Perbedaan PWB pada wanita yang bekerja d

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA WANITA
YANG BEKERJA DI SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR
INDUSTRI
Lale Justin Amelinda Elizar, Diah Karmiyati, dan Tri Muji Ingarianti
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
justin.elizar@gmail.com
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan dan beban
pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological
well-being) dari wanita yang bekerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan psychological well-being pada wanita yang
bekerja di sektor pendidikan dan sektor industri. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan skala psychologycal well-being
sebagai alat pengumpulan data. Jumlah subjek penelitian adalah 200
orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perrbedaan
yang signifikan antara psychological well-being wanita yang bekerja di
sektor pendidikan dengan wanita yang bekerja di sektor industri.
Kata Kunci:

psychological well-being,
pendidikan, sektor industri


wanita

bekerja,

sektor

Many studies have shown that the type of work and workload can affect
the psychological well-being. The purpose of this study is to determine
differences in psychological well-being of women who work in the
educaion sector and the idustrial sector. This research is a quantitative
study of psychological well-being scale as data colection. The number of
subject was 200 people. The result of this studi indicate that no
significant difference between psychological well-being women who
worked in the education sector with a women who worked in the
industrial sector.
Keywords:

psychological well-being, working women, education
sector, industrial sector


Wanita Indonesia di era globalisasi merupakan wanita yang mandiri. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran pentingnya pendidikan bagi perempuan, maka semakin
tinggi pula tingkat pendidikan yang dicapai oleh wanita di Indonesia. Di lingkungan
kerja pun wanita tak kalah dengan laki-laki, wanita kini tidak hanya bekerja sebagai
buruh produksi atau tenaga kerja bergaji rendah, tetapi sudah banyak juga yang telah
menjadi wanita yang sukses dan menjadi pempinan sebuah organisasi baik itu

1

2

organisasi profit mapun non profit. Wanita ingin bekerja dikarenakan pekerjaan
memberikan sesuatu bagi dirinya, bukan hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga
dari segi aktualisasi diri, memberikan kebanggaan bagi diri sendiri dan keluarga,
menambah wawasan dan pengalaman. Kebanyakan dari wanita dengan tingkat
pendidikan yang tinggi mengkombinasikan antara karir dan keluarga (Fitzgerald &
Rounds, 1994; Hoffnung, 1993; Novack & Novack, 1996, dalam Matlin, 2004).
Pekerjaan-pekerjaan yang sering kali didominasi oleh wanita adalah pekerjaan yang
bersifat feminim, misalnya pengajar, perawat, penjual makanan, petugas
administrasi, sekretaris, akuntan dan sejenisnnya. Akan tetapi bukan berarti wanita

juga tidak bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki, sekarang sudah
banyak wanita yang mengerjakan pekerjaan yang dahulunya didominasi oleh lakilaki seperti kepala perusahaan, manajer, pemimpin organisasi, bahkan kepala negara.
Dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, setiap perusahaan yang
memperkerjakan tenaga kerja, 83 diantaranya adalah wanita. Wanita merupakan
elemen penting dalam industri-industri berorientasi di kawasan Asia. Sekitar 60
sampai 80 persen industri berorientasi ekspor seperti pabrik tekstil dan garmen
dikuasai wanita (waspada.co.id, 2008, 28 Februari). Sebuah survey yang
dikemukakan oleh kompas.com (2012, 12 Maret) menyatakan bahwa perusahaan
dengan sekitar 19-44 persen bos perempuan ternyata mampu mendapatkan laba
sekitar 26 persen lebih banyak daripada perusahaan yang memiliki bos perempuan
sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa sepak terjang para wanita di bidang industri
tidak diragukan lagi. Mereka mampu bersaing dengan para pekerja laki-laki, bahkan
menjadi lebih baik dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Namun dibalik kesuksesan
tersebut, tidak dipungkiri bahwa masih terjadi diskriminasi pada wanita dalam
bidang industri, seperti yang diuraikan oleh kompasiana.com (2012, 24 April),
terdapat banyak bentuk diskriminasi yang dialami wanita, seperti : (a) recruitment,
berupa pengumuman kerja yang mencari tenga kerja wanita yang belum menikah,
siap tidak menikah selama kontrak, berpenampilan menarik dan sebagainya. (b)
kesempatan menduduki jabatan berbeda antara laki-laki dan perempuan, (c) sulitnya
wanita dalam menerima cuti haid, cuti hamil, dan pembayaran upah yang terkadang

