2009 Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal d

AR Hakim (2009)

1

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia
Arif Rahman Hakim
Otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal yang terjadi di
Indonesia merupakan salah satu proses pemindahan kewenangan pemerintahan dan
keuangan yang terbesar didunia. Transisi dari sistem yang dahulu begitu kental
dengan nuansa sentralistis hingga kini pemerintah daerah diberikan keleluasaan serta
wewenang yang besar dalam mengurus daerah mereka masing-masing berdasarkan
perundangan yang berlaku, merupakan fenomena yang bukan hanya berdimensi
ekonomi saja, namun didalamnya juga terkait aspek non ekonomi seperti politik yang
cukup mewarnai perjalanan otonomi daerah di Indonesia.
Secara historis, asal-usul dari pemerintahan daerah yang dikenal luas sekarang
ini berasal dari benua eropa di abad 11 dan abad 12. Beberapa istilah dalam
pemerintah daerah yang dikenal sekarang berasal dari Yunani dan Latin Kuno.
Koinotes ( komunitas ) dan demos ( rakyat atau distrik ) adalah istilah-istilah
pemerintahan daerah yang digunakan di Yunani sampai sekarang. Municipality
( kota atau kotamadya ) dan sejenisnya berasal dari istilah hukum romawi
municipium. City ( kota besar ) berasal dari istilah Romawi civitas, dari akar kata

civis ( penduduk ).
Di Indonesia, basis konstitusional untuk menciptakan sistem pemerintahan
daerah dapat dijumpai pada pasal 18 UUD 1945. Esensi dari pasal tersebut adalah
pembagian Indonesia ke dalam wilayah yang besar dan kecil ditetapkan melalui
undang-undang. Dimasa orde baru, konsep pemerintahan daerah yang nyata dan
bertanggung jawab diperkenalkan tahun 1974 yang mengilhami lahirnya pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia sejak tahun
1974 melalui UU No 5 Th 1974 yang menjadi prinsip dasar pelaksanaan kegiatan
administrasi didaerah. UU ini merupakan perbaikan dari UU No 18 Th 1965, yang
menekankan pada prinsip dasar mengenai administrasi daerah atau pengelolaan
daerah, yang disesuaikan dengan perkembangan negara saat itu sekaligus menjadi
kerangka hukum bagi sistem pemerintahan daerah di Indonesia di era orde baru.
Pelaksanaan administrasi daerah menurut UU No 5 Th 1974 didasarkan pada prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi.

AR Hakim (2009)

2

Menurut UU No 5 Th 1974, desentralisasi merupakan transfer layanan

administrasi dari pemerintah pusat atau dari pemerintah yang lebih tinggi kepada
pemerintah daerah dibawahnya untuk kemudian menjadi layanan daerah atau antar
daerah. Bentuk transfer pemerintah pusat kepada daerah dalam bentuk Subsidi
Daerah Otonom ( SDO ). Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun
anggaran 1972/1973. SDO diberikan untuk membantu pemerintah daerah untuk
membiayai gaji pegawainya, sebanyak dua pertiga dari alokasi dana tersebut
diberikan kepada pemerintah daerah tingkat I ( Propinsi ), sementara sisanya untuk
pemerintah Kabupaten / Kota. Berdasarkan karakteristiknya jelas bahwa SDO ini
merupakan specific atau conditional grant, dimana bantuan tersebut diberikan khusus
untuk suatu alokasi tertentu artinya tidak ada kewenangan ( discretion ) bagi
pemerintah daerah untuk mengelola dana tersebut. Jumlah total SDO untuk pegawai
ditentukan tiap tahun berdasarkan nilai upah dan gaji aktual pegawai pemerintah dari
seluruh tingkatan dan eselon. Skala gaji yang dibayar melalui SDO ditetapkan
pemerintah berdasarkan struktur gaji terpadu, dimana struktur gaji tersebut bersifat
seragam dan tidak memperhitungkan perbedaan kemampuan finansial daerah dalam
membiayai pegawainya.
Selain transfer berupa SDO yang lebih ditujukan untuk keperluan rutin,
pemerintah daerah pada masa itu juga menerima transfer dalam bentuk inpres. Inpres
ini lebih ditujukan untuk keperluan pembangunan. Tujuan inpres antara lain untuk
mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Inpres dilatarbelakangi oleh penyerahan

sebagian urusan kepada daerah sementara masih terbatasnya kemampuan keuangan
pemerintah daerah untuk dapat melaksanakan amanat tersebut. Dana inpres sendiri
terbagi atas beberapa bentuk yaiti bersifat block grant inpres atau general purpose
inpres. Inpres ini ditujukan untuk pembangunan didaerah masing-masing. Berikutnya
adalah inpres yang bersifat specific purpose atau inpres yang penggunaannya
ditentukan oleh pemerintah pusat contohnya dana inpres untuk pendidikan dan
kesehatan.
Dana general purpose inpres biasanya lebih besar daripada specific inpres.
Dana specific inpres, pemerintah daerah dapat membuat proposal yang ditujukan
kepada pemerintah pusat. Dana inpres tersebut akan diberikan namun pemerintah
daerah tidak memiliki otonomi penggunaanya. Sebagai contoh, jika pemerintah

