TUGAS SOSIOLOGI gender kekerasan di dalam
TUGAS SOSIOLOGI
Informasi Tentang Permasalahan Gender Yang Terdapat Dalam
Masyarakat Dikaitkan Dengan Adat Istiadat, Agama, dan Pendidikan
Oleh :
Aullia Rahma P.
071311533096
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan tentang gender memang tidak pernah ada habisnya. Khususnya
diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sekalipun R.A Kartini sudah memperjuangkan hakhak wanita, namun tetap saja seiring berubahnya zaman, hal tersebut tidak dihiraukan lagi
keberadaannya. Sangat disayangkan sekali apabila perjuangan R.A. Kartini tersebut menjadi
sia-sia belaka. Walaupun hukum menjamin hak-hak wanita, tetapi tetap saja perlakuan
diskriminasi terhadap wanita menjadi merajalela.
Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita mengambil peranan yang sangat penting dalam
masyarakat. Tanpa wanita seorang presiden tidak akan lahir di dunia. Bahkan Nabi Isa A.s
dapat diahirkan dari rahim ibunya, Maryam, tanpa adanya seorang ayah. Betapa besarnya
pengaruh seorang wanita dalam kehidupan ini. Tetapi kemudian mereka dilecehkan, dirusak
martabatnya, dan terkadang juga dikesampingkan haknya. Sungguh sangat ironis sekali
nasib wanita.
Salah satu tindakan diskriminasi wanita yang sangat populer adalah tindakan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tindakan semena-mena suami yang terkadang
mempunyai maksud benar tetapi caranya yang salah. Atau ada yang bahkan memang
mempunyai niat untuk melakukan kekerasan kepada kaum wanita. Rata-rata alasan mereka
melakukan KDRT sebenarnya mulai dari masalah yang sepele dan akhirnya ada yang
sampai berujung pada kematian. Hal ini tentunya menjadi tugas bagi bangsa Indonesia
untuk memberikan solusi-solusi atas permasalahan tersebut.
B.
1.
2.
3.
Rumusan Masalah
Apa saja informasi tentang gender dan permasalahan gender?
Apa saja informasi tentang KDRT?
Apa kaitannya dengan adat istiadat, agama, dan pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Gender dan permasalahan gender
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis
kelamin’ (Echols dan Shadily, 1983: 265). Secara terminologis, Hilary M. Lips mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural
expectations
for
women
and
men)
(http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-
%2008110241024.pdf). Dalam Concise Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990,
kata ‘gender’ diartikan sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan
kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis
kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’.
Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena
konstruksi
sosial,
dan
bukan
sekadar
jenis
kelaminnya
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-studitentang-kesetaraan-gender-dalam-berbagai-aspek.pdf). Dan kemudian hal itu dapat berubah
sewaktu-waktu sesuai konstruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran lakilaki dan perempuan. Gender semacam fungsi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya yang
dipengaruhi oleh budaya.
Permasalahan gender adalah ketidakadilan gender atau kesenjangan gender, yaitu
berbagai tindak keadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender.
Diskriminasi berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang di buat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, dll oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara
perempuan
dan
laki-laki
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-
463085.html).
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut UU No. 23 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (http://jatim.kemenkumham.go.id/attachments/article/686/uuno-23-2004-pkdrt-indonesia.pdf).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan
fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional,
tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan
mengendalikan
untuk
memperoleh
uang
dan
menggunakannya
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.
%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA(Final).pdf ).
Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat
%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH
%20TANGGA(Final).pdf ) :
a. Kekerasan fisik (physical abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek,
membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan
membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
b. Kekerasan psikologis (psychological abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun
tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi
dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan
yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci
maki, dan penghinaan secara terus menerus.
