SISTEM PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM ARAH DA (1)

SISTEM PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM: ARAH DAN MASA
DEPAN EKONOMI ISLAM
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Al quran tentang
Ekonomi
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Waryono Abdul Ghafur

Disusun oleh:
Agep Rumanto (1420310086)

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
KONSENTRASI KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

1|Page

ABSTRAK
Permasalahan utama ekonomi konvensional dewasa ini adalah

eksploitasi, ketidakmerataan ekonomi, dan stabilitas ekonomi. Ekonomi
konvensional ternyata banyak menimbulkan ekses-ekses negatif. Ekonomi
konvensional juga tidak bisa diandalkan dalam membangun ekonomi negaranegara berkembang. Kenyataan yang ada adalah bahwa negara berkembang itu
justru menjadi sapi perah bagi negara-negara maju. Hal itu karena negara-negara
berkembang tersebut “mengamalkan” ekonomi liberal. Maka dari itu, ekonomi
Islam diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Dalam makalah
ini ada empat kunci utama yang akan diajukan dalam kerangka pengembangan
ekonomi Islam yaitu ekonomi tanpa eksploitasi, pemerataan kesempatan ekonomi,
ekonomi yang terkandung kearifan lokal, dan sumber daya insan Islami.
Kata kunci: pembangunan ekonomi Islam, eksploitasi, pemerataan ekonomi,
kearifan lokal, sumber daya insan Islami

2|Page

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak Adam Smith mengemukakan teori pasarnya maka orang percaya
bahwa mekanisme pasar akan mampu menyelesaikan masalah ekonomi yang ada
dalam masyarakat. Akan tetapi harapan mereka tidak sepenuuhnya terpenuhi,
dalam beberapa kasus ada masalah ekonomi yang tidak bisa diserahkan

sepenuhnya kepada pasar. Hal ini kemudian direspon Karl Marx dengan
mengajukan teori tandingannya. Orang yang percaya dengan teori Marx pun
berharap bahwa sistem ekonomi yang Marx kembangkan akan mampu
menyelesaikan masalah ekonomi mereka. Akan tetapi setali tiga uang dengan
kubu Adam Smith, kubu Karl Marx pun menghadapai masalah serupa yakni
bahwa mereka masih tetap menghadapi masalah-masalah ekonomi yang tidak bisa
diselesaikan. Pada tahun 1930-an muncul teori pembaharu, John Maynard Keynes
mengajukan teorinya bahwa ekonomi tidak semuanya bisa diserahkan kepada
pasar, harus ada intervensi pemerintah untuk mempengaruhi pasar. Akan tetapi hal
ini pun tidak sepenuhnya mampu menjadi obat bagi ekonomi, karena terbukti
masih ada. Masalah utama dari ekonomi konvensional adalah eksploitasi,
ketidakmerataan ekonomi, dan ketidakstabilan.
Ekonomi Islam diharapkan mampu mengatasi semua penyakit ekonomi
konvensional tersebut. Hal ini karena dengan spirit Islam itu sendiri bahwa Islam
adalah penyempurna akhlak. Dengan analogi itu maka ekonomi Islam hanyalah
menyempurnakan akhlak ekonomi liberal dan sosialis. Artinya ekonomi Islam
mengambil yang baik dari ekonomi liberalis dan sosialis dan membuang yang
buruk dari mereka. Maka ekonomi Islam diharapkan mampu menghilangkan efekefek negatif ekonomi konvensional.

3|Page


BAB II
PEMBAHASAN
Konsep pembangunan ekonomi Islam berdasarkan pada perintah Allah
adalah untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Perintah ini terdapat dalam Al
Quran surat Al hud : 61

Artinya:
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya)".
Kalimat

“ista’marokum” dalam ayat tersebut, yang berarti bahwa manusia

diminta untuk memakmurkan, atau manusia diciptakan untuk tujuan hidup
makmur sejahtera. Perintah itu bisa diaplikasikan dalam tatanan mikro dan makro.