AR Hakim (2009)

3

daerah mendapatkan inpres yang bersifat specific inpres untuk pembangunan sekolah
dasar ( SD ), maka pemerintah daerah hanya dibebaskan untuk menentukan lokasi
SD tersebut, namun tidak diperbolehkan untuk mengalokasikan dana tersebut untuk
keperluan lain, walaupun tetap dalam aspek pendidikan, seperti contohnya

pengadaan buku sekolah. Lebih jauh lagi, tujuan dialokasikan dana inpres ini bukan
ditujukan untuk mempromosikan otonomi daerah, yang tentunya belum terpikirkan
pada waktu itu, namun lebih kepada untuk mencapai tujuan nasional yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat.
Sekitar tahun 1973 merupakan tahun berkah bagi pemerintah pusat karena pada
saat itu terjadi kenaikan harga minyak dunia. Saat itu, Indonesia turut mengalami
dampak ikutan dari boom minyak, akibatnya penerimaan pemerintah meningkat
begitu juga dengan alokasi transfer kepada pemerintah daerah. Namun peningkatan
transfer tersebut justru cenderung mengakibatkan pemerintah daerah tidak memiliki
insentif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Hal tersebut juga
dikarenakan kurangnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola potensi
daerah. Kondisi tersebut relatif stagnan hingga pada akhirnya sekitar tahun 1984,
ketika harga minyak kembali normal, proporsi pendapatan asli daerah kembali mulai
terangkat lagi. Selain itu, pada periode ini sistem pemerintahan daerah bercirikan tiga
prinsip yang berbeda, yakni sebagai berikut :
Pertama, Dekonsentrasi otoritas pengambilan keputusan yakni kewenangan untuk
mengambil keputusan-keputusan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah
pusat.
Kedua, Desentralisasi atau pengalihan wewenang pengambilam keputusan kepada
pemerintah wilayah atau daerah yang relatif otonom.

Ketiga, Administrasi pembantuan ( medebewind ). Tidak semua urusan pemerintahan
dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, namun karena adanya keterbatasan
pemerintah pusat maka beberapa program pemerintah dan pembangunan diserahkan
agar dapat dilaksanakan oleh instansi-instansi didaerah.
Namun dalam pelaksanaannya, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia kala itu
tidak berjalan optimal. Pemerintah Indonesia terutama era Presiden Suharto,
membangun sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik, dimana pengambilan
keputusan dan kontrol sumber daya terpusat pada pemerintah pusat. Kemudian

AR Hakim (2009)

4

muncul era transformasi yang ditandai dengan reformasi yang membawa iklim
pemerintahan lebih demokratis sehingga mendorong Indonesia untuk lebih
mengakomodai permintaan pemerintah daerah.
Seiring dengan era reformasi, pemerintah pusat makin berkomitmen untuk
melaksanakan program desentralisasi sehingga mengilhami lahirnya UU No 22
Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Esensi dari UU No 22 Th 1999 adalah

pembagian kewenangan dan fungsi ( power sharing ) antara pemerintah pusat dan
daerah. Sementara UU No 25 Th 1999 mengatur pembagian sumber-sumber daya
keuangan ( financial sharing ) antara pusat-daerah sebagai konsekuensi dari adanya
pembagian kewenangan tersebut. Tujuan pokok dari UU ini adalah untuk
memberdayakan dan meningkatkan ekonomi daerah, serta mewujudkan sistem
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang didasarkan pada pembagian
tugas kewenangan dan fungsi-fungsi. Dalam kaitannya dengan disparitas daerah,
keduanya juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah dalam
kemampuan membiayai otonominya dan untuk menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proporsional, rasional, serta kepastian sumber keuangan yang
berasal dari wilayah yang bersangkutan. Oleh karenanya, kedua undang-undang ini
dapat dianggap sebagai cetak biru pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Kedua undang-undang ini dapat dikatakan kurang mantap persiapannya
karena dibuat dalam waktu singkat sehingga tidak mengacu pada suatu skema
penting mengenai bentuk dan arah desentralisasi sendiri.
Penerapan UU No 25 Th 1999 memiliki dampak atau implikasi yang cukup
besar terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Banyak hal baru yang diatur
dalam UU No 25 Th 1999 yaitu mengenai Dana Perimbangan sebagai penerimaan
daerah yang merupakan transfer dari pusat ke daerah. Dana Perimbangan sebagai
penerimaan daerah yang merupakan transfer pusat ke daerah. Dana Perimbangan ini

meliputi ( Mahi, 2009 ):
Pertama, Dana Bagi Hasil Pajak ( Tax Revenue Sharing ) yang meliputi Pajak Bumi
dan Bangunan ( PBB ), Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ), dan
Bagi Hasil Pajak Penghasilan ( PPh ). Bagi Hasil Bumi dan Bangunan dibagi dengan
perbandingan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk pemerintah daerah. Bagi

