Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI KARENA KELALAIAN ATAU KESALAHANNYA YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

Oleh :

MARTHA VIVY E.P

(080200348)

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI KARENA KELALAIAN ATAU KESALAHANNYA YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: MARTHA VIVY E.P

NIM: 080200348

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H, M.Hum Nip : 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Ramli Siregar, S.H, M.Hum Windha, S.H, M.Hum Nip : 195611101985031022 Nip : 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI KARENA KELALAIAN ATAU KESALAHANNYA YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

Martha Vivy E.P* Ramli Siregar**

Windha***

Perseroan Terbatas (Perseroan) sebagai badan hukum memiliki tanggung jawab membatasi. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam undang-undang, menempatkan perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya. Salah satu organ yang penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme RUPS untuk menjadi organ perseroan yang mengurus dan mengelola perseroan. Dalam hal ini, jika terjadi kerugian pada harta kekayaan perseroan yang disebabkan oleh tindakan direksi yang salah, lalai atau melakukan perbuatan melawan hukum, maka perseroan adalah satu-satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian.

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah mengenai bagaimana suatu PT dapat dipailitkan, bagaimana pengaturan direksi menurut ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 dan kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan pailit.

Secara normatif, pembahasan ini berdasarkan pada bahan hukum melalui studi kepustakaan.

Tidak ada rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu PT, yang jelas direksi merupakan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan. Dengan kata lain, direksi mempunyai ruang lingkup tugas sebagai pengurus perseroan. Perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan ini perseroan dapat diajukan pailit. Dalam mengurus perseroan, direksi tidak boleh salah atau lalai. Direksi dikatakan salah atau lalai yang mengakibatkan perseroan dinyatakan pailit, yaitu tidak adanya itikad baik oleh direksi untuk melunasi utang kepada kreditor. Direksi lalai melaksanakan pembayaran utang kepada para kreditor. Sehingga direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng melalui proses kepailitan di Pengadilan Niaga.

Data primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan sekuder dari bahan hukum tentang penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel dan pendapat para Sarjana.

Kata Kunci : Pailit, Perseroan, Tanggung Jawab Direksi *Mahasiswa


(4)

***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan penyertaan-Nya sehingga dimampukan untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Semua oleh karena kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI KARENA KELALAIAN ATAU KESALAHANNYA YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Papa MART HASIAN PANGGABEAN, S.H, M.H, yang telah mendidik penulis dan terus mendoakan dan memberi semangat dan motivasi bagi Penulis, memberikan dukungan materi maupun dukungan moril yang tak terhingga dan tak terbalaskan dan Mama LUSIA A. SINAMBELA, S.E, yang telah memberi banyak dukungan dan kesetiaannya dalam menyemangati penulis.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertaiku, menolongku, dan memberikanku kekuatan dalam hidupku.


(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing II yang telah menuntun penulis dengan kesabaran awal sampai akhir pembuatan skripsi yang ini sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

7. Bapak Ramli, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas dan selaku Dosen Pembimbing I yang banyak memberi masukan-masukan berarti bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepada penulis sepanjang masa studi penulis di Fakultas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada adik-adik (Eka, Nicho dan Eirene) dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan doa untuk penulis.


(6)

11. Kepada orang-orang yang menjadi bagian dari hidup penulis (Obet, Coco, Vina, Basa, Esther, Meta, Eva, Chika, Hiskia, Bastanta, Rikson) yang selalu memberi dukungan semangat dan doa yang tak pernah habis-habisnya. Dan tak lupa juga kepada teman-teman lainnya yang banyak membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, ini semua karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sehat yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi skripsi ini, sehingga penulisan ke depan dapat lebih baik lagi dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Medan, Juli 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS ... 16

A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus Dalam PT ... 16

B. Kewenangan dan Kewajiban Direksi ... 19

C. Pertanggungjawaban Direksi Sebagai Pengurus Perseroan Terbatas ... 24

BAB III PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN ... 34

A. Pengertian Kepailitan ... 34


(8)

C. Perseroan Terbatas Yang Dapat Dipailitkan ... 46

D. Akibat Hukum Kepailitan Dalam Perseroan Terbatas ... 49

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KESALAHAN YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT ... 55

A. Kelalaian atau Kesalahan Direksi ... 55

B. Bentuk Pertanggungjawaban Terhadap Pailitnya Perseroan Terbatas Yang Disebabkan Kelalaian atau Kesalahannya ... 66

C. Saat Direksi Dinyatakan Lalai atau Salah yang Mengakibatkan Perseroan Dinyatakan Pailit ... 73

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81


(9)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI KARENA KELALAIAN ATAU KESALAHANNYA YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

Martha Vivy E.P* Ramli Siregar**

Windha***

Perseroan Terbatas (Perseroan) sebagai badan hukum memiliki tanggung jawab membatasi. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam undang-undang, menempatkan perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya. Salah satu organ yang penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme RUPS untuk menjadi organ perseroan yang mengurus dan mengelola perseroan. Dalam hal ini, jika terjadi kerugian pada harta kekayaan perseroan yang disebabkan oleh tindakan direksi yang salah, lalai atau melakukan perbuatan melawan hukum, maka perseroan adalah satu-satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian.

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah mengenai bagaimana suatu PT dapat dipailitkan, bagaimana pengaturan direksi menurut ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 dan kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan pailit.

Secara normatif, pembahasan ini berdasarkan pada bahan hukum melalui studi kepustakaan.