Dalam tatanan mikro berarti Allah memerintah dalam dataran orang per orang
yaitu bahwa setiap orang wajib menjadi pelaku kemakmuran bagi diri dan
lingkungan sekitar. Dalam tatanan makro berarti setiap orang tadi bersatu
membentuk persekutuan untuk bersama-sama menciptakan kemakmuran besama.
Persekutuan itu bisa dalam beberapa bentuk, misalnya suku, bangsa, dan negara.
Dalam dataran negara, pengamalan ayat tersebut tercantum dalam UUD 1945
negara Indonesia. Penjelasan lebih lanjut akan dibahas ke sub-bab selanjutnya.

4|Page

a. Ekonomi yang ma’ruf
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial …”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin
dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
d. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan social.
Hal pokok yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah pada bidang
ekonomi. Jika kita mengacu kepada ke-empat tujuan negara tadi maka dalam
bidang ekonomi tujuan negara tertuang dalam kalimat melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum. Kata melindungi bisa bermakna luas yaitu melindungi jiwa dan raga,
harta, dan martabat warga negara dan bangsa. Ini adalah tujuan paling dasar dari
didirikikannya negara. Kemudian setelah tujuan dasar itu terpenuhi maka tujuan
berikutnya adalah memajukan kesejahteraan umum. Apabila ditarik ke dalam
konteks kekinian maka arti kata kesejahteraan bisa bermakna kemajuan dalam hal
ekonomi. Hal ini bukan penyempitan makna dari kata sejahtera hanya untuk

5|Page

bidang ekonomi akan tetapi karena alasan kontekstualisasi. Bidang ekonomi

menempati sebagian besar porsi kehidupan manusia sekarang ini. Bukan tidak
mungkin di masa mendatang manusia tidak lagi menaruh perhatian yang besar
terhadap besaran ekonomi, akan tetapi tujuan pokoknya adalah tetap dalam
lingkup kesejahteraan.
Sedangkan menurut Maududi dalam bukunya Islamic Law and
Constitution, disebutkan bahwa tujuan negara menurut Al Quran tertuang dalam
surat Al Hajj ayat 41 yang berbunyi1:

Artinya:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan.
Hal yang menarik untuk dicermati di dalam ayat tersebut adalah kata
makruf. Dalam aspek ma’ruf, erat kaitannya dengan kondisi spesifik suatu
masyarakat yang bisa berupa kondisi geografi, sosial, poitik, budaya, dan adat.
Artinya jika kita berbicara ma’ruf maka kita harus memperhatikan ciri-ciri khas
dari suatu masyarakat atau bangsa. Satu hal yang ma’ruf di di suatu bangsa belum
tentu ma’ruf di bangsa lain. Bahwasanya Allah menciptakan umat manusia
berbangsa-bangsa seperti tercantum dalam surat Al Hujurat ayat 13:


1 Sayyid Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution, diterjemahkan dan diedit oleh
Khurshid Ahmad, 1983, hal. 183

6|Page

Artinya :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Makna kata bangsa mengacu kepada suatu kelompok manusia yang
dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama,
ideologi, budaya, dan sejarah2. Jadi jelaslah sekarang bahwa makruf erat
kaitannya dengan bangsa. Hal ini karena kemakrufan melekat pada kearifan lokal
setiap bangsa yang mana kearifan lokal ini berbeda-beda antar setiap bangsa. Oleh
karena itu untuk mencapai taraf ekonomi yang makruf maka aspek-aspek bangsa
perlu diperhatikan. Artinya pengembangan ekonomi harus didasarkan dan
disesuaikan dengan ciri-ciri dan kondisi-kondisi spesifik suatu bangsa atau

masyarakat.
Pemasukan unsur ma’ruf (kearifan lokal) ke dalam pengembangan
ekonomi Islam ini mengacu pada fenomena bahwa tidak sedikit dari bentukbentuk akad yang ada dalam fikih muamalah maliyah merupakan warisan tradisi
(kearifan lokal) masyarakat sekitar wilayah Arab. Lebih dari itu, kaidah fikih
secara tegas menyebutkan: at-Ta’yinu bi al-‘urfi ka al-ta’yinu bi al-nash,
ketentuan berdasar kearifan lokal seperti ketentuan berdasarkan nas (nash)3.
Penyamarataan strategi pembangunan ekonomi untuk semua bangsa dan
masyarakat hanya akan menimbulkan ekses-ekses negatif. Strategi pembangunan
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa, 10 Desember 2014.
3 Addiarahman, Mengindonesiakan Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2013), Hal.43

