Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit

(1)

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN

TERHADAP PERSEROAN YANG DINYATAKAN PAILIT

TESIS

Oleh

BUSTANUL ARIFIN 077005132/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN

TERHADAP PERSEROAN YANG DINYATAKAN PAILIT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUSTANUL ARIFIN 077005132/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERHADAP PERSEROAN YANG DINYATAKAN PAILIT

Nama Mahasiswa : Bustanul Arifin Nomor Pokok : 077005132 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjadi organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Pada mulanya, dalam keadaan normal, Direksi bertindak untuk kepentingan Perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti, jika terjadi kerugian pada harta kekayaan Perseroan, yang disebabkan oleh tindakan Direksi yang salah, lalai atau mempunyai benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum, maka Perseroan adalah satu-satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian tersebut. Oleh karena harta kekayaan Perseroan juga adalah harta kekayaan pemegang saham, maka undang-undang memberi hak derivatif (derivative

action) kepada pemegang saham Perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu

persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan, atas nama Perseroan, melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Jika yang dirugikan adalah kepentingan pemegang saham minoritas, maka hak tersebut diberikan kepada individu pemegang saham.

Dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan, Direksi harus bertindak secara hati-hati, patut atau sebaik-baiknya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar. Seandainya dalam pengurusan dan perwakilan Perseroan tersebut Direksi melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar batas kewenangan atau sesuatu ketentuan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar, maka kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban. Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan Direksi yang melampaui wewenang yang diberikan anggaran dasar kepadanya. Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, jika Perseroan pailit sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan yang mengakibatkan Perseroan jatuh pailit.

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka mucul prinsip business judgment rule yang merupakan salah satu prinsip yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan prinsip ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan dalam mengambil keputusan bisnis. Kata Kunci : Tanggung Jawab Direksi, Kepailitan Perseroan


(6)

ABSTRACT

Directing Board is convinced by all the shareholders through a mechanism of Shareholders General Meeting to be an organ of Corporate that will work for the Corporate and the interest of all the shareholders that elect and convince it as the only one organ that manage the Corporate. Initially, in the normal condition, Directing Board acts on behalf of the Corporate. In the context, it means that if the loss arise on property of the Corporate caused by the mistake of Directing Board, neglect or has contradictory interest or action against the laws, the Corporate is the only on party reversing a right to claim the loss. Since the property of the Corporate also belongs to that of the shareholders, the laws provides a derivative action to the shareholders of the Corporate representing at least 1/10 (one tenth) part of the total shareholders with the vote can submit a suit on behalf of the Corporate, through civil court against the members of Directing Board whose their mistake or neglect lead to loss to the Corporate. If the loss affects the minority of the shareholders, the right is given to the individual shareholders.

In arranging the management and representation of the Corporation,

Directing Board has to act carefully, properly and as good as possible according to the authority given in the Statutes. If in the management and representation of the Corporate, the Directing Board takes an action violating the threshold of authority or a rule predetermined in the Statutes, he /she can be asked for responsibility. The Corporate is not responsible for any action taken by the Directing Board over the authority given to him/her. The Directing Board can be asked for his /her individual responsibility if the Corporate bankrupted as a consequence of the mistake and neglect in running the management and representation of he Corporate leading to the Corporate bankrupted.

In the progress of application of fiduciary duty principle, it has result in a deeper worry of the Directing Board to make the business decision. In the business word, it is a normal that the Directing Board to make a speculative decision due to the competition of business. The problem arise if in fact the business decision make the Corporate loss, whereas in making the decision, the Directing Board made it honestly with goodwill. To protect the Directing Board members with the goodwill, a business judgment rule principle arises as one of the most popular principles to ensure justice for the Directing Board members who have goodwill. The application of such a principle has a main mission to achieve a justice especially for those Directing Board of any Corporate in making a decision of business.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Karya ilmiah dalam bentuk Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora, sehingga penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang Dinyatakan Pailit”.

Dalam penulisan Tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh karnanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut secara khusus Penulis sampaikan kepada para dosen pembimbing yaitu : Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH., Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum., Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan penulisan Tesis ini.

Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen penguji yaitu : Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., yang walaupun dalam kapasitas sebagai penguji, namun telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis.


(8)

Demikian juga rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan dengan hormat kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelasaikan penulisan Tesis ini.

4. Bapak dan Ibu dosen dilingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya Bapak dan Ibu dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat kepada Penulis, selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

5. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2007, yang telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(9)

6. Seluruh staf/pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Kedua orang tua tercinta, Ibunda Nursa Amah dan Ayahanda (alm) Muhammad Akhyar, yang selalu memberikan doa dan kasih sayangnya, serta selalu memberikan dorongan dan semangat untuk terus menuntut ilmu, sehingga memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi, di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Paman Ali Badri dan Muhammad Luthfi yang telah banyak memberikan dukungan kepada Penulis, baik moril maupun materil, sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 9. Seseorang yang tersayang Adisti Eka Ismayani, SH yang dengan penuh kesabaran,

ketulusan dan kasih sayangnya, tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis, agar Penulis dapat segera menyelesaikan perkuliahan, tepat pada waktunya.

10.Saudara-saudaraku (Kakanda Rosma Dewi AMKeb, Abangda dr. Hendra Sutysna, Adinda Muhammad Surya Akmal, Fitri Yanti, Hera Ismayani, Meylani Julianti dan Saudara Sepupu Rival Ramadhan, serta Keponakan Talitha Az-zahra) yang telah memberikan kasih sayang dan juga mengorbankan sebahagian kebahagiaannya, baik waktu, tenaga maupun pikiran demi tercapaiya cita-cita Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

Akhirnya Penulis memohon kepada ALLAH SWT, semoga segala budi baik yang telah diberikan dari semua pihak kepada Penulis, diberikan pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa apa yang Penulis peroleh ini masih banyak kekurangannya, tidak lain karena kemampuan Penulis yang sangat terbatas. Namun demikian, harapan Penulis, Tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada diri Penulis, tetapi juga kepada masyarakat, khususnya masyarakat dilingkungan pendidikan hukum. Semoga penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi rekan-rekan praktisi hukum demi tegaknya supermasi hukum di negeri ini. Amin.

