Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2
Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2014
Created by : “Leviathan”
1. Hanifa
2. Dwi Luthfan Prakoso
3. Devi Hapsari
Subtema : 1. Berpihak Secara Terang-Terangan: Sah?
CIPUTAT TANGERANG SELATAN
2014
Kebebasan pers seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Keberadaan pers dalam suatu negara yang berdaulat sangat mempengaruhi sikap
masyarakat secara individu terhadap negaranya. Menurut Ashadi Siregar, kegiatan
pers digunakan untuk mengisi alam pikiran khalayaknya. 1 Terkait pemilu 2014,
maka pernyataan tersebut sangatlah mewakili fungsi pers dalam megawali
berjalannya
proses
pemilu.
Karena, secara tidak
langsung pers
telah
mempengaruhi opini masyarakat dalam menentukan pilihan pemimpinnya.
Pada pesta demokrasi yang akan diadakan di Indonesia, yakni Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden, pers semakin meningkatkan peranannya. Sebab,
kebebasan pers sangat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal
ini, terkait dengan pers sebagai salah satu alat kampanye pemilu. Tujuannya
adalah memberikan pendidikan politik yang bertangung jawab terhadap
masyarakat.
Upaya penyalur pendidikan politik tersebut telah disalah gunakan oleh
sebagian aktor politik. Beberapa lembaga pers, khususnya media elektronik, mulai
menunjukkan kecenderungan dalam hal mendukung salah satu partai politik atau
individu yang terlibat dalam pemilu. Memang, hal ini tidak diatur dalam peraturan
perundang – undangan Indonesia. Namun, yang perlu diperhatikan adalah apakah
penyiaran yang dilakukan oleh mereka sudah memenuhi beberapa persyaratan
yang telah diatur oleh Undang – Undang, khususnya UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu
Menurut Ashadi Siregar, dilihat dari kemunculannya, pers nasional
didasari oleh adanya pers pergerakan yang memiliki motivasi politik. Karena itu,
pers dapat disebut sebagai institusi politik. Hal ini, membuktikan bahwa pers dan
politik memiliki kaitan erat. Menurut Ashadi, motivasi politik yang bersifat
opponent membuat pengelola pers membangun etos kerja jurnalismenya bersifat
khas. Yaitu, dengan menjadikan jurnalisnya sebagai pejuang (aktivis).2
Pada teori libertarian, pers terkesan sebagai pilar keempat kekuasaan yang
berada pada posisi tertinggi.3 Pers seolah menjadi watchdog dari kekuasaan
1
Ashadi Siregar, 1995, “Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi”, diunduh
pada 27 januari 2014,” ashadisiregar.files.wordpress.com ”, hal: 1
2
Opcit, hal:12
3
Fred S.Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1956. Four Theories of
eksekutif, legislative, dan yudikatif. Namun, pers juga berfungsi sebagai
pengawas roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan.4 Hal tersebut
menimbulkan pertanyaan dibenak khalayak saat mejelang pemilu 2014. Sampai
manakah independensi pers menggiring opini masyarakat dalam menentukan
pemimpinnya.
Ketika menjelang pemilu, banyak kalangan yang tiba-tiba memanfaatkan
pers sebagai media kampanye. Perang media antar calon peserta pemilu seolah
sebuah sinetron panjang dengan ratusan episode. Setiap hari, pemberitaan cetak
maupun elektronik selalu menghadirkan konflik dan upaya pencitraan tokoh.
Berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 92 ayat 1 menyatakan
bahwa kampanye, lembaga penyiaran publik harus memberikan alokasi waktu
yang
berimbang
kepada
peserta
pemilu
untuk
menyampaikan
materi
kampanyenya. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan keyataan. Terbukti,
kepemilikan calon peserta pemilu terhadap suatu media massa tertentu memiliki
alokasi waktu tersendiri dalam menayangkan iklan kampanye.
Pada masa perkembangan teknologi saat ini, media kampanye tidak hanya
iklan dan alat peraga (poster, pamflet, dll). Namun, kampanye terselubung melalui
acara reality show, kuis, maupun sinetron menjadi pilihan alternatif lain dalam
pemilu kali ini. Hal tersebut, dilakukan oleh pasangan partai Hanura.
Reality show tersebut bertajuk “Mewujudkan Mimpi Indonesia”. Acara
ini, menayangkan sisi baik dari Wiranto dan Hari Tanoe sebagai pasangan pilpres
partai Hanura. Acara tersebut menayangkan upaya Wiranto dan Hari Tanoe
merespon dan merasakan keluhan masyarakat kalangan bawah. Tidak hanya itu,
mereka juga membuat suatu kuis yang bertemakan kebangsaan di beberapa
televisi pimpinannya. Kedua acara ini memang tidak secara terang- terangan
meminta dukungan. Namun, hal itu terlihat dari citra yang tercipta di masyarakat.
Selain itu, pelanggaran yang dilakukan mereka adalah penayangan unsur
kampanye pada sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”. Acara ini ditayangkan oleh
the Press. Urbana:University of Illinois. Dalam Tjipta Lesmana, 2005, “Kebebasan Pers
Dilihat dari Perspektif Konflik, antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27
februari 2014, hal : 5
4
Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York:
The Rivers Press. Dalam Tjipta Lesmana, 2005, “Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif
Konflik, antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27 februari 2014, hal : 5
RCTI (bagian dari MNC Group)5. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri telah
melayangkan surat teguran tersebut karena dianggap sebagai pelanggaran atas
perlindungan kepentingan publik. Hal tersebut, menyiratkan bahwa kepemilikan
media terutama televise lebih memberikan ruang besar bagi sarana kampanye
terselubung.
Pembentukan citra politik yang dilakukan para aktor pemilu merupakan
suatu upaya pembentukan karakter opini rakyat terhadap mereka. Menurut Anwar
Arifin, citra politik merupakan gambaran seseorang tentang realitas politik yang
tidak harus sesuai dengan realitas politik sebenarnya. 6 Artinya, tayangan media
tidak sepenuhnya gambaran kenyataan politik. hal tersebut merupakan suatu
tindak pembodohan masyarakat. Karena,
wawasan politik yang disediakan
merupakan hasil suntingan dari skenario pihak tertentu.