AR Hakim (2009)

5

Hasil Perolehan atas Tanah dan Bangunan dibagi 20% untuk pemerintah pusat dan
80% untuk pemerintah daerah, kemudian bagi hasil pajak penghasilan yang
diserahkan untuk daerah besarnya 20% dan pemerintah pusat 80%.
Kedua, Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam ( Natural Resources Revenue Sharing ).
Melalui kebijakan bagi hasil sumber daya alam diharapkan daerah dan masyarakat
setempat dapat lebih merasakan hasil dari sumberdaya alam yang dimiliki. Karena
selama ini hasil Sumberdaya Alam akan lebih banyak dinikmati oleh pemerintah
pusat dibandingkan masyarakat setempat. Bagi hasil Sumberdaya Alam lebih banyak
dinikmati oleh pemerintah pusat dibandingkan masyarakat setempat. Bagi hasil
Sumberdaya Alam ditujukan untuk mengurangi ketimpangan vertikal ( vertical

imbalance ) antara pemerintah pusat dan daerah pemilik, sedangkan DAU untuk
mengurangi ketimpangan horizontal ( horizontal imbalance ) antara daerah. Skema
bagi hasil sumber daya alam dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut.
Pos Bagi Hasil
SDA

Tabel 1.1 Skema Bagi Hasil SDA ( % )
Kab / Kota
Pemerintah
Kab / Kota
Propinsi
lainnya dalam
Pusat
Penghasil
satu propinsi
85
3
6
6
70

6
12
6
20
16
64
0

Minyak
Gas
Pertambangan :
Land-rent
Pertambangan :
20
16
Royalty
Kehutanan :
20
16
Land-rent

Kehutanan :
20
16
Land-rent
Perikanan
20
Sumber : UU No 25 Th 1999 dalam Mahi ( 2009 )

32

32

64

0

32

32


Seluruh
Kab / Kota
di Indonesia

80

Ketiga, Dana Alokasi Umum ( DAU ). Dana Alokasi Umum merupakan bentuk lain
dari SDO ( Subsidi Daerah Otonom ) dan Dana INPRES pada jaman sebelum
otonomi daerah. Dana alokasi umum menurut UU No25 Th 1999 pasal 7 sekurangkurangnya 25% dari penerimaan dalam negri yang ditetapkan dalam APBN. Dana
alokasi umum untuk daerah Propinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan
masing-masing 10% ( sepuluh persen ) dan 90% ( sembilan puluh persen ) dari dana
alokasi umum yang sudah ditetapkan.
Keempat, Dana Alokasi Khusus ( DAK ) merupakan salah satu komponen transfer
dari pemerintah pusat kepada daerah dengan tujuan untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus. Kebutuha khusus ini seperti kebutuhan yang tidak dapat

AR Hakim (2009)

6

diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum dan kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dana reboisasi merupakan salah satu
komponen dari dana alokasi khusus. Pembagian dari dana reboisasi 40% diberikan
kepada daerah penghasil sebagai DAK dan 60% untuk pemerintah pusat. Tabel
dibawah ini merupakan ringkasan pendapatan utama dari Kabupaten / Kotamadya
dan propinsi, yaitu :
Tabel 1.2 Sumber Pendapatan Utama Kabupaten dan Kotamadya
Sumber Pendapatan
Bagian Kab / Kota
Potensi Pendapatan
Prospek
Pajak hotel & restoran
100%
Besar, khususnya
Baik, khususnya
daerah perkotaan
daerah bisnis & wisata
Pajak hiburan
100%
Besar, khususnya
Baik
daerah perkotaan
Pajak reklame
100%
Besar, khususnya
Baik
daerah perkotaan
Pajak penerangan jalan 100%
Besar, khususnya
Baik
daerah perkotaan
Pajak parkir
100%
Besar, khususnya
Baik
daerah perkotaan
Retribusi
100%
Bervariasi, tergantung
Menengah dan rendah,
pemakai dari jasa
kadang menyebabkan
retribusi
distorsi ekonomi
dipelbagai daerah
Pajak Bumi &
90%*
Menengah,
daerah Baik
Bangunan
perkotaan
Bea Perolehan Hak
80%*
Menengah,
daerah Menengah
atas Tanah &
perkotaan
Bangunan
Bagi Hasil Sumber 64% untuk kehutanan Besar,
hanya Baik
Daya Alam
& pertambangan
bermanfaat buat daerah
12% untuk minyak
yang kaya SDA
24% untuk gas
Bagi
Hasil
Pajak 20%
Besar
khususnya Baik
Penghasilan ( PPh )
daerah metropolitan
Dana Alokasi Khusus
Tidak jelas
Tidak jelas
Sangat kecil
Dana Alokasi Umum
Formula
Diperuntukkan daerah
yang miskin, wilayah
yang
luas,
dan
penduduk yang besar
* nilai diatas merupakan gabungan dengan bagi hasil untuk propinsi sebesar 16%, Kab / Kota
menerima sebesar 74%