Medan, 22 Agustus 2009 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Bustanul Arifin

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 30 Juni 1984 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri Nomor 101788 Marindal-I Medan (Lulus Tahun 1996)

- Maderasah Tsanawiah EX-PGA Proyek Univa Medan (Lulus Tahun 1999)

- Maderasah Aliah Negeri-1 Medan (Lulus Tahun 2002)

- Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (Lulus Tahun 2006)

- Sekolah Pascasarjan Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Ilmu Hukum (Lulus Tahun 2009)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI……….. viii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Perumusan Masalah……….. 12

C. Tujuan Penelitian……….. 12

D. Manfaat Penelitian………. 13

E. Keaslian Penelitian ……….. 13

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi……… 15

1. Kerangka Teori………. 15

2. Kerangka Konsepsi………... 26

G. Metode Penelitian………... 30

BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN... 34

A. Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40 Tahun 2007……… 34

1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi………... 37

2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS………. 40


(13)

3. Tanggung Jawab Direksi Kepada Pemegang Saham… 45 4. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menjalankan CSR... 47 B. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan… 54

1. Standar Kehati-hatian Dalam Pengeolaan Perseroan Oleh Direksi... 57 2. Prinsip Pengelolaan Perseroan Yang Baik (GCG)... 64 C. Tanggung Jawab Direksi Sehubungan Dengan Kepailitan

Perseroan... 67 1. Pertanggungjawaban Perdata Direksi Perseroan……... 70 2. Pertanggungjawaban Pidana Direksi Perseroan……… 76

BAB III KEDUDUKAN PERSEROAN DAN ORGAN-ORGAN PERSEROAN JIKA PERSEROAN

DINYATAKAN PAILIT………... 80

A. Aspek Hukum Atas Kepailitan Perseroan Terbatas... 80 1. Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum……….... 81 2. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Perseroan……... 83 a. Kebangkrutan Perseroan Terbatas………. 85 b. Eksistensi Yuridis Perseroan Jika Perseroan

Dinyatakan Pailit... 90 c. Kedudukan dan Kewenangan Organ-Organ

Perseroan yang Dinyatakan Pailit………... 99 B. Eksistensi Perseroan yang Dilikuidasi dalam Putusan

Peradilan... 103 1. Kasus BPPN Melawan PT Muara Alas Prima... 104


(14)

2. Kasus LG Electronic Inc. Melawan LG Bangunindo

Elektronic... 108

C. Analisis Eksistensi Perseroan yang Dilikuidasi dalam Putusan Peradilan... 112

BAB IV PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE KEPADA DIREKSI PERSEROAN………. 117

A. Pengertian Prinsip Business Judgment Rule……….. 117

B. Pembelaan Diri Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule………. 122

C. Tanggung Jawab Organ-Organ Perseroan yang Dipailitkan dalam Putusan Peradilan... 134

1. Kasus PT Bank Mandiri melawan PT Bakrie Finance Corporation cs.……….. 134

2. Kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Graetstar Perdana Indonesia………... 138

3. Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. melawan PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari……….... 140

D. Analisis Tanggung Jawab Organ-Organ Perseroan yang Dipailitkan dalam Putusan Peradilan……… 144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 152

A. Kesimpulan... 152

B. Saran... 155


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.1

Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang praktis maupun teoritis. Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antarnegara. Hal ini disebabkan dalam dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan di pengaruhi oleh sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Disisi lain, bagi pebisnis yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya diluar negeri harus memahami ketentuan hukum yang berlaku di negara

1

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan


(16)

tersebut, khususnya yang berkaitan dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas.2

Perseroan Terbatas merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut.3 Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas.4

Perseroan Terbatas adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk di Indonesia. Kehadiran Perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.5

2

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahan Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2006), hal. 11.

3

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 1.

4

Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good

Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik,

<http://re-searchengines.com/badriyahamirudin.html> diakses 31 Maret 2009.

5

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, (Jakarta : <http://re-searchengines.com/badriyahamirudin.html> diakses 31 Maret 2009.Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 1.


(17)

Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya Perseroan Terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorang, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi, dan hanya mungkin dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti yang diatur dalam Buku Pertama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dan sebagian dari buku kedua KUH Perdata tentang kewarisan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut, ilmu hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari masing-masing organ Perseroan tersebut, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Organ-organ tersebut di kenal dengan sebutan Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komosaris dan Direksi.6

Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan Perseroan adalah Direksi. Disebut cukup penting, karena Direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi Direksi dalam suatu perusahaan acap kali di identikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam Perseroan tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk diposisi Direksi pun adalah dari kalangan perusahaan sendiri.7

Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi Direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan

6

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hlm 77.

7


(18)

terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola perusahaan dapat dicegah sedini mungkin.8

Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjadi organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Setelah Rapat Umum Pemegang Saham menyetujui pengangkatan Direksi Perseroan, maka seluruh pemegang saham tidak lagi berhubungan dengan Direksi Perseroan, dan oleh karena itu maka Direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi Perseroan, menurut pertimbangannya.9

Dalam hubungan hukum, di satu sisi Direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari Perseroan untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan Perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar Perseroan, dan disisi lain diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi

8

Ibid.

9

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor. 40 tahun 2007, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal. 53.


(19)

tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi Direksi sangant relevan, dalam hal Direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah Perseroan, untuk kepentingan Perseroan.10

Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain Perseroan wajib memiliki Direksi, karena Perseroan sebagai artifical

person tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota Direksi

sebagai natural person.11 Direksi dalam Perseroan Terbatas ibarat nyawa bagi Perseroan. Tidak mungkin suatu Perseroan tanpa adanya Direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada Direksi tanpa adanya Perseroan. Oleh karena itu keberadaan Direksi bagi Perseroan sangat penting. Sekalipun Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan Direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa Perseroan dianggap seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.12

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Didalam menjalankan tugasnya tersebut, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekwensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan. Selama Direksi tidak

10

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 98.

11

I.G. Rai Wijaya, Hukum Persahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta : Kesain Blanc, 2002), hal. 1.

12

Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung


(20)

melakukan pelanggaran atas anggaran dasar Perseroan, maka Perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini berarti Dreksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar batas kewenangan yang di berikan dalam anggaran dasar Perseroan.13

Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham Perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.14

Oleh karena itu seorang Direksi harus bertindak hati-hati dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai

pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.15

13

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 97.