Pada pasal 97 ayat 1 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu menyatakan
bahwa “Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di televisi untuk
setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi
paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama
masa Kampanye Pemilu”. Namun, dalam survey yang kami lakukan tanggal 12
Maret 2014 pukul 19.00 - 20.00 di stasiun televisi swasta TV One, penampilan
iklan kampanye pemilu telah dilakukan oleh beberapa parpol yakni Partai Golkar
2 kali masing – masing berdurasi 25 detik dan Partai Gerindra 1 kali dengan
durasi 35 detik.
Terdapat dua hal yang perlu dicermati, yakni pelanggaran mengenai durasi
dan pelanggaran mengenai kampanye pemilu yang dilakukan di luar jadwal
kampanye yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai
Gerindra menyalahi aturan karena telah menampilkan iklan kampanye pemilu
lebih dari 30 detik serta kedua partai melakukan kampanye di luar jadwal yang
telah ditetapkan KPU. Padahal, KPU telah menetapkan bahwa jadwal kampanye
terbuka dimulai dari 16 Maret – 5 April 2014.
Periklanan partai politik berarti berbicara tentang bagaimana parpol
“berjualan” agar laku.7 Berjualan parpol pada dasarnya adalah suatu program
5
6
Anwar Arifin,” Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi Strategi dan Komunikasi
Politik Indonesia”, Jakarta: PT. Balai Pustaka, hal 109
7
Riswandi. 2009. Komunikasi Politik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
komunikasi, suatu penyampaian pesan dari suatu parpol kepada calon – calon
konstituennya, untuk memperoleh suatu dukungan. Dukungan yang dimaksud
sesuai dengan konsep pemasaran, adalah motivasi purchase untuk memilih saat
pemilu berlangsung.
Menghadapi masalah tersebut, Dewan Pers melalui ketuanya, yakni Bagir
Manan telah mengeluarkan Surat Edaran Dewan Pers Nomor: 02/SE-DP/II/2014
Tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa pada
24 Februari 2014. Surat tersebut berisi 5 poin utama untuk mendorong komunitas
pers untuk tetap menjaga integritas dan martabat pers sebagai pranata publik yang
independen.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Komisi Penyiaram Indonesia,
terdapat 11 parpol yang melakukan pelanggaran iklan. Yakni, Golkar 487 spot,
Nasdem 378, Gerindra 305, PDIP 273 spot, PKB 90 spot, Hanura 80 spot, PAN 67
spot, PKPI 42 spot, PKS 9 spot, Demokrat 8 spot. Penelitian ini dilakukan pada 7
– 8 maret.8
Selain pelanggaran tersebut, KPI mencatat pelanggaran penayangan
kampanye politik oleh media televisi pada 1 februari hingga 11 maret. Media
tersebut, diantaranya Trans TV 306 spot, RCTI 291 spot, Metro TV 220 spot,
SCTV 172 spot, Indosiar 194 spot, ANTV 184 spot, Trans7 139 spot, MNC TV
137 spot, Global TV 133 spot, TVRI 7 spot.9
Kenyataan adanya pelanggaran diatas tidak membuat pihak KPI, KPU,
dan BAWASLU melakukan tindakan tegas. Terbukti, dari pernyataan Iddy
Muzayyad bahwa pihak KPI telah mengingatkan dan sempat memanggil pihak
stasiun tv. Karena, KPI hanya memiliki wewenang untuk menegur.10
Adanya fenomena saling sindir, menjatuhkan, dan menaikkan karakter
aktor pemilu melalui berbagai cara dan media kampanye, menurut Lasswell inilah
bentuk ‘perang urat syaraf’ . Perang urat syaraf merupakan bentuk propaganda
yang dilakukan oleh parpol ataupun kelompok kepentingan yang bertujuan untuk
mencapai tujuan strategis atau tujuan taktis11. Menurut Harold Laswell, terdapat
8
Ridwan, “Iklan Kampanye dan Politik di Televisi Terbanyak Golkar”, www.pemilu.com
diakses pada 18 Maret 2014
9
“Duh, 11 Stasiun TV Langgar MoratoriumIklan Politik, Trans TV Paling Banyak”,
http://jateng.tribunnews.com , diakses pada 18 Maret 2014
10
opcit
11
Ibid, Riswandi
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perang urat syaraf ini, yakni (i) Media
apa yang akan digunakan, (ii) Pesan apa yang kan disebarkan, dan (iii) Apa yang
menjadi tujuan dan efek apa yang diharapkan.
Pertama, media apa yang akan digunakan, terdapat banyak pilihan media
untuk melancarkan perang urat syaraf. Diantaranya, media massa seperti radio,
surat kabar, televisi, buku, dan media nir-massa seperti poster serta pamflet.
Kedua, bagaimana beberapa parpol menggunakan media elektronik,
khususnya televisi. Mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menjadikan televisi sebagai andalan utama dalam mendapatkan informasi. Hal
tersebut, didukung oleh beberapa pimpinan parpol yang merupakan
pemilik
utama dari stasiun TV swasta. Misalnya, Harry Tanoesoedibyo sebagai pimpinan
utama MNC Group, sehingga semakin memudahkan mereka dalam melakukan
kampanye politik melalui media televisi.
Ketiga, Pesan apa yang akan disampaikan kepada masyarakat. Hal tersebut
terkait dengan isi dari pesan yang akan disebarkan kepada lawan dalam ajang
politik. Tujuan dari perang urat syaraf adalah mencapai kemenangan. Hal ini dapat
dilihat dalam survey yang kami lakukan pada tanggal 14 Maret 2014. Saat Joko
Widodo (Gubernur DKI Jakarta) mendapat mandat dari Ketua Umum PDIP untuk
maju sebagai Capres dalam Pemilu Presiden 2014.
Pada situs www.okezone.com, tertulis beberapa headline seperti “nyapres,
Jokowi keblinger jabatan” atau “Jokowi nyapres, Jakarta akan hancur” 12. Hal ini
tentu dapat diapahami mengingat situs tersebut adalah bagian dari MNC Group
pimpinan Hary Tanoesoedibjo yang akan maju sebagai cawapres dalam pilpres
2014 mendatang.
Keempat, adalah mengenai tujuan dan efek apa yang diharapkan dari
perang urat syaraf tersebut. Tujuan dan efek yang diharapkan perang urat syaraf
hampir tidak dapat dibedakan. Pada prosesnya, tujuan terdapat pada komunikator,
yaitu perencana dan pelaku perang urat syaraf, sedangkan efeknya terdapat pada
komunikan atau sasaran perang urat syaraf. Efek yang diaharapkan dari sasaran
sebagai akibat dari upaya mempenaruhi sifat, pendapat, dan perilaku itu bisa
12
http://m.okezone.com/pemilu. Diakses pada 14 Maret 2014 pukul 20.00.
bermacam-macam bergantung pada pihak mana yang dijadikan sasaran, apakah
pihak musuh, pihak yang netral, atau pihak yang bersimpati.
