology Sector in South East Asia
Audit Manajemen (X1) Pengendalian Intern (X2) Penerapan Prinsip-Prinsip GCG (Y) Kinerja Perusahaan (Z) Hasil penelitian menunjukkan : ada hubungan antara audit manajemen dan pengendalian internal secara langsung. Pengaruh audit manajemen dan pengendalian internal, Penerapan Prinsip GCG secara langsung baik parsial dan simultan mempengaruhi kinerja perusahaan. Secara tidak langsung, manajemen audit dan kontrol kinerja mempengaruhi perusahaan internal melalui penerapan prinsip-prinsip GCG, tidak ada perbedaan dalam kinerja perusahaan dan level pada jenis perusahaan GCG.
Maman Setiawan, Merita Bernik, dan Mery Citra Sondari (2006) Pengaruh Struktur Kepemilikan, Karakteristik Perusahaan, Dan Karakteristik Tata Kelola Korporasi Terhadap Kinerja Perusahaan Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta
Ukuran Perusahaan (X Variabel Independen: 1 Leverage (X
)
2 Kelompok Perusahaan (X )3
Masa listing (X ) 4 Kompleksitas Usaha (X )5
Kepemilikan Publik (X)
6
Kepemilikan Asing (X)
7 Proporsi Komisaris Independen-Dewan)
Direksi (X 8 Proporsi Keluarga )Dalam Dewan Direksi (X
9
Komite Tata Kelola ) Korporasi (X 10 ) Kinerja Perusahaan/Profitabilitas (Y) Variabel Dependen:
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : Proporsi kepemilikan publik dan proporsi kepemilikan asing, keduanya mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Karakteristik perusahaan, yaitu size, masa listing, dan kompleksitas usaha memberikan pengaruh yang positif dan signifikan. Kelompok perusahaan dan leverage ratio ternyata keduanya berengaruh negatif dan signifikan. Proporsi komisaris independen terhadap jumlah direksi dan proporsi jumlah keluarga dalam dewan direksi mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan. Jumlah komite keluarga dalam dewan direksi mempunyai pengaruh yang sebaliknya yaitu positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Suryo Pratolo (SNA 10,2007) Good Corporate Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia:Aspek Audit Manajemen dan Pengendalian Intern Sebagai Variabel Eksogen Serta Tinjauannya Pada Jenis Perusahaan
PENELITI& JUDUL
VARIABEL HASIL PENELITIAN PENELITIAN
Theresia Dwi Hastuti Variabel Independen: Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Tidak Struktur Kepemilikan (X1),
(SNA 8, 2005) ada korelasi tentang Struktur Kepemilikan Akuntabilitas (X2), terhadap Kinerja Perusahaan. (2) Tidak ada Transparansi (X3).
Hubungan Antara Good korelasi tentang Akuntabilitas terhadap
Corporate Governance dan Kinerja perusahaan. (3) Terdapat korelasi
Variabel Dependen: Struktur Kepemilikan yang signifikan tentang Transparansi dengan Kinerja Perusahaan (Y) dengan Kinerja Kinerja Perusahaan.
Keuangan(studi kasus pada perusahaan yang listing di bursa efek jakarta)