14

Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau

Likuidasi, <http://helmilaw-helmi.blogspot.com/2008/07/tanggung-jawab-krporasi-dalam-hal.html>

diakses 31 Maret 2009.

15

Bismar Nasution, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Bisnis


(21)

Fiduciary duty dari seorang Direksi dalam hal ini adalah tugas yang terbit

secara hukum (by the opration of law) dari suatu hubungan fiduciary antara Direksi dan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direksi berkedudukan sebagai

trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direksi haruslah mempunyai

kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaan dengan derajad yang tinggi.16

Karena kedudukannya yang bersifat fiduciary, yang dalam undang-undang Perseroan Terbatas sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab dari Direksi menjadi sangat tinggi. Tidak hanya bertanggung jawab atas ketidak jujuran yang disengaja (dishonesty), tetapi ia bertanggung jawab juga secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian, gagal, atau tidak melakukan perbuatan yang penting bagi Perseroan.17

Pelanggaran tehadap fiduciary duty, sebagaimana halnya

pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dan atas namanya melakukan gugatan terhadap pihak yang menerbitkan kerugian tersebut. Terjadi tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh Direksi dalam suatu Perseroan diukur dengan mempergunakan business judgment rule.18

Fakltas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, (Medan : Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 7.

16

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.

17

Ibid.

18

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. op.


(22)

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka mucul teori business judgment rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam melakukan keputusan bisnis.19

Dalam ilmu hukum, teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Oleh karena itu penting bagi Direksi untuk menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil sebuah keputusan bisnis.

19

Bismar Nasution, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Bisnis


(23)

Dengan demikian, sebenarnya inti dari pemberlakuan teori business judgment

rule ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan

bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak Direksi. 20

Dalam menjalankan fungsi pengurusan Perseroan, kepailitan Perseroan merupakan suatu fenomena hukum Perseroan yang sangat ditakuti, baik oleh pemegang saham maupun oleh Direksi sebagai organ yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan. Karena dengan kepailitan Perseroan, maka perusahaan telah gagal dalam membayar utang-utangnya.21

Terjadinya kepailitan didalam Perseroan, membawa akibat bahwa Direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan Perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, kepailitan dapat mengakibatkan Perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Apabila Perseroan tidak melaksanakan kegiatan usaha, tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi Perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham

20

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 199. 21

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 75.


(24)

Perseroan, belum lagi kepentingan para kreditur yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan Perseroan.22

Oleh karnanya didalam menjalankan usaha Perseroan, sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) kepentingan yang harus diperhatikan oleh Direksi Perseroan, yaitu :23 a. Kepentingan Perseroan.

b. Kepentingan pemegang saham Perseroan khususnya pemegang saham minoritas. c. Kepentingan pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan Perseroan,

khususnya kepentingan dari para kreditur Perseroan.

Pada mulanya, dalam keadaan normal, Direksi bertindak untuk kepentingan Perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti, jika terjadi kerugian pada harta kekayaan Perseroan, yang disebabkan oleh tindakan Direksi yang salah, lalai atau mempunyai benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum, maka Perseroan adalah satu-satunya pihak yang berhak untuk menuntut kerugian tersebut. Oleh karena harta kekayaan Perseroan juga adalah harta kekayaan pemegang saham, maka undang-undang memberi hak derivatif (derivative action) kepada pemegang saham Perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan, atas nama Perseroan, melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Dalam hal yang dirugikan

22

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Perada, 2002), hal. 8.

23

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal. 76.


(25)

adalah kepentingan pemegang saham minoritas, maka hak tersebut diberikan kepada individu pemegang saham.

Perkembangan hukum Perseroan menunjukkan bahwa dalam kepailitan, Direksi tidak lagi bertanggung jawab kepada Perseroan dan pemegang saham semata-mata, melainkan kepada kreditur Perseroan. Dengan demikian berarti juga fiduciary

duty yang pada mulanya hanya berlaku bagi kepentingan Perseroan ternyata juga

telah bergeser, menjadi tidak hanya semata-mata bagi kepentingan Perseroan dan pemegang saham, melainkan juga kepentingan dari kreditur Perseroan. Hak gugat Perseroan terhadap Dreksi yang melakukan pelanggaran, dalam bentuk kesalahan atau kelalaian atau perbuatan yang mempunyai benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada Perseroan juga selanjutnya diberikan kepada kreditur, manakala Perseroan berada dalam kepailitan.24

Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditur tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit.25 Putusan kepailitan mengakibatkan harta pailit berada dalam sitaan umum. Harta pailit diurus Kurator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur, dan hakim pengawas memimpin serta mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.26

24

Ibid.

25

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press, 2009), hal. 38.

26

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 175.


(26)

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan apa yang telah di uraikan pada latar belakang diatas, maka permasalahan-permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit?

2. Bagaimanakah Kedudukan Perseroan dan organ-organ Perseroan sehubungan dengan kepailitan Perseroan?

3. Bagaimanakah prinsip business judgment rule diterapkan kepada Direksi terkait pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan yang dinyatakan pailit?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit.

2. Untuk mengetahui dan memahami Kedudukan Perseroan dan organ-organ Perseroan sehubungan dengan kepailitan Perseroan.

3. Untuk mengetahui dan memahami penerapan prinsip business judgment rule kepada Direksi terkait pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan yang dinyatakan pailit.


(27)

D. Manfaat Penelitian

Penelituan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Dalam manfaat teoritis; penelitan ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan terhadap perkembangan hukum perusahaan pada khususnya. Juga diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan substansi hukum perusahaan.

2. Dalam manfaat praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap orang yang merupakan anggota Direksi agar lebih profesional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan Perseroan, dapat menjadi masukan bagi pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara pertanggungjawaban anggota Direksi, dan juga dapat menjadi masukan bagi aparat penegak hukum dan bagi pencari keadilan dalam rangka menemukan kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan, karena berdasarkan informasi yang telah disediakan oleh Penyelenggara Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas


(28)

Sumatera Utara, telah pernah dilakukan beberapa penelitian mengenai tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas, antara lain:

1. Penelitian oleh Irma Hani Nasution, pada tahun 2003, dengan judul “Analisis hukum terhadap tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas”.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimanakah pengaturan mengenai tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas menurut UUPT?

b. Apakah standar bagi Direksi untuk dapat diminta pertanggung jawaban dalam pengelolaan Perseroan?

c. Kapankah Direksi dikatagorikan melanggar fiduciary duty?