bermasalah pada saat cuti tersebut, (d) penggajian kepada wanita yang masih lajang
disamakan dengan wanita yang sudah menikah, sementara pekerja pria dibedakan
antara yang sudah menikah dan yang belum menikah, (e) perbedaan waktu pensiun
antara laki-laki dan perempuan, dan adanya pemberhentian kerja jika pekerja wanita
menikah, hamil atau bersalin.
Pekerja di sektor pendidikan berarti seorang pengajar yang tugasnya adalah
mendidik, melatih, mengajar, membimbing, megarahkan, dan mengevaluasi peserta
didik, serta melakukan penelitian dan mengabdi pada masyarakat. Seorang yang
bekerja di bidang pendidikan di mata masyarakat dipandang sebagai seorang yang

3

berpendidikan, dan memiliki intelektualitas tinggi. Nasib tenaga pendidik di
Indonesia tidak seindah anggapan masyarakat terhadap mereka. Para pekerja di
sektor pendidikan ini sering terabaikan kesejahteraannya, mulai dari fasilitas hingga
insentif atau gaji yang mereka dapatkan. Belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintah
yang kerap kali membuat mereka bingung bahkan dirugikan, karena selalu berubahubah dan tidak jelas. Seperti yang disebutkan mentalhealth.com (2011, 24 Desember)
guru termasuk dalam urutan keenam dari 10 pekerjaan yang beresiko tinggi depresi,
hal ini dikarenakan tekanan dalam bekerja datang dari berbagai pihak mulai dari
anak-anak, orang tua atau wali dan pihak sekolah itu sendiri. Mereka memiliki tujuan

dan keinginan masing-masing. Hal ini yang sering membuat seseorang yang bekerja
sebagai guru menjadi bingung. Walaupun begitu mereka tetap melaksanakan tugas
mereka sebagai seorang pendidik, karena masa depan anak bangsa berada di tangan
mereka.
Ryan dan Deci (Vallerand, 2012) mengemukakan terdapat dua pendekatan mengenai
well being, pendekatan pertama disebut sebagai hedonic well-being, didefinisikan
sebagai kebahagiaan seseorang secara menyeluruh terhadap hidupnya, sedangkan
pendekatan yang kedua yaitu eudaimonic well-being lebih terfokus pada realisasi diri
dan pertumbuhan pribadi. Waterman (Ryff, 1989) berpendapat bahwa terjemahan
menunjukkan sebuah kesetaraan antara eudaimonism dan hedonism yang kemudian
menjadi bertentangan karena perbedaan penting yang diciptakan oleh orang Yunani,
yaitu antara pemuasan keinginan yang benar dan keinginan yang salah. Dari
alternatif perspektif ini, eudaimonia lebih tepat didefinisikan sebagai perasaan yang
menyertai perilaku yang searah dan konsisten dengan potensi seseorang yang
sesungguhnya. Dalam perkembangannya hedonic well-being kemudian mengacu
kepada subjective well-being sedangkan eudaimonic well-being mengacu kepada
psychological well-being.
Psychological well-being merupakan suatu variabel psikologis yang mengukur
tentang kondisi sejahtera (well being) seorang individu dalam hidupnya (Ryff, 1989).
Psychological well-being digambarkan sebagai kualitas hidup seseorang yang

didalamnya termasuk kebahagiaan, kedamaian, pemenuhan keinginan dan kepuasan
hidup (Srimathi and Kumar, 2010). Psychological well-being merujuk pada perasaan
seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh
individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan
mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif
sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup
dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Tingkat
psychological well-being seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif
yang terjadi dalam hidup orang tersebut (Ryff, 1989). Berarti semakin tinggi tingkat
pemungsian positif seseorang maka semakin tinggi tingkat psychological well-being