Sumber Pendapatan
Pajak kendaraan
bermotor
Bea Balik Nama
kendaraan bermotor
Pajak bahan bakar
kendaraan bermotor
Pajak bumi &
bangunan
Bea Perolehan Hak

Tabel 1.3 Sumber Pendapatan Utama Propinsi
Bagian Kab / Kota
Potensi Pendapatan
100%
Besar, khususnya
daerah perkotaan
100%
Besar, daerah
perkotaan
10&
Besar, daerah
perkotaan
16%
Menengah, daerah
perkotaan
16%
Menengah, daerah

Prospek
Baik
Baik
Baik
Baik
Menengah

AR Hakim (2009)

atas Tanah &
Bangunan
Bagi hasil sumber daya
alam

Dana alokasi khusus
Dana alokasi umum

7

perkotaan
16% untuk kehutanan,
perikanan, &
pertambangan
3% untuk minyak
6% untuk gas
Tidak jelas

Besar, bermanfaat bagi
propinsi yang kaya
SDA

Baik

Tidak jelas
Formula

Sangat kecil
Besar bagi daerah yang
muskin

Distribusi sumberdaya Alam seperti minyak bumi, gas alam, bahan tambang
tidak merata diseluruh daerah di Indonesia sehingga ada daerah yang memperoleh
dana perimbangan sumberdaya alam besar seperti Riau, Kalimantan Timur, Aceh,
Irian Jaya serta ada daerah yang kecil sekali bagi hasil sumberdaya alamnya. Selain
itu, daerah seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya akan memperoleh dana bagi
hasil pajak ( PBB, BPHTB, dan PPh ) yang cukup besar, karena kegiatan ekonomi
terpusat

didaerah

metropolitan.

Kondisi

seperti

ini

membawa

implikasi

meningkatnya kesenjangan fiskal antara daerah, pada akhirnya melalui kebijakan
ekonomi ( ekspansi pengeluaran pemerintah ) dapat meningkatkan adanya
kesenjangan ekonomi antara daerah.
Perbedaan kemampuan fiskal antar daerah akan berpengaruh terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menggerakkan roda
perekonomiannya. Pemerintah daerah yang memiliki dana cukup besar dapat
melakukan ekspansi pengeluaran karena pemerintah daerah dapat melakukan
pembangunan sarana & prasarana, melakukan investasi, menyediakan dan
meningkatkan kualitas barang publik. Ekspansi yang dilakukan pemerintah daerah
tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mempengaruhi kondisi
makroekonomi lainnya seperti tingkat konsumsi, investasi, dan pengeluaran
pemerintah. Pembangunan sarana & prasarana yang cukup baik akan menarik minat
investor untuk menanamkan modalnya didaerah tersebut sehingga kegiatan ekonomi
semakin meningkat. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa daerah yang
memiliki kemampuan fiskal yang cukup akan semakin maju perekonomiannya
sedangkan daerah yang tidak memiliki kemampuan fiskal akan semakin tertinggal.
Menyadari kemungkinan akan meningkatkan inequality antar daerah baik itu
pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapita sebagai akibat dari bagi hasil
sumberdaya alam dan bagi hasil pajak, maka berdasarkan UU No 25 Th 1999,

AR Hakim (2009)

8

pemerintah memberikan bantuan berupa berupa DAU yang bersifat ( block grant )
yaitu bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat yang penggunaannya ditentukan
oleh tiap-tiap daerah sendiri. Besarnya DAU masing-masing daerah ditentukan
dengan menggunakan konsep kesenjangan fiskal ( fiscal gap ), dimana kebutuhan
DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah ( fiscal needs ) dan potensi
daerah ( fiscal capacity ). Berdasarkan konsep fiscal gap daerah-daerah yang
memiliki kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang lebih kecil dan
daerah yang kapasitas atau kemampuan fiskalnya rendah akan memperoleh DAU
yang relatif besar. Dengan konsep ini daerah-daerah yang kaya SDA dan daerah
yang pajaknya besar akan memperoleh DAU yang relative kecil. Dengan demikian
dapat terlihat bahwa DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan fiskal tiap daerah
( equalizing transfer ). Dengan bantuan ini diharapkan dapat memperbaiki
kesenjangan pendapatan dan meningkatkan pertumbuhan antar daerah.
Dalam perkembangannya, kedua UU itu direvisi menjadi UU No 32 Tahun
2004 sebagai pengganti UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004 sebagai
pengganti UU UU No 25 Tahun 1999. Menurut World Bank dalam Wibisono &
Roeslan ( 2003 ), ada beberapa kelemahan serius dari kedua UU terdahulu, antara
lain :
Satu, Tanggung jawab pengeluaran bagi pemerintah daerah dijelaskan terlalu umum
sehingga dapat mengancam penyediaan jasa publik yang efektif.
Dua, Mendesentralisasikan hampir semua fungsi-fungsi pelayanan publik kepada
pemerintahan di tingkat kabupaten / kota mungkin tidak sesuai dengan kapasitas
pemerintahan lokal.
Tiga, Desentralisasi tidak didukung oleh kesiapan institusi lokal akibat desentralisasi
politik yang tidak lengkap. Budaya sentralistik masih sangat terasa diberbagai daerah
sebagai akibat budaya politik dan pemerintahan dimasa lalu yang sangat dominan.
Empat, Bagi hasil sumberdaya alam terutama migas dapat memperburuk
kesenjangan antar daerah apabila tidak diikuti oleh sistem perimbangan keuangan
yang baik. Selain itu, masuknya unsur pendapatan dari bagi hasil SDA dalam
anggaran ditengarai akan mendorong upaya eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan oleh pemerintah daerah sehingga mengancam kelestarian alam dan
lingkungan.

