Kebahagiaan psk di jakarta pdf
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
KEBAHAGIAAN PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL KELAS BAWAH
DI JAKARTA
Christie dan E. Kristi Poerwandari
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstrak
Kehidupan pekerja seks komersial berjalan tidak sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Hal ini menarik peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai kebahagiaan mereka. Peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan teknik wawancara sebagai metode utama dan
observasi sebagai metode tambahan selama wawancara berlangsung.
Pemilihan subyek menggunakan teknik snowball atau berantai dan kemudian
diperoleh tiga subyek yang merupakan PSK kelas bawah. Terhadap data
yang diperoleh, peneliti melakukan analisis intra kasus dan kemudian
dilakukan analisis interkasus. Hasil penelitian menemukan bahwa dua subyek
merasakan kepuasan dalam hidupnya, ketiga subyek merasakan kesenangan
dalam menjalani kehidupannya sekarang dan belum merasa optimis akan
masa depan. Dengan demikian, hampir semua subyek penelitian memiliki
emosi positif kepuasan akan kehidupan yang dijalani, semua subyek memiliki
perasaan dan pikiran positif mengenai kehidupan masa sekarang, namun belum
memiliki pikiran positif akan masa depannya. Untuk penelitian selanjutnya
diharapkan subyek dapat lebih diperbanyak dan diperluas cakupannya,
observasi juga digunakan sebagai metode utama dalam pengambilan data.
Penelitian berikutnya akan lebih baik jika turut menggali karakter positif yang
dimiliki subyek guna mengetahui kebahagiaan otentik subyek.
Kata Kunci: PSK,Kebahagiaan,ekonomi,seks komersial, emosi
buruk oleh masyarakat sekalipun, seperti
pelacur atau pekerja seks komersial.
Pelacuran yang sering disebut
sebagai prostitusi adalah suatu bentuk
hubungan kelamin di luar pernikahan
dengan pola tertentu, yaitu pada
siapapun secara terbuka dan hampir
selalu dengan pembayaran baik untuk
kegiatan persetubuhan maupun kegiatan
seksual lainnya yang memberikan
kepuasan yang diinginkan oleh pihak
pembayar (Bloch, dalam Rahayu,
2002). Singkatnya, pelacuran ditandai
oleh tiga unsur yaitu pembayaran,
Pendahuluan
Setiap orang pasti menginginkan
profesi yang layak untuk memenuhi
keinginan dan mewujudkan cita-citanya.
Ada dua macam pekerjaan yaitu
formal dan non-formal. Untuk dapat
bekerja di sektor formal, dibutuhkan
banyak ketrampilan, kemampuan, dan
juga latar belakang pendidikan yang
mendukung. Sayangnya tidak semua
orang dapat memenuhi berbagai syarat
untuk bersaing di sektor formal dan
ada kalanya mereka mengandalkan
pekerjaan non-formal yang dianggap
219
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
percintaan dengan laki-laki. Tidak
jarang menurut mereka, banyak laki-laki
yang justru hanya menginginkan tubuh
ataupun uang mereka, bukan untuk
mencintai mereka dengan tulus. Selain
itu, tidak sedikit pekerja seks komersial
yang merupakan seorang janda yang
harus menghidupi kebutuhan anaknya
(dalam http://www.gatra.com/2007-0612/versi_cetak.php? id=105263). Salah
satunya adalah Hana (bukan nama
sebenarnya) seorang pekerja seks
komersial yang memiliki seorang anak,
mengaku bahwa selama ini ia menitipkan
anaknya kepada kerabatnya agar ia
bisa mencari uang dengan tenang.
Sebagai pekerjaan yang oleh
masyarakat dianggap bertentangan
dengan nilai-nilai agama dan aturan
sosial, pekerja seks komersial akan
mungkin
mengalami
keterasingan
(May, dalam Jahoda, 1958). Keadaan
tersebut ditandai dengan pengasingan
dari
lingkungan
teman-temannya,
kehilangan pengalaman bermasyarakat
dan merasa takut terhadap orang lain.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
keadaan mental yang negatif akan
dicapai oleh individu yang mengalami
keterasingan. Bagi pekerja seks
komersial, tentu saja hal ini akan
mempengaruhi perkembangan diri dan
kehidupannya pada umumnya.
Dari penjelasan tersebut, pekerja
seks dewasa muda memang dapat
menjalankan tugas perkembangannya,
namun dapat dikatakan bahwa mereka
tidak menjalankannya sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
Pekerjaan yang mereka lakukan
masih dianggap masyarakat tidak
sesuai dengan norma kesusilaan.
Kehidupan rumah tangga yang mereka
jalani pun tidak berjalan seperti
bagaimana kehidupan rumah tangga
perempuan seusianya. Mereka juga
persetubuhan di luar pernikahan, serta
tidak membedakan pilihan (May, dalam
Nisbet, 1961).
Data statistik yang disusun oleh
Departemen Sosial (2000) menyebutkan
bahwa ada 70.781 pekerja seks di
Indonesia. Sedangkan menurut Hull
dan Lim (dalam Surtees, 2003), jumlah
pekerja seks di Indonesia yang dapat
dikatakan lebih realistis adalah antara
140.000 sampai 230.000 jiwa. Angka
tersebut didasarkan pada asumsi
bahwa statistik Departemen Sosial
(2000) hanya mencatat pekerja seks
kelas menengah dan sebagian di kelas
bawah, dan tidak mempunyai data
untuk hampir semua pekerja seks kelas
atas. Usia pekerja seks di Indonesia
bervariasi, dapat berkisar dari bawah
umur sampai setengah baya. Pekerja
seks yang di bawah umur pun banyak
jumlahnya. Walaupun demikian pekerja
seks cenderung perempuan muda
di akhir usia remajanya sampai usia
dua puluhan. Oleh karena itu, peneliti
memfokuskan diri pada pekerja seks
komersial yang berada pada tahap
perkembangan dewasa muda.
Pada usia dewasa muda, seorang
wanita memiliki tugas perkembangan
yang beberapa diantaranya adalah mulai
mencari pekerjaan, memilih pasangan
hidup, belajar untuk hidup dengan
pasangan, bekeluarga, mengasuh anak,
mengatur kegiatan rumah tangga, ikut
berperan sebagai warga negara, dan
menemukan kelompok sosial dengan
minat serupa (Havighurst’s, dalam
Hurlock, 1983).
Dari pengakuan beberapa pekerja
seks di Jakarta (dalam http://groups.
google.co.id/group/smokingcorner/
msg/ 02ac5775d564a9a0?&hl=id&q=k
awin+kontrak+%2C+bentuk+pelacuran
) diketahui bahwa mereka merasakan
kesulitan dalam menjalani hubungan
220
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
berkemungkinan untuk mengalami
keterasingan dari lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, kehidupan pekerja
seks dewasa muda tidak dapat berjalan
seperti layaknya perempuan dewasa
muda pada umumnya.
Menurut Seligman (2002), manusia
selalu disibukkan dengan keinginan
untuk menghilangkan segala sesuatu
yang tidak menyenangkan yang ada
dalam dirinya. Selain itu, Carr (2004)
berpendapat bahwa pada dasarnya
keinginan yang cukup besar dalam
diri manusia ialah keinginan untuk
hidup secara baik, dalam arti semua
proses hidup manusia seperti sekolah,
bekerja, dan menikah dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Selain itu, kebahagiaan adalah
keadaan yang sangat diidamkan setiap
orang dalam rentang kehidupannya
(Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut
tentu saja manusia dengan segala daya
upayanya akan selalu melakukan halhal yang membuatnya bahagia atau
menuntunnya
pada
kebahagiaan.
Menurut Seligman (2002), kebahagiaan
bisa tentang masa lalu, masa sekarang
dan masa depan. Kebahagiaan
masa lalu mencakup kepuasan,
kelegaan, kesuksesan, kebanggaan,
dan kedamaian. Kebahagiaan masa
sekarang mencakup kenikmatan dan
gratifikasi. Sedangkan kebahagian
masa depan mencakup optimisme,
harapan, keyakinan, dan kepercayaan.
Menurut Bachtiar dan Purnomo
(2007), profesi pekerja seks komersial
memiliki
permasalahan
tersendiri,
baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
Pertentangan
antara
permasalahan internal dan eksternal
tersebut
menurut
peneliti
dapat
mempengaruhi kebahagiaan yang
dirasakan oleh pekerja seks komersial.
Seorang perempuan yang memang
sudah memiliki keinginan dalam dirinya
sendiri untuk menekuni pekerjaan
sebagai pekerja seks komersial dapat
dikatakan mungkin akan dapat meraih
kebahagiaan karena mereka menjalani
pekerjaan yang memang benar-benar
mereka inginkan. Berbeda apabila
seorang perempuan merasa terpaksa
oleh keadaan untuk menjalani pekerjaan
sebagai pekerja seks komersial,
kebahagiaan yang mereka rasakan
mungkin akan cenderung lebih rendah.
Weinberg (1960) menyatakan bahwa
pekerja seks komersial cenderung
kurang memiliki penghargaan terhadap
masa lalu ataupun masa yang akan
datang sehingga terkadang membuatnya
merasa bahwa hidup yang dijalaninya
tidak memiliki arti dan tujuan. Hal ini
berkaitan dengan konsep kebahagiaan
dari Seligman (2002). Menurut peneliti,
dimasa lalunya seorang pekerja seks
komersial memiliki permasalahan yang
berbeda-beda yang pada akhirnya
membuat mereka harus menjalani
pekerjaannya. Masa lalunya tersebut
tentu secara subyektif akan dihayati
dengan berbeda-beda bagi setiap
individu. Mengenai masa depannya,
juga perlu untuk diketahui bagaimana
sebenarnya seorang pekerja seks
komersial menghayati masa depannya.
Perempuan yang menjalani kehidupan
sebagai pekerja seks komersial juga
merupakan bagian dari masyarakat.
Mereka mempunyai masa lalu untuk
dikenang, masa depan untuk diraih,
dan masa sekarang untuk dijalankan.
Permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimana gambaran kebahagiaan
yang dirasakan pada wanita dewasa
muda yang menjalani kehidupan
sebagai pekerja seks komersial?”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
metode kualitatif. Penelitian ini pada
akhirnya dilakukan terhadap pekerja
221
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
oleh pemerintah. Lokalisasi ini berbeda
dengan rumah bordil yang cenderung
bertempat di luar lokalisasi dan tidak
diatur oleh pemerintah.
2. Kompleks hiburan: tempat ini
adalah lokalisasi di mana layanan seks
seringkali tersedia selain bentuk-bentuk
hiburan lain. Dalam beberapa kasus,
pekerja seks komersial beroperasi
secara independen sementara dalam
situasi lain layanan seksual tersedia
melalui pihak manajemen tempat
tersebut.