Tidak ada rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu PT, yang jelas direksi merupakan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan. Dengan kata lain, direksi mempunyai ruang lingkup tugas sebagai pengurus perseroan. Perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan ini perseroan dapat diajukan pailit. Dalam mengurus perseroan, direksi tidak boleh salah atau lalai. Direksi dikatakan salah atau lalai yang mengakibatkan perseroan dinyatakan pailit, yaitu tidak adanya itikad baik oleh direksi untuk melunasi utang kepada kreditor. Direksi lalai melaksanakan pembayaran utang kepada para kreditor. Sehingga direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng melalui proses kepailitan di Pengadilan Niaga.

Data primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan sekuder dari bahan hukum tentang penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel dan pendapat para Sarjana.

Kata Kunci : Pailit, Perseroan, Tanggung Jawab Direksi *Mahasiswa


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.1 Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara komprehensif. Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antarnegara. Hal ini disebabkan dalam dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Di sisi lain pebisnis yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT).2

1

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal.1.

PT merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga

2

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : CV.Nuansa Aulia, 2006), hal.11.


(11)

memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut.3 Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT.4 PT (Perseroan) adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk Indonesia. Kehadiran perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.5

Keberadaan perseroan di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT). Selain itu juga perseroan tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), sepanjang tidak dicabut atau ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam Undang-Undang telah menempatkan perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum

3

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 1.

4

Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governancedi Tubuh Perusahaan Publik

5

Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate, (Jakarta : Pasar Modal dan Keuangan (LKPMP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal.1.


(12)

dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya.6

Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu perusahaan acapkali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk di posisi direksi pun adalah dari kalangan perusahaan sendiri.

Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang menjadi harta perseroan, bilamana terjadi gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga terhadap perseroan (limited liability).

7

Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola perusahaan dapat dicegah sedini mungkin.8

6

I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hlm. 140.

Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan

7

Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 43. 8


(13)

mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan, dan oleh karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi perseroan, menurut pertimbangannya.9

Dalam hubungan hukum, di satu sisi direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah perseroan, untuk kepentingan perseroan.10 Keberadaan direksi dalam suatu perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.11

9

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal.53.

Direksi dalam PT ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan

10

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas,Op. Cit., hal.98. 11

I.G. Rai Wijaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta Kesain Blanc, 2002), hal.1


(14)

tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting. Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.12

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut, direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Selama direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas seriap tindakannya diluar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.13

Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung

12

Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 7.

13


(15)

dengan perseroan.14 Oleh karena itu seorang direksi harus bertindak hati-hati dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan direksi untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.15

Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 97 mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada direksi harus dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka direksi mana terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beritikad tidak baik) mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham perseroan sesuai ketentuan yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai pertanggungjawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap anggota direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang mengakibatkan perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Dalam hal perseroan, kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan,16

14

Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi,

kepailitan

15

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.

16

Maksud perusahaan di sini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, dan terus menerus yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf b. Undang-Undang tetntang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982)


(16)

dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan.

Sampai sejauh ini, sesuai dengan sifat badan hukumnya (dengan pertanggungjawaban terbatas, baik bagi pemegang saham perseroan, direksi, maupun komisaris), praktik menunjukkan bahwa perseroan seringkali dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas, yang seharusnya dapat dikenakan dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Dengan berkedok di belakang sifat pertanggungjawaban yang terbatas, acapkali kita temukan keadaan dimana perseroan dijadikan tameng bagi direksi perseroan yang tidak beritikad baik. Melalui pelaksanaan kegiatan PT, dengan pertanggungjawabannya yang terbatas, harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi tidak tersentuh. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dikenakan terhadap harta kekayaan perseroan, sedangkan harta kekayaan perseroan tersebut sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya, yang diterbitkan oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik tersebut.

Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan


(17)

PKPU), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan atau kelalaian direksi serta pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan, belum lagi tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana prosedur pertanggungjawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggungjawaban direksi sampai harta pribadi.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan Direksi menurut ketentuan UU No. 40 Tahun 2007? 2. Bagaimana suatu PT dapat dipailitkan?

3. Kapan Direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan pailit?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui dan memahami kedudukan, kewajiban, kewenangan dan tanggung jawab direksi dalam UUPT

2) Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban direksi jika perseroan yang diurusnya mengalami pailit karena kelalaiannya.


(18)

3) Untuk mengetahui kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan perseroan pailit.

2. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara lain :

1) Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang telah dirumuskan akan memberikan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab direksi terhadap perseroan pailit akibat kelalaian atau kesalahannya serta mengetahui bagaimana tanggung jawab direksi tersebut karena kelalaiannya.

2) Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pembaca terutama kepada setiap orang yang merupakan direksi perseroan agar lebih profesional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.

D. Keaslian Penulisan

“Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini disusun melalui referensi, buku-buku, media cetak, dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam tinjauan kepustakaan ini perlu diperhatikan beberapa ketentuan-ketentuan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Ketentuan tersebut berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi ini agar sesuai dengan topik yang telah ditentukan sebelumnya serta membantu pembaca untuk mengerti cakupan ini. Adapun ketentua-ketentuan yang akan ditemukan antara lain sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 arti pailit sebagaimana diatur dalam Lampiran UUK dan PKPU Pasal 1 ayat (1) adalah :

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”

Sedangkan pengertian Kepailitan menurut UUK dan PKPU dalam pasal 1 ayat (1) adalah :

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

Menurut Black’s Law Dictionary, pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabuhi krediturnya.17

17

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (St. Paul. Minnesota, USA. West Publishing Co. 1968), hal. 186, dikutip dari buku Fuady.

Kepailitan menurut Memori Van Toelichting (penjelasan umum) adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingan bersama para yang mengutangkan.


