BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

   Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.

  Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara komprehensif.

  Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Di sisi lain pebisnis yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan

   dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT).

  PT merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga 1 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal.1. memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham

  

  yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut. Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk

  

  mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT. PT (Perseroan) adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk Indonesia.

  Kehadiran perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan

   kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.

  Keberadaan perseroan di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan disebut UUPT). Selain itu juga perseroan tunduk pada peraturan perundang- undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), sepanjang tidak dicabut atau ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam Undang-Undang telah menempatkan perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum 3 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 1. 4 Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good

  Corporate Governancedi Tubuh Perusahaan Publik diakses 31 Maret 2009. 5 Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate, (Jakarta :

   dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya.

  Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang menjadi harta perseroan, bilamana terjadi gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga terhadap perseroan (limited liability).

  Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu perusahaan acapkali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan dapat dipastikan yang duduk di posisi direksi pun adalah dari kalangan

  

  perusahaan sendiri. Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola

  

  perusahaan dapat dicegah sedini mungkin. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan 6 I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang

  

Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3 , (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hlm. 140. mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan, dan oleh karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang

   dilakukannya tersebut baik bagi perseroan, menurut pertimbangannya.

  Dalam hubungan hukum, di satu sisi direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah

  

  perseroan, untuk kepentingan perseroaKeberadaan direksi dalam suatu perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat

   apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.

  Direksi dalam PT ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan 9 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan

  

Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang

Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal.53. 10 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Op. Cit., hal.98.

  tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting.

  Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap

   seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.

  Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut, direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas seriap tindakannya diluar

   batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.

  Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung 12 Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan

  

  dengan perseroan. Oleh karena itu seorang direksi harus bertindak hati-hati dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan direksi untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang

   dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.

  Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 97 mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada direksi harus dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka direksi mana terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beritikad tidak yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai pertanggungjawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap anggota direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang mengakibatkan perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Dalam hal perseroan, kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan

  

  dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, kepailitan 14 Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan

  atau Likuidasi, diakses 31 Maret 2009. 15 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81. 16 Maksud perusahaan di sini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, dan terus menerus yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan

  dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan.

  Sampai sejauh ini, sesuai dengan sifat badan hukumnya (dengan pertanggungjawaban terbatas, baik bagi pemegang saham perseroan, direksi, maupun komisaris), praktik menunjukkan bahwa perseroan seringkali dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas, yang seharusnya dapat dikenakan dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah pertanggungjawaban yang terbatas, acapkali kita temukan keadaan dimana perseroan dijadikan tameng bagi direksi perseroan yang tidak beritikad baik. Melalui pelaksanaan kegiatan PT, dengan pertanggungjawabannya yang terbatas, harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi tidak tersentuh. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dikenakan terhadap harta kekayaan perseroan, sedangkan harta kekayaan perseroan tersebut sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya, yang diterbitkan oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik tersebut.

  Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 PKPU), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan atau kelalaian direksi serta pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan, belum lagi tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana prosedur pertanggungjawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggungjawaban direksi sampai harta pribadi.

B. Perumusan Masalah

  Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan Direksi menurut ketentuan UU No. 40 Tahun 2007? Bagaimana suatu PT dapat dipailitkan? 3. Kapan Direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan pailit?

  C.

  Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut : 1)

  Untuk mengetahui dan memahami kedudukan, kewajiban, kewenangan dan tanggung jawab direksi dalam UUPT 2)

  Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban direksi jika perseroan

  3) Untuk mengetahui kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan perseroan pailit.

2. Manfaat Penulisan

  Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara lain : 1)

  Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang telah dirumuskan akan memberikan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab direksi terhadap perseroan pailit akibat kelalaian atau kesalahannya serta mengetahui bagaimana tanggung jawab direksi tersebut karena kelalaiannya.

  2) Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pembaca terutama kepada setiap orang yang merupakan direksi perseroan

D. Keaslian Penulisan

  “Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini disusun melalui referensi, buku- buku, media cetak, dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

  Dalam tinjauan kepustakaan ini perlu diperhatikan beberapa ketentuan- ketentuan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Ketentuan tersebut berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi ini agar sesuai dengan topik yang telah ditentukan sebelumnya serta membantu pembaca untuk mengerti cakupan ini. Adapun ketentua-ketentuan yang akan ditemukan antara lain sebagai berikut :

  Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 arti pailit sebagaimana diatur dalam Lampiran UUK dan PKPU Pasal 1 ayat (1) adalah : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih

  Sedangkan pengertian Kepailitan menurut UUK dan PKPU dalam pasal 1 ayat (1) adalah : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

  Menurut Black’s Law Dictionary, pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk

  

  mengelabuhi krediturnya. Kepailitan menurut Memori Van Toelichting (penjelasan umum) adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingan bersama para yang mengutangkan.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Kepailitan adalah keadaan atau kondisi atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya

   (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.

  Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata “Sero”, yang mempunyai arti “Saham”. Sedangkan kata “Terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab yang terbatas. Dengan demikian Perseroan Terbatas dapat dijelaskan sebagai bentuk usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham yang masing-masing pemegangnya atau anggotanya bertanggung jawab terbatas sampai pada nilai saham/ nilai modal yang dimilikinya. Menurut UUPT dalam Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa : “Peseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

  Sedangkan defenisi yang disebutkan di dalam UUPT terdapat juga defenisi lain tentang PT yakni menurut Wasis, yang menyebutkan bahwa PT adalah perusahaan yang modalnya dibagi-bagi atas saham-saham dengan harga nominal yang sama besarnya dan yang para pemiliknya bertanggung jawab secara terbatas sampai sejumlah modal yang disetorkan atau sejumlah saham yang

  

  dimiliki. Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri.

  Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian 18 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus perseroan ini, dalam UUPT disebut dengan istilah organ perseroan. Dalam UUPT dapat kita ketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah direksi.

  Pengertian Direksi menurut UUPT dalam Pasal 1 ayat (5) adalah : “Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

  Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.

F. Metode Penulisan

  Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan berbagai metode. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1) Tipe Penelitian

  Tipe penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dengan pengumpulan bahan dilakukan melalui studi data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel, dan peraturan perundang-undangan, juga sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan, membandingkan serta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan skripsi ini.

  2) Pendekatan Masalah

  Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statuted approach). Pendekatan perundangan-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

  Bahan Hukum Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum mulai dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

  (UUPT), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), KUHPerdata, KUHPidana, dan KUHD. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para Sarjana. Bahan hukum tersier (bahan hukum penunjang) adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

G. Sistematika Penulisan

  Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini.

  Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 bab yang secara garis besar isi dari bab per bab diuraikan sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

  BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS Merupakan suatu bab yang membahas tentang Pengertian Kepailitan, Syarat-syarat untuk dapat Dinyatakan Pailit, dan Perseroan Terbatas yang dapat Dipailitkan, dan Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan Terbatas. BAB III PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang Pengaturan Direksi menurut

  Kedudukan Direksi sebagai Pengurus dalam Perseroan Terbatas, Kewajiban dan Kewenangan Direksi, dan Pertanggungjawaban Direksi sebagai Pengurus Perseroan Terbatas.

  BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KESALAHAN YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT Dalam bab ini merupakan bab paling pokok dari penulisan skripsi ini, sebab dalam bab ini diuraikan mengenai Pertanggungjawaban Direksi Atas Kesalahan yang Mengakibatkan Perseroan Pailit.

  BAB V PENUTUP Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya yang merupakan jawaban dari permasalahan tersebut yang mungkin berguna bagi orang-orang yang membacanya.