2. Penelitian oleh Juliana P.C. Sinaga, pada tahun 2005, dengan judul “Pertanggungjawaban Direksi dalam kejahatan perusahaan”.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimanakah kriteria untuk menentukan bahwa suatu perusahaan telah melakukan kejahatan?

b. Bagaimanakah tanggung jawab seorang Direksi apabila perusahaan telah melakukan kejahatan?

c. Bagaimanakah sanksi seorang Direksi yang telah melanggar fiduciary duty? 3. Penelitian oleh Jujur Hutabarat, pada tahun 2007, dengan judul “Analisis yuridis

terhadap tanggung jawab Direksi Badan Usaha Milik Negara dalam pengurusan Perseroan”.


(29)

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimanakah kedudukan dan peran Direksi BUMN dalam pengurusan BUMN?

b. Bagaimanakah pertanggung jawaban Direksi BUMN dalam pengurusan dan pengelolaan BUMN?

c. Apakah pengaturan internal BUMN yang dibuat oleh Direksi dapat dianggap sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merupakan bagian dari hukum administrasi negara?

Dilihat dari permasalahan masing-masing penelitian diatas, terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, karena penelilitian ini akan lebih menekankan kepada tanggung jawab Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit. Kemudian dapat ditambahkan bahwa, belum ada tesis yang membahas tentang tanggung jawab Direksi Perseroan yang mengalami pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan asli, baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan


(30)

pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.27 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.28

Teori hukum mengatakan jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah orang secara fisik (physical

person), dan apabila pemegang hak dan kewajiban itu entitas lain, berarti yang

dibicarakan teori tradisional itu adalah badan hukum (juristic person).29

Beberapa teori pertanggungjawaban badan hukum yang mampu menjawab permasalahan ini antara lain adalah :

1. Teori Perumpamaan (Fictie Theory)30

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang kongkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberikan hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122.

28

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 6.

29

Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Barkely : Universitas California Press, 1978), terjemahan oleh Raisal Muttaqien, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung : Nusameia & Nuansa, 2006), hal. 194.

30

Teori ini di pelipori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny, tokoh utama aliran/mazhab sejarah pada permulaan abad ke-19.


(31)

ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal.

Dengan kata lain sebenarnya menurut alam hanya manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak nyata tersebut tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.31

2. Teori Peralatan (Organ Theory)32

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis diatas kertas. Apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum itu.

Dengan demikian menurut teori organ badan hukum bukanlah suatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah sesuatu yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang nyata, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia.

31

Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : PT. Alumni, 1991), hal.31.

32

Sebagai reaksi terhadap teori fiksi maka muncullah teori organ (Organ Theory). Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke.


(32)

Jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia. Oleh karena itu dapat disimpukan bahwa tiap-tiap perkumpulan atau perhimpunan adalah badan hukum.33

3. Teori Pemilikan Bersama (Theory Propriete Cellective)34

Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupaka harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Bahwasannya orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi, yang dinamakan badan hukum.35

Ketiga teori ini tidak terlepas dari teori hukum tentang hak dan kewajiban yang sering dikaitkan dengan suatu pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini anggota Direksi berkewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Memenuhi kepentingan itu merupakan kewajiban, sedangkan melalaikannya adalah kesalahan.

Namun walaupun begitu, apakah teori hukum seperti itu dapat diterapkan kepada Direksi yang dalam hubungan hukum hanya merupakan organ dari suatu Perseroan? Persoalan ini akan lebih tajam dibahas ketika diajukan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan pengelolaan Perseroan yang

33

Chidir Ali, Badan Hukum, op. cit., hal. 32.

34

Teori ini dikemukakan oleh Marcel Planiol.

35

Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,


(33)

dilakukan Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit. Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditinjau dari teori-teori dibawah ini, diantaranya :

Teori fiduciary duty, teori ini di Indonesia masih relatif baru berkembang

sehingga masih diperlukan pengembangan dan aplikasi yang tepat dalam sistem hukum Indonesia. Prinsip Direksi sebagai pemegang amanah karena sumber kewenangan Direksi berasal dari trust atau fiducia, tetapi amanah yang diemban Direksi Perseroan adalah amanah Perseroan dan bukan amanah dari pemegang saham yang hendak menciptakan Direksi boneka. Pemikiran ini berakibat perlunya kualifikasi tertentu dari Direksi, baik syarat menjadi Direksi dan atau prosedur pemilihannya. Dalam opini demikian maka Direksi seakan-akan mirip dengan profesional.36

Undang-Undang Perseroan Terbatas mensyaratkan bahwa anggota Direksi haruslah orang perseorangan. Ini berarti dalam sistim hukum Perseroan Indonesia tidak dikenal adanya pengurusan Perseroan oleh badan hukum Perseroan lainnya maupun oleh badan usaha lain, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Selanjutnya orang perorangan tersebut adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum, tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maupun yang menjadi anggota Direksi atau Dewan Koisaris Perseroan lain yang pernah dinyatakan bersalah menyebabkan kepailitan Perseroan tersebut, dan belum pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara

36


(34)

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatannya. Setiap anggota Direksi yang bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam melakukan kepengurusan Perseroan untuk kepentingan dan usaha Perseroan akan bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk seluruh harta kekayaannya.37

Dalam menjalankan tugasnya mengurus Perseroan, Direksi tidak boleh menerima manfaat terhadap dirinya sendiri. Ini berarti bahwa kepentingan Perseroan harus didahulukan. Tanggung jawab mengurus Perseroan yang di bebankan kepada Direksi tidak mungkin dapat dijalankan oleh Direksi sendiri. Dalam banyak hal seluruh pekerjaan Direksi dilimpahkan kepada keryawannya atas dasar kuasa dari Direksi. Berarti tidak mungkin ada karyawan tanpa adanya Direksi dan tidak mungkin Direksi dapat menjalankan tugasnya tanpa ada karyawan. Oleh karena itu antara Direksi dan karyawan mempunyai hubungan fiducia, yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.38

Dalam teori tentang Perseroan Terbatas mengenai kewajiban Direksi Perseroan, dianut pendapat bahwa Direksi Perseroan memiliki 2 (dua) macam kewajiban, yaitu kewajiban berdasarkan statutory duties dan kewajiban berdasarkan

fiduciary duty.39

Kewajiban Direksi Perseroan berdasarkan statutory duties adalah suatu kewajiban dari Direksi yang secara tegas dinyatakan dalam perundang-undangan dan

37

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 98.