(20)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Kepailitan adalah keadaan atau kondisi atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.18

Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata “Sero”, yang mempunyai arti “Saham”. Sedangkan kata “Terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab yang terbatas. Dengan demikian Perseroan Terbatas dapat dijelaskan sebagai bentuk usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham yang masing-masing pemegangnya atau anggotanya bertanggung jawab terbatas sampai pada nilai saham/ nilai modal yang dimilikinya. Menurut UUPT dalam Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa :

“Peseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Sedangkan defenisi yang disebutkan di dalam UUPT terdapat juga defenisi lain tentang PT yakni menurut Wasis, yang menyebutkan bahwa PT adalah perusahaan yang modalnya dibagi-bagi atas saham-saham dengan harga nominal yang sama besarnya dan yang para pemiliknya bertanggung jawab secara terbatas sampai sejumlah modal yang disetorkan atau sejumlah saham yang dimiliki.19

18

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal. 812.

Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian

19


(21)

perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus perseroan ini, dalam UUPT disebut dengan istilah organ perseroan. Dalam UUPT dapat kita ketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah direksi.

Pengertian Direksi menurut UUPT dalam Pasal 1 ayat (5) adalah :

“Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan berbagai metode. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1) Tipe Penelitian

Tipe penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dengan pengumpulan bahan dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research) yakni dengan cara meneliti bahan pustaka atau


(22)

data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel, dan peraturan perundang-undangan, juga sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan, membandingkan serta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan skripsi ini.

2) Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statuted approach). Pendekatan perundangan-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 3) Bahan Hukum

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum mulai dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), KUHPerdata, KUHPidana, dan KUHD. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para Sarjana. Bahan hukum tersier (bahan hukum penunjang) adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.


(23)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 bab yang secara garis besar isi dari bab per bab diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN

UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

Merupakan suatu bab yang membahas tentang Pengertian Kepailitan, Syarat-syarat untuk dapat Dinyatakan Pailit, dan Perseroan Terbatas yang dapat Dipailitkan, dan Akibat Hukum Kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

BAB III PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang Pengaturan Direksi menurut Ketentuan UUPT dimana di dalamnya diuraikan tentang


(24)

Kedudukan Direksi sebagai Pengurus dalam Perseroan Terbatas, Kewajiban dan Kewenangan Direksi, dan Pertanggungjawaban Direksi sebagai Pengurus Perseroan Terbatas.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KESALAHAN YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

Dalam bab ini merupakan bab paling pokok dari penulisan skripsi ini, sebab dalam bab ini diuraikan mengenai Pertanggungjawaban Direksi Atas Kesalahan yang Mengakibatkan Perseroan Pailit.

BAB V PENUTUP

Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dan saran-saran dari jawaban permasalahan tersebut yang mungkin berguna bagi orang-orang yang membacanya.


(25)

BAB II

PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT

Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan Pasal 107 UUPT. Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu PT, yang jelas direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan. Direksi menurut UUPT merupakan satu organ yang di dalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota yang dikenal dengan sebutan Direktur (tunggal). Dalam hal perseroan memiliki lebih dari satu anggota direktur disebut direksi, maka salah satu anggota direksi tersebut diangkat sebagai Direktur Utama (Presiden Direktur).20

Direksi atau pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Dengan kata lain, direksi mempunyai ruang lingkup tugas sebagai pengurus perseroan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS, akan tetapi untuk pertama kali pengangkatannya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi di dalam akta pendiriannya. Beberapa Pakar

20

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, Op. Cit, hal. 53.


(26)

dan Ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian, yaitu :21

1. Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi. 2. Perjanjian kerja/perburuhan, di sisi lainnya.

Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi di atas di satu sisi, direksi sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain di perlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang bukan tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah perseroan untuk kepentingan perseroan.22

Sedangkan syarat untuk menjadi anggota direksi menurut ketentuan Pasal 79 ayat (3) adalah :

“Yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan”

21

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 97.

22


(27)

Seperti tersebut di atas bahwa tugas direksi adalah mengurus perseroan seperti tersebut di dalam penjelasan resmi dari Pasal 79 ayat (1) UUPT yang meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan, akan tetapi undang-undang tidak memberikan secara rinci seperti apakah pngurusan yang dimaksud. Dalam hukum di Negeri Belanda tindakan pengurusan yang bersifat sehari-hari yang merupakan perbuatan-perbuatan yang rutin yang dinamakan sebagai daden van beheren23

akan tetapi tugas tersebut dapat dilihat di dalam anggaran dasar yang umumnya berkisar pada hal :24

1) Mengurus segala urusan.

2) Menguasai harta kekayaan perseroan.

3) Melakukan perbuatan seperti dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPerdata yaitu : a. Memindahtangankan hipotik barang-barang tetap.

b. Membebankan hipotik pada barang-barang tetap. c. Melakukan perbuatan lain mengenai hak milik. d. Mewakili perseroan di dalam dan di luar Pengadilan.

4) Dalam hal berhubungan dengan pihak ke-3, baik secara bersama-sama atau masing-masing mempunyai hak mewakili perseroan mengenai hal dalam bidang usaha yang menjadi tujuan perseroan.

23

Rudhy Prasetya, Maatschap, Firma dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 19.

24

Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 63.


