KEDUDUKAN RAJA SEBAGAI KETUA SANIRI NEGE

NEGERI DI KOTA AMBON (Studi Terhadap Pasal 11 ayat (3) butir a Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon) OLEH ABRAHAM J. A. MAHULETTE

NIM : 2012-21-228

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON TAHUN 2016

PERNYATAAN KEASLIAN NASKAH

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terdapat karya yang diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disalah satu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis yang diakui dalam naskah ini, dan disebut dalam daftar pustaka. Saya bersedia dituntut secara Hukum maupun Sanksi Akademis, apabila dikemudian hari pernyataan yang saya buat ini tidak benar.

Penulis

Abraham J. A. Mahulette Nim : 2012-21-228

ABSTRAK KEDUDUKAN RAJA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGERI DI KOTA AMBON (Studi Terhadap Pasal 11 Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri Di Kota Ambon) ABRAHAM J. A. MAHULETTE

Pasal 11 Peraturan Daerah (Perda) Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri Di Kota Ambon menempatkan kedudukan Raja sebagai Kepala Eksekutif dan Ketua Legislatif dalam Struktur Pemerintahan Negeri. Rangkap jabatan yang dimiliki oleh seorang raja ini berpotensi besar menimbulkan kesewenang- wenangan oleh raja yang akan berimbas pada buruknya kualitas hidup masyarakat negeri dan ketertinggalan pembagunan negeri. Dalam menelaah masalah ini dilakukan suatu penelitian dengan menggunakan jenis penelitian Yuridis Normatif, dengan Pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Koseptual.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan kedudukan Raja dalam perda tersebut tidaklah tepat, meskipun saat itu pembuatannya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Alasannya adalah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan demokrasi. Disisi lain Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 sudah tidak sejalan dengan perundang-undangan baru diatasnya yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya.

Kata Kunci: Negeri, Raja, Sistem Pemerintahan Negeri, checks and balances.

MOTTO

“JIKALAU ENGKAU PERCAYA ENGKAU AKAN MELIHAT KEMULIAAN ALLAH”

Yohanes 11 : 40b

HALAMAN PERSEMBAHAN

Menyadari sungguh akan kebesaran dan kemurahan kasih Allah dalam kehidupan keseharian, maka skripsi ini penulis persembahkan secara khusus kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus sebagai wujud pengucapan syukur atas tutunan dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan semua tugas dan tangung jawab sebagai mahasiswa khususnya penulisan skripsi ini;

2. Kedua Orang Tuaku Tersayang, Papa Bob dan Mama Nor, serta adik-adik tercinta Ulen dan Via.

3. Bunda Asuhku Tercinta Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang adalah sumber hikmat dan pengetahuan, karena atas cinta dan kasih-Nya penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

Dalam Sistem Pemerintahan Negeri Di Kota Ambon (Studi Terhadap Pasal 11 ayat (3) butir a Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008).

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu dengan penuh kerendahan hati penulis membuka diri bagi para pembaca untuk segala kritik maupun saran demi penyempurnaan skripsi ini. Dalam mendalami ilmu di Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, penulis menyadari bahwa tidak terlepas dari segala bantuan dan dukungan dari segala pihak baik secara moril maupun materi. Untuk itu melalui lembaran ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. M. J. Saptenno SH, MHum, Selaku Rektor Universitas Pattimura yang telah menerima penulis menuntut ilmu di lembaga ini, sekaligus selaku Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu serta mencurahkan tenaga dan pemikiran guna membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan yang selalu memberikan nuansa akademik yang nyaman selama penulis menuntut ilmu di Bunda Asuh Fakultas Hukum tercinta.

2. Dr. J. Tjiptabudy, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon yang telah mendidik, membimbing, dan mengarahkan penulis dengan sabar dan tulus selama menuntut ilmu di almamater tercinta.

3. Dr. R. J. Akyuwen SH.MHum, selaku Pembantu Dekan 1 yang membantu dan memberikan arahan bagi penulis dalam proses penyelesaian studi.

4. Dr. A. I. Laturette, SH. MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pattimura, yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian studi.

5. Ny. S. S. Alfons, SH.MH, selaku Pembantu Dekan III yang telah memberikan bimbingan bagi penulis selama menjalani proses perkuliahan di Almamater tercinta ini.