c. Kekerasan ekonomi / penelantaran rumah tangga (material abuse or theft of
money or personal property) adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat
dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di
antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan
dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya
d. Kekerasan seksual (violation of right) adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a)
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
3. Kaitannya dengan adat istiadat, agama, dan pendidikan
A. ADAT ISTIADAT
Kasus kekerasan dalam rumah tangga jika dikaitkan dengan adat istiadat, tentu saja
melanggar norma adat. Namun ada juga hukum adat yang membenarkan hal tersebut boleh
terjadi. Dalam hukum adat Jawa, seorang istri harus patuh terhadap suaminya. Suami adalah
pemimpin keluarga, sehingga seorang istri harus mengikuti suaminya dengan setia. Nilai
tradisional yang dianut sebagian besar masyarakat Jawa menyatakan bahwa bila seorang
perempuan menikah dengan seorang laki-laki, maka ia menjadi milik suaminya dan orang
tuanya tidak punya kekuasaan lagi terhadap dirinya, sehingga kaum pria lebih berkuasa
dalam rumah tangga dengan begitu kaum pria akan merasa benar jika dalam mengaturnya
menggunakan kekerasan. Sama halnya dengan hukum adat papua, suami melakukan
kekerasan terhadap istri adalah sesuatu yang sah-sah saja.
Banyak kasus KDRT diselelesaikan melalui mekanisme adat. Jumlahnya mencapai
80
persen
(http://mvpivanaputra-show.blogspot.com/2013/03/kdrt-dari-sudut-pandang-
hukum-nasional.html). Mekanisme adat dipilih karena prosesnya cepat dan pelaku segera
mendapat sanksi sosial. Selama ini kasus yang banyak ditangani oleh peradilan adat adalah
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pemerkosaan, kekerasan dalam pacaran,
pengambilan harta gono-gini oleh suami setelah proses cerai, penelantaran ekonomi serta
persoalan tenaga kerja wanita (TKW). Dalam masyarakat adat, peradilan adat dianggap
lebih efektif karena dampak putusan dan sanksi sosial bisa langsung dirasakan. Sehingga
harapan agar ke depan terbangun sinergi antara hukum adat dan hukum formal untuk
menciptakan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.
B. AGAMA
Dalam agama, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya
agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang
yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6).
Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”
yang dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan
kaidah tertentu yang jelas.
Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa
sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan
kepadanya : Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”
[HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami'
No 660, 661).
Seorang istri apabila tidak taat kepada suami, tidak mau melayani suami, atau lalai
akan tugasnya sebagai seorang istri, maka suami berhak menegur, mengingatkan atau
bahkan memukul apabila sudah keterlaluan. Pukulan yang diberikan bukan pukulan yang
menyakitkan, apalagi sampai mematikan. Pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain
dan semua cara sudah ditempuh, untuk memberi hukuman/pengertian. Tidak diperbolehkan
memukul ketika dalam keadaan marah sekali karena dikhawatirkan akan membahayakan.
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hakhaknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman
Allah SWT: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf." (Qs. al-Baqarah [2]: 228).
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan
hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, maka harusnya tidak dibutuhkan kekerasan dalam
menyelaraskan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan
apabila rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih
sayang dan diarahkan oleh peta iman.
C. PENDIDIKAN
KDRT bisa juga terjadi apabila memang masing-masing suami istri tidak pernah
mengemban dunia pendidikan. Biasanya hal seperti ini dialami oleh penduduk yang ada di
desa. Namun biasanya penduduk desa masih terikat dengan hukum adat. Maka persoalan
tersebut dapat diselesaikan menggunakan hukum adat setempat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Dalam suatu tatanan masyarakat, pria dan wanita mempunyai peranan masingmasing yang terbentuk secara umum dan diakui oleh masyarakat. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa pria dan wanita dapat bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada.
Kemudian pria dan wanita membentuk suatu komunitas baru seperti keluarga. Dalam
pembentukan itu, diperlukan berbagai macam adaptasi untuk menyesuaikan. Pastinya dalam
proses adaptasi tersebut, akan timbul beberapa ketidakcocokan. Tergantung bagaimana
pihak-pihak dalam keluarga itu menyikapi perbedaan tersebut.
Dalam sudut pandang apapun, tidak ada yang menginginkan adanya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain melanggar hukum, agama, dan hak asasi manusia, hal tersebut
adalah hal hewani, sangat tidak manusiawi. Sedangkan manusia mempunyai beribu-ribu
bahkan berjuta-juta akal pikiran untuk berfikir dengan jernih untuk menyikapi segala
sesuatu yang terjadi.
2. SARAN
Salah satu penyebab populernya diskriminasi perempuan dalam KDRT adalah tidak
efisiennya hukum yang berlaku. Ada baiknya pemerintah memberi penegasan dan
menegakkan hukum setegak-tegaknya. Agar jaminan perlindungan terhadap korban-korban
tersebut jelas dan oknum-oknum yang melakukan KDRT menjadi jera. Sehingga akhirnya
tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Sudah cukup banyak kasus-kasus KDRT
yang terbengkalai dan korbannya pun tidak dijamin perlindungannya. Hal ini perlu
diperhatikan agar tidak merusak moral-moral penerus bangsa.