7|Page

yang berhasil baik di suatu bangsa belum tentu berhasil baik pula saat diterapkan
di bangsa lain.
Ekonomi yang ma’ruf itu tidak bisa tercapai kalau masyarakat itu tidak
mengenal diri mereka sendiri. yang dimaksud diri itu adalah kondisi materi dan
immateri (spiritual), materi meliputi letak geografis, iklim, kondisi tanah, dsb
sedangkan immateri meliputi adat, sosial, budaya, agama, politik, dsb.
Bahwasanya Tuhan memang menyengaja menciptakan manusia berkelompokkelompok dalam bangsa-bangsa yang berbeda. Mengacu pada definisi bangsa

seperti yang telah disebutkan di awal, secara lebih jelas bahwa suatu bangsa telah
memiliki tatanan kehidupan berkehidupan termasuk bernegara dan berekonomi
secara mapan. Hal ini karena jika belum punya tatanan yang matang, lengkap, dan
sistematis dan saling terkait maka belum layak disebut. Ini bermakna bahwa suatu
bangsa bisa makmur dengan sendirinya tanpa harus meniru atau mengadopsi nilainilai dan tata sitem kelola (dalam hal ini ekonomi) untuk mencapai
kemakmurannya. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia dipecahpecah sebagai bangsa melainkan untuk memakmurkan setiap hamba-hambaNya
itu.
b. Pemerataan Kesempatan Ekonomi
Ekonomi Islam harus mampu menyelesaikan problem ketimpangan ekonomi
baik secara mikro dan makro. dalam tatanan mikro contohnya ketimpangan
pendapatan orang perorang. Pemandangan nyata dari ketimpanagn ini adalah
banyak gedung tinggi berdiri di samping perkampungan kumuh. Sedangkan dalam
tatanan makro, contohnya adalah ketimpangan pembangunan antara Jawa dan
daerah lain.
Pemerataan kesempatan ekonomi lebih luas maknanya daripada sekedar
pemerataan pendapatan. Pemerataan kesempatan ekonomi merujuk pada semua
aspek ekonomi mulai dari produksi distribusi dan konsumsi. Dalam aspek
produksi seharusnya semua warga negara diberi kesempatan yang sama dalam
menguasai faktor-faktor produksi seperti modal, tanah, tenaga kerja, dan faktorfaktor produksi lain. Dalam hal distribusi juga jangan sampai ada monopoli atau
8|Page


pengusaan oleh segelintir orang yang biasanya adalah orang yang kuat modal
(uang) seperti tengkulak. Karena tengkulak itu lebih sering mengambil untung
berlipat tidak terkira dan menekan para produsen, yang biasanya golongan
ekonomi lemah, seperti petani, buruh, dsb. Penguasaan rantai distribusi yang
dikuasai oleh segelintitr orang itu membuat para petani teesebut tidak memiliki
pilihan lain selain menjual kepada tengkulak itu dengan harga yang rendah.
Dalam artian konsumsi bahwa pemerataan kesempatan ekonomi merujuk pada
peningkatan daya beli (pendapatan) per individu sehingga tingkat konsumsi
mereka meningkat, artinya kesejahteraan meningkat.
Islam berusaha keras untuk mewujudkan pemerataan kesempatan
ekonomi, hal ini karena Allah mengecam peredaran harta yang hanya
terkonsentrasi di segelintir orang saja. Sebagaimana yang tertera dalam surat AlHasyr: 7:

Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk
rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja
di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa

yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
c. Ekonomi tanpa Eksploitasi