4

seseorang tersebut, begitu juga sebaliknya. Individu yang memiliki psychological
well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi
emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat
menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan
orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang
lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan
mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Terdapat enam dimensi atau aspek dalam psychological well-being (Ryff, 1989),
yaitu penerimaan diri (self acceptance) hubungan yang baik dengan orang lain
(positive relation with others), otonomi (autonomy), kemampuan idividu untuk
menguasai lingkungannya (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life),
dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Ryff dan Singer (1996) menyebutkan
bahwa terdapat faktor-faktor sosiodemografik yang mempengaruhi psychological
well-being yaitu usia, jenis kelamin, status sosial dan budaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya psychological well-being pada pekerja
yaitu dukungan sosial, faktor religiusitas, faktor kepribadian dan faktor pengalaman
hidup ( Rahmiyanti, 2010). Studi klasik pada wanita Inggris menunjukkan bahwa
tanda-tanda psikiatrik lebih banyak ditunjukkan oleh wanita yang tidak bekerja
(74%) daripada wanita yang bekerja (14%). Ini berarti tekanan hidup lebih banyak
dirasakan oleh wanita yang tidak bekerja dibandingkan dengan wanita yang bekerja.
Sepertinya kesibukan bekerja bagi wanita bekerja dapat melindungi mereka dari
tanda-tanda psikiatrik (Baruch dan Barnet, 1986). Wanita yang bekerja di rumah
ternyata lebih otonom, lebih sering terganggu, memiliki physical effort yang lebih
baik, lebih rutin, tekanan waktu yang lebih rendah dan rasa tanggung jawab yang
kurang daripada wanita yang bekerja diluar rumah (Lennon, 1994). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Baruch dan Barnett (1986), keadaan yang paling
berharga bagi wanita yang bekerja adalah bisa bekerja sesuai dengan kehendak

sendiri, prestasi/kompetensi, dan memiliki pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Kemudian keadaan yang paling membuat tertekan adalah pekerjaan
yang terlalu banyak, menangani tugas-tugas yang saling bertentangan dan kurangnya
kesempatan untuk mengembangkan karir. Penelitian yang dilakukan de Jonge, et al.,
(2001) menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan prediktor penting
bagi kesejahteraan psikologis karyawan. Menurunkan atau menstabilkan tuntutan
pekerjaan dan meningkatkan dukungan sosial dapat menigkatkan kesejahteraan
psikologis karyawan. Srimathi dan Kumar (2010) melakukan penelitian tentang
perbedaan psychological well-being pada 325 wanita India yang bekerja pada bidang
yang berbeda, yaitu wanita yang bekerja di industri, rumah sakit, institusi
pendidikan, bank dan call center . Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa wanita
yang bekerja di bidang industri memiliki skor psychological well-being paling

5

rendah baik secara keseluruhan maupun per faktor, kemudian diikuti oleh wanita
yang bekerja di rumah sakit. Wanita yang bekerja di bank skor psychological wellbeing tingkat menengah. Kemudian guru memiliki skor psychological well-being
tertinggi baik per aspek maupun secara keseluruhan.
Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa wanita yang bekerja di industri memiliki
skor psychological well-being paling rendah, hal ini disebabkan wanita yang bekerja

di industri memiliki jam kerja yang panjang (8-10 jam), mereka juga terlibat dalam
pekerjaan yang penuh resiko dan rentan stress, hari libur yang sedikit, bekerja
dengan peralatan yang tidak higienis dan tidak puas dengan upah yang didapatkan.
Sementara itu wanita yag bekerja sebagai pengajar atau guru memiliki skor
psychological well-being tertinggi. Guru adalah seseorang yang sering membantu
siswa di sekolah, dalam bidang agama dan masyarakat. Mereka juga merasa dirinya
adalah mentor yang pantas untuk memberikan nasihat dan membimbing siswanya.
Mereka merasa puas dengan fasilitas yang mereka dapatkan dan menjadi guru juga
sama dengan profesi profesional lainnya. Dari penjelasan tersebut kemudian dapat
ditarik kesimpulan bahwa ciri pekerjaan yang berbeda antara wanita yang menjadi
guru dengan wanita yang bekerja di industri dapat mempengaruhi keadaan
psychological well—being mereka.
Berdasarkan hasil penelitian diatas peneliti kemudian ingin mengetahui bagaimana
keadaan psychological well-being wanita bekerja di Indonesia. Peneliti ingin melihat
perbedaan psychological well-being pada wanita dengan pekerjaan yang berbeda.
Penelitian sejenis sebelumnya pernah dilakukan di India oleh Srimathi dan Kumar
pada tahun 2010. Namun peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hasil yang
berbeda jika penelitian sejenis dilakukan di Indonesia, karena adanya perbedaan
antara India dan Indonesia dari segi budaya, letak geografis, gaya hidup, keadaan
ekonomi dan sistem pemerintahan. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan melihat