(28)

B. Kewenangan dan Kewajiban Direksi

Ruang lingkup kewenangan direksi dalam pengurusan perseroan yang diamanatkan oleh UUPT No. 40 Tahun 2007 sangatlah luas dan menunjukkan ciri suatu sistem. Sistem yang digunakan untuk menunjukkan pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu metode tata cara.25

Adapun kewenangan direksi perseroan demi hukum berakhir dengan dipailitkannya perseroan tersebut, dimana kewenangan direksi tersebut beralih kepada kurator sepanjang kewenangan direksi berkaitan dengan pengurusan dan perbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan pailit. Agar direksi sebagai organ perseroan yang mengurus perseroan sehari-hari dapat mencapai prestasi terbesar untuk kepentingan perseroan, maka ia harus diberi kewenangan-kewenangan tertentu untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengurus perseroan. Dari kewenangan yang diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Hal ini berarti dalam membicarakan kewenangan direksi, diperlukan pemahaman tentang tanggung jawab.

Mengenai kewenangan direksi sebagaimana ketentuan ayat (3), direksi mewakili perseroan adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang dan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS.

Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab itu. Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang individu (direksi) untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuannya.26

25

Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal. 7.

26

Nindyo Pramono, Winardi, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT menurut UUPT, (Jakarta : 1983), hal. 20.


(29)

Tanggung jawab dapat berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu yang dibebankan kepadanya telah selesai dilaksanakan. Dalam perseroan biasanya antara wewenang dan tanggung jawab seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama. Dengan demikian, wewenang seorang direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat serta menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang tugasnya yang telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan jalan menggunakan wewenangan yang ada untuk mencapai tujuan perseroan.

Jadi dalam perseroan, tanggung jawab direksi timbul apabila direksi yang memiliki wewenang atau direksi yang menerima kewajiban untuk melaksanakan pengurusan perseroan, mulai menggunakan wewenangnya tersebut. Agar wewenang atau kewajiban direksi tersebut dilaksanakan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, maka idealnya wewenang itu dapat dilaksanakan sesuai dengan wewenang yang ada.27 Apabila direksi bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, direksi tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung jawab secara renteng.28

Dalam hal kewenangan mengurus perseroan, direksi diberikan kewenangan untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan

27

Ibid, hal. 21 28

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 93.


(30)

untuk dan atas nama perseroan kewenangan ini ditegaskan pada Pasal 1 angka (5) dan Pasal 99 ayat (1). Sehubungan dengan kewenangan direksi, M. Yahya Harahap, membaginya ke dalam 3 (tiga) hal, yaitu :29

a. Kualitas kewenangan direksi mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat. Artinya dalam hal bertindak untuk perseroan direksi tidak perlu mendapatkan kuasa dari perseroan sebab kuasa yang dimilikinya atas nama perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan jabatan direksi berdasarkan undang-undang.

b. Setiap anggota direksi berwenang mewakili perseroan. Ketentuan UUPT yang berkenaan dengan ini dalam Pasal 98 ayat (2) yaitu apabila anggota direksi terdiri dari lebih dari 1 (satu) orang, maka setiap anggota direksi itu berwenang mewakili perseroan.

c. Dalam hal tertentu anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan. Yaitu, sesuai dengan Pasal 99 UUPT dalam hal :

1. Terjadi perkara di Pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan;

2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

Wewenang direksi erat kaitannya dengan kewajiban direksi, maka dalam UUPT kewajiban direksi itu dapat kita lihat di dalam Pasal 100 ayat (1) yang menyatakan bahwa kewajiban direksi itu adalah :

29


(31)

a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat direksi;

b. Membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud Pasal 66 dan dokumen keuangan perseroan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Dokumen Perusahaan;

c. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan dan dokumen lainnya.

Selanjutnya Pasal 101 ayat (1) menentukan anggota direksi wajib melaporkan kepada PT mengenai saham yang dimilikinya dan/atau keluarganya dan PT lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, anggota direksi yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dan menimbulkan kerugian PT, ia akan dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian PT. Kemudian kewajiban direksi yang lain adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 adalah direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk :

a. Mengalihkan kekayaan perseroan;

b. Menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang merupakan lebih dari 50% jumlah kekayaan bersih perseroan dalam satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.

Kewajiban direksi membuat laporan tahunan telah diperintahkan juga oleh Pasal 66 UUPT No. 40 Tahun 2007. Direksi wajib membuat dan menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan berakhir.


(32)

Anggota direksi diangkat oleh RUPS untuk mengurus perseroan. Dalam tugasnya melakukan mengurus perseroan, diwajibkan mengurus perseroan berdasarkan prinsip itikad baik. Kewajiban tersebut ditegaskan dalam pasal 85 ayat 1 UUPT, bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Dengan berlandaskan itikad baik, undang-undang bermaksud agar setiap anggota direksi dapat menghindari perbuatan yang menguntungkan kepentingan pribadi dengan merugikan kepentingan perseroan.30

Makna itikad baik dalam konteks pelaksanaan pengurusan perseroan oleh anggota direksi dalam praktik dan doktrin hukum, memiliki jangkauan yang luas, antara lain sebagai berikut :

1. Wajib dipercaya (fiduciary duty)

2. Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar (duty to act for a proper purpose)

3. Wajib patuh menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty) 4. Wajib loyal terhadap perseroan (loyalty duty)

5. Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest)

Ruang lingkup kewajiban anggota direksi menghindari benturan kepentingan dalam melaksanakan pengurusan perseroan, meliputi :31

a. Kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property) perseroan untuk kepentingan pribadinya.

b. Mempergunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi.

30

Maret 2010.

31


(33)

c. Tidak mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan perusahaan untuk kepentingan pribadi, seperti menerima sogokan atau suap.

d. Tidak menahan atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk kepentingan pribadi.

e. Dilarang melakukan transaksi antara pribadinya dengan perseroan. f. Larangan bersaing dengan perseroan.

Demikian luas jangkauan atau ruang lingkup makna dan aspek itikad baik pengurusan perseroan yang wajib dilksanakan anggota direksi.