AR Hakim (2009)

9

Lima, pelaksanaan desentralisasi administrasi dan fiskal yang bersamaan tidak diikuti
oleh kemampuan menentukan transfer yang dibutuhkan untuk membiayai fungsi
publik yang didesentralisasikan. Hal ini dapat mengancam tujuan skema pemerataan.
Enam, Pelimpahan tanggung jawab penyediaan jasa publik tidak diikuti dengan
perluasan local taxing power yang memadai.
Tujuh, Jangka waktu penerapan otonomi daerah sangat ketat. Kedua perundangan ini
disahkan DPR tanggal 7 Mei 1999 dengan masa tenggang selambat-lambatnya dua
tahun. Sementara pelaksanaan otonomi daerah praktis dimulai tahun 2001. Jangka
waktu relatif pendek ini dinilai sangat ketat untuk melakukan transisi pemerintahan
dari sentralistik menuju bentuk yang lebih otonom.
Dalam UU No 32 Th 2004, dijabarkan mengenai urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi, yakni :
(1) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (2) perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang, (3) penyelenggaraaan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat, (4) penyediaan sarana dan prasarana umum, (5) penanganan bidang
kesehatan, (6) penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia
potensial, (7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten / kota, (8) pelayanan
bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota,, (9) fasilitasi pengembangan
koperasi, usaha kecil, dan menengah, (10) pengendalian lingkungan hidup,
(11) pelayanan pertanahan, (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil,
(13) pelayanan adminstrasi umum dan pemerintahan, (14) pelayanan administrasi
penanaman modal, (15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dan (16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundangan.
Beberapa perbedaan antara UU No 25 tahun 1999 dengan UU tahun 2004 dapat
dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 1.4 Perbandingan UU No 25 Th 1999 dengan UU No 33 Th 2004
UU Nomor 25 Th 1999
UU Nomor 33 Tahun 2004
Sumber penerimaan daerah :
Sumber Penerimaan daerah :
• Penerimaan daerah terdiri dari PAD, dana
• Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan
perimbangan, pinjaman daerah, serta lain-lain
dan pembiayaan
yang sah
• Sumber penerimaan daerah terdiri daeri PAD,
dana perimbangan, serta lain-lain pendapatan.
• Pinjaman daerah merupakan penerimaan
• Pembiayaan daerah terdiri dari sisa lebih
• Lain-lain PAD yang tidak disebutkan
perhitungan anggaran daerah, dana cadangan
sumbernya
daerah, penerimaan pinjaman daerah, dan
hasil penjualan kekayaan daerah yang

AR Hakim (2009)

10

dipisahkan.
• Pinjaman daerah merupakan pembiayaan
• Lain-lain PAD yang sah berasal dari hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bungam
keuntungan selisih nilai tukar rupiah, komisi,
potongan, atau bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan pengadaan barang dan jasa oleh
daerah.
Dana Bagi hasil :
• DBH pajak yang diatur adalah PBB, BPHTB,
dan PPh.
• Kedua PP tersebut diakomodasikan dalam
bentuk UU
• Penyaluran PPh dilakukan triwulanan
• Dana reboisasi merupakan dana bagi hasil
kehutanan
• Bagian daerah dari bagi hasil minyak sebesar
15,5 % dan gas bumi sebesar 30,5%
• Terdapat bagi hasil pertambangan panas bumi
dalam BH SDA