3. Wanita jalanan: mereka ini
adalah pekerja seks komersial yang
menjajakan layanan seks di jalan atau
di tempat terbuka seperti di taman,
stasiun kereta apai, dan sebagainya.
Miracle et.al. (2003) juga membagi
pekerja seks komersial menjadi
tiga kategori utama berdasarkan
lokasi dimana mereka melakukan
pekerjaannya, yaitu wanita panggilan,
pekerja seks di rumah bordil, dan wanita
jalanan.
Sedangkan
berdasarkan
penghasilan setiap bulannya, Hull
(dalam Surtees, 2003) membagi kelas
pekerja seks komersial berdasarkan
penghasilan mereka setiap bulannya,
yaitu:
1.
Kelas Terbawah: Rp 900.000,00
per bulan.
seks komersial kelas bawah di Jakarta
karena ketika penelitian berlangsung
secara
tidak
sengaja
peneliti
memperoleh subyek yang menurut
Hull (dalam Surtees, 2003) merupakan
pekerja seks kelas bawah. 1) Faktor
apa yang melatarbelakangi subyek
menjadi pekerja seks komersial? 2)
Seperti apakah kehidupan yang dijalani
subyek sebagai pekerja seks komersial?
3) Bagaimana penghayatan subyek
mengenai kehidupan yang dijalaninya
sebagai pekerja seks komersial? 4)
Bagaimana gambaran kebahagiaan
masa lalu subyek? 5) Bagaimana
gambaran kebahagiaan masa sekarang
subyek? 6) Bagaimana gambaran
kebahagiaan masa depan subyek?
Pekerja Seks Komersial
Kinsey (1963) menyebutkan bahwa
pelacuran merupakan suatu bentuk
tertentu dari hubungan kelamin di luar
perkawinan, yaitu berhubungan dengan
siapapun secara terbuka dan hampir
selalu dengan pembayaran, baik untuk
persebadanan maupun kegiatan seksual
lainnya yang memberikan kepuasan
pihak pembayar atau pelanggan. Selain
itu, Miracle et al. (2003) menyebutkan
bahwa prostitusi merupakan pertukaran
jasa seksual dengan uang atau harta
lainnya. Bagi Kinsey (1963) perbuatan ini
dilakukan sebagai mata pencaharian.
Surtees (2003) membagi kerja seks
menjadi dua macam yaitu kerja seks
yang lebih langsung dan pekerja seks
tidak langsung. Pekerja seks langsung
adalah mereka yang melakukan bentukbentuk kerja seks terbuka, yaitu:
1. Kompleks rumah bordil resmi
(lokalisasi): tempat ini merupakan
manifestasi yang paling formal dan sah
menurut hukum di dalam sektor seks,
yang terdiri dari sekumpulan tempat
yang dikelola oleh pemilik dan diawasi
2.
Kelas Bawah: Rp 2.250.000,00
per bulan.
3.
Kelas Menengah: Rp 4.500.000,00
- Rp 6.750.000,00 per bulan.
4.
Kelas Atas: Rp 9.000.000,00 - Rp
13.500.000,00 per bulan.
5.
Kelas Tertinggi: Rp 27.000.000,00
per bulan.
Menurut Jones et.al. (1997), biasanya
perempuan yang ingin masuk dalam
bisnis kerja seks adalah perempuan
222
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
berpikir tentang masa depan, dan cara
menjalani masa sekarang. Kebahagiaan
jangka panjang muncul meningkat
sejalan dengan banyaknya emosi positif
yang dialami seseorang pada saat
mengingat masa lalu, menatap masa
mendatang, dan menjalani masa kini.
Emosi positif tentang masa lalu
mencakup
kepuasan,
kelegaan,
kesuksesan,
kebanggaan,
dan
kedamaian. Secara umum, penilaian
manusia akan masa lalunya tercermin
dari penilaian kepuasan manusia dalam
menjalani masa lalunya (Seligman,
2002). ada dua cara untuk membawa
perasaan-perasaan tentang masa lalu
menuju ranah kelegaan dan ranah
kepuasan, yaitu dengan bersyukur
dan memaafkan masa lalu. Kemudian
kebahagiaan masa sekarang mencakup
dua hal yang sangat berbeda, yaitu
kenikmatan (pleasure) dan gratifikasi.
Sedangkan emosi positif tentang
masa depan mencakup keyakinan,
kepercayaan, kepastian, harapan, dan
optimisme. Orang yang optimis percaya
bahwa di masa depan selalu ada
harapan untuk hidup yang lebih baik.
yang ”dipaksa” oleh kondisi lingkungan,
keadaan rumah tangga yang kandas,
adanya kekecewaan karena percintaan
yang gagal, atau kurangnya kesempatan
kerja di pasar kerja. Adanya kebutuhan
yang mendesak untuk mendapatkan
penghasilan untuk membiayai diri
sendiri, keluarga, dan anak-anak juga
merupakan pendorong untuk masuk
dalam kerja seks. Selain itu Bachtiar dan
Purnomo (2007) menambahkan faktor
kemalasan, niat lahir batin, dan faktor
sakit hati akibat perceraian ataupun
percintaan yang gagal, sebagai faktor
yang turut mendorong perempuan
menjadi PSK.
Kebahagiaan
Csikszentmihalyi (1997) menyebutkan
bahwa kebahagiaan adalah prototipe
dari emosi positif. Menurut Myers dan
Diener (dalam Duffy dan Atwater, 2005)
kebahagiaan merujuk pada banyaknya
pikiran positif tentang kehidupan yang
dijalani seseorang. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, Carr (2004)
menyatakan bahwa kebahagiaan adalah
keadaan psikologis yang positif yang
terlihat dari tingginya tingkat kepuasan
hidup, tingkat perasaan positif, dan
rendahnya tingkat perasaan negatif.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
tersebut peneliti membentuk kesimpulan
bahwa kebahagiaan adalah keadaan
psikologis yang positif dimana seseorang
memiliki emosi positif berupa kepuasan
hidup dan juga pikiran dan perasaan
yang positif terhadap kehidupan yang
dijalaninya.
Menurut Seligman (2002) emosi positif
bisa tentang masa lalu, masa sekarang,
atau masa depan. Dengan mempelajari
ketiga
macam
kebahagiaan
ini,
seseorang bisa menggerakkan emosi
ke arah yang positif dengan mengubah
perasaan tentang masa lalu, cara
Metode
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Prosedur
pemilihan partisipan menggunakan
teknik snowball atau berantai.
Partisipan
Penelitian ini melibatkan 3 subjek yang
merupakan pekerja seks komersial kelas
bawah di Jakarta yang berusia 20-40
tahun dan juga berpenghasilan kurang
dari Rp.2.250.000,00 tiap bulannya.
Pengukuran
Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara berdasarkan
pedoman
wawancara
yang
menggabungkan pola topical sequence
223
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
memiliki anak, sama-sama tidak ingin
anaknya mengetahui pekerjaannya dan
mengikuti jejak mereka sebagai PSK.
Ketiga subyek saat ini juga sedang
menjalani
hubungan
percintaan.
Mereka tidak ingin pacar atau suaminya
melarang dirinya menjadi PSK. Dua
subyek menjalani pekerjaannya dengan
sepengetahuan pacar atau suaminya,
sedangkan satu subyek menutupi
pekerjaan dari pacarnya. Status mereka
sebagai PSK dianggap sebagai salah
satu penghambat bagi kelancaran
hubungan percintaan mereka.
Setiap subyek menyadari bahwa
pekerjaannya bukan pekerjaan yang
baik dan merasa dirinya banyak memiliki
dosa. Namun, keinginan untuk menjalani
pekerjaan lain hanya dirasakan oleh
satu subyek. Perasaan berdosa, bosan,
dan ingin bertobat tidak dapat membuat
mereka berhenti dari pekerjaannya.
Karena tidak ada lagi pekerjaan lain yang
berpenghasilan sama besarnya dengan
yang didapatkan sekarang, ketiganya
memandang pekerjaannya sekarang
sebagai satu-satunya pekerjaan yang
bisa mereka lakukan.
Mengenai kebahagiaan pada masa
lalu, semua subyek memiliki masa
lalu pahit yang belum dapat mereka
maafkan, yang kemudian menghalangi
mereka untuk mencapai kelegaan akan
masa lalunya. Dua subyek memiliki
emosi positif berupa kepuasan atas
kehidupan yang mereka jalani dan juga
menggambarkan perasaan bersyukur
atas kehidupannya. Kepuasan yang
dirasakan dua subyek tersebut mungkin
secara subyektif akan menjadi maksimal
jika keduanya sudah memiliki kelegaan
akan masa lalunya, yaitu dengan
cara memaafkan masa lalu mereka.
Sedangkan satu subyek lainnya
belum merasakan kepuasan terhadap
kehidupan yang dijalaninya dan juga
dan time sequence (Stewart dan Cash,
2000). Observasi juga dilakukan sebagai
metode tambahan. Hasil wawancara
ditulis dalam bentuk verbatim kemudian
dilakukan pemadatan fakta. Fakta
yang terkumpul kemudian dianalisa
berdasarkan teori yang digunakan
dalam penelitian.
Hasil
Ada empat hal yang melatarbelakangi
subyek dalam menjalani pekerjaan
sebagai PSK, antara lain terdesak
kebutuhan ekonomi, latar belakang
pendidikan yang rendah, sakit hati
dengan kehidupan di masa lalu, dan juga
adanya pihak ketiga yang menawarkan
solusi. Pada salah satu subyek ada hal
yang berbeda dari subyek lainnya, awal
mulanya menjadi PSK karena dirinya
merupakan
korban
perdagangan
perempuan di Kalimantan.
Masalah yang sering dihadapi
oleh ketiga subyek adalah razia,
pertengkaran dengan sesama rekan
PSK karena perebutan tamu, masalah
yang berhubungan dengan tamu seperti
tidak dibayar dan diracuni tamu. Ketika
sedang memberikan jasa seksual pada
tamunya, mereka merasa senang karena
mendapat uang dan juga sekaligus
sedih. Semua subyek menyadari dan
merasa takut akan risiko penyakit
menular seksual. Dua subyek bersikap
seolah-olah tidak peduli, sedangkan
satu subyek memandangnya sebagai
resiko dari pekerjaannya. Dua orang
subyek meyakini obat antibiotik dapat
melindungi mereka dari penyakit.
Karena memiliki masalah dengan
keluarganya, sampai sekarang masingmasing subyek memilih untuk tidak
berhubungan lagi dengan keluarga.
Hanya satu subyek yang merasakan
penyesalan karena terasing dari
keluarganya.