C. Pertanggungjawaban Direksi sebagai Pengurus Perseroan Terbatas

Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip yang penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care), kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab berarti kewajiban seorang individu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas


(34)

yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.32 Tanggung jawab direksi dibedakan dalam :33

1) Tanggung jawab internal, yaitu meliputi tugas dan tanggung jawab direksi perseroan dan pemegang saham perseroan;

2) Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.

Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. Begitu juga dalam hal kepailitan yang terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.34

Kepailitan PT baik secara langsung ataupun tidak langsung akan menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai Dalam hal terjadinya kepailitan perseroan, maka tidak secara apriori direksi bertanggung jawab secara pribadi atas perseroan tersebut, namun sebaliknya bahwa direksi mesti bebas dari tanggung jawab terhadap kepailitan PT. Tanggung jawab direksi yang perusahaaannya mengalami pailit, pada prinsipnya adalah sama dengan tanggung jawab direksi yang perusahaan tidak mengalami pailit.

32

Winardi, Asas-Asas Manajemen, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 144. 33

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum Pemilik, Direksi, & Komisaris, (Jakarta : PT Forum Sahabat, 2008), hal. 112.

34

Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta : Visimedia, 2009), hal. 119.


(35)

kepailitan PT salah satunya adalah mengenai sejauh mana pertanggungjawaban terhadap adanya kepailitan PT, apakah badan hukum itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab ataukah organ perseroan dalam hal ini direksi yang akan bertanggung jawab secara pribadi. Adapun kriteria tanggung jawab direksi adalah sebagai berikut : 35

1) Tanggung jawab itu timbul jika perusahaan itu melalui prosedur kepailitan. 2) Harus ada kesalahan atau kelalaian.

3) Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika nanti ternyata asset perusahaan yang diambil ini tidak cukup.

4) Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang kreditor yang bersalah, direktur lain dianggap turut bertanggung jawab.

5) Presumsi bersalah dengan pembuktian terbalik.

Pengaturan lebih lanjut dari tanggung jawab direksi, dapat dilihat dari kondisi tertentu. Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan PT yang merupakan subjek hukum. Namun, ada beberapa hal direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan PT.

Pasal 97 ayat (3) dan ayat (4) mengatur tentang tanggung jawab direksi atas kerugian perseroan yang timbul dari kelalaian menjalankan tugas pengurusan perseroan, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

35

Endryl, Dr. Kurniawarman dan Tasman, Tanggung Jawab Direksi terhadap Perseroan Pailit, (http://endryl_17@yahoo.co.id.html)


(36)

1) Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi.

Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang dialami perseroan apabila :

a) Bersalah;

b) Lalai menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan.

Seperti yang sudah dijelaskan, dalam melaksanakan pengurusan perseroan, anngota direksi wajib melakukannya dengan itikad baik (good faith). Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban dan melanggar apa yang dilarang atas pengurusan, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian terhadap perseroan, maka anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan tersebut.

2) Anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian perseroan.

Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97 ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng. Ketentuan Pasal 97 ayat (4) UUPT tersebut adalah :

“Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi”.

Berdasarkan bunyi dari Pasal 97 ayat (4) ini, dengan demikian apabila anggota direksi lalai atau melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang


(37)

dialami perseroan. Penerapan tanggung jawab terhadap direksi secara tanggung renteng di Indonesia baru dikenal setelah diberlakukannya UUPT 2007. Sebelumnya baik dalam KUHD dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip tanggung jawab pribadi yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian atau pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada anggota direksi yang melakukan kesalahan itu. Tidak dilibatkan anggota direksi yang lain secara tanggung renteng.

Pasal 104 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian itu, Pasal 97 ayat (5) menyebutkan bahwa anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan dan menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, dan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian perseroan;


(38)

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Hal ini sehubungan dangan bunyi Pasal 97 ayat (5) huruf d UUPT yaitu, “telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut”. Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian”, termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian antara lain melalui forum rapat direksi.

Secara umum tanggung jawab direksi meliputi beberapa hal sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Direksi dalam PT.

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Jadi selain bertanggung jawab penuh atas pengurusan, direksi juga bertindak mewakili perseroan (persona standi in judicio). Dalam menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responbility). Namun apabila tidak dengan demikian, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan kepadanya.


(39)

2. Tanggung Jawab Direksi kepada Perseroan dan Pemegang Saham.

Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan :

“Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan.”

Setiap kesalahan atau kelalaian anggota direksi dalam menjalankan kewajibannya terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak kepada pemegang saham untuk :36

1) Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlah sepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan terhadap direksi perseroan, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action); 2) Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama

pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi perseroan yang merugikan pemegang saham.

3. Tanggung Jawab Renteng antar sesama Anggota Direksi Perseroan.

Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara

36

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 70.


(40)

perusahaan dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum “dianggap” (fiksi) ada kontrak pemberi kuasa.37 Karena itu, hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam Anglo Saxon.38

Apabila direktur bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, direktur tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung jawab secara renteng.

Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.

39

“Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.”

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa :

Terhitung sejak pengesahan, para pendiri PT tidak lagi bertanggung jawab secara terbatas atas tiap perikatan yang dibuat untuk dan atas nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang terbatas pada nilai seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan tersebut belum diperoleh, maka pendiri (dan sekalian pengurusnya) bertanggung jawab sepenuhnya secara tanggung renteng atas nama perseroan. Ketiadaan pengesahan itu tidak

37

Munir Fuady (Munir Fuady V), Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 93.

38

Munir Fuady (Munir Fuady VI), Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 59.