9|Page

Ekonomi Islam harus mampu manjawab masalah ekonomi konvensional yaitu
eksploitasi, baik eksploitasi pada manusia dan eksploitasi pada alam. Teori
ekonomi konvensional yang dibangun dengan dasar argumen bahwa kebutuhan
manusia tidak terbatas dan sumber daya ekonomi terbatas membuat orang menjadi
serakah. Sedangkan teori ekonomi Islam justru kebalikannya yaitu bahwa
kebutuhan manusia itu (ada) batasnya dan sumber daya ekonomi itu melimpah.
Kebutuhan manusia terbatas karena pada satu titik tertentu manusia akan berhenti
mengkonsumsi suatu barang. Sebagai contoh adalah saat kita kenyang maka kita
akan berhenti makan. Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa berhentilah
makan4 sebelum kenyang. Hal ini menganjurkan kepada manusia bahwa manusia
tidak boleh menuruti hawa nafsunya yang akan berujung pada redamnya sifat
serakah dan lebih merangsang sifat untuk berbagi kepada sesama.
Dengan mengetahui bahwa manusia seharusnya ada batasnya maka tidak akan
ada dikotomi seperti yang pernah dikatakan Adam Smith yang membagi manusia
menjadi dua yaitu Homo economicus (makhluk ekonomi) dan homo socius
(makhluk sosial) . Kekeliruan ekonomi konvensional (liberal) adalah cara
pandang mereka terhadap manusia saat berekonomi adalah bahwa manusia itu
homo economicus dan bukan homo socius. Hal ini aneh karena ekonomi liberal
yang diinspirasi dari Adam Smith hanya mengambil cara pandang homo
economicus, padahal sebelum Adam Smith mengungkapkan homo economicus,
dia telah mencetuskan teori terlebih dahulu bahwa manusia itu makhluk sosial
(homo socius)5. Agaknya homo socius memang sengaja dilupakan oleh para
pelaku ekonomi konvensional untuk menuruti hasrat keserakahan mereka. Jadi
bapak ekonomi liberal sekalipun sebenarnya berpandangan sama dengan ajaran
Islam, yaitu bahwa manusia dalam berekonomi harus mengenal batas-batas karena
akan memiliki dampak secara sosial.
d. Memulai dari Diri Sendiri
4 Jika arti makan diperluas menjadi semakna arti mengkonsumsi, maka hadits tersebut bisa
diartikan berhentilah mengkonsumsi sebelum kamu mencapai titik kepuasan dari mengkonsumsi
barang tersebut.
5 Sebelum Adam Smith menerbitkan buku The Wealth of Nation, dia telah menulis buku berjudul
The Moral Sentiment. The Moral sentiment banyak berbicara mengenai manusia sebagi makhluk
yang bermoral.

10 | P a g e

Ketiga poin di atas akan menjadi percuma jika tidak ditopang oleh sumber
daya insani yang handal. Islam sebagai ajaran moral menjadi satu-satunya solusi
dalam pengembangan sumber daya insani ini. Hal ini terlihat dari dua pokok
ajaran Islam yaitu selain akidah, Islam juga bertumpu pada akhlak. Dalam bahasa
masyarakat awam, Islam selain mengatur tata cara ibadah, juga mengatur soal
akhlak dan budi pekerti orang-perorang.
Dalam haditsnya Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa Beliau hanya
diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Artinya sebagai seorang
muslim tuntutan pertama adalah bahwa kita harus memiliki akhlak yang mulia,
termasuk dalam hal berakhlak dalam ekonomi. Maka dari itu jalan perbaikan
pembangunan ekonomi Islam adalah perbaikan pada individu-individu pelaku
ekonomi. Perbaikan ini tentu saja harus dimulai dari diri kita sendiri, lingkungan
terdekat dan saat ini juga.
Titik tumpu perubahan sistem kehidupan apapun memang harus dimulai dari
individu itu sendiri. Jika kita menengok kepada ajaran Islam, kita memang
dituntut untuk melakukan perubahan dari paling awal atau yang paling sederhana.
Seperti kita ketahui bahwa akhlak merupakan kepribadian Rasulullah SAW, maka
jika setiap muslim mampu berakhlak seperti Rasulullah maka akhlak akan
menjadi jati diri yang kuat. Akhlak menjadi begitu penting karena dari akhlaklah
kita bisa menilai seseorang. Penilaian itu berupa manfaat atau output apa yang
individu itu tunjukkan. Akhlak itu akan berdampak sosial sehingga jika akhlak si
Muslim itu baik maka dia akan memperbaiki lingkungan sosialnya.