Berdasarkan paradigm mekanistis, proses komunikasi politik adalah pesan
yang disampaikan oleh komunikator politik kepada khalayak politik melalui
media politik.13 hal tersebut menghasilkan dua asumsi dasar. Pertama, masyarakat
tidak berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya, komunikator
dengan mudah mempengaruhi masyarakat. kedua, media massa sangat perkasa
dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya, semua pesan yang disampaikan
oleh media massa dengan mudah mempengaruhi masyarakat.14
Teori diatas, sesuai jika dilihat dari kondisi masyarakat Indonesia yang
tinggal didaerah terpencil. Masyarakat awam yang minim pendidikan dan
pengetahuan akan memiliki cara pandang yang sama seperti dalam teori tersebut.
Misalnya, televise RCTI yang digemari masyarakat dengan tayangan music dan
sinetronnya. Kini, iklan partai hanura terutama capres dan cawapres ramai
mengisi spot iklan di televise tersebut.selain itu, adanya program mimpi Indonesia
kuis kebangsaan, bahkan, unsur kampanye dimasukkan dalam tayangan sinetron,
“ Tukang Bubur Naik Haji The Series”.15 Hal tersebut, secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pemikiran masyarakat awam. Citra sebagai pemimpin yang baik
hati akan tertanam dibenak mereka secara tidak langsung.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang tinggal pada lingkup peradaban
maju, seperti dikota. Mereka lebih peka dan jeli melihat tayangan media. Bahkan,
mereka lebih kritis menanggapi setiap isu yang diangkat oleh media. Artinya
masyarakat kota tidak pasif dalam menerima pesan yang disampaikan media.
Sebab, masyarakat kota memiliki akses pengetahuan yang lebih. Kemudahan
jaringan listrik, internet, dan pendidikan yang memadai membentuk suatu pola
berpikir yang lebih rasional dan empiris.
13
Dan Nimmo, “Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, Dan Media)”, terjemahan
Tjun Sujaman, Bandung, Remadja Rosdakarya, 1999, dalam Anwar Arifin,” Komunikasi
Politik: Paradigma Teori Aplikasi Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia”, Jakarta:
PT. Balai Pustaka, hal: 42
14
Ibid, hal: 44
15
Ramadhani
Fadillah,
“Tukang
Bubur
Naik
Haji
The
Series”
http://m.merdeka.com/peristiwa/kpi-semprit-win-ht-main-sinetron-tukang-bubur-naikhaji.html, Diakses pada 15 Maret 2014. Pukul 09.50
Defleur dan ball rokeach (1975) menyatakan bahwa pertemuan khalayak
dengan media massa didasarkan pada tiga teori. Pertama, teori perbedaan
individu, memandang bahwa setiap orang memiliki potensi biologis yang berbeda,
pengalaman dan lingkungan yang tidak sama, sehingga menimbulkan adanya
pengaruh media massa yang tidak sama terhadap masyarakat. kedua, teori
kategori social, memandang bahwa golongan social berdasarkan usia, jenis
kelamin, agama, suku, tingkat pendapatan, pendidikan, dan tempat tinggal, akan
menampilkan satu respon tertentu yang tidak sama satu sama lain. Ketiga, teori
hubungan social, dilihat dari pentingnya pengaruh setiap individu terhadap
individu lainnya, sehingga dapat membentuk satu pola pemikiran yang sama.16
Setiap lembaga media massa memiliki politik redaksi yang menjadi
kerangka acuan para pekerja. Karna itu, pemanfaatan media massa dipengaruhi
banyak factor terkait kepentingannya. 17 Salah satu faktornya adalah kepentingan
politik. kebebasan media dalam menyaring berita yang ditayangkan akan
menimbulkan citra yang berbeda antara media satu dengan lainnya. Disinilah
netralitas media dipertanyakan.
Keberpihakan media dalam mengawal pemilu 2014 seolah mencederai
hakikat pers dan media. media massa merupakan alat pemberi informasi kepada
masyarakat. namun, adanya keberpihakan tersebut menjadikan media sebagai alat
kebohongan bagi masyarakat. seharusnya, media massa mampu menjunjung
tinggi netralitasnya. Selain itu, para pelaku politik juga harus mengerti posisi
netralitas media. sehingga, tidak menjadikan media sebagai alat propaganda dan
pencitraan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Kami tidak mempermasalahkan bagaimana independensi media dalam
mendukung salah satu parpol atau individu dalam pesta demokrasi kali ini.
Menurut UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, tidak terlihat adanya masalah
besar jika pers menunjukkan keberpihakannya secara terang-terangan di muka
umum. Namun, pada pasal 3 Undang - Undang Pers
tentang peranan pers,
menyatakan bahwa pers nasional mempunyai fungsi kontrol sosial.
Berdasarkan pasal tersebut, tersirat bahwa seharusnya pers nasional
menunjukkan powernya untuk secara tegas mengontrol kegiatan kampanye politik
16
17
Ibid, hal: 47
Ibid, hal: 101
yang dilakukan oleh media pers swasta. Sehingga, tujuan utama pers, yakni
memberikan pendidikan politik akan tercapai.
Karni Ilyas dalam bukunya, menceritakan bahwa ia pernah mengalami
banyak tekanan selama menjadi jurnalis. Ketika masih bekerja di Tempo, Karni
Ilyas pernah mengalami intervensi dari pemiliknya, yaitu Ir. Ciputra. Hingga kini,
pada acara yang dipandunya Indonesia Lawyer Club (ILC) sebagai seorang
pemimpin redaksi ia jarang ditemukan tema tentang lumpur Lapindo. Karena,
tidak mungkin ia menyudutkan sang boss.18 Artinya, idealisme seorang jurnalis
bukanlah jaminan netralitasnya dalam menyajikan berita. Karena, power yang
dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan mengalahkan idealism tersebut.