Dua
subyek
yang
224
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
pada hubungan interpersonal yang
mereka merasakan adanya kepuasan,
merasa memiliki kedekatan dan
komitmen. Dalam penelitian ini dapat
dikatakan bahwa ketiga subyek belum
memaafkan perbuatan orang tuanya
karena mereka merasa belum puas
terhadap
hubungan
interpersonal
mereka dengan orang tua. Mereka juga
merasa tidak memiliki kedekatan dan
komitmen terhadap orang tua mereka.
Mereka justru tidak menganggap orang
tua mereka memiliki peran dalam
kehidupan mereka sekarang. Hal inilah
yang dapat dikatakan sebagai salah satu
penyebab mereka belum memaafkan
masa lalunya.
Diketahui pula bahwa salah satu
subyek belum merasakan kepuasan
akan kehidupan yang dijalaninya.
Hal tersebut dapat dikatakan terkait
dengan penerimaan dirinya sebagai
seorang PSK. Menurut Ryff (1996)
individu mempunyai penerimaan diri
yang rendah apabila ia merasa tidak
puas dengan dirinya, merasa kecewa
dengan kehidupan yang telah dijalani,
mengalami kesulitan dengan sejumlah
kualitas pribadinya, dan ingin menjadi
individu yang berbeda dengan dirinya
saat ini. Dalam hal ini, diantara ketiga
subyek hanya Lani yang menunjukkan
keinginan untuk mencari pekerjaan
lain, dan tidak menikmati pekerjaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa subyek tersebut tidak memiliki
penerimaan diri akan kehidupan yang
dijalani, khususnya mengenai pekerjaan
yang dilakukannya.
Kemudian, pada penelitian ini diketahui
bahwa ketiga subyek cenderung belum
merasa optimis akan masa depan.
Optimisme mengacu pada harapan
seseorang mengenai masa depannya
(Seligman, 2002). Orang yang optimis
adalah orang yang mengharapkan
terlihat belum memiliki perasaan
bersyukur atas kehidupannya selama
ini
Ketiga subyek merasakan kenikmatan
dalam menjalani kehidupannya. Semua
subyek merasakan kenikmatan ragawi
berupa uang hasil bekerja, sedangkan
dua subyek merasakan kenikmatan
yang lebih tinggi dengan bentuk yang
berbeda-beda Penelitian ini juga
menggambarkan bahwa tidak semua
subyek mengalami gratifikasi atau flow
dalam kegiatannya. Hanya dua subyek
yang mengalami gratifikasi dan dengan
bentuk yang berbeda. Seorang subyek
mengalami gratifikasi sosial sedangkan
seorang lagi merasakan gratifikasi
pikiran.
Semua subyek mempunyai rencana
yang berbeda-beda untuk masa
depannya. Seorang subyek memiliki
keinginan untuk meninggalkan statusnya
sebagai PSK dan mencari pekerjaan
baru, sedangkan dua subyek belum
memiliki keinginan untuk mengubah
pekerjaannya. Dua orang subyek
juga menyatakan keinginannya untuk
menikah dengan pacarnya. Mengenai
kebahagiaan tentang masa depan,
ketiga subyek tidak menunjukkan
emosi positif keyakinan ketika berbicara
tentang masa depan. Dikatakan bahwa
ketiga subyek merupakan orang yang
cenderung pesimis dalam menghadapi
kehidupannya di masa depan. Mereka
tidak yakin bahwa kejadian baik akan
terjadi di kehidupan mereka di masa
depan.
Diskusi
Ketiga subyek belum memaafkan
masa lalunya yang terkait dengan
hubungannya dengan orang tua dan juga
mengenai hubungannya dengan laki-laki.
Menurut McCullough dan Witvliet (2005)
inidividu lebih cenderung memaafkan
225
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
menurut peneliti alasan tersebut
tidaklah sepenuhnya benar. Mereka
mungkin menyadari bahwa pekerjaan
mereka bukanlah pekerjaan yang baik
untuk dijalankan, mereka juga mungkin
sudah cukup banyak mengalami manis
dan pahitnya pekerjaan yang mereka
jalani. Karena pekerjaan tersebut
merupakan satu-satunya yang bisa
mereka lakukan, maka mereka akan
membentuk sikap yang membenarkan
seluruh perbuatan mereka termasuk
mengenai pada saat mereka melakukan
pekerjaannya. Pembenaran tersebut
mereka lakukan agar mereka merasa
nyaman dalam menjalani kehidupannya.
Pada akhirnya, dengan memiliki sikap
tersebut akan membantu mereka untuk
meraih kebahagiaan dalam menjalani
kehidupannya.
Berdasarkan penelitian juga diketahui
bahwa ketiga subyek menurut Weinberg
(1960) cenderung kurang memiliki
penghargaan terhadap masa lalu
ataupun masa yang akan datang. Bagi
Weinberg hal ini terkadang membuat
mereka merasa bahwa hidup yang
dijalaninya tidak memiliki arti dan
tujuan. Ketiga subyek penelitian samasama belum memiliki pemaafan pada
apa yang terjadi di masa lalu mereka,
khusunya mengenai hubungan mereka
dengan keluarga. Selain itu mereka
juga belum merasa optimis dalam
menjalani kehidupannya ke depan.
Oleh karena itu, menurut Weinberg
untuk menghindari keadaan ini biasanya
seorang PSK mencari pelarian ke agama
yang dilakukannya sebagai sebuah
pertahanan atau pembenaran. Pada
ketiga subyek memang terlihat adanya
sebuah sikap pembenaran, namun
hal tersebut tidak memiliki hubungan
dengan agama yang dianutnya. Dengan
pekerjaan yang mereka rasakan sudah
banyak mengandung dosa, dua orang
kejadian yang baik terjadi pada mereka.
Dapat dikatakan bahwa ketiga subyek
penelitian ini tidak memiliki harapan
yang baik akan kehidupan mereka di
masa mendatang. Akan tetapi ketika
kita memahami kehidupan yang mereka
jalani sekarang, sebenarnya dapat
dikatakan bahwa harapan mereka
tersebut realistis dengan kehidupan
yang mereka jalani sekarang. Menurut
Hurlock (1974) harapan yang realistis
bisa timbul bila individu menentukan
sendiri harapannya yang disesuaikan
dengan
pemahaman
mengenai
kemampuannya, ia juga memahami
keterbatasan dan kekuatan dirinya
dalam mencapai harapan tersebut. Jadi,
ketika ketiga subyek penelitian memiliki
harapan, sepertinya mereka telah
mempertimbangkan kemampuan dirinya
dalam mencapai harapan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa subyek
penelitian tidak mampu untuk berharap
banyak terhadap kehidupannya di
masa depan karena mereka juga
mempertimbangkan kehidupan yang
mereka jalani sekarang.
Menurut Weinberg (1960), dampak
kerja seks yang cukup merusak
bagi pekerjanya adalah sikap dan
hubungan sosial antara pekerja seks
dengan lingkungannya yang kemudian
mempengaruhi identitas diri yang
dimiliki pekerja seks tersebut.. Dalam
penelitian ini terlihat bahwa ketiga
subyek memiliki kecenderungan untuk
menerima atau mengembangkan sikap
yang tidak benar dan merusak terhadap
dirinya sendiri. Mereka seolah-olah
sudah tidak peduli dengan dosa, tidak
takut akan kehidupan setelah mati dan
sebagainya. Hal ini menurut Weinberg
dapat mungkin terjadi karena label yang
diberikan oleh masyarakat terhadap
perempuan yang berprofesi sebagai
pekerja seks komersial. Namun
226
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
wawancara tidak secara detail dan
mendalam, juga seringkali harus
dilakukan probing untuk mendapatkan
jawaban yang dibutuhkan oleh peneliti.
Sedangkan subjek yang cenderung
ekstrovert seringkali mengungkapkan
jawaban terlalu banyak sehingga
seringkali pernyataan yang terlontar
melenceng dari pertanyaan utama.
Diener, et.al (dalam Carr, 2004)
mengatakan bahwa orang dengan profil
kepribadian yang berbeda memiliki
tingkat kebahagiaan yang berbeda pula.
Menurut peneliti, dari hasil wawancara
dan observasi terlihat bahwa dua subyek
memiliki kepribadian yang paling terbuka
bila dibandingkan satu subyek lainnya.
Mereka orang yang sangat terbuka
dengan segala pertanyaan. Terutama
salah satu dari dua subyek tersebut
selalu terlihat kesungguhannya dalam
menjawab pertanyaan. Mungkin karena
itulah kedua subyek tersebut memiliki
tingkat kebahagiaan yang relatif lebih
tinggi bila dibandingkan dengan satu
subyek lainnya.
Dari penelitian juga terlihat bahwa
dua subyek mendapatkan kesenangan
dari hubungannya dengan orang-orang
terdekatnya. Satu subyek merasa
senang karena kehadiran anak-anak
dan juga pacarnya. Satu subyek
lain juga memperoleh gratifikasi dari
kegiatan yang berhubungan dengan
suami dan teman-teman seprofesinya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa kebahagiaan yang dirasakan
setiap subyek memiliki hubungan
dengan orang-orang terdekatnya atau
significant others. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa significant others
memiliki peran terhadap kebahagiaan
yang dirasakan subyek.
Peneliti merasa masih kurang baik
dalam melakukan probing kepada
partisipan penelitian untuk dapat
subyek justru merasa bahwa akan siasia jika dirinya tetap menjalankan ibadah
agama sesuai yang dianutnya. Bagi
mereka hal tersebut tidak akan mungkin
dapat menghapus dosa mereka yang
memang sudah memuncak. Oleh
karena itu, pernyataan Weinberg belum
sepenuhnya sesuai dengan fakta yang
peneliti dapat pada penelitian ini.
Ketiga subyek merasa bahagia dalam
menjalani kehidupannya, padahal dapat
dikatakan kehidupan yang mereka
jalani memiliki perbedaan yang cukup
bisa
mempengaruhi
kebahagiaan
yang mereka rasakan. Kehidupan
yang mereka jalani dapat dikatakan
cukup keras dan jauh berbeda dengan
kehidupan
perempuan
seusianya.
Ketiga
subyek
mungkin
sudah
mengalami mati rasa akan apapun yang
terjadi pada kehidupannya, sehingga
mereka pun merasa senang-senang
saja dalam menjalani kehidupannya.
Selain itu, sekarang ini mereka merasa
bahagia karena menurut peneliti secara
kebetulan mereka hidup di lingkungan
yang mereka persepsikan aman untuk
menjalani kehidupannya. Dua subyek
tinggal di lingkungan yang memang
merupakan
lingkungan
dimana
perempuan dengan profesi sepertinya
hidup, sedangkan satu subyek lainnya
menyembunyikan identitasnya agar
bisa merasakan keamanan dalam
menjalani kehidupannya. Keadaan ini
pulalah yang membuat keterasingan
yang mereka alami tidak memiliki
dampak yang begitu besar terhadap
kehidupannya secara keseluruhan.