11 | P a g e

BAB III
ANALISIS KRITIS
A. Investasi atau Penghisapan
Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke
Tiongkok dan menandatangani 12 MOU (Memorandum of Understanding)6.
Dalam isi 12 MOU tersebut terdapat kesepakatan investasi besar-besaran dari
Tiongkok untuk Indonesia yang dikucurkan untuk beberapa sektor. Ada beberapa
pihak yang pro dankontra dengankebijakan yang diambil pemerintahan presiden
Joko Widodo ini. Di antara yang pro menyebutkan bahwa Indonesia memang
kekurangan modal untuk mengembangkan sektor-sektor industri di Indonesia,
sehingga dengan adanya investasi ini akan menumbuhkan sektor-sektor industri
baru yang pada akhirnya akanmeningkatkan pendapatan (PDB) bagi Indonesia.
Sementara yang kontra, menyebutkan bahwa sebenarnya Indonesia masih punya
cukup dana untuk membiayai sektor-sektor tersebut yang mana diambilkan dari
domestic saving.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa domestic saving kita rendah. Akan
tetapi golongan yang kontra ini lebih mengedepankan rasa nasionalisme sehingga
meski investasi kecil masih lebih baik daripada mendapat besar tetapi dari asing.
Alasan kedaulatan menempatiporsi yang besar dalam alurpikir mereka. Selain rasa
nasionalisme mereka juga memiliki argumen logis, yaitu tentang repatriasi7.
6 http://www.antaranews.com/en/news/96469/indonesia-china-sign-12-investment-mous, 11
Desember 2014
7 Repatriasi adalah jumlah uang yang keluar setelah terjadi investasi asing di dalam negeri,
sebagai akibat pembayaran keuntungan kepada pemegang saham di luar negeri.

12 | P a g e

Penelitian yang dilakukan oleh Sritua Arief, seorang ekonom kerakyatan
menyebutkan bahwa repatriasi dollar semakin besar dari tahun ke tahun. Itu
artinya semakin invesatasi asing yang kita dapat maka semakin besar pula dollar
yang keluar negeri akibat pembyaran dividen pemegang saham yang nota bene
berada di luar negeri. Aliran uang keluar ini (outflow) tentu akan menekan neraca
pembayran menjadi semakin defisit. Jika sudah defisit maka akan menekan nilai
tukar yang selanjutnya akan semakin memperlemah kurs mata uang domestik
terhadap mata uang asing.
Sekarang penulis akan menganalisis investasi asing ini dengan kerangka
analisis ekonomi Islam yang membawa semangat anti eksploitasi, pemerataan
kesempatan ekonomi, dan memiliki kema’rufan.
Investasi asing sebenarnya adalah kerja sama antara 2 pihak dalam melakukan
sebuah usaha (proyek), dalam hal ini antara pihak asing dan pihak dalam negeri.
Jadi investasi asing sebenarnya bisa dikategorikan sebagai kerjasama musyarakah
dan mudharabah di mana dua pihak saling bekerjasama (partnership) kemudian
untung akan dibagi kepad kefua belah pihak. Dan memang itulah yang terjadi di
dalam investasi asing. Oleh karena itu jika kita berhenti pada bentuk kerja
samanya saja maka investasi asing itu sudah Islami. Akan tetapi kita jangan
terkecoh hanya pada bentuk kerja samanya saja, kita harus telusuri aspek-aspek
lain kerja sama tersebut seperti apakah mengandung unsur eksploitasi,
ketidakmerataan dan ketidakma’rufan.
Pertama kita lihat dari segi eksploitasi. Investasi asing sering menjadi lahan
eksploitasi antara kaum pemilik modal terhadap tenaga kerja. Tuduhan ini sekilas
asal klaim atau asal tuduh saja. Akan tetapi jika kita lihat akar sejarah investasi
asing in maka kita memang pantas berhuznudhon terhadap invesatsi asing.
Invesatsi asing adalah jelmaan modern dari merkantilisme. Jadi investasi asing ini
adalah cicit dari kakek buyut merkantilisme. Dengan dianutnya paham merkantilis
maka setiap negara akan berlomba-lomba untuk memperbesar faktor produksi
mereka agar bisa memproduksi lebih besar barang dan jasa. Jika negara tersebut
kekurangan faktor produksi maka mereka akan “memperluas” negara mereka