Keberpihakan pers secara terang- terangan merupakan fenomena yang
terjadi pada pemilu 2014. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena undang- undang
mengenai pers tidak mengaturnya. Hal tersebut menyebabkan, tidak adanya badan
pemerintah yang memiliki power untuk menghindari fenomena ini. Karena, atas
nama kebebasan dan demokrasi maka pers memiliki hak untuk menentukan
keberpihakannya pada pemilu tahun ini.
Lampiran I
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Ashadi. 1995. “Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi”,
diunduh pada 27 januari 2014,” ashadisiregar.files.wordpress.com
18
Lesmana, Tjipta. 2005. “Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif Konflik,
antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27 februari 2014.
Arifin, Anwar. 2003. ” Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi
Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia”. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Riswandi. 2009. Komunikasi Politik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ridwan. “Iklan Kampanye dan Politik di Televisi Terbanyak Golkar”.
www.pemilu.com. diakses pada 18 Maret 2014
Rochman, Fatur “Duh, 11 Stasiun TV Langgar MoratoriumIklan Politik,
Trans
TV
Paling
Banyak”.
Editor
Rustam
Aji.
http://jateng.tribunnews.com. diakses pada 18 Maret 2014.
http://m.okezone.com/pemilu. Diakses pada 14 Maret 2014 pukul 20.00.
http://www.indonesiamedia.com/2012/10/29/kenapa-karni-ilyas-tidakberani-menghantam-aburizal-bakrie-di-tv-one/. Diakses pada 19 Maret
2014 pukul 14.58.
Fadillah,
Ramadhani.”Tukang
Bubur
Naik
Haji
The
series”http://m.merdeka.com/peristiwa/kpi-semprit-win-ht-main-sinetrontukang-bubur-naik-haji.html. Diakses pada 15 Maret 2014. Pukul 09.50
Lampiran II
Surat Edaran Dewan Pers
Nomor: 02/SE-DP/II/2014
Tentang
Independensi Wartawan
dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa
Menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2014, Dewan Pers mencermati
beberapa persoalan pers yang harus menjadi perhatian komunitas pers. Persoalan
tersebut, antara lain, menyangkut independensi wartawan dan perusahaan pers
serta pemuatan iklan politik peserta Pemilu. Dewan Pers menerima banyak
laporan terkait penggunaan perusahaan pers oleh pemiliknya, terutama televisi,
untuk kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Dalam kasus lain,
penyelenggara Pemilu (KPU/KIP/Bawaslu/Panwaslu), juga meminta pendapat
Dewan Pers terkait pemuatan iklan politik di media massa yang mereka nilai tidak
sesuai peraturan.
Menyikapi beberapa persoalan tersebut, dengan berpedoman kepada UU
No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers menyampaikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi momentum besar bagi pers untuk
menunjukkan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol
sosial secara independen. Apakah pers berhasil melalui tantangan ini akan
diukur dari kemampuannya dalam turut menyukseskan Pemilu melalui
liputan berkualitas. Karena itu, Dewan Pers menyerukan kepada
komunitas pers agar tetap menjaga integritas dan martabat sebagai pranata
publik yang independen, menjadikan Pemilu sebagai momentum guna
meningkatkan profesionalitas. Pers tidak boleh sekali-kali merendahkan
martabat serta menggoyahkan sendiri kebebasan dan independensi,
sekedar menjadi alat keberpihakan kepada kepentingan politik partisan
sesaat.
2. Wartawan dan perusahaan pers harus bersikap adil dan independen dalam
memberitakan peserta Pemilu 2014. Semua peserta selayaknya mendapat
kesempatan yang sama dalam pemberitaan, dan atau diberikan kesempatan
yang sama dalam pemuatan iklan. Sikap adil dan independen harus
ditegakkan
sebagai
wujud
upaya
menjaga
integritas
pers
dan
memperjuangkan kepentingan publik. Integritas pers yang terjaga akan
memperkuat kebebasan pers di negeri kita.
3. Sebelum memuat iklan politik peserta Pemilu, perusahaan pers harus
memperhatikan bahwa pemuatan iklan tersebut sesuai dengan ketentuanketentuan di dalam UU Pemilu, UU Pers, UU Penyiaran (untuk media
penyiaran), Peraturan KPU, dan Etika Pariwara Indonesia.
4. Perusahaan pers harus menegakkan prinsip “pagar api” yang tegas
membedakan antara iklan politik dan berita ataupun iklan yang ditulis
dengan menggunakan model dan struktur berita (pariwara). Pemuatan
iklan harus disertai keterangan yang jelas sebagai iklan. Penegakan prinsip
ini menjadi satu upaya serius untuk menjaga integritas pers dan
independensi ruang redaksi selama proses Pemilu, sekaligus sikap jujur
pers kepada publik yang berhak mendapat informasi yang benar.
5. Dewan Pers mempedomani ketentuan di dalam UU Pers dan KEJ dalam
menindak perusahaan pers yang diduga melanggar ketentuan terkait berita
atau iklan politik. Sedangkan sanksi terhadap peserta Pemilu sebagai pihak
pemasang iklan di media massa, sesuai ketentuan UU Pemilu, akan
diselesaikan
oleh
lembaga
penyelenggara
Pemilu
(KPU/KIP/Bawaslu/Panwaslu).
Lampiran III (Lembar Biodata)
Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2014
Peserta 1
i. Nama Peserta
: Hanifa
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Surabaya, 20 September 1993
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 083898243335
Peserta 2
i. Nama Peserta
: Dwi Luthfan Prakoso
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 10 Mei 1994
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 085786922926
Peserta 3
i. Nama Peserta
: Devi Hapsari
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 7 Desember 1993
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 087808016725
Lampiran IV
Statement of Authorship
“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper ini adalah
murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Paper ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper
pada ajang kompetisi lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami
menggunakannya.”
Judul Paper
: Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2014
Tanggal
: 20 Maret 2014
Nama Organisasi Pers
: FISIP NEWS
Nama Peserta 1
: Hanifa
NPM
: 112113000016
Nama Peserta 2
: Dwi Luthfan Prakoso
NPM
: 1113113000041
Nama Peserta 3
: Devi Hapsari
NPM
: 112113000020
Tandatangan 1
:
Tandatangan 2
:
Tandatangan 3
:
LAMPIRAN V (Scan KTP)
1. Hanifa
2. Dwi Luthfan Prakoso
3. Devi Hapsari
Created by : “Leviathan”
1. Hanifa
2. Dwi Luthfan Prakoso
3. Devi Hapsari
Subtema : 1. Berpihak Secara Terang-Terangan: Sah?