38

Try Widiyono, op. cit., hal. 40.

39

Denis Keenan & Josephine Bisacre, Smith & Keenan’s Company Law For Studens, (Financial Times : Pitman Publishing, 1999), hal. 317.


(35)

anggaran dasar Perseroan. Sedangkan kewajiban Direksi Perseroan berdasarkan

fiduciary duty adalah, suatu kepecayaan yang diberikan dari pihak Perseroan kepada

Direksi untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan loyalitas yang tinggi.40 Phillip Lipton dan Abraham Herzberg membagi fiduciary duty kedalam :

a. Duty to Act Bona Fide in the interes of the Company

Kewajiban Direksi untuk melakukan kepengurusan Perseroan hanya untuk kepentingan Perseroan semata-mata. Untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu tindakan yang diambil oleh Direksi Perseroan telah dilakukan untuk kepentingan Perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan kembali Kepada Direksi Perseroan. Direksi Perseroan harus mengetahui dan memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan Perseroan.41

b. Duty to Exercise Power for Proper Purposes

Kewajiban Direksi untuk mengelola harta kekayaan Perseroan, karena Direksi sebagai organ dalam Perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak, untuk dan atas nama Perseroan serta bagi kepentingan Perseroan. Hal ini membawa konsekwensi bahwa jalannya Perseroan, temasuk pengelolaan harta kekayaan Perseroan bergantung sepenuhnya pada Direksi Perseroan. Sebagai orang kepercayaan Perseroan, yang di angkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk

40

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, op. cit., hal. 52. 41

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. op.


(36)

kepentingan para pemegang saham secara keseluruhan, Direksi diharapkan dapat bertindak adil dalam memberikan manfaat yang optimum bagi pemegang saham.42 c. Duty to retain discretion

Direksi, dalam Undang-undang dan anggaran dasar dan kadang kala melalui Rapat Umum Peegang Saham telah diberikan kewenangan Fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya, namun demikian hal tersebut haruslah dilakukan dan diselenggarakan untuk kepentingan Perseroan, dan oleh karena itu maka tidak selayaknya jika Direksi kemudian melakukan pembatasan diri, atau membuat suatu perjanjian yang akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak untuk tujuan dan kepentingan perseroan. Pada saat perjanjian yang mengikat tersebut dibuat dan ditandatangani, Direksi sudah harus memiliki pandangan, sikap, dan kepastian bahwa tindakan yang dilakukan tersebut hanya memberikan manfaat bagi kepentingan Perseroan semata-mata.43

d. Duty to avoid conflict of Interest

Kewajiban Direksi untuk menghindari diadakan, dibuat, atau ditandatanganinya perjanjian, atau dilakukannya perbuatan yang menempatkan Direksi tersebut pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan Perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah Direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan dari Perseroan, yang mengangkat dirinya menjadi Direksi. Lebih jauh lagi kewajiban ini

42

Ibid.

43


(37)

sebenarnya melarang dengan mencegah Direksi bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, pada saat yang bersamaan mereka harus bertindak mewakili untuk dan atas nama Perseroan. Sesungguhnya kewajiban tersebut bukan untuk melakukan penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang mengandung unsur benturan kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk pencegahan sebelum suatu tindakan, perbuatan atau keputusan tersebut dilaksanakan.44

e. Duties of Care and Duties of Diligence

Direksi sebagai organ kepercayaan Perseroan diharapkan dapat menjalankan hingga memberikan keuntungan bagi Perseroan. Direksi diberikan fleksibilitas dalam bertindak untuk melaksanakan fungsi kegiatan manajemen, dengan mengambil risiko dan peluang dimasa depan. Ini berarti Direksi tidak hanya semata-mata mengambil keputusan bagi jalannya usaha untuk kepentingan Perseroan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, namun demikian Direksi juga berkewajiban untuk melakukan pengawasan atas seluruh jalannya Perseroan dengan baik.45

Secara historis, pada prinsipnya teori fiduciary duty dalam ilmu hukum perusahaan dibebankan kapada Direksi. Karna itu banyak argumentasi, pengaturan dan yurisprudensi yang telah dibuat untuk tanggung jawab Direksi dalam hubungan dengan pelaksanaan tugas fiduciary berdasarkan hubungan fiduciary antara Direksi dengan Perseroan ini. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, prinsip

fiduciary duty oleh Direksi ini sampai batas-batas tertentu dikembangkan dan

44

Ibid.

45


(38)

diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam Perseroan, yaitu pihak pemegang saham dan pekerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian, yang harus diperhatikan dari seorang Direksi bukan hanya perusahaan yang dipimpinnya, melainkan juga kepentingan pemegang saham dan kepentingan pekerja di perusahaan tersebut.46

Dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan, Direksi harus bertindak secara hati-hati, patut atau sebaik-baiknya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar. Seandainya dalam pengurusan dan perwakilan Perseroan tersebut Direksi melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar batas kewenangan atau sesuatu ketentuan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar, kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi oleh pihak ketiga, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk seluruhnya. Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan Direksi yang melampaui wewenang yang diberikan anggaran dasar kepadanya. Kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggung jawab Perseroan, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi dari Direksi seluruhnya. Sebaliknya, Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat membuktikan bahwa Direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenang yang diberikan anggaran dasar. Dalam keadaan demkian, Perseroanlah yang memikul tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan Perseroan yang dilakukannya dengan

46

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam


(39)

pihak ketiga dan Direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan Perseroan.47

Sebagai konsekuensi dari pemberlakuan teori fiduciary duty ini, maka lahirlah teori business judgment rule, teori ini berasal dari Amerika. Bertujuan mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan Perseroan.48

Aturan business judgment rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi lebih

tahu dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya. Untuk itu maka Direksi selama dan sepanjang dalam mengambil keputusan, Direksi tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang memberikan manfaat pribadi atau tidak mempunyai kepentingan pribadi dan telah melaksanakan prinsip kehati-hatian dengan itikad baik.49

Doktrin business judgment rule ini berkaitan erat dengan doktrin fiduciary

duty. Guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh Perseoan kepada Direksi,

berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagai mana maksud dan tujuan Perseroan, Direksi tentu dihadapkan

47

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung : PT. Alumni, 2004), hal. 179.