13 | P a g e

lewat negara-negara jajahan. Mereka akan menembus batas-batas negara lain
karena paham merkantilis erat dengan paham liberal, kapitalis yang menghendaki
kebebasan dalam berekonomi. Kasus VOC adalah kasus paling nyata dari bentuk
merkantilisme ini. VOC yang bernegara sempit dan miskin sumber daya alam
memperluas faktor produksi mereka dengan melakukan ekspansi produksi ke
negara-negara lain. Dan yang terlihat adalah penindasan antara kaum pemodal
(VOC) dengan buruh (pribumi). Maka tentu wajar jika kita trauma terhadap
investasi asing karena kita pernah mengalami pengalaman menyakitkan selama
beratus abad sebagai korban merkantilisme. Dan yang terjadi sekarang ini
memang tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan VOC dulu dengan apa yang
dilakukan perusahaan MNC (Multi National Corporation) semacam Exxon,
Chevron, dan Freeport. Dan faktanya memang tidak jauh beda bahwa rakyat di
sekitar area industri tidak banyak mendapat manfaat bahkan kalau bisa dibilang
justru dirugikan. Maka ini cukup mengatakan bahwa investasi asing selama ini
memang hampir mirip dengan VOC yaitu adanya eksploitasi.
Kedua kita lihat dari segi pemerataan kesempatan ekonomi. Investasi asing
yang diharapkan akan turut meningkatkan PDB sehingga kesejahteraan
masyarakat turut terangkat ternyata cuma angan kosong belakan atau setidaknya
hanya kecil saja efeknya. Investasi asing akan memakmurkan rakyat terutama
rakyat sekitar secara teori maka dalam kenyataanya hanyalah sebuah paradoks.
Investasi asing justru membuat jurang kelompok kaya (pemodal) dengan
kelompok miskin (buruh) semakin tinggi. Ketimpanagan ini linear jika kita
hubgnkan dengan ekploitasi yang aada dalam investasi asing. ini jelas bahwa
eksploitasi akan membuat kekayaan akan semakin lari ke pemilik modal dan
kaum buruh hanya akan semakin terhisap kekayaannya. Bertambah miris saat kita
tahu bahwa yang menjadi buruh adalah justru orang-orang pribumi. Hal ini
semakin mempertegas pendapat bahwa investasi asing hanyalah bentuk modern
dari eksploitasi yang dulu pernah dilakukan VOC.
Bila kita melihat pada fenomena global, maka ketidakmerataan ini tidak
hanya terjadi pada Indonesia saja, ketidakmerataan adalah masalah global juga.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa kesenjangan antara negara maju dan

14 | P a g e

negara berkembang semakin tinggi. Hal tersebut, seperti dikutip dari Huffington
Post, Rabu 29 Mei 2013, ditemukan oleh Diego Comin, seorang profesor Harvard
Business School dan Marti Mestieri, peneliti di Toulouse School of Economics. Hasil

penelitian menunjukkan, pada tahun 1800 pendapatan negara-negara maju di
Eropa dengan negara berkembang sebesar 90 persen. Memasuki tahun 2000,
perbedaan ekonomi antara keduanya membengkak hingga 750 persen8.
Investasi asing dilakukan oleh perusahaan multi national. Itu atinya
strategi kebijakan perusahaan global semacam itu pasti tidak diambil dari unsurunsur yang ada di wilayah tersebut atau setidaknya sedikit. Kebijakannya pasti
hanya akan tunduk kepada pemilik modal. Pembukaan lahan hutan untuk kelapa
sawit misalnya hanya akan merusak hutan. Selain itu kadang juga menimbulkan
konflik dengan petani setempat. Konflik ini bahkan bereskalasi sampai tingkat
pelanggaran

HAM.

Selain

itu,

perusahaan

multi

national

juga

akan

mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Hal ini membuat investasi asing
hanya akan merusak tatanan lokal wilayah setempat, baik tatanan yang bersifat
materiil dan immateriil.
Miskinnya kearifan lokal dalam pengembangan investasi asing hanya akan
menimbulkan gesekan-gesekan dengan wilayah tersebut. Ekonomi konvensional
sudah gagal dalam menyerap kearifan lokal sebagai strategi pengembangan
investasi asingnya.
Maka dari itu, dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam pengembangan
investasi asing ini, dan menurut penulis kearifan lokal itu mampu dimasukkan
dalam paradigma ekonomi Islam. Jadi tidak salah jika kita menaruh harap pada
ekonomi Islam akan mampu menyelesaikan masalah ini, meski jalan itu sulit dan
pasti

akan

menghadapi

hantaman-hantaman

dari

pihak-pihak

yang

kepentingannya akan terganggu. Hal ini karena kearifan lokal akan mampu
menjadi bumper dari keserakahan para pemodal kapitalis. Kearifan lokal akan
membuat strategi global dari perusahaan multinasional harus mampu disesuaikan
dengan kearifan lokal wilayah tersebut. Jika tidak mampu menyesuaikan maka
otomatis investasi akan batal dan si pemodal kapitalis tidak mendapat untung.