6. Dr. Arman Anwar, SH., MH, selaku Pembantu Dekan IV yang telah memberikan bimbingan dan pelajaran yang berharga selama di Almamater tercinta ini.

7. Dr. E. R. M. Toule, SH. MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah membimbing penulis baik dalam perkuliahan maupun penulisan skripsi ini.

8. Ny. J. Sahalessy, SH. MH, sebagai Pembimbing II dengan tulus hati telah membimbing, memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini, serta mendorong penulis selama proses pembimbingan, penyusunan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

9. Bapak Hendry J. Piries, SH., MH, Sebagai mentor yang telah membimbing, mendorong dan menasehati dalam mengikuti proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

10. Para Dosen Fakultas Hukum Universita Pattimura khususnya Bidang Studi HTN/HAN Prof. Dr. S.E.M. Nirahua, SH, MHum, H. P. B. Puturuhu, SH, MH, J. Pietersz, SH. MH, Dr. J. Mustamu, SH, MH, Dr. R. H. Nendissa. SH, MH. Dr. V.J. Sedubun, SH.LLM, Dr. R. Rugebregt, SH. MH, Ny. M. Matitaputty, SH, MH, Dr.A.D. Bakarbessy, SH. LLM, Dr. S.H. Lekipouw, SH. MH, E.S. Holle, SH. MH, Ny. H. Y. Tita. SH. MH, M. Ch. Latuny, MTeol. Ny. Vica. J.E. Saija. SH. MH., Ny. Dezonda R. Pattipawae, SH, MH, Y. Pattinasarany, SH. MH, B.C. Picauly.SH, serta Bapak/ibu Dosen lainnya yang tidak sempat nama disebutkan, yang telah memberikan ilmu baik secara langsung tatap muka maupun lewat diskusi-diskusi yang dibangun sehingga dapat memberikan masukan bagi penulis.

11. Para Pegawai Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi selama menempuh pendidikan di Fakutas Hukum Universitas Pattimura.

12. Kedua Orang Tuaku, Papa Bob dan Mama Nor serta kedua adikku tercinta, Ulen dan Via yang selalu ada dalam kebersamaan, mendoakan dan mendukung penulis baik secara moril maupun materiil sehingga bisa menyelesaikan penulisan ini.

13. Keluarga besar Mahulette, Kaka Ulis, Kaka Anty, Kaka Lin, Vence, keluarga besar Retraubun dan sanak saudara lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang telah memberikan motivasi selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

14. Teman-teman Kelas “D” angkatan 2012, khususnya sahabat-sahabat dekat, Andre, Alda, Acha, Moncha, Marles, Tetta, Ibeth, Qina, Maikel, Bu Ichad, Achel, dan Bass yang selalu bersama-sama memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran bagi penulis melalui semua proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

15. Seluruh pihak yang telah membantu selama studi dan penulisan skripsi ini yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan yang adalah sumber berkat selalu memberkati semua pihak yang telah membantu penulis. Harapan penulis melalui penulisan ini semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya.

Ambon, 6 Juni 2016

Penulis

Abraham J. A. Mahulette 2012-21-228

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. 1 Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya yang tersendiri berdasarkan undang-undang. 2 Daerah provinsi disamping memiliki status sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Daerah kabupaten dan daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

1 HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 2.

2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat (1).

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas Kelurahan dan/atau Desa (Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014). Desa ialah suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat-hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri. 3

Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan Negeri di Maluku.” Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut

3 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm.16.

dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut UU No. 6 Tahun 2014) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (selanjutnya disebut PP No. 43 Tahun 2014) memberikan beberapa kewenangan kepada desa. Kewenangan-kewenangan tersebut antara lain meliputi:

a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;

b. kewenangan lokal berskala Desa;

c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Desa merupakan instansi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat serta hukumnya sendiri yang menjadikannya mandiri. Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk dan dalam perkembangannya hingga saat ini menjadi Desa merupakan instansi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat serta hukumnya sendiri yang menjadikannya mandiri. Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk dan dalam perkembangannya hingga saat ini menjadi

pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaran Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal ini berarti pasal tersebut membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Sesuai ketentuan Pasal 24 UU No. 6 Tahun 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan pada asas :

a. kepastian hukum;

b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;

c. tertib kepentingan umum;

d. keterbukaan;

e. proporsionalitas;

f. profesionalitas;

g. akuntabilitas;

h. efektivitas dan efisiensi;

i. kearifan lokal; j. keberagaman; dan k. partisipatif.