Kepribadian
subjek
dapat
mempengaruhi kedalaman wawancara.
Hal ini dapat terlihat dari perbedaan
kedalaman informasi antara subjek
yang satu dengan subjek yang lainnya.
Subjek yang mempunyai kecenderungan
introvert mengungkapkan jawaban
227
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
memiliki latar belakang pendidikan yang
tinggi. Peneliti mengkhawatirkan subyek
penelitian akan merasakan kesulitan dan
menjadi bosan ketika mengisi kuesioner
tersebut, atau bahkan menolak untuk
mengisi kuesioner tersebut. Lalu
kemudian keadaan tersebut justru akan
mempengaruhi proses wawancara yang
akan dilakukan. Oleh karena itu pada
akhirnya peneliti memutuskan untuk
tidak menggali bagaimana gambaran
kebahagiaan otentik pada subyek
penelitian ini.
memperoleh data yang lebih mendetil.
Gambaran kebahagiaan pada partisipan
seharusnya bisa lebih kaya akan insight
serta detil-detil. Selain itu, peneliti juga
merasakan kesulitan dalam menggali
kebahagiaan yang lebih dalam dirasakan
oleh subyek. Pada dua subyek terakhir,
peneliti tertolong oleh keterbukaan
mereka dalam menjawab pertanyaan
sehingga kesulitan yang dirasakan tidak
begitu berarti. Namun tentu saja tidak
semua subyek penelitian dapat memiliki
keterbukaan seperti yang dinginkan
peneliti, maka solusi konkrit yang dapat
dilakukan adalah dengan memahami
dan kemudian menerapkan metode
wawancara mendalam secara efektif.
Menurut
Seligman
(2002)
kebahagiaan yang berkualitas adalah
kebahagiaan otentik yang dapat
diperoleh jika seseorang mengetahui
dan menggunakan kekuatan dasar
(yang berupa karakter positif) yang
dimilikinya dan menggunakannya setiap
hari dalam setiap kegiatan. Dalam
penelitian ini, pada awalnya peneliti
juga ingin menggetahui gambaran
kebahagiaan otentik yang dirasakan
subyek dengan cara menggali karakter
positif berupa kekuatan dan kebajikan
yang dimiliki oleh subyek. Namun
setelah mewawancarai dua orang
subyek, peneliti menyadari bahwa
tidak mudah untuk menggali kekuatan
dasar yang dimiliki subyek hanya
melalui wawancara. Sebenarnya, ada
cara lain untuk mengetahui kekuatan
dan kebajikan yang dimiliki subyek,
yaitu melalui kuesioner VIA-Strength.
Peneliti tidak menggunakan kuesioner
tersebut karena jumlah item dalam
kuesioner tersebut sangatlah banyak,
yaitu berjumlah 240 item. Selain itu
tata bahasa dalam kuesioner tersebut
terbilang tidak mudah untuk dipahami,
terutama bagi PSK yang rata-rata tidak
Kesimpulan
Mengenai kebahagiaan pada masa
lalu, semua subyek memiliki masa
lalu pahit yang belum dapat mereka
maafkan, yang kemudian menghalangi
mereka untuk mencapai kelegaan akan
masa lalunya. Hanya dua subyek yang
memiliki emosi positif berupa kepuasan
atas kehidupan yang mereka jalani
dan juga menggambarkan perasaan
bersyukur atas kehidupannya.
Ketiga subyek merasakan kenikmatan
dalam
menjalani
kehidupannya
sekarang. Namun hanya dua subyek
yang mengalami gratifikasi dan dengan
bentuk yang berbeda. Seorang subyek
mengalami gratifikasi sosial sedangkan
seorang lagi merasakan gratifikasi
pikiran. Dua orang subyek tersebut
akan lebih tahan terhadap gangguan
depresi karena hadirnya gratifikasi pada
kegiatannya, bila dibandingkan dengan
subyek yang tidak pernah mengalami
gratifikasi. Selain itu dua subyek
tersebut juga tidak akan merasa dirinya
menjadi manusia depresi di tengah
kekayaan materiil yang mereka miliki
dan kelaparan spiritual.
Mengenai
kebahagiaan
tentang
masa depan, ketiga subyek belum
menunjukkan emosi positif berupa
optimisme akan masa depan. Dapat
228
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
disimpulkan bahwa ketiga subyek akan
kurang tahan terhadap depresi, tidak
lebih baik kinerjanya dan tidak lebih
sehat secara fisik bila dibandingkan
dengan orang yang cenderung optimis.
Secara keseluruhan, setiap subyek
merasakan kebahagiaan terhadap
kehidupan yang dijalaninya. Namun
kebahagiaan
tersebut
memiliki
intensitas yang berbeda. Dua subyek
memiliki kebahagiaan yang relatif lebih
tinggi daripada satu subyek lainnya.
Dua subyek tersebut juga menikmati
pekerjaannya sebagai PSK. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa ketiga subyek
memiliki perasaan dan pikiran positif
akan kehidupan yang dijalaninya,
namun belum memiliki perasaan positif
akan kehidupan yang akan datang.
Selain itu, tidak semua subyek memiliki
emosi positif berupa kepuasan akan
kehidupannya. Hanya dua subyek yang
merasakan kepuasan akan kehidupan
yang dijalaninya.
memasuki lapangan penelitian dan
melakukan kontak personal dengan
subyek penelitian. Salah satu solusi
yang dapat diberikan adalah melatih
kemampuan wawancara agar dapat
menggali lebih dalam terkait dengan
topik penelitian.
Mengingat bahwa tipe penelitian ini
adalah kualitatif, pada dasarnya akan
lebih menarik jika penelitian dapat
dilakukan terhadap beberapa subyek
lagi, yang juga berasal dari tempat
yang berbeda. Dalam penelitian ini,
peneliti hanya berhasil mengumpulkan
subyek yang ketiganya merupakan
PSK kelas bawah yang berdomisili dan
bekerja di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Akan lebih baik jika subyek penelitian
selain diperbanyak yaitu tidak hanya
3 orang, melainkan juga merupakan
PSK yang juga beroperasi di beberapa
tempat prostitusi di Jakarta yang juga
berasal dari kelas yang berbeda. Hal
ini diharapkan dapat memperoleh data
yang lebih kaya terkait dengan topik
penelitian.
Untuk penelitian berikutnya, akan
lebih baik jika digali juga mengenai
kebahagiaan otentik dari PSK, oleh
karena itu kekuatan dan kebajikan
dari para PSK juga harus diketahui
terlebih dahulu. Untuk itu, diperlukan
cara yang lebih tepat untuk menggali
gambaran kekuatan dan kebajikan
yang dimiliki subyek, baik dengan cara
melalui wawancara maupun kuesioner.
Sejalan dengan hal tersebut diharapkan
selanjutnya akan ada pembaruan
mengenai item-item yang ada di
kuesioner VIA-Strengh. Diharapkan
jumlah item menjadi tidak terlalu banyak
dan memiliki kalimat yang lebih mudah
untuk dipahami oleh semua orang dari
berbagai kalangan, termasuk pekerja
seks komersial.
Saran
Terkait dengan metode penelitian,
peneliti masih menggunakan metode
observasi dalam wawancara sebagai
metode pengambilan data tambahan,
bukan observasi murni maupun observasi
sebagai metode pengambilan data.
Ada baiknya jika penelitian berikutnya
mengusahakan agar setidaknya dapat
melakukan observasi murni terhadap
PSK untuk memperoleh data yang akurat
dan dapat diricek kembali antara hasil
wawancara dengan hasil observasi.
Dengan demikian, penggunaan metode
observasi dengan behavioral checklist
atau instrumen sejenis akan semakin
memperkuat data yang diperoleh
melalui metode wawancara.
Selain itu, seorang peneliti kualitatif
harus mempersiapkan dirinya dengan
lebih baik lagi, terutama ketika akan
229
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
SexualityMeeting Your
Basic
Need, New Jersey: Prentice Hall.
Daftar Pustaka
Bachtiar, R. & Purnomo, E. (2007).
Bisnis Prostitusi: Profesi yang
Menguntungkan.
Yogyakarta:
Pinus
Nisbet, R.A. (1961). The Study of Social
Problems. New York: Brace &
World Inc.
Papalia, D.E., Feldman, R.D., & Olds,
S.W. (2004). Human development
(9th ed.). New York: McGraw-Hill.
Carr, A. (2004). Positive Psychology :
The Science of Happiness and
Human Strengths. Hove & New
York : Brunner – Routledge Taylor
& Francis Group.
Rahayu, D.D. (2002). Gambaran
Kesejahteraan Psikologis Pekerja
Seks Komersial Remaja di Panti
Sosial Mulya Jaya. Skripsi tidak
dipublikasikan, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia, Depok.
Csikszentmihalyi, M. (1997). Finding
Flow:
The
Psychology
of
Engagement With Everyday Life,
New York: Basic Books.
Ryff,
Duffy, K.G. & Atwater. E. (2005).
Psychology For Living (8th ed).
New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
C. D. (1996). Psychological
Well Being. Encyclopedia of
Gerontology. Vol. 2. Madison:
Academic Press, Inc.
Seligman,
M.
(2002).
Authentic
Happiness: Using The New Positive
Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfillment,
New York: Free Press.
Hurlock, E. B. (1974). Personality
Development. New Delhi: McGrawHill Publishing Company.
Hurlock, E. B. (1983). Developmental
Psychology: A Life-span Approach
(5th Ed.), Boston: McGraw-Hill.
Shaw, M.E., & Constanzo, P.R. (1985).
Theories of Social Psycology.
International Student Edition.
Singapore: McGraw-Hill.
Jahoda, M. (1958). Current Concepts of
Positive Mental Health. New York:
Basic Books.
Stewart, C.J. & Cash, W.B. (2000).
Interviewing
Principles
and
Practices. USA: McGraw-Hill.
Jones, G.W., Sulistyaningsih. E., & Hull,
T.H. (1997). Pelacuran di Indonesia,
Sejarah dan Perkembangannya.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Surtees, R. (2003). Pekerja Seks
Komersial. Ruth Rosenberg (Ed.).
Jakarta: International Catholic
Migration Commission
Kinsey. C.A. (1963) Sexual Behaviour
in The Human Male. London: W.B.
Saunders Company.
Weinberg. S.K. (1960). Social Problems
in Our Time, A Sociological
Analysis. New Jersey: Prentice
Hall.
McCullough, M.E., & Witvliet, C.V. (2005).
The Psychology of Forgiveness.
C.R. Snyder & Shane J. Lopez
(Ed.). New York: Oxford University
Press.