39


(41)

meniadakan perseroan yang hendak dibentuk, hanya saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak terbatas.

Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh kalangan ahli hukum, status hukum dari PT dalam pendirian diperlakukan sama dengan atau sebagaimana layaknya suatu persekutuan dengan firma, dimana para pengurus bertindak selaku kuasa dari para pendiri dalam menjalankan kegiatan atau usaha perseroan. Dengan ini berarti bahwa selama harta kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban perseroan (dalam pendirian) tersebut, maka para pendiri (dan pengurus) bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi seluruh kewajiban yang belum terlunasi.40

4. Tanggung Jawab Direksi kepada Pihak Ketiga.

Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban direksi untuk melakukan keerbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan. Pihak ketiga adalah pihak orang lain yang tidak ikut serta dalam perjanjian. Direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh RUPS Tahunan dan segera setelah disahkan oleh rapat, diumumkan untuk kepentingan pihak ketiga.

Khusus untuk PT terbuka, direksi perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap maksud dan rencana penyelenggaraan RUPS. Ketentuan

40


(42)

tersebut diatas tidak menutup adanya kemungkinan permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut diatas, direksi berkewajiban untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara jelas, tegas, benar dan akurat.


(43)

BAB III

PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN

A. Pengertian Kepailitan

Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan digunakan istilah “bangkrupt” dan “bangkruptcy”. Sedangkan terhadap perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”.41 Di dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli. Untuk itu arti yang sama di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillet sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal istilah to fail dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah fallire.42

Salah satu pengertian kepailitan dapat dilihat seperti apa yang dikemukakan dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary) yang mengatakan bahwa :

“Pailit atau Bangkrupt adalah “the state or condition of aperson (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

41

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 11. 42

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,


(44)

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.43 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijumpai pengertian tentang kepailitan yang menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang. Selain itu didalam Kamus Hukum juga ditemukan pengertian pailit yang menyatakan bahwa pailit adalah suatu keadaan dimana seseorang debitor tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya.44

Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrupt antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bangkrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.45 Kepailitan menurut

Memorie Van Toelicting (penjelasan umum) adalah suatu penyitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.46

43

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 11

Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari beberapa sarjana antara lain :

44

J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 199. 45

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 8.

46

Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 1.


(45)

1) Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata, berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang.47

2) J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoyo, dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia, menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu beslah eksekutorial yang dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang kepunyaan debitor.

3) Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu.48

Jadi berdasarkan defenisi atau pengertian yang diberikan oleh para Sarjana di atas, maka dapatlah ditarik unsur-unsur sebagai berikut, yaitu :

1. Kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan.

2. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepetingan para kreditornya bersama-sama. Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dalam Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa :

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

47

Ibid.

48


(46)

Selanjutnya dari rumusan di atas jelaslah bahwa kepailitan itu merupakan suatu penyitaan yang dilakukan atas seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh si debitor sebagai akibat dari pemenuhan utang-utangnya kepada para kreditor yang telah jatuh tempo waktu pembayaran.

Maka secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua asset debitor yang dimasukkan ke dalam permohonan pailit. Debitor pailit tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu.49

B. Syarat-syarat untuk dapat Dinyatakan Pailit

Untuk dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan kepailitan yang berlaku. Dalam menyatakan debitor pailit tidak cukup hanya mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga oleh si kreditor. Ada hal-hal lain yang menjadi syarat utama yang ditetapkan oleh undang-undang supaya debitor dapat dimohonkan pailit. UU No. 37 Tahun 2004 dalam Pasal 2 ayat (1) berikut penjelasannya menyebutkan :

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

49

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : UMM Press, Edisi Revisi Cetakan II, 2007), hal. 15.


(47)

Penjelasannya :

“Bahwa yang dimaksudkan dengan hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar hutang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase”.

Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah “bangkrut” mana kala perusahaan atau orang pribadi tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar utang-utangnya. Oleh karena itu pada pihak kreditor ramai-ramai mengeroyok debitor dan saling berebutan harta debitor tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga utang-utang debitor dapat dibayar secara tertib dan adil. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan, debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaaan pailit. Dan menurut Pasal 6 ayat (5) Peraturan Kepailitan, kepailitan itu diucapkan bilamana secara sumair terbukti adanya peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang menunjukkan bahwa keadaan berhenti membayar itu ada.50

Apa yang menjadi ukuran bagi “keadaan berhenti membayar” itu tidak dapat diketemukan dalam undang-undang dan para Sarjana serta jurisprudensi juga tidak bersesuaian pendapat mengenai hal itu. Hanya ada pedoman yang umumnya dipakai yaitu bahwa untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditunjukkan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya dan tidak dipedulikan apakah berhenti membayarnya itu sebagai akibat dari tidak dapat atau

50

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,


(48)

tidak mau membayar. Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan juridis harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :51

a. Debitor tersebut haruslah mempunyai lebih dari 1 (satu) utang; b. Minimal 1 (satu) utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;

c. Permohonan pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu.

Ad. a : Debitor tersebut mempunyai lebih dari 1 (satu) utang atau lebih dari 1 kreditor.

Keharusan adanya lebih dari satu utang atau lebih dari satu kreditor merupakan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi :

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.

Rumusan tersebut memberitahukan bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan nama kreditor. Dengan dinyatakannya kepailitan atas debitor (pailit), maka sesuai dengan ketentuan pasal 21 juncto Pasal 24 UUK dan

51

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 75.


(49)

PKPU No. 37 Tahun 2004 dengan diputuskannya pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu sendiri, yang meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat penyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan.