4 Prof. Drs. HAW. Widjaja, Op. Cit., hlm. 4.

Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain).

UUD 1945 mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2)yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Desa/Desa Adat bagi daerah Maluku khususnya di pulau Ambon, lazimnya disebut “Negeri”. Negeri di Kota Ambon adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati dan tetap dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakat. Setelah melalui beberapa perubahan maka lahirlah Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon (selanjutnya disebut Perda No. 3 Tahun 2008) yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan terkait Negeri dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Negeri.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Perda No. 3 Tahun 2008, Pemerintahan Negeri terdiri atas Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Rajapatti adalah badan yang secara kolektif melaksanakan pemerintahan Negeri (badan Eksekutif). Saniri Negeri Lengkap adalah badan legislatif Negeri yang bertugas membantu pemerintah Negeri membentuk peraturan Negeri serta melakukan Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Perda No. 3 Tahun 2008, Pemerintahan Negeri terdiri atas Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Rajapatti adalah badan yang secara kolektif melaksanakan pemerintahan Negeri (badan Eksekutif). Saniri Negeri Lengkap adalah badan legislatif Negeri yang bertugas membantu pemerintah Negeri membentuk peraturan Negeri serta melakukan

Dalam kedudukanya sebagai kepala pemerintahan Negeri, Raja (Kepala Desa) memiliki banyak kewenangan yang berkaitan erat dengan Saniri Negeri Lengkap (Badan Permusyawaratan Desa) diantaranya yaitu :

1. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Negeri berdasarkan keputusan yang ditetapkan bersama Saniri Negeri Lengkap.

2. mengajukan Rancangan Peraturan Negeri.

3. merencanakan, menyusun dan mengajukan Rancangan APBNegeri untuk dibahas bersama Saniri Lengkap dan ditetapkan menjadi Peraturan Negeri.

4. menetapkan Peraturan Negeri yang telah mendapat persetujuan bersama Saniri Negeri Lengkap. Selain itu, UU No. 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksananya telah dengan jelas melarang Raja (Kepala Desa) merangkap jabatan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 29 huruf (i) UU No. 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa :

5 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 208.

“Kepala Desa dilarang : Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, DewanPerwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan”. Perda Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 dengan sangat jelas

menempatkan Raja sebagai Kepala Pemerintahan dan juga Raja sebagai ketua dari Saniri Negeri Lengkap. Diperjelas dalam Pasal 11 Perda Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa : (1) Pemerintah Negeri terdiri atas :

a. Saniri Rajapatti;

b. Saniri Negeri Lengkap; (2) Saniri Rajapatti terdiri atas :

a. Raja;

b. Para Kepala Soa;

c. Perangkat Negeri; (3) Saniri Negeri Lengkap terdiri atas :

a. Raja sebagai Ketua;

b. Wakil dari Soa sebagai anggota;

c. Kepala adat sebagai anggota;

d. Tua-tua Negeri sebagai anggota; d. Tua-tua Negeri sebagai anggota;

f. Kewang sebagai anggota; Dua jabatan yang dimilki oleh seorang Raja ini dapat menimbulkan adanya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan buruknya kualitas hidup masyarakat Negeri dan ketertinggalan pembangunan Negeri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah : “Bagaimana Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri Di Kota Ambon”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisa mengenai Kedudukan Raja dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari Penelitian ini yaitu :

1) Sebagai bahan acuan dan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam mengkaji sistem pemerintahan Desa/Negeri.

2) Sebagai bahan informasi yang diharapkan dapat digunakan dalam almamater sebagai pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam Hukum Tata Negara.

E. Kerangka Teoritis

Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1) Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara,yaitu : 6

a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu negara federal;

b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak

6 Zul Afdi Ardian, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 62.

dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. 7

Kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan. 8

Kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu Kekuasaan Legislatif yang membuat undang-undang, Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan Kekuasaan Federatif yang melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. 9

7 Kusnardi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 1988), hlm. 53.

8 Jimly Asshiddiqie S.H., Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 12.

9 John Locke, Two Treaties of Government, http: //wikipediaindonesia.co.id//teori/pemisahan/kekuasaan//,, Minggu 07 Februari 2016, (21:30)

Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu : 10

a. Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang);

b. Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang);

c. Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang- undang). Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu.

Setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Republik Indonesia telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah : 11

10 Montesquieu, “L’esprit des Lois”, 1748, http : // www.wikipediaindonesia.co.id//teori/pemisahan/kekuasaan// Minggu 7 Februari 2016, (21:40)

11 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 151.

a. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR;

b. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang- undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang- undang dan tidak boleh menilai undang-undang;

c. Diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat;

d. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun

sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya;

e. Hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Jadi berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.

2. Teori Organ

Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam konstitusi. Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi dimaksudkan agar tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu dengan lainnya (checkand balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan bahwa konstitusi adalah pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Beliau juga berpendapat cara umum, konstitusi dapat dikatakan demokratis mengandung prinsip dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta keseimbangan lembaga lembaga pemerintahan.

Pemahaman mengenai organ negara dikenal dengan trias politica yang berarti bahwa kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut diatur dan ditentukan kewenangannya oleh konstitusi.

Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau lazim disebut lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi Negara. Sebagaimana pengertian diatas maka dalam penerapan sistem ketatanegaraan Indonesia menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).

Pada sistem ini terdapat 3 (tiga) macam cabang kekuasaan yang terpisah, yaitu eksektif dijalankan oleh Presiden, legislatif dijalankan oleh DPR, dan yudikatif dijalankan oleh MA. Pada masa sekarang prinsip ini tidak lagi dianut, karena pada kenyataannya tugas dari lembaga legislatif membuat undang-undang, Pada sistem ini terdapat 3 (tiga) macam cabang kekuasaan yang terpisah, yaitu eksektif dijalankan oleh Presiden, legislatif dijalankan oleh DPR, dan yudikatif dijalankan oleh MA. Pada masa sekarang prinsip ini tidak lagi dianut, karena pada kenyataannya tugas dari lembaga legislatif membuat undang-undang,

3. Teori Fungsional

Teori fungsional mengutarakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan. Teori ini menilai bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang lain. Maka dalam hal ini, semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan sampai kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri, dan pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat . Pelopor teori ini adalah Robert K. Merton, beliau berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial, seperti proses sosial, organisasi kelompok, pengendali sosial, dan sebagainya. Suatu pranata atau sistem tertentu bisa dikatakan fungsional bagi suatu unit sosial tertentu, dan sebaliknya, suatu institusi juga bisa bersifat disfungsional bagi unit sosial yang lain. 13

12 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 131.

13 Robert K. Merton dalam buku Bachtiar Wardi, Sosiologi Klasik, (Bandung: Remaja Rosda, 2006), hlm. 20.

Penganut teori fungsional ini memandang bahwa segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positifdan negatif. Sebagai contoh lembaga pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting dalam masyarakat, terutama untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini. Lembaga pendidikan memberikan pengajaran dan ilmu-lmu pengetahuan untuk para generasi muda penerus bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan bersifat fungsional, dan manjurus pada artian yang positif.

F. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul “penelitian hukum dalam praktek” memberikan pengertian metode penelitian hukum normatif adalah suatu metode yang lebih banyak dilakukan terhadap data yang beersifat sekunder yang diperoleh dari kepustakaan. 14 Data sekunder sebagai bahan atau sumber informasi yang dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

2) Bahan Hukum Bahan hukum terdiri bahan hukum yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer atau data dasar) dan dari bahan-bahan pustaka (data

14 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1992), hlm. 3.

sekunder), 15 akan tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yang terdiri dari :

a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan 16 , yang ada kaitannya dengan pemerintahan desa

yaitu: i.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ii.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah iii.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa iv.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 v.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan vi.Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon

a. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang diperoleh dari kepustaaan yang meliputi berbagaia literature maupun sumber-sumber lain berupa makalah, skripsi, tesis, desertasi, serta artikel-artikel lain yang publikasikan melalui media cetak dan media elektronik yang berhubungan dengan penelitian ini. 17

15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamidji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 12.

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141. 17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2003), hlm.

b) Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan pemerintahan desa yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dikaji.

b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh.

5. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini secara garis besar disusun secara sistematis yang terbagi dalam 4 (empat) BAB. BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

I. Rumusan Masalah J. Tujuan Penelitian K. Kegunaan Penelitian L. Kerangka Teoritis M. Metode Penelitian N. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Desa

4. Pengertian Desa

5. Otonomi Desa

6. Pemerintahan Desa

E. Negeri di Kota Ambon

4. Umum

5. Raja

6. Saniri Negeri Lengkap

F. Sistem Pemerintahan BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat

E. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon

3. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri

4. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

F. Beberapa Isu Hukum Terkait Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri

4. Produk Hukum dan Kebijakan Pemerintah Negeri

5. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Negeri

6. Pengelolaan Keuangan Negeri BAB IV PENUTUP

C. Kesimpulan

D. Saran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Desa

1. Pengertian Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

Pengertian Desa dikemukakan oleh HAW. Widjaja, 18 yang menyatakan bahwa :

“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

Desa menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Desa sebagai berikut : “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 43).

Dalam pengertian Desa menurut HAW. Widjaja dan UU Nomor 23 Tahun 2014 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, menjadikan Desa memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang

18 HAW. Widjaja, Op. Cit., hlm. 3.

terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni: Pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga. Kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat. Ketiga, faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun. Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, Kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, Keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

2. Otonomi Desa

HAW. Widjaja 19 menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah.

Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

19 Ibid., hlm. 165.

susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalami beberapa perubahan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran

Mengenai pengakuan terhadap otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha 20 menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

Perlu ditegaskan bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian

20 Taliziduhu Ndraha, Kybernology (ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1 dan 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 12.

yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang- undangan yang berlaku. 21

3. Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. 22

Awalnya sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah

21 Ibid., hlm. 166. 22 Maria Eni Surasih, Pemerintahan Desa dan Implementasinya, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 23.

tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan selanjutnya disempurnakan dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga saat ini.

Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Sesuai dengan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 angka

4 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.. Anggota Badan Permusyawaratan

Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

Pemerintahan Desa menurut HAW. Widjaja 23 diartikan sebagai: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem

penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati”.

Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 55 dijelaskan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa. Sedangkan Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

B. Negeri Di Kota Ambon

1. Umum

Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon menerangkan bahwa Negeri di Maluku, Kota Ambon khususnya adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati, dan tetap dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan

23 Ibid., hlm. 3.

aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakatnya yang mampu mengendalikaninteraksi sosial dan menciptakan ketertiban dan kestabilan politik pemerintahan Negeri.

Sekalipun mengalami pasang surut akibat kebijakan pemerintah di masa lampau namun aktivitas masyarakat Ambon tetap mencerminkan nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat adat dengan ciri-ciri :

1. Memiliki kelembagaan adat (Saniri, Soa, dan sebagainya)

2. Mempunyai wilayah petuanan Negeri

3. Mempunyai simbol-simbol adat (Baileo dan sebagainya)

4. Mempunyai hubungan magis religius dengan lingkungan dan dalam interaksi

antar individu dan kelompok

5. Memiliki upacara atau ritus-ritus adat tertentu

6. Memiliki bahasa asli yang dapat dipakai, minimal dalam upacara-upacara adat

atau pertemuan-pertemuan tertentu

7. Mempunyai keturunan asli yang sudah secara turun temurun menguasai wilayah petuanan

8. Mempunyai aturan-aturan yang dapat mengatur hubungan antar individu dan

kelompok maupun dengan lingkungan sekitarnya. Negeri yang berada dalam wilayah Kota Ambon merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang terbentuk berdasarkan sejarah dan asal usul, hukum adat setempat serta diakui oleh Pemerintah. Selain Negeri-Negeri yang telah ada tidak dapat dibentuk Negeri baru.

Adapun Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Negeri mencakup:

a. kewenangan atas petuanan Negeri

b. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul dan hukum adat Negeri

c. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang diserahkan pengaturannya kepada Negeri

d. tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

Kota

e. urusan pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-Undangan diserahkan pengaturannya kepada Negeri. Urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan Negeri pelaksanaannya diusulkan oleh Pemerintah Negeri kepada Pemerintah Daerah untuk ditetapkan oleh Walikota sebagai urusan otonomi asli Negeri. Pemerintah Negeri berhak menolak pelaksanaan tugas Pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia. Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon pada Bab V mengatur tentang Pemerintahan Negeri, bagian pertama, pasal 12 dan 13 ayat (1) menentukan Saniri Rajapatti adalah badan yang secara kolektif melaksanakan pemerintahan Negeri dan Saniri Negeri Lengkap berkedudukan juga sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.