Miracle, T.S., Miracle, A.W., &
Baumeister, R.F.(2003). Human
230
KEBAHAGIAAN PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL KELAS BAWAH
DI JAKARTA
Christie dan E. Kristi Poerwandari
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstrak
Kehidupan pekerja seks komersial berjalan tidak sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Hal ini menarik peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai kebahagiaan mereka. Peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan teknik wawancara sebagai metode utama dan
observasi sebagai metode tambahan selama wawancara berlangsung.
Pemilihan subyek menggunakan teknik snowball atau berantai dan kemudian
diperoleh tiga subyek yang merupakan PSK kelas bawah. Terhadap data
yang diperoleh, peneliti melakukan analisis intra kasus dan kemudian
dilakukan analisis interkasus. Hasil penelitian menemukan bahwa dua subyek
merasakan kepuasan dalam hidupnya, ketiga subyek merasakan kesenangan
dalam menjalani kehidupannya sekarang dan belum merasa optimis akan
masa depan. Dengan demikian, hampir semua subyek penelitian memiliki
emosi positif kepuasan akan kehidupan yang dijalani, semua subyek memiliki
perasaan dan pikiran positif mengenai kehidupan masa sekarang, namun belum
memiliki pikiran positif akan masa depannya. Untuk penelitian selanjutnya
diharapkan subyek dapat lebih diperbanyak dan diperluas cakupannya,
observasi juga digunakan sebagai metode utama dalam pengambilan data.
Penelitian berikutnya akan lebih baik jika turut menggali karakter positif yang
dimiliki subyek guna mengetahui kebahagiaan otentik subyek.
Kata Kunci: PSK,Kebahagiaan,ekonomi,seks komersial, emosi
buruk oleh masyarakat sekalipun, seperti
pelacur atau pekerja seks komersial.
Pelacuran yang sering disebut
sebagai prostitusi adalah suatu bentuk
hubungan kelamin di luar pernikahan
dengan pola tertentu, yaitu pada
siapapun secara terbuka dan hampir
selalu dengan pembayaran baik untuk
kegiatan persetubuhan maupun kegiatan
seksual lainnya yang memberikan
kepuasan yang diinginkan oleh pihak
pembayar (Bloch, dalam Rahayu,
2002). Singkatnya, pelacuran ditandai
oleh tiga unsur yaitu pembayaran,
Pendahuluan
Setiap orang pasti menginginkan
profesi yang layak untuk memenuhi
keinginan dan mewujudkan cita-citanya.
Ada dua macam pekerjaan yaitu
formal dan non-formal. Untuk dapat
bekerja di sektor formal, dibutuhkan
banyak ketrampilan, kemampuan, dan
juga latar belakang pendidikan yang
mendukung. Sayangnya tidak semua
orang dapat memenuhi berbagai syarat
untuk bersaing di sektor formal dan
ada kalanya mereka mengandalkan
pekerjaan non-formal yang dianggap
219
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
percintaan dengan laki-laki. Tidak
jarang menurut mereka, banyak laki-laki
yang justru hanya menginginkan tubuh
ataupun uang mereka, bukan untuk
mencintai mereka dengan tulus. Selain
itu, tidak sedikit pekerja seks komersial
yang merupakan seorang janda yang
harus menghidupi kebutuhan anaknya
(dalam http://www.gatra.com/2007-0612/versi_cetak.php? id=105263). Salah
satunya adalah Hana (bukan nama
sebenarnya) seorang pekerja seks
komersial yang memiliki seorang anak,
mengaku bahwa selama ini ia menitipkan
anaknya kepada kerabatnya agar ia
bisa mencari uang dengan tenang.
Sebagai pekerjaan yang oleh
masyarakat dianggap bertentangan
dengan nilai-nilai agama dan aturan
sosial, pekerja seks komersial akan
mungkin
mengalami
keterasingan
(May, dalam Jahoda, 1958). Keadaan
tersebut ditandai dengan pengasingan
dari
lingkungan
teman-temannya,
kehilangan pengalaman bermasyarakat
dan merasa takut terhadap orang lain.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
keadaan mental yang negatif akan
dicapai oleh individu yang mengalami
keterasingan. Bagi pekerja seks
komersial, tentu saja hal ini akan
mempengaruhi perkembangan diri dan
kehidupannya pada umumnya.
Dari penjelasan tersebut, pekerja
seks dewasa muda memang dapat
menjalankan tugas perkembangannya,
namun dapat dikatakan bahwa mereka
tidak menjalankannya sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
Pekerjaan yang mereka lakukan
masih dianggap masyarakat tidak
sesuai dengan norma kesusilaan.
Kehidupan rumah tangga yang mereka
jalani pun tidak berjalan seperti
bagaimana kehidupan rumah tangga
perempuan seusianya. Mereka juga
persetubuhan di luar pernikahan, serta
tidak membedakan pilihan (May, dalam
Nisbet, 1961).
Data statistik yang disusun oleh
Departemen Sosial (2000) menyebutkan
bahwa ada 70.781 pekerja seks di
Indonesia. Sedangkan menurut Hull
dan Lim (dalam Surtees, 2003), jumlah
pekerja seks di Indonesia yang dapat
dikatakan lebih realistis adalah antara
140.000 sampai 230.000 jiwa. Angka
tersebut didasarkan pada asumsi
bahwa statistik Departemen Sosial
(2000) hanya mencatat pekerja seks
kelas menengah dan sebagian di kelas
bawah, dan tidak mempunyai data
untuk hampir semua pekerja seks kelas
atas. Usia pekerja seks di Indonesia
bervariasi, dapat berkisar dari bawah
umur sampai setengah baya. Pekerja
seks yang di bawah umur pun banyak
jumlahnya. Walaupun demikian pekerja
seks cenderung perempuan muda
di akhir usia remajanya sampai usia
dua puluhan. Oleh karena itu, peneliti
memfokuskan diri pada pekerja seks
komersial yang berada pada tahap
perkembangan dewasa muda.
Pada usia dewasa muda, seorang
wanita memiliki tugas perkembangan
yang beberapa diantaranya adalah mulai
mencari pekerjaan, memilih pasangan
hidup, belajar untuk hidup dengan
pasangan, bekeluarga, mengasuh anak,
mengatur kegiatan rumah tangga, ikut
berperan sebagai warga negara, dan
menemukan kelompok sosial dengan
minat serupa (Havighurst’s, dalam
Hurlock, 1983).
Dari pengakuan beberapa pekerja
seks di Jakarta (dalam http://groups.
google.co.id/group/smokingcorner/
msg/ 02ac5775d564a9a0?&hl=id&q=k
awin+kontrak+%2C+bentuk+pelacuran
) diketahui bahwa mereka merasakan
kesulitan dalam menjalani hubungan
220
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
berkemungkinan untuk mengalami
keterasingan dari lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, kehidupan pekerja
seks dewasa muda tidak dapat berjalan
seperti layaknya perempuan dewasa
muda pada umumnya.
Menurut Seligman (2002), manusia
selalu disibukkan dengan keinginan
untuk menghilangkan segala sesuatu
yang tidak menyenangkan yang ada
dalam dirinya. Selain itu, Carr (2004)
berpendapat bahwa pada dasarnya
keinginan yang cukup besar dalam
diri manusia ialah keinginan untuk
hidup secara baik, dalam arti semua
proses hidup manusia seperti sekolah,
bekerja, dan menikah dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Selain itu, kebahagiaan adalah
keadaan yang sangat diidamkan setiap
orang dalam rentang kehidupannya
(Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut
tentu saja manusia dengan segala daya
upayanya akan selalu melakukan halhal yang membuatnya bahagia atau
menuntunnya
pada
kebahagiaan.
Menurut Seligman (2002), kebahagiaan
bisa tentang masa lalu, masa sekarang
dan masa depan. Kebahagiaan
masa lalu mencakup kepuasan,
kelegaan, kesuksesan, kebanggaan,
dan kedamaian. Kebahagiaan masa
sekarang mencakup kenikmatan dan
gratifikasi. Sedangkan kebahagian
masa depan mencakup optimisme,
harapan, keyakinan, dan kepercayaan.
Menurut Bachtiar dan Purnomo
(2007), profesi pekerja seks komersial
memiliki
permasalahan
tersendiri,
baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
Pertentangan
antara
permasalahan internal dan eksternal
tersebut
menurut
peneliti
dapat
mempengaruhi kebahagiaan yang
dirasakan oleh pekerja seks komersial.
Seorang perempuan yang memang
sudah memiliki keinginan dalam dirinya
sendiri untuk menekuni pekerjaan
sebagai pekerja seks komersial dapat
dikatakan mungkin akan dapat meraih
kebahagiaan karena mereka menjalani
pekerjaan yang memang benar-benar
mereka inginkan. Berbeda apabila
seorang perempuan merasa terpaksa
oleh keadaan untuk menjalani pekerjaan
sebagai pekerja seks komersial,
kebahagiaan yang mereka rasakan
mungkin akan cenderung lebih rendah.
Weinberg (1960) menyatakan bahwa
pekerja seks komersial cenderung
kurang memiliki penghargaan terhadap
masa lalu ataupun masa yang akan
datang sehingga terkadang membuatnya
merasa bahwa hidup yang dijalaninya
tidak memiliki arti dan tujuan. Hal ini
berkaitan dengan konsep kebahagiaan
dari Seligman (2002). Menurut peneliti,
dimasa lalunya seorang pekerja seks
komersial memiliki permasalahan yang
berbeda-beda yang pada akhirnya
membuat mereka harus menjalani
pekerjaannya. Masa lalunya tersebut
tentu secara subyektif akan dihayati
dengan berbeda-beda bagi setiap
individu. Mengenai masa depannya,
juga perlu untuk diketahui bagaimana
sebenarnya seorang pekerja seks
komersial menghayati masa depannya.
Perempuan yang menjalani kehidupan
sebagai pekerja seks komersial juga
merupakan bagian dari masyarakat.
Mereka mempunyai masa lalu untuk
dikenang, masa depan untuk diraih,
dan masa sekarang untuk dijalankan.
Permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimana gambaran kebahagiaan
yang dirasakan pada wanita dewasa
muda yang menjalani kehidupan
sebagai pekerja seks komersial?”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
metode kualitatif. Penelitian ini pada
akhirnya dilakukan terhadap pekerja
221
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
oleh pemerintah. Lokalisasi ini berbeda
dengan rumah bordil yang cenderung
bertempat di luar lokalisasi dan tidak
diatur oleh pemerintah.
2. Kompleks hiburan: tempat ini
adalah lokalisasi di mana layanan seks
seringkali tersedia selain bentuk-bentuk
hiburan lain. Dalam beberapa kasus,
pekerja seks komersial beroperasi
secara independen sementara dalam
situasi lain layanan seksual tersedia
melalui pihak manajemen tempat
tersebut.