perbedaan psychological well-being dari dua jenis pekerjaan yang berbeda, yaitu
perbedaan psychological well-being pada perempuan yang bekerja di sektor
pendidikan dan sektor industri.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan adanya peningkatan atau perbaikan dalam
menjaga dan mempertahankan kesejahteraan psikologis para pekerja wanita di sektor
pendidikan dan sektor industri. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu Psikologi tentang psychological
well-being, khususnya dalam bidang ilmu Psikologi Industri dan Organisasi.
Hipotesa
Ada perbedaan psychological well-being antara wanita yang bekerja di sektor
pendidikan dengan wanita yang bekerja di sektor industri.

6

METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah guru dan karyawan wanita, berusia 25 tahun keatas.
Yang dimaksud karyawan wanita dalam penelitian ini adalah karyawan bank dan
perusahaan finance. Jumlah subjek 200 orang, masing-masing 100 orang guru dan
100 orang karyawan. Penelitian dilakukakan di Lombok. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah sampling purposive.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan skala Likert. Skala dalam penelitian ini
disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan pada aspek-aspek pada psychological wellbeing dari teori Ryff (1989) yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan yang
baik dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy),
kemampuan menguasai lingkungan (environmental mastery, tujuan dalam hidup
(tujuan dalam hidup), pertumbuhan pribadi (personal growth). Skala terdiri dari 48
butir pernyataan, penyekoran pada skala 1 sampai 6, dengan 1 menunjukkan sangat
tidak setuju dan 6 menunjukkan sangat setuju. Setelah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas dari 48 butir pernyataan 3 butir diantaranya dinyatakan gugur atau tidak
valid sehingga item yang tersisa adalah 45 butir pernyataan. Reliabilitas skala secara
keseluruhan sebesar 0,955.
Tabel 1
Validitas Variabel Psychological Well-Being
Aspek

Butir valid

Autonomy
Environmental mastery
Personal growth
Positive relation with others
Purpose in life
Self acceptance

1,7,13,19,25,37,43
2,8,14,20,26,32,38,44
3,9,15,21,27,33,39,45
4,10,16,22,28,40, 46
5,11,17,23,29,41
6,12,18,24,30, 36,42,48

Butir tidak
valid
31
34
35
-

Tabel 2
Reliabilitas Variabel Psychological Well-Being Per Aspek
Aspek
Cronbach’s Alpha
Autonomy
0,829
Environmental mastery
0,812
Personal growth
0,823
Positive relation with others
0,836
Purpose in life
0,833
Self acceptance
0,828

Indeks validitas
0,436-0,762
0,305-0,730
0,434-0,704
0,421-0,778
0,493-0,741
0,369-0,784

Keterangan
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel

7

Prosedur Penelitian
Tahap persiapan yaitu membuat skala penelitian yaitu skala psychological wellbeing; jumlah item skala yang di buat sebanyak 48 item; menguji cobakan skala yang
telah dibuat pada tanggal 19-21 Juni 2012 kepada 50 subjek, masing-masingg 25
orang guru dan 25 orang pegawai wanita; menguji validitas dan reliabilitas skala,
dari uji validitas tersebut terdapat 45 item yang valid.
Tahap pelaksanaan penelitian; penelitian dilakukan di Lombok di mulai tanggal 7
Agustus 2012 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2012. Dengan jumlah subjek 200
orang, masing-masing 100 orang guru dan 100 orang karyawan wanita; menyebarkan
skala pada subjek yang sudah ditentukan. Penyebaran skala dilakukan di beberapa
sekolah dan perusahaan.

HASIL PENELITIAN
Tabel 3
Deskripsi Subjek Penelitian
No.
Sektor
1.
Pendidikan

2.