CIPUTAT TANGERANG SELATAN
2014
Kebebasan pers seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Keberadaan pers dalam suatu negara yang berdaulat sangat mempengaruhi sikap
masyarakat secara individu terhadap negaranya. Menurut Ashadi Siregar, kegiatan
pers digunakan untuk mengisi alam pikiran khalayaknya. 1 Terkait pemilu 2014,
maka pernyataan tersebut sangatlah mewakili fungsi pers dalam megawali
berjalannya
proses
pemilu.
Karena, secara tidak
langsung pers
telah
mempengaruhi opini masyarakat dalam menentukan pilihan pemimpinnya.
Pada pesta demokrasi yang akan diadakan di Indonesia, yakni Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden, pers semakin meningkatkan peranannya. Sebab,
kebebasan pers sangat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal
ini, terkait dengan pers sebagai salah satu alat kampanye pemilu. Tujuannya
adalah memberikan pendidikan politik yang bertangung jawab terhadap
masyarakat.
Upaya penyalur pendidikan politik tersebut telah disalah gunakan oleh
sebagian aktor politik. Beberapa lembaga pers, khususnya media elektronik, mulai
menunjukkan kecenderungan dalam hal mendukung salah satu partai politik atau
individu yang terlibat dalam pemilu. Memang, hal ini tidak diatur dalam peraturan
perundang – undangan Indonesia. Namun, yang perlu diperhatikan adalah apakah
penyiaran yang dilakukan oleh mereka sudah memenuhi beberapa persyaratan
yang telah diatur oleh Undang – Undang, khususnya UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu
Menurut Ashadi Siregar, dilihat dari kemunculannya, pers nasional
didasari oleh adanya pers pergerakan yang memiliki motivasi politik. Karena itu,
pers dapat disebut sebagai institusi politik. Hal ini, membuktikan bahwa pers dan
politik memiliki kaitan erat. Menurut Ashadi, motivasi politik yang bersifat
opponent membuat pengelola pers membangun etos kerja jurnalismenya bersifat
khas. Yaitu, dengan menjadikan jurnalisnya sebagai pejuang (aktivis).2
Pada teori libertarian, pers terkesan sebagai pilar keempat kekuasaan yang
berada pada posisi tertinggi.3 Pers seolah menjadi watchdog dari kekuasaan
1
Ashadi Siregar, 1995, “Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi”, diunduh
pada 27 januari 2014,” ashadisiregar.files.wordpress.com ”, hal: 1
2
Opcit, hal:12
3
Fred S.Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1956. Four Theories of
eksekutif, legislative, dan yudikatif. Namun, pers juga berfungsi sebagai
pengawas roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan.4 Hal tersebut
menimbulkan pertanyaan dibenak khalayak saat mejelang pemilu 2014. Sampai
manakah independensi pers menggiring opini masyarakat dalam menentukan
pemimpinnya.
Ketika menjelang pemilu, banyak kalangan yang tiba-tiba memanfaatkan
pers sebagai media kampanye. Perang media antar calon peserta pemilu seolah
sebuah sinetron panjang dengan ratusan episode. Setiap hari, pemberitaan cetak
maupun elektronik selalu menghadirkan konflik dan upaya pencitraan tokoh.
Berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 92 ayat 1 menyatakan
bahwa kampanye, lembaga penyiaran publik harus memberikan alokasi waktu
yang
berimbang
kepada
peserta
pemilu
untuk
menyampaikan
materi
kampanyenya. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan keyataan. Terbukti,
kepemilikan calon peserta pemilu terhadap suatu media massa tertentu memiliki
alokasi waktu tersendiri dalam menayangkan iklan kampanye.
Pada masa perkembangan teknologi saat ini, media kampanye tidak hanya
iklan dan alat peraga (poster, pamflet, dll). Namun, kampanye terselubung melalui
acara reality show, kuis, maupun sinetron menjadi pilihan alternatif lain dalam
pemilu kali ini. Hal tersebut, dilakukan oleh pasangan partai Hanura.
Reality show tersebut bertajuk “Mewujudkan Mimpi Indonesia”. Acara
ini, menayangkan sisi baik dari Wiranto dan Hari Tanoe sebagai pasangan pilpres
partai Hanura. Acara tersebut menayangkan upaya Wiranto dan Hari Tanoe
merespon dan merasakan keluhan masyarakat kalangan bawah. Tidak hanya itu,
mereka juga membuat suatu kuis yang bertemakan kebangsaan di beberapa
televisi pimpinannya. Kedua acara ini memang tidak secara terang- terangan
meminta dukungan. Namun, hal itu terlihat dari citra yang tercipta di masyarakat.
Selain itu, pelanggaran yang dilakukan mereka adalah penayangan unsur
kampanye pada sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”. Acara ini ditayangkan oleh
the Press. Urbana:University of Illinois. Dalam Tjipta Lesmana, 2005, “Kebebasan Pers
Dilihat dari Perspektif Konflik, antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27
februari 2014, hal : 5
4
Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York:
The Rivers Press. Dalam Tjipta Lesmana, 2005, “Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif
Konflik, antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27 februari 2014, hal : 5
RCTI (bagian dari MNC Group)5. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri telah
melayangkan surat teguran tersebut karena dianggap sebagai pelanggaran atas
perlindungan kepentingan publik. Hal tersebut, menyiratkan bahwa kepemilikan
media terutama televise lebih memberikan ruang besar bagi sarana kampanye
terselubung.
Pembentukan citra politik yang dilakukan para aktor pemilu merupakan
suatu upaya pembentukan karakter opini rakyat terhadap mereka. Menurut Anwar
Arifin, citra politik merupakan gambaran seseorang tentang realitas politik yang
tidak harus sesuai dengan realitas politik sebenarnya. 6 Artinya, tayangan media
tidak sepenuhnya gambaran kenyataan politik. hal tersebut merupakan suatu
tindak pembodohan masyarakat. Karena,
wawasan politik yang disediakan
merupakan hasil suntingan dari skenario pihak tertentu.
Pada pasal 97 ayat 1 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu menyatakan
bahwa “Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di televisi untuk
setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi
paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama
masa Kampanye Pemilu”. Namun, dalam survey yang kami lakukan tanggal 12
Maret 2014 pukul 19.00 - 20.00 di stasiun televisi swasta TV One, penampilan
iklan kampanye pemilu telah dilakukan oleh beberapa parpol yakni Partai Golkar
2 kali masing – masing berdurasi 25 detik dan Partai Gerindra 1 kali dengan
durasi 35 detik.