3. Wanita jalanan: mereka ini
adalah pekerja seks komersial yang
menjajakan layanan seks di jalan atau
di tempat terbuka seperti di taman,
stasiun kereta apai, dan sebagainya.
Miracle et.al. (2003) juga membagi
pekerja seks komersial menjadi
tiga kategori utama berdasarkan
lokasi dimana mereka melakukan
pekerjaannya, yaitu wanita panggilan,
pekerja seks di rumah bordil, dan wanita
jalanan.
Sedangkan
berdasarkan
penghasilan setiap bulannya, Hull
(dalam Surtees, 2003) membagi kelas
pekerja seks komersial berdasarkan
penghasilan mereka setiap bulannya,
yaitu:
1.
Kelas Terbawah: Rp 900.000,00
per bulan.
seks komersial kelas bawah di Jakarta
karena ketika penelitian berlangsung
secara
tidak
sengaja
peneliti
memperoleh subyek yang menurut
Hull (dalam Surtees, 2003) merupakan
pekerja seks kelas bawah. 1) Faktor
apa yang melatarbelakangi subyek
menjadi pekerja seks komersial? 2)
Seperti apakah kehidupan yang dijalani
subyek sebagai pekerja seks komersial?
3) Bagaimana penghayatan subyek
mengenai kehidupan yang dijalaninya
sebagai pekerja seks komersial? 4)
Bagaimana gambaran kebahagiaan
masa lalu subyek? 5) Bagaimana
gambaran kebahagiaan masa sekarang
subyek? 6) Bagaimana gambaran
kebahagiaan masa depan subyek?
Pekerja Seks Komersial
Kinsey (1963) menyebutkan bahwa
pelacuran merupakan suatu bentuk
tertentu dari hubungan kelamin di luar
perkawinan, yaitu berhubungan dengan
siapapun secara terbuka dan hampir
selalu dengan pembayaran, baik untuk
persebadanan maupun kegiatan seksual
lainnya yang memberikan kepuasan
pihak pembayar atau pelanggan. Selain
itu, Miracle et al. (2003) menyebutkan
bahwa prostitusi merupakan pertukaran
jasa seksual dengan uang atau harta
lainnya. Bagi Kinsey (1963) perbuatan ini
dilakukan sebagai mata pencaharian.
Surtees (2003) membagi kerja seks
menjadi dua macam yaitu kerja seks
yang lebih langsung dan pekerja seks
tidak langsung. Pekerja seks langsung
adalah mereka yang melakukan bentukbentuk kerja seks terbuka, yaitu:
1. Kompleks rumah bordil resmi
(lokalisasi): tempat ini merupakan
manifestasi yang paling formal dan sah
menurut hukum di dalam sektor seks,
yang terdiri dari sekumpulan tempat
yang dikelola oleh pemilik dan diawasi
2.
Kelas Bawah: Rp 2.250.000,00
per bulan.
3.
Kelas Menengah: Rp 4.500.000,00
- Rp 6.750.000,00 per bulan.
4.
Kelas Atas: Rp 9.000.000,00 - Rp
13.500.000,00 per bulan.
5.
Kelas Tertinggi: Rp 27.000.000,00
per bulan.
Menurut Jones et.al. (1997), biasanya
perempuan yang ingin masuk dalam
bisnis kerja seks adalah perempuan
222
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
berpikir tentang masa depan, dan cara
menjalani masa sekarang. Kebahagiaan
jangka panjang muncul meningkat
sejalan dengan banyaknya emosi positif
yang dialami seseorang pada saat
mengingat masa lalu, menatap masa
mendatang, dan menjalani masa kini.
Emosi positif tentang masa lalu
mencakup
kepuasan,
kelegaan,
kesuksesan,
kebanggaan,
dan
kedamaian. Secara umum, penilaian
manusia akan masa lalunya tercermin
dari penilaian kepuasan manusia dalam
menjalani masa lalunya (Seligman,
2002). ada dua cara untuk membawa
perasaan-perasaan tentang masa lalu
menuju ranah kelegaan dan ranah
kepuasan, yaitu dengan bersyukur
dan memaafkan masa lalu. Kemudian
kebahagiaan masa sekarang mencakup
dua hal yang sangat berbeda, yaitu
kenikmatan (pleasure) dan gratifikasi.
Sedangkan emosi positif tentang
masa depan mencakup keyakinan,
kepercayaan, kepastian, harapan, dan
optimisme. Orang yang optimis percaya
bahwa di masa depan selalu ada
harapan untuk hidup yang lebih baik.
yang ”dipaksa” oleh kondisi lingkungan,
keadaan rumah tangga yang kandas,
adanya kekecewaan karena percintaan
yang gagal, atau kurangnya kesempatan
kerja di pasar kerja. Adanya kebutuhan
yang mendesak untuk mendapatkan
penghasilan untuk membiayai diri
sendiri, keluarga, dan anak-anak juga
merupakan pendorong untuk masuk
dalam kerja seks. Selain itu Bachtiar dan
Purnomo (2007) menambahkan faktor
kemalasan, niat lahir batin, dan faktor
sakit hati akibat perceraian ataupun
percintaan yang gagal, sebagai faktor
yang turut mendorong perempuan
menjadi PSK.
Kebahagiaan
Csikszentmihalyi (1997) menyebutkan
bahwa kebahagiaan adalah prototipe
dari emosi positif. Menurut Myers dan
Diener (dalam Duffy dan Atwater, 2005)
kebahagiaan merujuk pada banyaknya
pikiran positif tentang kehidupan yang
dijalani seseorang. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, Carr (2004)
menyatakan bahwa kebahagiaan adalah
keadaan psikologis yang positif yang
terlihat dari tingginya tingkat kepuasan
hidup, tingkat perasaan positif, dan
rendahnya tingkat perasaan negatif.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
tersebut peneliti membentuk kesimpulan
bahwa kebahagiaan adalah keadaan
psikologis yang positif dimana seseorang
memiliki emosi positif berupa kepuasan
hidup dan juga pikiran dan perasaan
yang positif terhadap kehidupan yang
dijalaninya.
Menurut Seligman (2002) emosi positif
bisa tentang masa lalu, masa sekarang,
atau masa depan. Dengan mempelajari
ketiga
macam
kebahagiaan
ini,
seseorang bisa menggerakkan emosi
ke arah yang positif dengan mengubah
perasaan tentang masa lalu, cara
Metode
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Prosedur
pemilihan partisipan menggunakan
teknik snowball atau berantai.
Partisipan
Penelitian ini melibatkan 3 subjek yang
merupakan pekerja seks komersial kelas
bawah di Jakarta yang berusia 20-40
tahun dan juga berpenghasilan kurang
dari Rp.2.250.000,00 tiap bulannya.
Pengukuran
Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara berdasarkan
pedoman
wawancara
yang
menggabungkan pola topical sequence
223
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
memiliki anak, sama-sama tidak ingin
anaknya mengetahui pekerjaannya dan
mengikuti jejak mereka sebagai PSK.
Ketiga subyek saat ini juga sedang
menjalani
hubungan
percintaan.
Mereka tidak ingin pacar atau suaminya
melarang dirinya menjadi PSK. Dua
subyek menjalani pekerjaannya dengan
sepengetahuan pacar atau suaminya,
sedangkan satu subyek menutupi
pekerjaan dari pacarnya. Status mereka
sebagai PSK dianggap sebagai salah
satu penghambat bagi kelancaran
hubungan percintaan mereka.
Setiap subyek menyadari bahwa
pekerjaannya bukan pekerjaan yang
baik dan merasa dirinya banyak memiliki
dosa. Namun, keinginan untuk menjalani
pekerjaan lain hanya dirasakan oleh
satu subyek. Perasaan berdosa, bosan,
dan ingin bertobat tidak dapat membuat
mereka berhenti dari pekerjaannya.
Karena tidak ada lagi pekerjaan lain yang
berpenghasilan sama besarnya dengan
yang didapatkan sekarang, ketiganya
memandang pekerjaannya sekarang
sebagai satu-satunya pekerjaan yang
bisa mereka lakukan.
Mengenai kebahagiaan pada masa
lalu, semua subyek memiliki masa
lalu pahit yang belum dapat mereka
maafkan, yang kemudian menghalangi
mereka untuk mencapai kelegaan akan
masa lalunya. Dua subyek memiliki
emosi positif berupa kepuasan atas
kehidupan yang mereka jalani dan juga
menggambarkan perasaan bersyukur
atas kehidupannya. Kepuasan yang
dirasakan dua subyek tersebut mungkin
secara subyektif akan menjadi maksimal
jika keduanya sudah memiliki kelegaan
akan masa lalunya, yaitu dengan
cara memaafkan masa lalu mereka.
Sedangkan satu subyek lainnya
belum merasakan kepuasan terhadap
kehidupan yang dijalaninya dan juga
dan time sequence (Stewart dan Cash,
2000). Observasi juga dilakukan sebagai
metode tambahan. Hasil wawancara
ditulis dalam bentuk verbatim kemudian
dilakukan pemadatan fakta. Fakta
yang terkumpul kemudian dianalisa
berdasarkan teori yang digunakan
dalam penelitian.
Hasil
Ada empat hal yang melatarbelakangi
subyek dalam menjalani pekerjaan
sebagai PSK, antara lain terdesak
kebutuhan ekonomi, latar belakang
pendidikan yang rendah, sakit hati
dengan kehidupan di masa lalu, dan juga
adanya pihak ketiga yang menawarkan
solusi. Pada salah satu subyek ada hal
yang berbeda dari subyek lainnya, awal
mulanya menjadi PSK karena dirinya
merupakan
korban
perdagangan
perempuan di Kalimantan.
Masalah yang sering dihadapi
oleh ketiga subyek adalah razia,
pertengkaran dengan sesama rekan
PSK karena perebutan tamu, masalah
yang berhubungan dengan tamu seperti
tidak dibayar dan diracuni tamu. Ketika
sedang memberikan jasa seksual pada
tamunya, mereka merasa senang karena
mendapat uang dan juga sekaligus
sedih. Semua subyek menyadari dan
merasa takut akan risiko penyakit
menular seksual. Dua subyek bersikap
seolah-olah tidak peduli, sedangkan
satu subyek memandangnya sebagai
resiko dari pekerjaannya. Dua orang
subyek meyakini obat antibiotik dapat
melindungi mereka dari penyakit.
Karena memiliki masalah dengan
keluarganya, sampai sekarang masingmasing subyek memilih untuk tidak
berhubungan lagi dengan keluarga.
Hanya satu subyek yang merasakan
penyesalan karena terasing dari
keluarganya.