Dana Bagi hasil :
• DBH pajak yang diatur hanya PBB dan
BPHTB. PPh orang pribadi dalam negri diatur
dalam PP 115 / 2000
• Proses pembagian PBB dan BPHTB diatur
dalam PP no 104 / 2000. Dana perimbangan
serta pengaturan tentang bagi hasil PPh
dijelaskan dalam PP no 105 / 2000.
• Penyaluran PPh kepada daerah dilakukan tiap
tahun sekali
• Dana reboisasi merupakan dana alokasi khusus
• Bagian daerah dari bagi hasil minyak sebesar
15% dan gas bumi 30%
• Tidak terdapat bagi hasil SDA yang berasal
dari pertambangan panas bumi
DAU dan DAK :
DAU dan DAK :
• DAU dialokasikan sekurang-kurangnya 25%
• DAU dialokasikan sekurang-kurangnya 26%
dari pendapatan dalam negri
dari pendapatan dalam negri
• Variasi kebutuhan fiskal berupa jumlah
• Terdapat tambahan variabel berupa PDRB per
penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan
kapita, indeks pembangunan manusia sebagai
konstruksi, indeks kemiskinan relatif
pengganti indeks kemiskinan relatif
• Terdapat DAK reboisasi
• Tidak ada DAK dana reboisasi

Pinjaman dan Obligasi Daerah :
Pinjaman dan Obligasi Daerah :
• Pinjaman daerah diatur dalam PP No 107/2000, • Terjadi proses konsistensi antar produk hukum.
UU 17/2003 tentang keuangan negara,
Daerah tidak boleh melakukan pinjaman secara
PP 23/2003 tentang batas kumulatif pinjaman
langsung
daerah
• Daerah dapat menerbitkan obligasi yang
dikelola oleh keputusan daerah yang mendapat
persetujuan DPRD.
Sumber : UU No 25 Th 1999 & UU No 33 Th 2004

Dalam UU yang baru, diatur mengenai pinjaman daerah. Pinjaman daerah
bukan lagi sebagai sumber penerimaan, namun kini dianggap sebagai sumber
pembiayaan ( financing ). Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar pinjaman
daerah nantinya dapat lebih terkontrol dan memudahkan pengawasan. UU No 33 Th
2004 dengan tegas menyatakan secara eksplisit mengenai sumber-sumber
pendapatan lain yang sah. Hal ini bertujuan agar daerah tidak serta merta berhak
meningkatkan pendapatan daerah dengan cara-cara yang justru dapat memperburuk
perekonomian nasional, seperti menerbitkan peraturan daerah yang dapat
menghambat iklim investasi dan mengganggu kelancaran kegiatan perekonomian.

AR Hakim (2009)

11

Selain itu, dalam UU No 34 Th 2000 ada peraturan mengenai kewenangan daerah
untuk memungut pajak dan restribusi. UU ini merupakan penyempurnaan dari UU
No 18 Th 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP No 65 Th
2001 tentang pajak daerah serta PP No 66 Th 2001 yang mengatur tentang restribusi
daerah.
Oleh karenanya, kedua produk UU yang baru ini diharapkan menjadi jawaban
atas beragam kendala yang muncul dalam periode pemerintahan terdahulu. Melalui
revisi kedua undang-undang ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya masih
mencari bentuk yang tepat terhadap penerapan desentralisasi. Isu koordinasi yang
kurang baik masih menonjol disini seperti ketidaksinkronan diantara kedua undangundang tersebut, masalah pemekaran yang lebih didasari kepentingan elit ketimbang
mensejahterakan masyarakat lokal, sampai kepada banyak undang-undang sektoral
yang tidak selaras dengan otonomi daerah. Namun demikian, proses desentralisasi di
Indonesia berjalan cukup lancar meski perlu ada perhatian lebih dari pemerintah
pusat dan daerah untuk menutup beberapa kekurangan yang ada.
Meski demikian, kedua undang-undang ini menjadi suatu tonggak sejarah yang
mengawali kewenangan pemerintah daerah mengatur rumah tangga pemerintahannya
sendiri. Kewenangan mengatur berbagai bidang termasuk bidang ekonomi, berarti
pemerintah daerah dapat mendorong atau mempercepat tercapainya kemakmuran
masyarakat melalui perencanaan ekonomi makro dan mikro secara matang dan
cermat.
Bentuk implementasi kedua UU dalam desentralisasi fiskal di Indonesia
ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan daerah dalam jumlah yang
sangat signifikan dibandingkan era sebelum desentralisasi. Perubahan itu seperti
transfer dari pusat kedaerah dalam bentuk dana perimbangan melonjak drastis baik
secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana perimbangan yang terdiri dari dana
alokasi umum, dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus memberikan konstribusi
lebih dari 85% rata-rata penerimaan Kabupaten/Kota, dan sekitar 70% rata-rata
penerimaan daerah propinsi ( Hirawan, 2007 ).
Adanya transfer yang sangat besar ini disatu sisi menimbulkan ketergantungan
kepada pemerintah pusat, yang kemudian diiringi dengan besarnya fungsi atau
kewenangan justru memunculkan satu dampak kurang bagus bagi perekonomian.