Terdapat dua hal yang perlu dicermati, yakni pelanggaran mengenai durasi
dan pelanggaran mengenai kampanye pemilu yang dilakukan di luar jadwal
kampanye yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai
Gerindra menyalahi aturan karena telah menampilkan iklan kampanye pemilu
lebih dari 30 detik serta kedua partai melakukan kampanye di luar jadwal yang
telah ditetapkan KPU. Padahal, KPU telah menetapkan bahwa jadwal kampanye
terbuka dimulai dari 16 Maret – 5 April 2014.
Periklanan partai politik berarti berbicara tentang bagaimana parpol
“berjualan” agar laku.7 Berjualan parpol pada dasarnya adalah suatu program
5
6
Anwar Arifin,” Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi Strategi dan Komunikasi
Politik Indonesia”, Jakarta: PT. Balai Pustaka, hal 109
7
Riswandi. 2009. Komunikasi Politik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
komunikasi, suatu penyampaian pesan dari suatu parpol kepada calon – calon
konstituennya, untuk memperoleh suatu dukungan. Dukungan yang dimaksud
sesuai dengan konsep pemasaran, adalah motivasi purchase untuk memilih saat
pemilu berlangsung.
Menghadapi masalah tersebut, Dewan Pers melalui ketuanya, yakni Bagir
Manan telah mengeluarkan Surat Edaran Dewan Pers Nomor: 02/SE-DP/II/2014
Tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa pada
24 Februari 2014. Surat tersebut berisi 5 poin utama untuk mendorong komunitas
pers untuk tetap menjaga integritas dan martabat pers sebagai pranata publik yang
independen.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Komisi Penyiaram Indonesia,
terdapat 11 parpol yang melakukan pelanggaran iklan. Yakni, Golkar 487 spot,
Nasdem 378, Gerindra 305, PDIP 273 spot, PKB 90 spot, Hanura 80 spot, PAN 67
spot, PKPI 42 spot, PKS 9 spot, Demokrat 8 spot. Penelitian ini dilakukan pada 7
– 8 maret.8
Selain pelanggaran tersebut, KPI mencatat pelanggaran penayangan
kampanye politik oleh media televisi pada 1 februari hingga 11 maret. Media
tersebut, diantaranya Trans TV 306 spot, RCTI 291 spot, Metro TV 220 spot,
SCTV 172 spot, Indosiar 194 spot, ANTV 184 spot, Trans7 139 spot, MNC TV
137 spot, Global TV 133 spot, TVRI 7 spot.9
Kenyataan adanya pelanggaran diatas tidak membuat pihak KPI, KPU,
dan BAWASLU melakukan tindakan tegas. Terbukti, dari pernyataan Iddy
Muzayyad bahwa pihak KPI telah mengingatkan dan sempat memanggil pihak
stasiun tv. Karena, KPI hanya memiliki wewenang untuk menegur.10
Adanya fenomena saling sindir, menjatuhkan, dan menaikkan karakter
aktor pemilu melalui berbagai cara dan media kampanye, menurut Lasswell inilah
bentuk ‘perang urat syaraf’ . Perang urat syaraf merupakan bentuk propaganda
yang dilakukan oleh parpol ataupun kelompok kepentingan yang bertujuan untuk
mencapai tujuan strategis atau tujuan taktis11. Menurut Harold Laswell, terdapat
8
Ridwan, “Iklan Kampanye dan Politik di Televisi Terbanyak Golkar”, www.pemilu.com
diakses pada 18 Maret 2014
9
“Duh, 11 Stasiun TV Langgar MoratoriumIklan Politik, Trans TV Paling Banyak”,
http://jateng.tribunnews.com , diakses pada 18 Maret 2014
10
opcit
11
Ibid, Riswandi
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perang urat syaraf ini, yakni (i) Media
apa yang akan digunakan, (ii) Pesan apa yang kan disebarkan, dan (iii) Apa yang
menjadi tujuan dan efek apa yang diharapkan.
Pertama, media apa yang akan digunakan, terdapat banyak pilihan media
untuk melancarkan perang urat syaraf. Diantaranya, media massa seperti radio,
surat kabar, televisi, buku, dan media nir-massa seperti poster serta pamflet.
Kedua, bagaimana beberapa parpol menggunakan media elektronik,
khususnya televisi. Mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menjadikan televisi sebagai andalan utama dalam mendapatkan informasi. Hal
tersebut, didukung oleh beberapa pimpinan parpol yang merupakan
pemilik
utama dari stasiun TV swasta. Misalnya, Harry Tanoesoedibyo sebagai pimpinan
utama MNC Group, sehingga semakin memudahkan mereka dalam melakukan
kampanye politik melalui media televisi.
Ketiga, Pesan apa yang akan disampaikan kepada masyarakat. Hal tersebut
terkait dengan isi dari pesan yang akan disebarkan kepada lawan dalam ajang
politik. Tujuan dari perang urat syaraf adalah mencapai kemenangan. Hal ini dapat
dilihat dalam survey yang kami lakukan pada tanggal 14 Maret 2014. Saat Joko
Widodo (Gubernur DKI Jakarta) mendapat mandat dari Ketua Umum PDIP untuk
maju sebagai Capres dalam Pemilu Presiden 2014.
Pada situs www.okezone.com, tertulis beberapa headline seperti “nyapres,
Jokowi keblinger jabatan” atau “Jokowi nyapres, Jakarta akan hancur” 12. Hal ini
tentu dapat diapahami mengingat situs tersebut adalah bagian dari MNC Group
pimpinan Hary Tanoesoedibjo yang akan maju sebagai cawapres dalam pilpres
2014 mendatang.
Keempat, adalah mengenai tujuan dan efek apa yang diharapkan dari
perang urat syaraf tersebut. Tujuan dan efek yang diharapkan perang urat syaraf
hampir tidak dapat dibedakan. Pada prosesnya, tujuan terdapat pada komunikator,
yaitu perencana dan pelaku perang urat syaraf, sedangkan efeknya terdapat pada
komunikan atau sasaran perang urat syaraf. Efek yang diaharapkan dari sasaran
sebagai akibat dari upaya mempenaruhi sifat, pendapat, dan perilaku itu bisa
12
http://m.okezone.com/pemilu. Diakses pada 14 Maret 2014 pukul 20.00.
bermacam-macam bergantung pada pihak mana yang dijadikan sasaran, apakah
pihak musuh, pihak yang netral, atau pihak yang bersimpati.