2. Raja

Raja diutamakan berasal dari anak Negeri atau anak adat dari Matarumah dalam Soa Parenta. Apabila ketentuan ini tidak dapat dipenuhi maka dapat diusulkan anak Negeri dari Soa lain. Pengusulannya dilakukan dalam musyawarah Soa Parenta. Persetujuan Soa Parenta diwujudkan dalam bentuk mandat tertulis yang ditandatangani oleh Kepala Soa Parenta. Mandat dimaksud hanya berlaku dalam 1 (satu) masa jabatan. Setiap Raja diberi gelar sesuai asal- usul dan adat istiadat Negeri setempat. Masa jabatan Raja adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali. Pengisian jabatan Raja dapat dilakukan melalui pemilihan dan/atau pengangkatan.

3. Saniri Negeri Lengkap

Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon menyatakan bahwa unsur-unsur Saniri Negeri Lengkap dapat ditentukan oleh masing-masing negeri yang diatur dengan peraturan negeri, namun tidak mengubah kedudukan Raja sebagai ketua Saniri Negeri Lengkap. Dalam menjalankan kegiatannya, Saniri Negeri Lengkap disediakan biaya operasional sesuai dengan kemampuan keuangan Negeri.

Pembentukan Saniri Negeri Lengkap diatur dengan Peraturan Negeri, dan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta melindungi hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat Negeri setempat. Saniri Negeri Lengkap mempunyai banyak Tugas, wewenang, kewajiban, dan hak yang Pembentukan Saniri Negeri Lengkap diatur dengan Peraturan Negeri, dan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta melindungi hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat Negeri setempat. Saniri Negeri Lengkap mempunyai banyak Tugas, wewenang, kewajiban, dan hak yang

C. Sistem Pemerintahan

Siapa pelaksana kekuasaan negara dapat dikaitkan dengan negara Monarki dan Negara Republik. Secara konseptual, jabatan Presiden dipertalikan

dengan negara republik 25 sedangkan raja dipertalikan dengan negara kerajaan. Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana

kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie pelaksana kekuasaan negara disebut raja sedangkan jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden. 26

24 Perkataan “republik” (republica, republic) telah dikenal sejak masa Yunani –kalsik dan rumawi. Buku yang ditulis Plato (Yunani), Cicero (Rumawi), keduanya berjudul “Republik”

(republica). Walaupun demikian, uraian Plato dan Cicero yang terangkum dalam Republic, tidak dkaitkandengan jabatan Presiden. Tulisan Plato dan Cocero justru mengenai kerajaan. Perkataan republik pada waktu itu belum berkaitan dengan bentuk negara, melainkan dengan fungsi negara dalam cara menjalankan pemerintahan. Republik yang berasal dari “res” dan “publica”, menunjuk kepada suatu pemerintahan yang dijankan oleh dan untuk kepentingan umum. Bagir Manan, “Jabatan KePresidenan Republik Indonesia” dalam 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid (intergritas, konsistensi seorang sarjana hukum) , editor. A. Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: Pusata Studi HTN UI, 2000), hlm. 163.

25 Menurut Hans Kelsen pembedaan antara monarki dengan republik terletak pelaksana kedaulatan “Whenthe sovereign power of community belong to one individual, the government of the

constitutions is said to be monarchic. When the powers belongs to several individual, the constitution is called republican. A republikan is an aristroceacy ar a democracy, depending upon whether the sovereign powers belongs to mayority of the people” Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283.

26 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167

Jika keberadaan Presiden berkaitan dengan bentuk Pemerintahan maka kekuasaan Presiden dipengaruhi dengan sistim pemerintahan. Pada sistem pemerintahan biasanya dibahas pula dalam hal hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi- fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Secara umum sistim pemerintahan terbagi atas tiga bentuk yakni sistim pemerintahan Presidensil, parlementer dan campuran yang kadang-kadang disebut “kuasi Presidensil” atau “kuasi parlementer”. 27