Segmentasi bukan sekadar pasar sasar

Segmentasi Pembaca, Bukan Sekedar Masalah Pasar
Oleh: Birgitta Bestari Puspita

Teringat dulu ketika saya masih kecil, hobi membaca selalu terpuaskan oleh salah satu
majalah anak-anak. Konten majalah tersebut dapat memuaskan rasa ingin tahu saya sebagai
anak-anak dan juga sekaligus memberikan hiburan versi anak-anak, dengan berbagai kisah
lucu, cerita pendek dan juga dongeng yang dihadirkannya setiap minggu. Tak hanya fiksi dan
fakta ilmiah yang dapat menghibur anak-anak seusia sekolah dasar. Profil seorang idola atau
sosok terkenal pun menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Masih segar ingatan saya, ketika di usia sekolah dasar saya membaca berbagai profil tokoh
nasional seperti Didik Nini Thowok, beberapa tokoh dalang, kemudian Guruh Soekarno
Putra, penyanyi-penyanyi cilik, dan banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut diharapkan bisa
menginspirasi anak-anak untuk berkarya, berprestasi dan meraih mimpi, serta
mengharumkan nama bangsa. Bahkan profil dalam majalah tersebut tidak harus tokoh
terkenal, bisa jadi “hanya” seorang anak sekolah dasar dengan prestasi luar biasa yang
pantas diketahui dan menjadi penyemangat bagi anak-anak Indonesia lainnya.
Itu dulu. Zaman memang sudah banyak berubah. Teknologi sudah berkembang pesat. Tren
di masyarakat pun berubah mengikuti tren global, bukan lagi tren lokal seperti ketika
penyebaran informasi belum sebebas sekarang. Kemajuan teknologi memungkinkan kita
untuk mengetahui dan mengikuti isu-isu apa yang sedang hangat dibicarakan di dunia.
Dengan adanya internet, kecepatan penyebaran informasi pun berlipat ganda. Benar apa

yang dikatakan oleh McLuhan (1964) tentang global village, dimana batasan ruang dan

waktu tak lagi jelas dan tak lagi menjadi penghalang. Tak perlu lagi kita menunggu lama
untuk bisa up date informasi tentang dunia di luar kita. Peribahasa “bagai katak dalam
tempurung” pun kini bisa jadi hanya berlaku bagi segelintir orang yang belum bisa
mengakses internet. Toh kalau pun mereka belum bisa mengakses internet, informasi
terbaru akan disediakan oleh media-media mainstream, seperti televisi,radio, dan media
cetak, yang notabene memperoleh isu-isu global melalui internet. Arus infomasi nampaknya
“membabi buta’ meringsek kehidupan kita.
Media dan Khalayak Sasaran
Media, baik cetak maupun elektronik, masing-masing memiliki target khalayak yang ingin
disasar. Bicara soal media cetak, majalah terutama, segmentasi khalayak sasarannya cukup
jelas. Ada yang berdasarkan gender, misalnya majalah untuk perempuan dan majalah untuk
laki-laki. Ada yang berdasarkan usia, majalah untuk anak-anak, remaja dan dewasa. Ada pula
majalah yang ditujukan untuk keluarga. Belum lagi khalayak pecinta hobi tertentu yang
dijadikan sasaran, misalnya otomotif, berkebun, desain interior, dan sebagainya. Apakah
pembagian tersebut hanya berfungsi sebagai pembeda majalah satu dengan yang lainnya?
Tentu saja tidak. Segmentasi tersebut juga mempengaruhi konten media yang bersangkutan,
mulai dari kemasan,informasi yang diberikan, bahkan sampai pada gaya bahasa yang
digunakan. Dan bagi perusahaan media itu sendiri, spesifikasi khalayak yang menjadi

sasaran berarti market atau pasar, yang nantinya tidak jauh dari urusan profit.
Hal tersebut berlaku pula pada majalah anak-anak. Jelas di sini khalayak yang dituju adalah
anak-anak. Anak-anak berarti bukan remaja, karena rentang usia jelas berbeda. Rentang usia
yang bisa dikatakan anak-anak umumnya adalah usia sampai 12 tahun. Maka, konten
majalah anak-anak, selayaknya, berbeda dengan konten majalah remaja.