Berdasarkan paradigm mekanistis, proses komunikasi politik adalah pesan
yang disampaikan oleh komunikator politik kepada khalayak politik melalui
media politik.13 hal tersebut menghasilkan dua asumsi dasar. Pertama, masyarakat
tidak berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya, komunikator
dengan mudah mempengaruhi masyarakat. kedua, media massa sangat perkasa
dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya, semua pesan yang disampaikan
oleh media massa dengan mudah mempengaruhi masyarakat.14
Teori diatas, sesuai jika dilihat dari kondisi masyarakat Indonesia yang
tinggal didaerah terpencil. Masyarakat awam yang minim pendidikan dan
pengetahuan akan memiliki cara pandang yang sama seperti dalam teori tersebut.
Misalnya, televise RCTI yang digemari masyarakat dengan tayangan music dan
sinetronnya. Kini, iklan partai hanura terutama capres dan cawapres ramai
mengisi spot iklan di televise tersebut.selain itu, adanya program mimpi Indonesia
kuis kebangsaan, bahkan, unsur kampanye dimasukkan dalam tayangan sinetron,
“ Tukang Bubur Naik Haji The Series”.15 Hal tersebut, secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pemikiran masyarakat awam. Citra sebagai pemimpin yang baik
hati akan tertanam dibenak mereka secara tidak langsung.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang tinggal pada lingkup peradaban
maju, seperti dikota. Mereka lebih peka dan jeli melihat tayangan media. Bahkan,
mereka lebih kritis menanggapi setiap isu yang diangkat oleh media. Artinya
masyarakat kota tidak pasif dalam menerima pesan yang disampaikan media.
Sebab, masyarakat kota memiliki akses pengetahuan yang lebih. Kemudahan
jaringan listrik, internet, dan pendidikan yang memadai membentuk suatu pola
berpikir yang lebih rasional dan empiris.
13
Dan Nimmo, “Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, Dan Media)”, terjemahan
Tjun Sujaman, Bandung, Remadja Rosdakarya, 1999, dalam Anwar Arifin,” Komunikasi
Politik: Paradigma Teori Aplikasi Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia”, Jakarta:
PT. Balai Pustaka, hal: 42
14
Ibid, hal: 44
15
Ramadhani
Fadillah,
“Tukang
Bubur
Naik
Haji
The
Series”
http://m.merdeka.com/peristiwa/kpi-semprit-win-ht-main-sinetron-tukang-bubur-naikhaji.html, Diakses pada 15 Maret 2014. Pukul 09.50
Defleur dan ball rokeach (1975) menyatakan bahwa pertemuan khalayak
dengan media massa didasarkan pada tiga teori. Pertama, teori perbedaan
individu, memandang bahwa setiap orang memiliki potensi biologis yang berbeda,
pengalaman dan lingkungan yang tidak sama, sehingga menimbulkan adanya
pengaruh media massa yang tidak sama terhadap masyarakat. kedua, teori
kategori social, memandang bahwa golongan social berdasarkan usia, jenis
kelamin, agama, suku, tingkat pendapatan, pendidikan, dan tempat tinggal, akan
menampilkan satu respon tertentu yang tidak sama satu sama lain. Ketiga, teori
hubungan social, dilihat dari pentingnya pengaruh setiap individu terhadap
individu lainnya, sehingga dapat membentuk satu pola pemikiran yang sama.16
Setiap lembaga media massa memiliki politik redaksi yang menjadi
kerangka acuan para pekerja. Karna itu, pemanfaatan media massa dipengaruhi
banyak factor terkait kepentingannya. 17 Salah satu faktornya adalah kepentingan
politik. kebebasan media dalam menyaring berita yang ditayangkan akan
menimbulkan citra yang berbeda antara media satu dengan lainnya. Disinilah
netralitas media dipertanyakan.
Keberpihakan media dalam mengawal pemilu 2014 seolah mencederai
hakikat pers dan media. media massa merupakan alat pemberi informasi kepada
masyarakat. namun, adanya keberpihakan tersebut menjadikan media sebagai alat
kebohongan bagi masyarakat. seharusnya, media massa mampu menjunjung
tinggi netralitasnya. Selain itu, para pelaku politik juga harus mengerti posisi
netralitas media. sehingga, tidak menjadikan media sebagai alat propaganda dan
pencitraan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Kami tidak mempermasalahkan bagaimana independensi media dalam
mendukung salah satu parpol atau individu dalam pesta demokrasi kali ini.
Menurut UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, tidak terlihat adanya masalah
besar jika pers menunjukkan keberpihakannya secara terang-terangan di muka
umum. Namun, pada pasal 3 Undang - Undang Pers
tentang peranan pers,
menyatakan bahwa pers nasional mempunyai fungsi kontrol sosial.
Berdasarkan pasal tersebut, tersirat bahwa seharusnya pers nasional
menunjukkan powernya untuk secara tegas mengontrol kegiatan kampanye politik
16
17
Ibid, hal: 47
Ibid, hal: 101
yang dilakukan oleh media pers swasta. Sehingga, tujuan utama pers, yakni
memberikan pendidikan politik akan tercapai.
Karni Ilyas dalam bukunya, menceritakan bahwa ia pernah mengalami
banyak tekanan selama menjadi jurnalis. Ketika masih bekerja di Tempo, Karni
Ilyas pernah mengalami intervensi dari pemiliknya, yaitu Ir. Ciputra. Hingga kini,
pada acara yang dipandunya Indonesia Lawyer Club (ILC) sebagai seorang
pemimpin redaksi ia jarang ditemukan tema tentang lumpur Lapindo. Karena,
tidak mungkin ia menyudutkan sang boss.18 Artinya, idealisme seorang jurnalis
bukanlah jaminan netralitasnya dalam menyajikan berita. Karena, power yang
dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan mengalahkan idealism tersebut.
Keberpihakan pers secara terang- terangan merupakan fenomena yang
terjadi pada pemilu 2014. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena undang- undang
mengenai pers tidak mengaturnya. Hal tersebut menyebabkan, tidak adanya badan
pemerintah yang memiliki power untuk menghindari fenomena ini. Karena, atas
nama kebebasan dan demokrasi maka pers memiliki hak untuk menentukan
keberpihakannya pada pemilu tahun ini.