AR Hakim (2009)

12

Sebagian daerah berkeinginan untuk meningkatkan peran pendapatan asli daerah
sebagai refleksi otonomi fiskal. Namun karena kurangnya pemahaman akan prinsip
perpajakan yang baik, maka upaya yang dilakukan justru mengganggu ( distortif )
terhadap aktivitas perekonomian daerah tersebut juga perekonomian kawasan secara
keseluruhan. Keadaan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan kebijakan desentralisasi
fiskal baik desentralisasi secara umum maupun desentralisasi secara khusus. Hakekat
dari desentralisasi ini bertujuan mendekatkan pemerintah dengan masyarakat
sedemikian sehingga akan meningkatkan efisiensi sektor publik dari sisi transparansi
dan akuntabilitas pengambilan kebijakan untuk penggunaan dana publik dalam
rangka penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
lokal ( Hirawan, 2007 ). Upaya yang dilakukan ini bertujuan untuk mewujudkan
menekankan prinsip dasar

dalam desentralisasi fiskal yaitu “ finance follows

function ”.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu
hampir delapan tahun ini telah mengubah secara drastis hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah serta hubungan antar sektor-sektor pemerintahan.
Penataan ulang juga terjadi secara horizontal di tingkat pusat dan tingkat daerah yang
meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Alasan pokok pelaksanaan desentralisasi
adalah untuk memenuhi tujuan demokrasi dan mewujudkan kejahteraan masyarakat,
artinya kebijakan ini untuk menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang
demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik
( Simanjuntak, 2008 ).
Landasan dari pelaksanaan desentralisasi tersebut adalah untuk memenuhi
tujuan demokratisasi dan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Artinya
kebijakan desentralisasi ini dimaksudkan untuk menciptakan proses pengambilan
keputusan publik yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh
lebih baik. Nampaknya, upaya pemenuhan berbagai syarat demokratisasi lebih
mudah dilakukan ketimbang merealisasikan kesejahteraan masyarakat. Paling tidak
dalam tataran simbol, pelaksanaan desentralisasi ini telah memberikan kesan
mendalam kepada semua pihak bahwa Indonesia saat ini adalah salah satu negara
demokrasi terbesar di dunia. Namun terkait dengan tujuan kesejahteraan, masih jauh
panggang dari api. Tujuan kesejahteraan menyaratkan pemerintah daerah untuk bisa

AR Hakim (2009)

13

menyediakan layanan publik kepada masyarakat lokal secara ekonomis, tepat guna
dan sesuai kebutuhan. Lalu, desentralisasi juga diharapkan bisa mengurangi
kemiskinan lewat, misalnya, peningkatan transfer dana spesifik untuk sektor-sektor
tertentu yang jadi prioritas karena bersinggungan dengan orang miskin. Realitas
disebagian besar daerah di Indonesia menunjukkan bahwa hal ini belum terpenuhi
( Hirawan, 2007 ).
Upaya

ini

diharapkan

mendorong

pemerintah

agar

daerah

mampu

menyelenggarakan layanan publik yang lebih baik dan lebih efisien dibanding
pemerintah pusat. Efisiensi itu muncul karena pemerintah daerah lebih mengetahui
kebutuhan masyarakatnya sekaligus bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut
dengan cara paling efisien. Selain itu, pemerintah daerah juga akan bereaksi lebih
cepat apabila kebutuhan muncul dan pada akhirnya, masyarakat lokal akan merasa
puas atas pelayanan pemerintah lokalnya. Kepuasan tersebut kemudian dapat
mendorong produktivitas masyarakat setempat yang kemudian memicu ekonomi
lokal yang lebih tinggi. Simplifikasi seperti diatas baru dapat muncul apabila
hubungan agen dan prinsipal berjalan dengan baik. Dalam hubungan ini, diharapkan
tentunya agar pemerintah daerah bisa menjadi agen yang sempurna bagi masyarakat
lokal dengan mengutamakan pencapaian kesejahteraan maksimal ( Sato, 1994 dalam
Brodjonegoro, 2006 ).
Ide layanan publik ini bermula dari keberhakan atau entitlement yang dimiliki
oleh seorang individu. Asumsinya adalah setiap individu mempunyai keberhakan
terhadap sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Namun, keberhakan ini sangat
dipengaruhi oleh karakteristik individu dimana tidak jarang individu mampu
merealisasikan keberhakannya. Maka pemerataan menjadi notion dari keberhakan.
Kebijakan yang berlaku sering tidak bisa mengakomodir keberhakan, ketika
perspektif yang lebih kuat harusnya dapat diterima dan dinikmati penduduk supaya
dapat mengaktualisasikan keberhakannya. Harus diakui jika konsep keberhakan ini
terlalu konseptual kemudian perlu ditransformasikan dalam bentuk praksis sehingga
lahirlah konsep pelayanan publik minimum. Istilah ini dapat diartikan sebagai
sejumlah

layanan

dasar

yang

membuat

orang

dapat

mengaktualisasikan

keberhakannya atau dengan kata lain individu mendapat sebagaimana yang mampu
individu itu peroleh ( Nazara, 2009 ).