Industri

Total

Pekerjaan
Guru

Karyawan bank
dan finance

Usia
25-30
31-40
41-50
51-60
25-30
31-40
41-50
51-60

Jumlah
25
39
31
5
55
35
9
1
200

Tabel 4
Psychological Well-Being Wanita Yang Bekerja Di Sektor Pendidikan dan
Sektor Industri
Psychological Well-Being
Wanita Bekerja
Rendah
Tinggi
Sektor Pendidikan
58 (29%)
42 (21%)
Sektor Industri
49 (24,5%)
51 (25,5%)
107 (53,5%)
93 (46,5%)
Total

8

Tabel 5
Psychological Well-Being Wanita Yang Bekerja Di Sektor Pendidikan Dan
Sektor Industri Per Aspek
Psychological Well-Being Wanita Bekerja
Aspek
Sektor Pendidikan
Sektor Industri
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Autonomy
43 (21,5%) 57 (28,5%) 44 (22%)
56 (28%)
Environmental mastery
53 (25,5%) 47 (23,5%) 45 (22,5%) 55 (27,5%)
Personal growth
40 (20%)
60 (30%)
47 (23,5%) 53 (26,5%)
Positive relation with others
47 (23,5%) 53 (26,5%) 51 (25,5%) 49 (25,5%)
Purpose in life
47 (23,5%) 53 (26,5%) 47 (23,5%) 53 (26,5%)
Self acceptance
52 (26%)
48 (24%)
61 (30,5%) 39 (19,5%)
Untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai psychological well-being digunakan rumus
T-score. Bila X50
maka nilainya termasuk dalam kategori tinggi.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat 42 orang wanita yang bekerja di
sektor pendidikan atau sebesar 21% memiliki psychological well-being tinggi, dan
sebanyak 58 orang atau sebesar 29% memiliki psychological well-being yang
rendah. Sedangkan pada sektor industri terdapat 51 orang wanita atau sebesar 25,5%
memiliki psychological well-being tinggi dan sebanyak 49 orang atau sebesar 24,5%
memiliki psychological well-being rendah. Sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa psycgological well-being wanita yang bekerja di sektor industri lebih tinggi
dibandingkan dengan psychological well-being wanita yang bekerja di sektor
pendidikan.
Tabel 6
Hasil Analisis Uji t-test
Sektor
N
M
Pendidikan 100 207,62
Industri
100 207,64

Std
15,971
22,651

F
T
11,525 -0,007

df
177,92

Mean
-0,020

Sig
0,994

Dari hasil analisis data t-test diketahui nilai t= -0,007, df= 177,92 dengan nilai
signifikansi 0,994 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara psychological well-being guru dengan psychological well-being
karyawan. Namun dari perbedaan mean bisa dilihat bahwa psychological well-being
karyawan (207,64) lebih tinggi dibandingkan dengan psychological well-being guru
(207,62).

DISKUSI
Dari hasil analisa data diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan psychological wellbeing yang signifikan antara wanita yang bekerja di sektor pendidikan dengan wanita
yang bekerja disektor industri. Berarti hipotesa penelitian yaitu terdapat perbedaan

9

psychological well-being pada wanita yang bekerja di sektor pendidikan dan sektor
sektor industri tidak terbukti. Hasil penelitian ini berbeda dari penelitian serupa yang
dilakukan oleh Srimathi dan Kumar (2010) di India, hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan
pada wanita yang bekerja di sektor yang berbeda. Kemudian hasil yang berbeda juga
ditunjukkan oleh tingkat psychological well-being diantara kedua sektor tersebut.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa wanita yang bekerja di sektor industri
memiliki psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
yang bekerja di sektor pendidikan. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Srimathi dan Kumar (2010) ditemukan bahwa wanita yang bekerja di sektor
pendidikan sebagai guru memiliki tingkat psychological well-being yang paling
tinggi sedangkan wanita yang bekerja di sektor industri memiliki tingkat
psychological well-being yang paling rendah.