Sedikit terkejut ketika saya kembali mengamati majalah anak-anak yang dulu menjadi favorit
saya. Dari segi rubrikasi tak banyak berubah, tetap menarik seperti biasanya. Namun satu
konten fatal di mata saya. Profil. Satu grup girlband menjadi profil di edisi kali ini. Dari sini
terlihat bahwa terpaan informasi global pun mempengaruhi majalah anak-anak.
Pertanyaannya, apakah ketika bicara segmentasi khalayak maka kita hanya bicara tentang
tren, pasar dan profit? Bukankah salah satu fungsi media adalah mengedukasi dan bukan
sekedar memberi informasi?
Tidak dipungkiri bahwa mengikuti dan mengetahui hal apa serta isu apa yang tengah hangat
diperbincangkan dunia adalah sesuatu yang penting diketahui khalayak, termasuk anakanak. Dan di antaranya adalah fenomena K-Pop. K-Pop memang tengah menjadi satu trend
menarik yang bisa kita amati di media. Aliran musik ini pun mempengaruhi aliran musik yang
ada di Indonesia, termasuk beberapa konten media, misalnya program khusus salah satu
radio swasta di Jogja yang menyiarkan lagu-lagu Korea. Namun menjadi tidak pas ketika
demi mengikuti tren global tersebut, profil yang lebih cocok diulas di majalah remaja
kemudian di tampilkan di majalah anak-anak usia sekolah dasar.

Profil dalam Media untuk Anak-Anak
Secara teorotis memang tidak ada persyaratan tentang siapa yang patut dimunculkan
sebagai sosok dalam rubrik profil untuk majalah anak-anak. Namun secara etika, sudah
menjadi tanggung jawab media untuk menjaga konten yang mereka hadirkan bagi khalayak
sasaran mereka, termasuk dari ketepatan isi.
Rubrik profil berbicara tentang kisah hidup seseorang. Bisa saja dalam bentuk cerita kisah,
ataupun hasil wawancara berupa tanya-jawab. Umumnya rubrik ini menampilkan mereka-

mereka yang memiliki prestasi secara nasional, memberikan kontribusi bagi negara, atau
mereka yang dianggap mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Untuk majalah anak-anak,
tentu akan lebih pas apabila yang memenuhi ruang artikel adalah mereka yang memiliki
kontribusi pada dunia anak-anak, atau justru anak-anak yang berprestasi dan mampu
menginspirasi teman-temannya.
Kemudian salahkah apabila satu grup girlband menjadi sosok dalam rubrik profil majalah
anak-anak? Tentu saja tidak, asalkan mereka ada hubungannya dengan dunia anak-anak dan
atau memberikan kontribusi bagi anak-anak, terutama kontribusi positif. Menjadi kurang
ideal apabila dari segi lagu saja sudah tidak pas dengan segmen majalah tersebut. Lagu-lagu
yang dibawakan oleh grup ini adalah lagu-lagu cinta, yang notabene bukan konsumsi anakanak sekolah dasar. Apabila hanya untuk menunjukkan trend global serta lifestyle atau
fashion , maka majalah remaja akan lebih cocok untuk icon-icon musik seperti ini. Paduan
lagu cinta dan high heels nampaknya belum bisa sinkron dengan dongeng dan komik dalam

majalah ini.

Di sisi lain, hal ini bisa menjadi kritik bagi bangsa kita sendiri. Seharusnya kita lebih hati-hati
dalam menyeleksi arus informasi yang masuk ke ranah media kita. Bahwa apa yang menjadi
tren di luar sana, belum tentu pas untuk khalayak. Masuknya icon remaja di majalah anakanak, seolah menunjukkan bahwa kita tak lagi memiliki tokoh dunia anak yang pantas untuk
diprofilkan. Benarkah demikian?
Ataukah media hanya melulu mengejar profit dan lupa menghadirkan apa yang baiknya
diberikan untuk khalayaknya? Akan sangat disayangkan bila demikian adanya. Anak-anak

adalah penerus bangsa, informasi yang edukatif dan sesuai dengan perkembangan usianya
akan menjadi teman pertumbuhannya untuk menjadi insan yang cerdas dan berprestasi.
Dan media sebenarnya memiliki andil cukup besar di dalam proses tersebut.
*Birgitta Bestari Puspita adalah dosen Ilmu Komunikasi FISIP UAJY