AR Hakim (2009)

14

Pemerintah daerah dalam konteks ini dianggap lebih cocok membuat
perencanaan lokal dan melaksanakannya, dibanding pemerintah pusat. Meski begitu,
timbul kekhawatiran bahwa kewenangan yang besar yang dimiliki pemerintah daerah
akan rentan terhadap korupsi dan praktek rent-seeking. Oleh karenanya perlu
kewaspadaan melalui perhatian seksama terhadap seberapa jauh tingkat akuntabilitas
pemerintah daerah yang bersangkutan dengan konstituennya serta bagaimana
penerapan demokrasi ditingkat lokal ( Brodjonegoro, 2006 ).
Potret perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat punya
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun memang sejalan dengan peningkatan
sumber pendanaan daerah karena desentralisasi fiskal. Namun jika dicermati lebih
jauh atas yang terjadi terlihat dua hal yang menonjol. Pertama, indikator tingkat
kesejahteraan masyarakat

secara nasional menunjukkan perbaikan, namun tidak

semua daerah. Kedua, korelasi antara peningkatan transfer dengan perbaikan tingkat
kesejahteraan rendah. Uji regresi sederhana untuk melihat korelasi antara keduanya
tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dan cenderung tidak signifikan. Bahkan
beberapa daerah yang rata-rata transfer perkapitanya tinggi justru menunjukkan ratarata persentase penduduk yang miskin selama proses desentralisasi ( Simanjuntak,
2008 ). Padahal menurut Braun & Grote ( 2002 ) dalam Brodjonegoro ( 2006 )
mengemukakan bahwa desentralisasi berpotensi mendorong partisipasi kelompok
miskin dalam proses penyusunan anggaran daerah agar berpihak pada kepentingan
orang miskin dan ada upaya monitoring serius terhadap anggaran agar tetap sasaran.
Namun, kaitan ini dapat dimengerti jika mencermati bagaimana komposisi
belanja APBD baik tingkat Propinsi atau Kabupaten / Kota. Dalam periode empat
tahun terakhir era desentralisasi fiskal ini, rata-rata belanja modal tidak mencapai
sepertiga

dari

keseluruhan

pengeluaran

daerah.

Jumlahnya

masih

kalah

dibandingkanbelanja pegawai yang tetap berada diurutan pertama sejak sebelum
dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini kemudian diperparah
dengan keterlambatan penyusunan APBD yang kerap kita dengar, walaupun dari
tahun ketahun waktunya bisa dikurangi atas upaya pemerintah pusat juga daerah
yang bersangkutan. Keterlambatan ini tentu saja akan membawa dampak pada
percepatan bergulirnya roda perekonomian daerah itu sendiri. Tambahan lagi, banyak
sekali APBD yang mengalamik surplus, yang mencerminkan kurang memadainya

AR Hakim (2009)

15

perencanaan anggaran dan rendahnya kemampuan untuk memanfaatkan anggaran
( Simanjuntak, 2008 ).
Kenyataan ini menuntut agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih
serius mengupayakan bagaimana agar pola belanja daerah bisa efektif dalam
mendorong perekonomian daerah. Upaya penerapan “ good governance ”, musti
menjadi dasar dan pemicu dalam penyusunan APBD yang tepat waktu, tepat sasaran,
dan berdampak signifikan bagi pembangunan ekonomi daerah yang kemudian dapat
menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki pendapatan masyarakat.

Daftar Referensi :
Brodjonegoro, Bambang PS. “ Desentralisasi Sebagai Kebijakan Fundamental untuk
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Mengurangi Kesenjangan Antar
Daerah di Indonesia ”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta, 2006.
Faisal. “ Fiscal Decentralization and Economic Growth at Provincial Level in
Indonesia ( 1995 – 1999 ) ”. Tesis di Geogia State University, Andrew Young
School of Policy Studies. Atlanta, 2002.
Hirawan, Susijati B. “ Desentralisasi Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan
Penyediaan Layanan Publik ( Bagi Orang Miskin ) di Indonesia ”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta,
2007.
Mahi, B Raksaka. “ Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah ”. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 6, No. 1 Juli, 2005.
---------------------. “ Bahan Kuliah Teori Barang Publik & Keuangan Negara ”.
Bahan Ajar Kuliah Teori Barang Publik & Keuangan Negara PPIE Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2009.
Roeslan, Femmy & Yusuf Wibisono. “ Bahan Kuliah Perekonomian Indonesia ”.
Bahan Ajar Kuliah Perekonomian Indonesia DIE Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2003.
Simanjuntak, Robert A. “ Desentralisasi Fiskal dan Manajemen Makroekonomi serta
Urgensi Suatu Grand Design di Indonesia ”. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.