Lampiran I
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Ashadi. 1995. “Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi”,
diunduh pada 27 januari 2014,” ashadisiregar.files.wordpress.com
18
Lesmana, Tjipta. 2005. “Kebebasan Pers Dilihat dari Perspektif Konflik,
antara Kebebasan dan Tertib Sosial”, diunduh pada 27 februari 2014.
Arifin, Anwar. 2003. ” Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi
Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia”. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Riswandi. 2009. Komunikasi Politik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ridwan. “Iklan Kampanye dan Politik di Televisi Terbanyak Golkar”.
www.pemilu.com. diakses pada 18 Maret 2014
Rochman, Fatur “Duh, 11 Stasiun TV Langgar MoratoriumIklan Politik,
Trans
TV
Paling
Banyak”.
Editor
Rustam
Aji.
http://jateng.tribunnews.com. diakses pada 18 Maret 2014.
http://m.okezone.com/pemilu. Diakses pada 14 Maret 2014 pukul 20.00.
http://www.indonesiamedia.com/2012/10/29/kenapa-karni-ilyas-tidakberani-menghantam-aburizal-bakrie-di-tv-one/. Diakses pada 19 Maret
2014 pukul 14.58.
Fadillah,
Ramadhani.”Tukang
Bubur
Naik
Haji
The
series”http://m.merdeka.com/peristiwa/kpi-semprit-win-ht-main-sinetrontukang-bubur-naik-haji.html. Diakses pada 15 Maret 2014. Pukul 09.50
Lampiran II
Surat Edaran Dewan Pers
Nomor: 02/SE-DP/II/2014
Tentang
Independensi Wartawan
dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa
Menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2014, Dewan Pers mencermati
beberapa persoalan pers yang harus menjadi perhatian komunitas pers. Persoalan
tersebut, antara lain, menyangkut independensi wartawan dan perusahaan pers
serta pemuatan iklan politik peserta Pemilu. Dewan Pers menerima banyak
laporan terkait penggunaan perusahaan pers oleh pemiliknya, terutama televisi,
untuk kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Dalam kasus lain,
penyelenggara Pemilu (KPU/KIP/Bawaslu/Panwaslu), juga meminta pendapat
Dewan Pers terkait pemuatan iklan politik di media massa yang mereka nilai tidak
sesuai peraturan.
Menyikapi beberapa persoalan tersebut, dengan berpedoman kepada UU
No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers menyampaikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi momentum besar bagi pers untuk
menunjukkan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol
sosial secara independen. Apakah pers berhasil melalui tantangan ini akan
diukur dari kemampuannya dalam turut menyukseskan Pemilu melalui
liputan berkualitas. Karena itu, Dewan Pers menyerukan kepada
komunitas pers agar tetap menjaga integritas dan martabat sebagai pranata
publik yang independen, menjadikan Pemilu sebagai momentum guna
meningkatkan profesionalitas. Pers tidak boleh sekali-kali merendahkan
martabat serta menggoyahkan sendiri kebebasan dan independensi,
sekedar menjadi alat keberpihakan kepada kepentingan politik partisan
sesaat.
2. Wartawan dan perusahaan pers harus bersikap adil dan independen dalam
memberitakan peserta Pemilu 2014. Semua peserta selayaknya mendapat
kesempatan yang sama dalam pemberitaan, dan atau diberikan kesempatan
yang sama dalam pemuatan iklan. Sikap adil dan independen harus
ditegakkan
sebagai
wujud
upaya
menjaga
integritas
pers
dan
memperjuangkan kepentingan publik. Integritas pers yang terjaga akan
memperkuat kebebasan pers di negeri kita.
3. Sebelum memuat iklan politik peserta Pemilu, perusahaan pers harus
memperhatikan bahwa pemuatan iklan tersebut sesuai dengan ketentuanketentuan di dalam UU Pemilu, UU Pers, UU Penyiaran (untuk media
penyiaran), Peraturan KPU, dan Etika Pariwara Indonesia.
4. Perusahaan pers harus menegakkan prinsip “pagar api” yang tegas
membedakan antara iklan politik dan berita ataupun iklan yang ditulis
dengan menggunakan model dan struktur berita (pariwara). Pemuatan
iklan harus disertai keterangan yang jelas sebagai iklan. Penegakan prinsip
ini menjadi satu upaya serius untuk menjaga integritas pers dan
independensi ruang redaksi selama proses Pemilu, sekaligus sikap jujur
pers kepada publik yang berhak mendapat informasi yang benar.
5. Dewan Pers mempedomani ketentuan di dalam UU Pers dan KEJ dalam
menindak perusahaan pers yang diduga melanggar ketentuan terkait berita
atau iklan politik. Sedangkan sanksi terhadap peserta Pemilu sebagai pihak
pemasang iklan di media massa, sesuai ketentuan UU Pemilu, akan
diselesaikan
oleh
lembaga
penyelenggara
Pemilu
(KPU/KIP/Bawaslu/Panwaslu).
Lampiran III (Lembar Biodata)
Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2014
Peserta 1
i. Nama Peserta
: Hanifa
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Surabaya, 20 September 1993
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 083898243335
Peserta 2
i. Nama Peserta
: Dwi Luthfan Prakoso
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 10 Mei 1994
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 085786922926
Peserta 3
i. Nama Peserta
: Devi Hapsari
ii. Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 7 Desember 1993
iii. Domisili
: Villa Dago Pamulang, Blok B 21 No 7
Tangerang Selatan, Banten
iv. Alamat email
: [email protected]
v. Telepon/Ponsel
: 087808016725
Lampiran IV
Statement of Authorship
“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper ini adalah
murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Paper ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper
pada ajang kompetisi lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami
menggunakannya.”
Judul Paper
: Fenomena Keberpihakan Pers Pada Pemilu 2014
Tanggal
: 20 Maret 2014
Nama Organisasi Pers
: FISIP NEWS
Nama Peserta 1
: Hanifa
NPM
: 112113000016
Nama Peserta 2
: Dwi Luthfan Prakoso
NPM
: 1113113000041
Nama Peserta 3
: Devi Hapsari
NPM
: 112113000020
Tandatangan 1
:
Tandatangan 2
:
Tandatangan 3
:
LAMPIRAN V (Scan KTP)
1. Hanifa
2. Dwi Luthfan Prakoso
3. Devi Hapsari