48

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, op. cit., hal. 37.

49


(40)

kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada diluar kemampuan maksimal Direksi. Oleh Karena itu, guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doctrine business

judgment rule.50

Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang Direksi bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahaya, karena kekeliruan adalah kelengkapan manusia. Jadi, sudah sepantasnya seorang Direksi Perseroan tidak di generalisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doctrine business judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.51

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang di generalisirkan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.52 Soerjono

50

Try Widiyono, op. cit., hal. 46.

51

Ibid.

52

Samadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 28.


(41)

Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit dari krangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.53

Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

a. Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.54

b. Tanggung Jawab Direksi55 adalah semua kewajiban yang harus dijalankan Direksi sebagai wakil Perseroan yang dilakukan dengan itikad baik dan penuh

53

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit., hal.133.

54

Lihat pasal 92 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan : Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan Undang-Undang ini dan /atau anggaran dasar.

55

Tanggung jawab Direksi ini timbul apabila Direksi yang memiliki wewenang atau memiliki kewajiban untuk melakukan pekerjaan mengurus Perseroan telah mulai menggunakan wewenangnya. Agar Direksi sebagai orang yang sehari-hari mengurus Perseroan dapat mencapai prestasi yang besar maka ia harus diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu yang telah diberikan kepadanya. Tanggung jawab berarti suatu kewajiban seorang individu untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Idealnya, jika wewenang itu dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawabnya dan sebaliknya tanggung jawab harus diberikan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya. Sebagaimana dikutip dalam Winardi, Asas Asas Manajemen, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 144.


(42)

tanggung jawab56, baik kepada Perseroan, pemegang saham Perseroan, maupun kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.57

c. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.58

d. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.59

e. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.60

f. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.61

56

Lihat penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dimaksud dengan penuh tanggung jawab adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun.

57

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 113

58

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

59

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

60


(43)

g. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.62

h. Business Judgment Rule adalah aturan yang memberikan kekebalan atau

perlindungan bagi manajemen Perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehati-hatian dan itikad baik.63

i. Fiduciary Duty adalah suatu tugas dari seseorang yang disebut dengan trustee

yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee tersebut dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary, dimana pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai kewajiban yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin, dengan itikad baik yang tinggi, fair dan penuh tanggung jawab, dalam menjalankan tugasnya atau untuk mengelola harta/atau aset milik beneficiary dan untuk kepentingan beneficiary, baik yang terbit dari hubungan hukum atau jabatannya selaku trustee (secara teknikal) atau dari jabatan-jabatan lain seperti

61

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

62

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

63


(44)

lawyer dengan kliennya, perwalian (guardian), executor, broker, kurator, pejabat publik, atau Direksi dari suatu Perseroan.64

j. Trustee adalah pihak yang memegang sesuatu secara kepercayaan untuk

kepentingan pihak lain.65

k. Beneficiary adalah pihak yang memberikan kepercayaan kepada pihak lain untuk

mengelola harta bendanya secara baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.66

G. Metode Penelitian

Pengertian metode penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah suatu cara penyelidikan atau pemeriksaan dengan menggunakan penalaran yang berpikir logis berdasarkan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma, serta teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang berbasis kepada ilmu hukum normatif, dan mengacu kepada norma-norma hukum positif yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.

64

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, op. cit., hal. 34. 65

Ibid, hal.33.

66


(45)

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, sebab penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan azas-azas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Melalui analisis deskriptif disatu sisi akan didapatkan informasi yang bersifat kualitatif.67

Oleh karena itu dalam penelitian ini dikaji kaidah-kaidah atau norma-norma yang ada dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berkaitan dengan pertanggungjawaban Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuted approach), dengan maksud untuk mencari dasar yuridis pertanggung jawaban Direksi Perseroan jika Perseroan dinyatakan pailit.

3. Bahan Hukum

Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:68

67

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 134.

68

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 88.


(46)

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab Direksi dalam hal pengelolaan Perseroan. Dalam hal ini khususnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,69 seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahan dokumen pribadi berupa pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun skunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum.70 Surat kabar, internet, serta majalah mingguan juga dapat menjadi bahan dalam penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang berkaitan dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang

69

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

70

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 14-15.


(47)

berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan erat dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang tanggung jawab Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit. Kemudian bahan hukum tersebut disistematisasikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan dengan permasalahan tentang tanggung jawab Direksi Perseroan. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada suatu kesimpulan. 71 Diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban Direksi Perseroan sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asas-asas hukum atau kaedah-kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai tanggung jawab Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit.

71


(48)

BAB II

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN

A. Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Ketentuan UUPT Nomor 40 Tahun 2007

Sebagai organ Perseroan, Direksi bertanggung jawab penuh atas kegiatan pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan dalam mencapai tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan dalam melakukan tindakannya, baik didalam maupun diluar pengadilan.

Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menunjukkan bahwa, apa yang menjadi “kepentingan Perseroan” dan apa yang menjadi “maksud dan tujuan Perseroan” adalah mengandung syarat “kumulatif mutlak”. Artinya jika yang dilakukan oleh anggota Direksi itu hanya dengan alasan kepentingan Perseroan namun bertentangan dengan maksud dan tujuan Perseroan atau sebaliknya, maka tidakan tersebut adalah bertentangan dengan pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 telah membuat batasan yaitu pegurusan itu adalah untuk “kepentingan” Perseroan dan harus “sesuai dengan maksud dan tujuan” Perseroan. Anggota Direksi harus mengelola Perseroan untuk kepentingan Perseroan, bukan untuk kepentingan pribadi. Tidak dibenarkan anggota Direksi mengejar keuntungan untuk diri sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami konsep pengrusan Perseroan oleh Direksi, harus dipahami apa yang


(49)

menjadi “kepentingan Perseroan” dan apa pula yang menjadi “maksud dan tujuan Perseroan”.

Kepentingan Perseroan sebenarnya adalah kepentingan bisnis yang berorientasi kepada keiginan mendapakan keuntungan. Dalam hal ini berarti pengelolaan harta kekayaan Perseroan dimaksudkan adalah untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan Perseroan, namun walaupun begitu harus sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan.