Ini berarti terhitung sejak tanggal pernyataan pailit dijatuhkan, terjadi penyitaan umum oleh Pengadilan atas seluruh harta kekayaan debitor pailit tersebut dan selanjutnya pengurusan harta kekayaan debitor akan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.52 Alasan mengapa seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditor adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi aset debitor diantara para kreditor. Kreditor berhak dalam perkara ini atas semua aset debitor. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kepailitan, yang terjadi sebenarnya sita umum terhadap semua harta kekayaan debitor yang diikuti dengan likuidasi paksa, untuk nanti perolehan dari likuidasi paksa tersebut dibagi secara adil diantara kreditornya, kecuali apabila ada diantara para kreditornya yang harus didahulukan menurut ketentuan pasal 1132 KUH Perdata.53

Ad. b : Minimal 1 (satu) utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. a) Pengertian utang.

Untuk mengetahui pasti tentang “utang” dapat dilihat dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”, yang berarti harus dikerjakan menurut hukum. Menurut

52

Ibid.

53

Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 24.


(50)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, utang adalah kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima, misalnya uang yang dipinjam dari orang lain.54

Utang pada hakekatnya merupakan kewajiban yang timbul dari perikatan dimana ada satu pihak yang berhak atas prestasi (kreditor) dan disisi lain ada pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (debitor) atas suatu prestasi tertentu. Dengan rumusan demikian, maka utang yang menjadi dasar permohonan pailit termasuk utang yang timbul diluar kerangka perjanjian pinjam-meminjam (uang), misalnya perjanjian jul-beli, sewa-menyewa, perjanjian pemborongan, dll.

Dalam hukum, kewajiban ini timbul dari perikatan yang dilakukan antara para subjek hukum. Perikatan didefinisikan sebagai hubungan kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana orang yang satu terhadap yang lainnya berhak atas suatu penuaian atau prestasi dan orang lain terhadap orang itu berkewajiban atas penuaian prestasi itu. Sehingga pada dasarnya perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang terjadi antara para pihak (subjek) perikatan terhadap suatu objek tertentu yang disebut prestasi, yng melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Menurut Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa :

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”

54

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 1139.


(51)

Sedangkan utang yang tidak terbayar adalah utang pokok atau bunganya, maka kemudian yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah harus segera menyiapkan sarana dan prasarananya yakni lembaga peradilannya, hakimnya, untuk meyelesaikan perkara kepailitan tersebut.55

b) Pengertian jatuh waktu dan dapat ditagih.

Selain syarat harus adanya utang, syarat permohonan pernyataan pailit bahwa utang tersebut harus telah lewat waktu dan dapat ditagih. Pengertian telah lewat waktu dan dapat ditagih apakah pengertian yng sama atau utang yang ditagih harus lewat waktu terlebih dahulu. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H sependapat bahwa satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, namun suatu utang yang sudah dapat ditagih belum tentu sudah lewat waktu. Hal ini berkaitan dengan cicilan utang dalam perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit.56

Umumnya, debitor dianggap lalai jika ia tidak tahu atau gagal memenuhi kewajibannya dengan melampaui batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sehingga, untuk melihat apakah suatu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih harus merujuk pada perjanjian yang mendasari utang tersebut.57

“si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya Namun demikian, jika merujuk pada ketentuan Buku Ketiga Pasal 1238 KUHPerdata, menyatakan :

55

Rahayu Hartini, Op. Cit, hal. 19. 56

Bismar Nasution, Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan, (Medan : Magister Kenotariatan sekolah Pasca Sarjana USU, 2003), hal. 26.

57

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, dan Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta : Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, cetakan II, 2004), hal. 135.


(52)

sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Menurut pasal itu, debitor dianggap lalai jika ada suatu perintah akta pernyataan lalainya si debitor yang dikirimkan oleh kreditor. Sehingga, wanprestasi tidak secara otomatis terjadi dan mengakibatkan dapat dituntutnya debitor terhadap ganti rugi atas tidak terpenuhinya prestasi. Sedangkan utang yang tidak terbayar adalah utang pokok atau bunganya, maka kemudian yang perlu diantisipasi oleh pemerintah adalah harus segera menyiapkan sarana dan prasarananya yakni lembaga peradilannya, hakimnya, untuk menyelesaikan perkara kepailitan tersebut.58

a) Panitia kreditor jika diperlukan ;

Setelah permohonan pailit dikabulkan oleh hakim, maka segera diangkat pihak-pihak sebagai berikut :

b) Seorang atau lebih kurator ; c) Seorang hakim pengawas.

Yang menjadi persoalan adalah apakah yang menjadi ukuran bagi “keadaan tidak membayar tersebut”. Hal itu tidak dijumpai perumusannya, baik dalam undang-undang maupun jurisprudensi maupun pendapat para Sarjana. Hanya ada pedoman umum yang disetujui oleh beberapa orang Sarjana, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditunjukkan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya dan tidak diperdulikan apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar. Didalam beberapa

58


(53)

jurisprudensi telah diinterpretasikan arti keadaan berhenti membayar secara lebih luas, yakni :59

a. Keadaan berhenti membayar tidak sama sekali dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar utangnya itu.

b. Debitur dapat dianggap dalam keadaan berhenti membayar walaupun utang-utangnya itu belum dapat ditagih pada saat itu.

Oleh karena itu, penentuan jatuh waktu utang dan kondisi-kondisi yang menyebabkan akselerasi utang, harus didasarkan berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian (Pasal 1338 KUHPerdata). Sehingga yang menjadi pegangan dalam menentukan apakah utang tersebut sudah jatuh waktu dan dapat ditagih atau belum adalah perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri.