Subjek wanita yang bekerja di sektor industri pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Srimathi dan Kumar (2010) adalah wanita yang bekerja sebagai buruh
pabrik, sedangkan subjek wanita yang bekerja di sektor industri pada penelitian ini
adalah wanita yang bekerja di bank dan perusahaan finance. Tentu saja terdapat
perbedaan jauh antara guru yang merupakan pekerja profesional dengan buruh pabrik
yang merupakan pekerja kasar. Dalam penelitian Srimathi dan Kumar pada tahun
2010 diketahui juga bahwa wanita yang bekerja di bank dengan wanita yang bekerja
sebagai guru memiliki skor psychological well-being yang tidak jauh berbeda jika
dilihat dari perbandingan meannya, guru dengan M=231,51 dan wanita yang bekerja
di bank dengan M=217,48. Hal ini artinya perbedaan psychological well-bing
disebabkan karena jenis pekerjaan yang berbeda sangat jauh, yaitu antara guru
dengan buruh pabrik, sedangkan jika jenis pekerjaannya memiliki karakteristik yang
sama tidak menunjukkan perbedaan pada psychological well-being.
Tidak terdapatnya perbedaan signifikan pada psychological well-being antara guru
dan karyawan disebabkan karena adanya persamaan karakteristik pekerjaan antara
wanita yang bekerja di sektor pendidikan dan wanita yang bekerja di sektor industri.
Subjek karyawan dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan
perbankan dan finance, dalam bekerja para karyawan tidak hanya menghadapi tugas
saja tetapi juga menghadapi orang lain dalam hal ini adalah customer dari perusahaan
itu sendiri, karena itu diperlukan sebuah penguasaan lingkungan yang baik. Hal ini
sama dengan guru, tugas seorang guru harus berhadapan dengan banyak orang dalam
pekerjaannya. Seorang guru tidak hanya harus berhadapan dengan siswanya saja
tetapi juga dengan atasan dan orangtua dari siswa itu sendiri. Jika seorang guru tidak
dapat menguasai lingkungannya dengan baik maka akan sulit bagi seorang guru
untuk melaksanakan tugasnya. Seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan
yang tinggi berarti memiliki rasa pengusaan dan kompetensi dalam lingkungan
hidup, bisa mengontrol kegiatan eksternal yang komplek, mampu memanfaatkan
kesempatan yang ada, mampu memilih atau membuat konteks yang cocok untuk
kebutuhan pribadinya (Ryff, 1989). Kemudian baik guru maupun karyawan disini
merupakan para pekerja profesional, mereka bekerja sesuai dengan bidang
pendidikan yang sebelumnya mereka tempuh. Masalah pendapatan pun tidak jauh
berbeda karena untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pemerintah di Indonesia

10

melaksanakan program sertifikasi guru. Dengan adanya sertifikasi ini guru
mendapatkan tunjangan satu kali gaji pokok yang diberikan setiap tiga bulan atau
enam bulan sekali. Perusahaan juga memberikan gaji dan tunjangan yang cukup bagi
karyawan.
Hal-hal diatas dapat mempengaruhi status sosial seseorang dalam masyarakat seperti
yang pernah diungkapkan oleh Ryff (Ryff dan Singer, 1996), status sosial merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan psychological well-being seseorang.
Dikatakan bahwa seseorang dengan pencapaian pendidikan yang tinggi menunjukkan
profil kesejahteraan yang tinggi, begitu juga dengan seseorang yang memiliki status
pekerjaan yang bagus. Posisi yang rendah dalam kelas sosial tidak hanya
meningkatkan kemungkinan kesehatan yang memburuk, hal itu juga mengurangi
munculnya kesejahteraan. Dapat disampaikan bahwa sesuatu yang baik atau indah
dalam hidup merupakan faktor pelindung yang penting dalam menghadapi stress,
persaingan dan kesengsaraan, kurangnya hal-hal baik tersebut menciptakan
kerentanan (Ryff dan Singer, 1996). de Jonge, et al., (2001) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan prediktor penting bagi
kesejahteraan psikologis karyawan. Menurunkan atau menstabilkan tuntutan
pekerjaan dan meningkatkan dukungan sosial dapat menigkatkan kesejahteraan
psikologis karyawan.
Kemudian usia subjek dari kedua sektor tersebut sebagian besar termasuk dalam usia
dewasa awal yaitu 20-40 tahun. Pada wanita ang bekerja di sektor industri terdapat
90 orang yang termasuk dalam usia dewasa awal sedangkan pada sektor pendidikan
terdapat 60 orang yang termasuk dalam usia dewasa awal. Menurut Ryff (Ryff dan
Synger, 1996) aspek tertentu dari well-being, seperti penguasaan lingkungan dan
otonomi, menunjukkan peningkatan pola sejalan dengan usia, terutama pada usia
dewasa awal sampai dengan dewasa madya. Aspek lainnya seperti pertumbuhan
pribadi dan tujuan dalam hidup menunjukkan penurunan pola khususnya pada usia
dewasa madya sampai dengan dewasa akhir. Sedangkan hubungan baik dengan
orang lain dan penerimaan diri tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
diantara perbedaan usia tersebut. Karena sebagian besar subjek dalam penelitian ini
termasuk dalam kategori dewasa awal sehingga menunjukkan pola yang sama. Hal
ini ditunjukkan dalam skor psychological well-being per aspek (tabel 5) dimana
jumlah wanita yang mendapat skor tinggi pada aspek otonomi (autonomy) antara
wanita yang bekerja di sektor pendidikan dan sektor industri tidak berbeda jauh.
Begitu juga dengan aspek pertumbuhan pribadi (personal growth). Masing-masing
hanya berbeda 1 dan 7 orang. Bahkan untuk aspek tujuan hidup (purpose in life)
wanita yang bekerja di kedua sektor tersebut mendapatkan skor yang sama.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara pychological well-being wanita yang
bekerja di sektor pendidikan dengan wanita yang bekerja di sektor industri. Tidak
adanya perbedaan tersebut dikarenakan adanya pengaruh usia dari subjek penelitian,