Dalam melaksanakan pengelolaan Perseroan, Direksi harus mengarahkan pengelolaan tersebut agar tetap sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Konsep tugas yang harus dijalankan Direksi dalam hal ini adalah sesuai ketentuan pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007. Pada sisi lain sebagai efek samping pengelolaan Perseroan, yang menimbulkan kerugian pada Perseroan, tidak terlepas dari pertanggungjawaban Direksi. Begitu juga dengan persoalan mengenai tanggung jawab Direksi tentu tidak terlepas dari penyelenggaraan tugasnya. Demikian yang satu selalu terkait dengan yang lain, penciptaan norma pada satu pihak mencerminkan pelaksanaan norma itu pada pihak yang lain. Ketentuan yuridis tentang “pengaturan” tugas pengelolaan Perseroan oleh Direksi telah diatur dalam ketentuan pasal 92 UUPT Nomor 40 tahun 2007, sedangkan pengaturan “tanggung jawab” Direksi, diatur pada ketentuan pasal 97 UUPT Nomor 40 tahun 2007.


(50)

Adapun rumusan lengkap dari pasal 97 UUPT Nomor 40 tahun 2007 dimaksud adalah Sebagai berikut di bawah ini :

(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Dalam hal Direksi terdiri dari 2 (dua) anggota Direksi atau lebih tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya ;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun

tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut.

(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili sedikitnya 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan;

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Dari pengkajian terhadap ketentuan Pasal 97 ini, terlihat bagaimana sebenarnya konsep tugas dan tanggung jawab anggota Direksi yang diinginkan oleh UUPT Nomor 40 tahun 2007. Adapun pertanggungjawaban yang terdapat


(51)

didalam undang-undang Perseroan Terbatas tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Renteng Antar Sesama Anggota Direksi

UUPT Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip presumsi bersalah (presumption of guilt) untuk pertanggungjawaban Direksi, bagi semua anggota Direksi. Artinya, hukum menganggap semua anggota Direksi bertanggung jawab renteng (personally and/or jointly), yaitu secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama atas seluruh kerugian pihak lain, tanggung jawab mana berlaku atas segala perbuatan yang dilakukan oleh Direksi untuk dan atas nama Perseroan, meskipun anggota Direksi tersebut tidak ikut melakukan bahkan tidak mengetahui adanya tindakan tersebut. Jadi, dalam hal ini Direksi dilihat secara keseluruhan dalam satu kesatuan meskipun dalam kenyataannya tindakan tersebut hanya dilakukan oleh seorang Direksi saja. Karena hal tersebut bersifat “presumsi” bersalah, maka ini berarti masih terbuka kemungkinan bagi seorang atau lebih anggota Direksi untuk membuktikan bahwa dia sebenarnya tidak bersalah. Pembuktian tidak bersalah tersebut misalnya dalam hal-hal sebagai berikut :72

72

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), op. cit., hal. 79.


(52)

1. Seorang anggota Direksi sengaja dikucilkan oleh pihak anggota Direksi yang lain.

2. Seorang Direksi tidak diberikan informasi yang cukup oleh Direksi yang lain.

3. Seorang Direksi diberikan informasi keliru oleh Direksi yang lain. 4. Bagaimana jika seorang tidak setuju dengan tindakan tersebut,

tetapi dia kalah dalam voting suara rapat Direksi? Karena informasi kepadanya cukup diberikan, hal ini mestinya belum bisa menghilangkan tanggung jawabnya dan selayaknya ikut menanggung risiko dari tindakan tersebut. Hanya saja tanggung jawabnya menjadi lebih ringan dibandingkan dengan tanggung jawab anggota Direksi lain yang menyetujui tindakan tersebut dalam rapat Direksi. Jika anggota Direksi yang tidak setuju dengan tindakan tersebut, agar bisa mengelak dari tanggung jawab dari tindakan Direksi yang membawa kerugian bagi pihak perusahaan atau bagi pihak lain, maka dia dipersilahakan untuk mengundurkan diri sebagai Dire ksi perusahaan tersebut.

Dengan ketentuan tanggung jawab renteng tersebut, maka setiap anggota Direksi diharapkan menjadi “controller” satu terhadap yang lainnya, namun demikian dalam prakteknya, fungsi control melalui mekanisme chek and balance sulit dilakukan. Untuk itu maka diperlukan pembagian tugas dan wewenang serta tanggung jawab yang


(53)

jelas. Dengan adanya pembagian tersebut, ma ka masalah pembuktian anggota Direksi yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas tindakannya yang merugikan kepentingan Pers eroan menjadi lebih mudah.73

Dalam hampir setiap rumusan mengenai pertanggungjawaban Direksi, setiap anggota Direksi selalu dihadapkan pada pertanggungjawaban renteng di antara sesama mereka, kecuali mereka dapat membuktikan bahwa pertanggungjawaban yang dibebankan tersebut adalah di luar kesalahan dan kelalaiannya. Rumusan-rumusan yang diberikan dalam UUPT tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali fungsi Direksi sebagai suatu organ (dan bukan masing-masing pribadi anggota Direksi) yang berkewajiban untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan, meskipun masing-masing anggota Direksi berwenang untuk bertindak mewakili untuk dan atas nama Perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan. Dengan pertanggungjawaban renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi diantara sesama anggota Direksi Perseroan atas setiap perbuatan Direksi yang dapat merugikan, baik Perseroan, pemegang saham Perseroan, maupun pihak ketiga yang beritikad baik. Meskipun UUPT memberikan ketentuan berupa sanksi perdata yang sangat berat kepada setiap anggota Direksi Perseroan atas setiap kesalahan atau kelalaiannya, namun pelaksanaan pemberian sanksi itu sendiri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan, sesama anggota Direksi yang bersangkutan bertindak sesuai dengan dan tidak menyimpang dari aturan main yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar

73


(54)

Perseroan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pemegang saham Perseroan maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh tindakan Direksi harus dapat membuktikan apakah memang benar kerugian tersebut terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian Direksi.74

2. Tanggung Jawab Direksi Untuk Menyelenggarakan RUPS

Perseroan adalah artificial person, sesuatu yang fiksi, yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berusaha dan bertransaksi. Perseroan tidak mungkin memiliki kehendak, dan karenanya juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Untuk membantu Perseroan dalam melaksanakan tugasnya dibentuklah organ-organ, yang secara teoritis ini disebut dengan organ theory. Untuk itu maka dikenal adanya tiga organ Perseroan Terbatas, yaitu:

1. Direksi;

2. Dewan Komisaris; dan

3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Ketiga organ tersebut dalam Perseroan tidak ada yang paling tinggi, masing-masing melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan oleh undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Dari ketiga organ tersebut Direksi merupakan satu-satunya organ dalam Perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan di bawah pengawasan Dewan

74


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abadi Jusuf, Amir, Tanggung jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan Pailit, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya : Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. Jakarta : PPH, 2004.

Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung : PT. Alumni, 1991.

Bank Indonesia, Penerapan Z-score Untuk Mamprediksi Kesulitan Keuangan dan

Kebangkrutan Perbankan Indonesia, Jakarta : BI, 1999.

Brata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998. Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum

Perusahaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.

Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya

dalam Hukum Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

___________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.

___________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, buku ketiga, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

___________, Hukum Palit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan

dengan Undang-Undang no 37 Tahu 2004), Jakarta : Citra Aditya Bakti,

2005.

___________, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi, Strict Liability dan Vicarious

Liability, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

Huizink, J.B., Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Idonesia, 2004.


(2)

Ingebretsen, Mark, Why Companies Fail, terjemahan : Emil Salim, Jakarta : Intermasa, 2003.

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Kailimang,Deni, Aspek-Aspek Pidana Dalam Kepailitan, dalam Buku : Ruddhy A. Lontoh, Deni Kailimang, Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang

Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Bandung : Alumni, 2001.

Keenan, Denis, & Josephine Bisacre, Smith & Keenan’s Company Law For Studens, Financial Times : Pitman Publishing, 1999.

Kelsen, Hans, Pure Theory of Law, Barkely : Universitas California Press, 1978, terjemahan oleh Raisal Muttaqien, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar

Ilmu Hukum Normatif, Bandung : Nusameia & Nuansa, 2006.

Lontoh, Rudhy A, Denny Kailimang, Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang,

Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Bandung : Alumni, 2001.

Made, Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perseroan Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.

Muhammad, Suwarsono Strategi Penyehatan Perusahaan: Generik dan Kontekstual, Yogyakarta : Ekonisia, 2001.

Prasetya, Rudhi, Maatschap, Firma, dan Persekutuan Koanditer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.

__________, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan

Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1998.


(3)

Moenaf H. Regar, Pembahasan Kritis Aspek Manajemen & Akuntansi

Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995, Jakarta : Pustaka Quantum, 2001.

Remy, Sjahdeni, Sutan, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissement Sverordening

Junto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta : Grafiti, 2002.

Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,

Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung : Alumi, 1986.

Sastrawidjaja, Sofjan, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan

Peniadaan Pidana), Bandung : Armico, 1996.

Sawir, Agnes, Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahan Tentang Perseroan Terbatas, Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2006.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana, 2008.

Simanungkalit, Parasian, Rapat Umum Pemegang Saham Kaitannya dengan

Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, Jakarta : Yayasan

Wajar Hidup, 2006.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.

___________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990.

Soekardono, R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Jakarta : Rajawali, 1981. Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan : USU Press, 2009.

___________, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008.


(4)

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Surya, Indra, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, Jakarta : Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

Tumbuan, Fred, B.G, Pembagian Kewenangan Antara Kurator dan Organ-Organ

Perseroan Terbatas, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya :

Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum (PPH), 2004.

__________,“Mencermati Makna Debitur, Kreditur, Dan Utang Berkaitan dengan

Kepailitan”, Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan

Perkembangannya, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum (PPH), 2005. __________, “Tujuan dan Wewenang Kurator Mengurus atau Membereskan Harta

Pailit”, Dalam: Emmy Yuhassarie, Revitalisasi Tugas Dan Wewenang Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim Niaga dalam Rangka Kepailitan, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum (PPH), 2004.

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung : PT. Alumni, 2004.

Widiyono, Tri, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang dan

Tanggung Jawab, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004.

Widjaja, Gunawan, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Jakarta : Forum Sahabat, 2008.

___________, Hak Individu dan Kolektif Para Pemegang Saham, Jakarta : Forum Sahabat, 2008.

___________, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor. 40 tahun 2007, Jakarta : Forum Sahabat, 2008.

___________, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis : Pemilikan, Pengurusan, Perwakilan,

dan Pemberian Kuasa Dalam Sudut Pandang KUH Perdata, Jakarta :


(5)

___________, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan

Firma dan Persekutuan Komonditer, Jakarta : Prenada Media, 2004.

___________, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : PT. Rajagrafindo Perada, 2002.

Widjaja, Gunawan & Yeremia Adi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan

Tanpa CSR, Jakarta : Forum Sahabat, 2008.

Wijaya, I.G. Rai, Hukum Persahaan Perseroan Terbatas, Jakarta : Kesain Blanc, 2002.

Winardi, Asas Asas Manajemen, Bandung : Alumni, 1983.

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

B. Internet, Makalah

Amirudin, Badriyah Rifai, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good

Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik”

http://re-searchengines.com/badriyahamirudin.html

Kasim, Umar, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan

atau Likuidasi,

http://helmilaw-helmi.blogspot.com/2008/07/tanggung-jawab-krporasi-dalam-hal.html

Mulyana, Iman, Good Corporate Governance, http://id.shvoong.com/business-management/management/1658624-good-corporate-governance/

Nasution, Bismar Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dalam Perspektif Hukum

Bisnis Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgmen Rule,

disampaikan pada seminar bisnis 46 tahun Fakltas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan : Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2007.

Remy Sjandeini, Sutan, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris. Jurnal Hukum Bisnis Volume 14, Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001.


(6)

C. Undang-Undang

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2007tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982, tentang Wajib Daftar Perusahaan.

D. Putusan-Putusan Kepailitan

Putusan Pengadilan Niaga Nomor 71/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 06/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 09/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt.Pst Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 32/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Niaga Nomor 34 K/N/2000. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Niaga Nomor 2 K/N1998. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Niaga Nomor 20 K/N/2002. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Niaga Nomor 30 K/N/2000. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Niaga Nomor 21 K/N/2000.