8 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/416659-jurang-ekonomi-negara-maju-danberkembang-semakin-tajam, 16 Desember 2014.

15 | P a g e

Sebaliknya jika mampu disesuaikan maka investasi asing akan mampu
mengangkat kesejahteraan penduduk setempat.

BAB IV
KESIMPULAN
Menurut penulis kondisi ekonomi Indonesia belum makruf. artinya dalam
perekonomian kita belum memenuhi syarat kebajikan, terutama dalam hal
ketimpangan. Jika ditarik dalam variabel ekonomi maka pertumbuhan ekonomi itu
(economic growth) itu baru baik (khoir), sementara yang kita kejar bukan hanya
pertumbuhan akan tetapi juga pemerataan kesempatan ekonomi yang ma’ruf. Jadi
bisa disimpulkan bahwa ekonomi kita memang tumbuh baik, akan tetapi
pertumbuhan itu tidak diiringi oleh pemerataan yang ma’ruf.
Jangan sampai kita mengalami trauma terhadap ekonomi Islam karena
penerapannya yang mentah-mentah tanpa melihat kondisi sosial di setiap
negara/daerah/bangsa, karena spirit penerapan ekonomi Islam sekarang ini mirip
dengan spirit kapitalisme dan liberalisme. Spirit itu adalah spirit eksploitasi dan
penghisapan tanpa ada spirit pemerataan kesempatan ekonomi. Maka di masa
depan kalian jangan pernah mengeluh akan gagalnya ekonomi Islam memperbaiki
ekonomi ummat manusia, karena hari ini saya telah memperingatkan bahwa jika
ekonomi Islam tidak dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang
ada, ekonomi Islam akan sama gagal dan tragis nasibnya seperti ekonomi
kapitalis.
Besaran yang dipakai bukan pada besaran-besaran yang sering digunakan
dewasa ini seperti PDB, inflasi, dan neraca pembayaran. PDB hanyalah
pengaburan untuk daya beli mikro. PDB tidak mencerminkan daya beli
masyarakat karena PDB saat ini sebagian besar hanya disumbang oleh segelintir
orang. Neraca pembayaran yang bernafaskan perdagangan luar negeri
menekankan kepada kita bahwa kita harus selalu ekspor. Celakanya pengharusan

16 | P a g e

ekspor ini diterjemahkan secara bodoh dengan asal jual, jual dan jual kepada
asing. Padahal sebenarnya ekspor hanyalah konsekuensi logis dari surplus
produksi dalam negeri. Celakanya (lagi) yang terjadi sekarang adalah terbalik,
yaitu barang bagus dijual ke luar negeri sedangkan sisanya (yang biasanya
mutunya jelek) diperuntukkan untuk pasar domestik. Besaran yang dipakai
sebagai ukuran pembangunan ekonomi haruslah besaran yang mencerminkan
kondisi masyarakat di setiap wilayah. Bisa jadi besaran di wilayah tertentu belum
tentu sama maknanya dengan wilayah lain karena hal ini tergantung dari kearifan
lokal masing-masing wilayah.

17 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Addiarahman, Mengindonesiakan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ombak, 2013
Fauzia, Ika Yunia, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: perspektif maqashid al-syariah,
Jakarta: Kencana, 2014.
Hijaz: Terjemah tafsir perkata, Bandung:Syamil Quran, 2013.
Sayyid Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution, diterjemahkan dan
diedit oleh Khurshid Ahmad, 1983.
Abdul-Rahman, Muhammad Saed, Tafsir Ibn Kathir Juz 17 (Part 17): Al-Anbiya
to Al-Hajj 78, London: MSA Publication Ltd, 2009.

18 | P a g e