11

subjek dari penelitian ini sebagiann besar memiliki usia yang sama yaitu usia dewasa
awal sehingga menunjukkan pola perkembangan psychological well-being yang
sama.
Implikasi dari penelitian ini bagi peneliti selanjutnya diharapkan memperhatikan
karakteristik dari jenis pekerjaan subjek yang akan diteliti, karena kemiripan
karakteristik pekerjaan mempengaruhi hasil penelitian, begitu juga dengan rentang
usia dari subjek. Kemudian diharapkan juga untuk memilih subjek penelitian yang
lebih bervariasi agar dapat lebih menunjukkan hasil penelitian yang lebih baik.

REFERENSI
10 Pekerjaan yang Beresiko Tinggi Depresi. (10 Desember 2011). Diakses melalui
www.tanyadokteranda.com pada tanggal 11 Mei 2012.
Bos Perempuan Bikin Laba Perusahaan Meningkat. (12 Maret 2012). Diakses
melalui http://female.kompas.com pada tanggal 22 Mei 2012.
Baruch, Grace k., & Barnett, Rosalind. (1986). Role Quality, Multiple Role
Involvement, and Psychological Well-Being in Midlife Women. Journal of
Personality and Social Psychology. 51, 3, 578-575.
de Jonge, Jan., Dormann, Christian., Janssen, Peter P.M., Dollard, Maureen F.,
Landeweerd, Jan A., & Nijhuis, frans J.N. (2001). Testing reciprocal
relationship between job cahracterisic and psychological well-being : A crosslagged structural equation model. Journal of Occupationnal and Organizational
Psychology, 74, 29-46.
Keterlibatan Wanita Dalam Pertumbuhan Global. (28 Februari 2008). Diakses
melalui www.waspada.co.id pada tanggal 22 Mei 2012.
L.N, Srimathi & S.K, Kiran Kumar. (2010). Psychological Well being of Employed
Women across Different Organisations. Journal of the Indian Academy of
Applied Psychology, 36, 89-95.
Lennon, Mary Clare. (1994). Women, Work and Well-Being : The Importance of
Work Conditions. Journal of Health and Social Behavior, 35, 235-247.
Matlin, Margaret W. (2004). The Psychology of Women, fifth edition . USA :
Wadsworth, Thomson Learning, Inc.
Rahmiyanti. (2010). Psychologiccal Well-Being Pada Pekerja Sektor Informal.
(Skripsi fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur).
Ryff, Carol D. (1989). Happiness is Everything, or is it? Explorations on the
Meaning of Psychological Well-Being. Journal of personality and social
psychology, 57, 1069-1081.
Ryff, Carol D., & Keyes, Carol Lee M. (1995). The structure of Psychological WellBeing Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.
Ryff, Carol D., & Singer, Burton. (1996). Psychological Well-Being: Meaning,
Measurement, and Implication for Psychoterapy Research. Psychoter
Psychosom, 65, 14-23.
Vallerand, Robert J. (2012). The Role of Passion in Suistainable Psychologycal WellBeing diakses dari http//www.psywb.com/content/2/1/1 pada tanggal 30 Maret
2012.

12

Wanita dan Diskriminasi Dunia Kerja. (24 April 2012). Diakses melalui
http://hukum.kompasiana.com pada tanggal 21 Mei 2012.

13

Lampiran

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22