Ad. c : Permohonan dimintakan oleh pihak yang berwenang

Setiap debitor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri ataupun atas permintaan seorang kreditornya dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaaan pailit. Di dalam Pasal 2 UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004

59


(54)

telah dinyatakan siapa saja pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu :60

1. Debitor itu sendiri ;

2. Seseorang atau lebih kreditornya ; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum ; 4. Bank Indonesia (BI) ;

5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) ; 6. Menteri Keuangan.

Selengkapnya mengenai pihak-pihak yang berwenang tersebut dalam Pasal 2 ayat (1-5) berikut ini :

Ayat (1) menyatakan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Ayat (2) menyatakan bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Ayat (3) menyatakan dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Ayat (4) menyatakan bahwa dalam hal debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

60


(55)

Serta ayat (5) menyatakan dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Penentuan tentang siapa pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah sangat penting sekali untuk adanya kepastian hukum sehingga hal ini akan mencegah adanya penyalahgunaan hak, maksudnya orang yang tidak berhak atau tanpa mendapat kuasa untuk kemudian memohon putusan pailit.

C. Perseroan Terbatas yang dapat Dipailitkan

Perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh kreditornya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya dilakukan oleh penjamin dalam pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitor apabila debitor dalam hal ini tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditor. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan perseroan sangat berpengaruh pada penjamin, karena apabila perseroan tidak melakukan kewajibannya dalam hal ini lalai melakukan kewajibannya kepada kreditor maka perseroan tersebut dapat diajukan pailit. Akibatnya penjamin juga dapat diajukan pailit oleh kreditor. Karena penjamin


(1)

perkara kepailitan yang dipaparkan sebelumnya diketahui dapat dilakukan pada forum yang sama dengan permohonan pertanggungjawaban direksi, dalam hal ini pada Pengadilan Niaga dengan permohonan pailit terhadap direksi. Permintaan pertanggungjawaban direksi sendiri dapat dimintakan, karena direksi dianggap sebagai debitor perseroan dari utang yang lahir karena undang-undang yaitu karena perbuatan kesalahan dan kelalaian direksi.

B. Saran

Dari hasil pembahasan dan kesimpulan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Kepailitan PT adalah juga kepailitan bagi direksinya karena implikasi dari adanya kepailitan itu, tetap mengikuti direksi di luar bidang kegiatan bisnis sehingga membatasi gerak bagi direksi untuk berkarya di bidang lainnya, terutama yang mensyaratkan bahwa seseorang tidak pernah menjadi direksi dari suatu PT yang dinyatakan pailit.

2. Sebagai badan hukum PT adalah merupakan subyek hukum yang bertanggung jawab secara mandiri terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya terlepas walau perbuatan itu dikuasakan kepada pengurus dalam hal ini direksi perseroan. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh PT harus dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Mengenai hal ini perlu kiranya ditegaskan dalam Undang-Undang mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada direksi apabila


(2)

terjadi kepailitan PT. Dengan demikian nantinya dapat secara jelas ditentukan mana yang menjadi tanggung jawab PT dan mana yang menjadi tanggung jawab direksi perseroan.

3. Agar tidak terjadi kerancuan hukum, perlu adanya pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitor pailit) dengan segala akibat hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari subyek hukum badan hukum yang dinyatakan pailit, sehingga dapat dibedakan hak dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hukum pribadi dengan kepailitan suatu badan hukum.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis (Seri Filsafat Atmajaya : 2), Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Djojodirdjo,Moegni, M.A., Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.

Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

___________, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

___________, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.

___________, Hukum Perseroan Terbatas Dan Analisis Kasus Di Indonesia, Jakarta: Putra Grafika, 2006.

Gautama, Sudargo Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2002.

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983.

Joff, Jerry, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, penerjemah Kartini Mulyadi, Jakarta: PT Tata Nusa, 2000.


(4)

Kailimang, Deni, Aspek-Aspek Pidana dalam Kepailitan, dalam Buku : Ruddhy A. Lontoh, Deni Kailimang, Benny Ponto, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001.

Keenan, Denis, & Josephine Bisacre, Smith & Keenan’s Company Law For, Studens Financial Times : Pitman Publishing, 1999.

Lontoh, Ruddhy A, Denny Kailimang, Benny Ponto, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001.

Mulhadi, Hukum Perseroan dan Bentuk-bentuk Usaha di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Nasution, Bismar dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan, Medan: Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana USU, 2003.

Nating, Imran, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Pramono, Nindyo, Winardi, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT menurut UUPT, Jakarta: 1983.

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Rai Wijaya, I.G., Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesain Blanc, 2002.

Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 1986.

Saiful, Ruky, M., Menilai Penyertaan Dalam Perseroan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Saliman, Abdul, R., Hukum Bisnis Untuk Perseroan, Jakarta: Kencana, 2010.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006.


(5)

Simorangkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Situmorang, Victor M., & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Sumitro, R., Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Bandung: PT Eresco, 1993.

Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho, dan Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, cetakan II, 2004.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1997.

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Alumni, 2004.

Wasis, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Bandung : Alumni, 1997.

Wicaksono, Frans, Satrio, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Jakarta: Visimedia, 2009.

Widiyono, Try, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis : Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

________________, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, Jakarta: Prenada Media, 2004.

________________, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Jakarta: Forum Sahabat, 2008.


(6)

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

______________________________, Perseroan Terbatas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Website

Amirudin, Rifai, Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Gvernancedi Tubuh Perusahaan Publik 2009.

Surya, Indra, & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate, Jakarta : 2009. Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

Kasim, Umar, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian,

Kepailitan atau Likuidasi,

diakses 31 Maret 2009.