Dua
subyek
yang
224
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
pada hubungan interpersonal yang
mereka merasakan adanya kepuasan,
merasa memiliki kedekatan dan
komitmen. Dalam penelitian ini dapat
dikatakan bahwa ketiga subyek belum
memaafkan perbuatan orang tuanya
karena mereka merasa belum puas
terhadap
hubungan
interpersonal
mereka dengan orang tua. Mereka juga
merasa tidak memiliki kedekatan dan
komitmen terhadap orang tua mereka.
Mereka justru tidak menganggap orang
tua mereka memiliki peran dalam
kehidupan mereka sekarang. Hal inilah
yang dapat dikatakan sebagai salah satu
penyebab mereka belum memaafkan
masa lalunya.
Diketahui pula bahwa salah satu
subyek belum merasakan kepuasan
akan kehidupan yang dijalaninya.
Hal tersebut dapat dikatakan terkait
dengan penerimaan dirinya sebagai
seorang PSK. Menurut Ryff (1996)
individu mempunyai penerimaan diri
yang rendah apabila ia merasa tidak
puas dengan dirinya, merasa kecewa
dengan kehidupan yang telah dijalani,
mengalami kesulitan dengan sejumlah
kualitas pribadinya, dan ingin menjadi
individu yang berbeda dengan dirinya
saat ini. Dalam hal ini, diantara ketiga
subyek hanya Lani yang menunjukkan
keinginan untuk mencari pekerjaan
lain, dan tidak menikmati pekerjaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa subyek tersebut tidak memiliki
penerimaan diri akan kehidupan yang
dijalani, khususnya mengenai pekerjaan
yang dilakukannya.
Kemudian, pada penelitian ini diketahui
bahwa ketiga subyek cenderung belum
merasa optimis akan masa depan.
Optimisme mengacu pada harapan
seseorang mengenai masa depannya
(Seligman, 2002). Orang yang optimis
adalah orang yang mengharapkan
terlihat belum memiliki perasaan
bersyukur atas kehidupannya selama
ini
Ketiga subyek merasakan kenikmatan
dalam menjalani kehidupannya. Semua
subyek merasakan kenikmatan ragawi
berupa uang hasil bekerja, sedangkan
dua subyek merasakan kenikmatan
yang lebih tinggi dengan bentuk yang
berbeda-beda Penelitian ini juga
menggambarkan bahwa tidak semua
subyek mengalami gratifikasi atau flow
dalam kegiatannya. Hanya dua subyek
yang mengalami gratifikasi dan dengan
bentuk yang berbeda. Seorang subyek
mengalami gratifikasi sosial sedangkan
seorang lagi merasakan gratifikasi
pikiran.
Semua subyek mempunyai rencana
yang berbeda-beda untuk masa
depannya. Seorang subyek memiliki
keinginan untuk meninggalkan statusnya
sebagai PSK dan mencari pekerjaan
baru, sedangkan dua subyek belum
memiliki keinginan untuk mengubah
pekerjaannya. Dua orang subyek
juga menyatakan keinginannya untuk
menikah dengan pacarnya. Mengenai
kebahagiaan tentang masa depan,
ketiga subyek tidak menunjukkan
emosi positif keyakinan ketika berbicara
tentang masa depan. Dikatakan bahwa
ketiga subyek merupakan orang yang
cenderung pesimis dalam menghadapi
kehidupannya di masa depan. Mereka
tidak yakin bahwa kejadian baik akan
terjadi di kehidupan mereka di masa
depan.
Diskusi
Ketiga subyek belum memaafkan
masa lalunya yang terkait dengan
hubungannya dengan orang tua dan juga
mengenai hubungannya dengan laki-laki.
Menurut McCullough dan Witvliet (2005)
inidividu lebih cenderung memaafkan
225
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
menurut peneliti alasan tersebut
tidaklah sepenuhnya benar. Mereka
mungkin menyadari bahwa pekerjaan
mereka bukanlah pekerjaan yang baik
untuk dijalankan, mereka juga mungkin
sudah cukup banyak mengalami manis
dan pahitnya pekerjaan yang mereka
jalani. Karena pekerjaan tersebut
merupakan satu-satunya yang bisa
mereka lakukan, maka mereka akan
membentuk sikap yang membenarkan
seluruh perbuatan mereka termasuk
mengenai pada saat mereka melakukan
pekerjaannya. Pembenaran tersebut
mereka lakukan agar mereka merasa
nyaman dalam menjalani kehidupannya.
Pada akhirnya, dengan memiliki sikap
tersebut akan membantu mereka untuk
meraih kebahagiaan dalam menjalani
kehidupannya.
Berdasarkan penelitian juga diketahui
bahwa ketiga subyek menurut Weinberg
(1960) cenderung kurang memiliki
penghargaan terhadap masa lalu
ataupun masa yang akan datang. Bagi
Weinberg hal ini terkadang membuat
mereka merasa bahwa hidup yang
dijalaninya tidak memiliki arti dan
tujuan. Ketiga subyek penelitian samasama belum memiliki pemaafan pada
apa yang terjadi di masa lalu mereka,
khusunya mengenai hubungan mereka
dengan keluarga. Selain itu mereka
juga belum merasa optimis dalam
menjalani kehidupannya ke depan.
Oleh karena itu, menurut Weinberg
untuk menghindari keadaan ini biasanya
seorang PSK mencari pelarian ke agama
yang dilakukannya sebagai sebuah
pertahanan atau pembenaran. Pada
ketiga subyek memang terlihat adanya
sebuah sikap pembenaran, namun
hal tersebut tidak memiliki hubungan
dengan agama yang dianutnya. Dengan
pekerjaan yang mereka rasakan sudah
banyak mengandung dosa, dua orang
kejadian yang baik terjadi pada mereka.
Dapat dikatakan bahwa ketiga subyek
penelitian ini tidak memiliki harapan
yang baik akan kehidupan mereka di
masa mendatang. Akan tetapi ketika
kita memahami kehidupan yang mereka
jalani sekarang, sebenarnya dapat
dikatakan bahwa harapan mereka
tersebut realistis dengan kehidupan
yang mereka jalani sekarang. Menurut
Hurlock (1974) harapan yang realistis
bisa timbul bila individu menentukan
sendiri harapannya yang disesuaikan
dengan
pemahaman
mengenai
kemampuannya, ia juga memahami
keterbatasan dan kekuatan dirinya
dalam mencapai harapan tersebut. Jadi,
ketika ketiga subyek penelitian memiliki
harapan, sepertinya mereka telah
mempertimbangkan kemampuan dirinya
dalam mencapai harapan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa subyek
penelitian tidak mampu untuk berharap
banyak terhadap kehidupannya di
masa depan karena mereka juga
mempertimbangkan kehidupan yang
mereka jalani sekarang.
Menurut Weinberg (1960), dampak
kerja seks yang cukup merusak
bagi pekerjanya adalah sikap dan
hubungan sosial antara pekerja seks
dengan lingkungannya yang kemudian
mempengaruhi identitas diri yang
dimiliki pekerja seks tersebut.. Dalam
penelitian ini terlihat bahwa ketiga
subyek memiliki kecenderungan untuk
menerima atau mengembangkan sikap
yang tidak benar dan merusak terhadap
dirinya sendiri. Mereka seolah-olah
sudah tidak peduli dengan dosa, tidak
takut akan kehidupan setelah mati dan
sebagainya. Hal ini menurut Weinberg
dapat mungkin terjadi karena label yang
diberikan oleh masyarakat terhadap
perempuan yang berprofesi sebagai
pekerja seks komersial. Namun
226
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
wawancara tidak secara detail dan
mendalam, juga seringkali harus
dilakukan probing untuk mendapatkan
jawaban yang dibutuhkan oleh peneliti.
Sedangkan subjek yang cenderung
ekstrovert seringkali mengungkapkan
jawaban terlalu banyak sehingga
seringkali pernyataan yang terlontar
melenceng dari pertanyaan utama.
Diener, et.al (dalam Carr, 2004)
mengatakan bahwa orang dengan profil
kepribadian yang berbeda memiliki
tingkat kebahagiaan yang berbeda pula.
Menurut peneliti, dari hasil wawancara
dan observasi terlihat bahwa dua subyek
memiliki kepribadian yang paling terbuka
bila dibandingkan satu subyek lainnya.
Mereka orang yang sangat terbuka
dengan segala pertanyaan. Terutama
salah satu dari dua subyek tersebut
selalu terlihat kesungguhannya dalam
menjawab pertanyaan. Mungkin karena
itulah kedua subyek tersebut memiliki
tingkat kebahagiaan yang relatif lebih
tinggi bila dibandingkan dengan satu
subyek lainnya.
Dari penelitian juga terlihat bahwa
dua subyek mendapatkan kesenangan
dari hubungannya dengan orang-orang
terdekatnya. Satu subyek merasa
senang karena kehadiran anak-anak
dan juga pacarnya. Satu subyek
lain juga memperoleh gratifikasi dari
kegiatan yang berhubungan dengan
suami dan teman-teman seprofesinya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa kebahagiaan yang dirasakan
setiap subyek memiliki hubungan
dengan orang-orang terdekatnya atau
significant others. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa significant others
memiliki peran terhadap kebahagiaan
yang dirasakan subyek.
Peneliti merasa masih kurang baik
dalam melakukan probing kepada
partisipan penelitian untuk dapat
subyek justru merasa bahwa akan siasia jika dirinya tetap menjalankan ibadah
agama sesuai yang dianutnya. Bagi
mereka hal tersebut tidak akan mungkin
dapat menghapus dosa mereka yang
memang sudah memuncak. Oleh
karena itu, pernyataan Weinberg belum
sepenuhnya sesuai dengan fakta yang
peneliti dapat pada penelitian ini.
Ketiga subyek merasa bahagia dalam
menjalani kehidupannya, padahal dapat
dikatakan kehidupan yang mereka
jalani memiliki perbedaan yang cukup
bisa
mempengaruhi
kebahagiaan
yang mereka rasakan. Kehidupan
yang mereka jalani dapat dikatakan
cukup keras dan jauh berbeda dengan
kehidupan
perempuan
seusianya.
Ketiga
subyek
mungkin
sudah
mengalami mati rasa akan apapun yang
terjadi pada kehidupannya, sehingga
mereka pun merasa senang-senang
saja dalam menjalani kehidupannya.
Selain itu, sekarang ini mereka merasa
bahagia karena menurut peneliti secara
kebetulan mereka hidup di lingkungan
yang mereka persepsikan aman untuk
menjalani kehidupannya. Dua subyek
tinggal di lingkungan yang memang
merupakan
lingkungan
dimana
perempuan dengan profesi sepertinya
hidup, sedangkan satu subyek lainnya
menyembunyikan identitasnya agar
bisa merasakan keamanan dalam
menjalani kehidupannya. Keadaan ini
pulalah yang membuat keterasingan
yang mereka alami tidak memiliki
dampak yang begitu besar terhadap
kehidupannya secara keseluruhan.
Kepribadian
subjek
dapat
mempengaruhi kedalaman wawancara.
Hal ini dapat terlihat dari perbedaan
kedalaman informasi antara subjek
yang satu dengan subjek yang lainnya.
Subjek yang mempunyai kecenderungan
introvert mengungkapkan jawaban
227
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
memiliki latar belakang pendidikan yang
tinggi. Peneliti mengkhawatirkan subyek
penelitian akan merasakan kesulitan dan
menjadi bosan ketika mengisi kuesioner
tersebut, atau bahkan menolak untuk
mengisi kuesioner tersebut. Lalu
kemudian keadaan tersebut justru akan
mempengaruhi proses wawancara yang
akan dilakukan. Oleh karena itu pada
akhirnya peneliti memutuskan untuk
tidak menggali bagaimana gambaran
kebahagiaan otentik pada subyek
penelitian ini.
memperoleh data yang lebih mendetil.
Gambaran kebahagiaan pada partisipan
seharusnya bisa lebih kaya akan insight
serta detil-detil. Selain itu, peneliti juga
merasakan kesulitan dalam menggali
kebahagiaan yang lebih dalam dirasakan
oleh subyek. Pada dua subyek terakhir,
peneliti tertolong oleh keterbukaan
mereka dalam menjawab pertanyaan
sehingga kesulitan yang dirasakan tidak
begitu berarti. Namun tentu saja tidak
semua subyek penelitian dapat memiliki
keterbukaan seperti yang dinginkan
peneliti, maka solusi konkrit yang dapat
dilakukan adalah dengan memahami
dan kemudian menerapkan metode
wawancara mendalam secara efektif.
Menurut
Seligman
(2002)
kebahagiaan yang berkualitas adalah
kebahagiaan otentik yang dapat
diperoleh jika seseorang mengetahui
dan menggunakan kekuatan dasar
(yang berupa karakter positif) yang
dimilikinya dan menggunakannya setiap
hari dalam setiap kegiatan. Dalam
penelitian ini, pada awalnya peneliti
juga ingin menggetahui gambaran
kebahagiaan otentik yang dirasakan
subyek dengan cara menggali karakter
positif berupa kekuatan dan kebajikan
yang dimiliki oleh subyek. Namun
setelah mewawancarai dua orang
subyek, peneliti menyadari bahwa
tidak mudah untuk menggali kekuatan
dasar yang dimiliki subyek hanya
melalui wawancara. Sebenarnya, ada
cara lain untuk mengetahui kekuatan
dan kebajikan yang dimiliki subyek,
yaitu melalui kuesioner VIA-Strength.
Peneliti tidak menggunakan kuesioner
tersebut karena jumlah item dalam
kuesioner tersebut sangatlah banyak,
yaitu berjumlah 240 item. Selain itu
tata bahasa dalam kuesioner tersebut
terbilang tidak mudah untuk dipahami,
terutama bagi PSK yang rata-rata tidak
Kesimpulan
Mengenai kebahagiaan pada masa
lalu, semua subyek memiliki masa
lalu pahit yang belum dapat mereka
maafkan, yang kemudian menghalangi
mereka untuk mencapai kelegaan akan
masa lalunya. Hanya dua subyek yang
memiliki emosi positif berupa kepuasan
atas kehidupan yang mereka jalani
dan juga menggambarkan perasaan
bersyukur atas kehidupannya.
Ketiga subyek merasakan kenikmatan
dalam
menjalani
kehidupannya
sekarang. Namun hanya dua subyek
yang mengalami gratifikasi dan dengan
bentuk yang berbeda. Seorang subyek
mengalami gratifikasi sosial sedangkan
seorang lagi merasakan gratifikasi
pikiran. Dua orang subyek tersebut
akan lebih tahan terhadap gangguan
depresi karena hadirnya gratifikasi pada
kegiatannya, bila dibandingkan dengan
subyek yang tidak pernah mengalami
gratifikasi. Selain itu dua subyek
tersebut juga tidak akan merasa dirinya
menjadi manusia depresi di tengah
kekayaan materiil yang mereka miliki
dan kelaparan spiritual.
Mengenai
kebahagiaan
tentang
masa depan, ketiga subyek belum
menunjukkan emosi positif berupa
optimisme akan masa depan. Dapat
228
Christie dan E. Kristi Poerwandari: Kebahagiaan Pada Pekerja Seks
disimpulkan bahwa ketiga subyek akan
kurang tahan terhadap depresi, tidak
lebih baik kinerjanya dan tidak lebih
sehat secara fisik bila dibandingkan
dengan orang yang cenderung optimis.
Secara keseluruhan, setiap subyek
merasakan kebahagiaan terhadap
kehidupan yang dijalaninya. Namun
kebahagiaan
tersebut
memiliki
intensitas yang berbeda. Dua subyek
memiliki kebahagiaan yang relatif lebih
tinggi daripada satu subyek lainnya.
Dua subyek tersebut juga menikmati
pekerjaannya sebagai PSK. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa ketiga subyek
memiliki perasaan dan pikiran positif
akan kehidupan yang dijalaninya,
namun belum memiliki perasaan positif
akan kehidupan yang akan datang.
Selain itu, tidak semua subyek memiliki
emosi positif berupa kepuasan akan
kehidupannya. Hanya dua subyek yang
merasakan kepuasan akan kehidupan
yang dijalaninya.
memasuki lapangan penelitian dan
melakukan kontak personal dengan
subyek penelitian. Salah satu solusi
yang dapat diberikan adalah melatih
kemampuan wawancara agar dapat
menggali lebih dalam terkait dengan
topik penelitian.
Mengingat bahwa tipe penelitian ini
adalah kualitatif, pada dasarnya akan
lebih menarik jika penelitian dapat
dilakukan terhadap beberapa subyek
lagi, yang juga berasal dari tempat
yang berbeda. Dalam penelitian ini,
peneliti hanya berhasil mengumpulkan
subyek yang ketiganya merupakan
PSK kelas bawah yang berdomisili dan
bekerja di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Akan lebih baik jika subyek penelitian
selain diperbanyak yaitu tidak hanya
3 orang, melainkan juga merupakan
PSK yang juga beroperasi di beberapa
tempat prostitusi di Jakarta yang juga
berasal dari kelas yang berbeda. Hal
ini diharapkan dapat memperoleh data
yang lebih kaya terkait dengan topik
penelitian.
Untuk penelitian berikutnya, akan
lebih baik jika digali juga mengenai
kebahagiaan otentik dari PSK, oleh
karena itu kekuatan dan kebajikan
dari para PSK juga harus diketahui
terlebih dahulu. Untuk itu, diperlukan
cara yang lebih tepat untuk menggali
gambaran kekuatan dan kebajikan
yang dimiliki subyek, baik dengan cara
melalui wawancara maupun kuesioner.
Sejalan dengan hal tersebut diharapkan
selanjutnya akan ada pembaruan
mengenai item-item yang ada di
kuesioner VIA-Strengh. Diharapkan
jumlah item menjadi tidak terlalu banyak
dan memiliki kalimat yang lebih mudah
untuk dipahami oleh semua orang dari
berbagai kalangan, termasuk pekerja
seks komersial.
Saran
Terkait dengan metode penelitian,
peneliti masih menggunakan metode
observasi dalam wawancara sebagai
metode pengambilan data tambahan,
bukan observasi murni maupun observasi
sebagai metode pengambilan data.
Ada baiknya jika penelitian berikutnya
mengusahakan agar setidaknya dapat
melakukan observasi murni terhadap
PSK untuk memperoleh data yang akurat
dan dapat diricek kembali antara hasil
wawancara dengan hasil observasi.
Dengan demikian, penggunaan metode
observasi dengan behavioral checklist
atau instrumen sejenis akan semakin
memperkuat data yang diperoleh
melalui metode wawancara.
Selain itu, seorang peneliti kualitatif
harus mempersiapkan dirinya dengan
lebih baik lagi, terutama ketika akan
229
JPS VoL. 14 No. 03 September 2008
SexualityMeeting Your
Basic
Need, New Jersey: Prentice Hall.
Daftar Pustaka
Bachtiar, R. & Purnomo, E. (2007).
Bisnis Prostitusi: Profesi yang
Menguntungkan.
Yogyakarta:
Pinus
Nisbet, R.A. (1961). The Study of Social
Problems. New York: Brace &
World Inc.
Papalia, D.E., Feldman, R.D., & Olds,
S.W. (2004). Human development
(9th ed.). New York: McGraw-Hill.
Carr, A. (2004). Positive Psychology :
The Science of Happiness and
Human Strengths. Hove & New
York : Brunner – Routledge Taylor
& Francis Group.
Rahayu, D.D. (2002). Gambaran
Kesejahteraan Psikologis Pekerja
Seks Komersial Remaja di Panti
Sosial Mulya Jaya. Skripsi tidak
dipublikasikan, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia, Depok.
Csikszentmihalyi, M. (1997). Finding
Flow:
The
Psychology
of
Engagement With Everyday Life,
New York: Basic Books.
Ryff,
Duffy, K.G. & Atwater. E. (2005).
Psychology For Living (8th ed).
New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
C. D. (1996). Psychological
Well Being. Encyclopedia of
Gerontology. Vol. 2. Madison:
Academic Press, Inc.
Seligman,
M.
(2002).
Authentic
Happiness: Using The New Positive
Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfillment,
New York: Free Press.
Hurlock, E. B. (1974). Personality
Development. New Delhi: McGrawHill Publishing Company.
Hurlock, E. B. (1983). Developmental
Psychology: A Life-span Approach
(5th Ed.), Boston: McGraw-Hill.
Shaw, M.E., & Constanzo, P.R. (1985).
Theories of Social Psycology.
International Student Edition.
Singapore: McGraw-Hill.
Jahoda, M. (1958). Current Concepts of
Positive Mental Health. New York:
Basic Books.
Stewart, C.J. & Cash, W.B. (2000).
Interviewing
Principles
and
Practices. USA: McGraw-Hill.
Jones, G.W., Sulistyaningsih. E., & Hull,
T.H. (1997). Pelacuran di Indonesia,
Sejarah dan Perkembangannya.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Surtees, R. (2003). Pekerja Seks
Komersial. Ruth Rosenberg (Ed.).
Jakarta: International Catholic
Migration Commission
Kinsey. C.A. (1963) Sexual Behaviour
in The Human Male. London: W.B.
Saunders Company.
Weinberg. S.K. (1960). Social Problems
in Our Time, A Sociological
Analysis. New Jersey: Prentice
Hall.
McCullough, M.E., & Witvliet, C.V. (2005).
The Psychology of Forgiveness.
C.R. Snyder & Shane J. Lopez
(Ed.). New York: Oxford University
Press.
Miracle, T.S., Miracle, A.W., &
Baumeister, R.F.(2003). Human
230