Peran wanita dewasa ini sebenarnya sangat rawan. Jika langkahnya benar maka akan
menjadi sebuah inspirasi untuk kesetaraan gender di Indonesia. Namun jika salah langkah,
maka hal tersebut menjadi momok bagi wanita-wanita di seluruh Imdonesia. Berfikir jernih
dan berfikir kedepan adalah salah satu kuncinya.
DAFTAR PUSTAKA
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia. Cet. XII.
http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-%2008110241024.pdf Diakses pada tanggal
9 Juni 2014
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-studitentang-kesetaraan-gender-dalam-berbagai-aspek.pdf Diakses pada tanggal 9 Juni 2014
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-463085.html Diakses pada tanggal 9 Juni
2014
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.
%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA(Final).pdf
pada tanggal 10 Juni 2014
http://mvpivanaputra-show.blogspot.com/2013/03/kdrt-dari-sudut-pandang-hukumnasional.html Diakses pada tanggal 11 Juni 2014
http://jatim.kemenkumham.go.id/attachments/article/686/uu-no-23-2004-pkdrtindonesia.pdf Diakses pada tnggal 11 Juni 2014
Diakses
LAMPIRAN
Contoh Kasus
Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara-gara Ditegur
http://m.liputan6.com/news/read/819398/kejam-suami-gunting-lidah-istri-gara-gara-ditegur
PERISTIWA · 06 Feb 2014 03:26
Kejam benar kelakuan Gumalang Beatus Tamba alias Beatus ini. Gara-gara tidak diterima
ditegur karena membuang puntung dan abu rokok, Beatus tega menggunting lidah istrinya,
Debora Darmauli br Situmorang.
Kejadian itu dipaparkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam (JPU) sidang perdana yang
digelar di Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara, Rabu 2 Februari 2014.
Dalam surat dakwaan itu, Beatus yang juga penduduk Jalan Bona-Bona Nagori Dolok
Marlawan itu menggunting lidah Debora pada 6 November 2013.
Jaksa Julius Michael menguraikan pada waktu itu Debora menegur Beatus yang membuang
puntung rokok dan abu di dalam kamar secara sembarangan. Tidak terima dengan teguran
itu, Beatus marah sehingga terjadi pertengkaran.
Pertengkaran itu berujung pada penganiayaan. Beatus memegang mulut Debora. Saat lidah
Debora keluar, Beatus mengguntingnya hingga berdarah.
"Terdakwa kita kenakan Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun
2004 Pasal 44 ayat 20 dan 1," kata Julius.
Sedangkan, Debora yang menjadi saksi bersedia berdamai dengan Beatus. Namun tidak mau
rujuk kembali karena perbuatan Beatus yang selalu memukulnya sejak mereka menikah 3
tahun lalu. (Ant/Eks)
Informasi Tentang Permasalahan Gender Yang Terdapat Dalam
Masyarakat Dikaitkan Dengan Adat Istiadat, Agama, dan Pendidikan
Oleh :
Aullia Rahma P.
071311533096
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan tentang gender memang tidak pernah ada habisnya. Khususnya
diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sekalipun R.A Kartini sudah memperjuangkan hakhak wanita, namun tetap saja seiring berubahnya zaman, hal tersebut tidak dihiraukan lagi
keberadaannya. Sangat disayangkan sekali apabila perjuangan R.A. Kartini tersebut menjadi
sia-sia belaka. Walaupun hukum menjamin hak-hak wanita, tetapi tetap saja perlakuan
diskriminasi terhadap wanita menjadi merajalela.
Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita mengambil peranan yang sangat penting dalam
masyarakat. Tanpa wanita seorang presiden tidak akan lahir di dunia. Bahkan Nabi Isa A.s
dapat diahirkan dari rahim ibunya, Maryam, tanpa adanya seorang ayah. Betapa besarnya
pengaruh seorang wanita dalam kehidupan ini. Tetapi kemudian mereka dilecehkan, dirusak
martabatnya, dan terkadang juga dikesampingkan haknya. Sungguh sangat ironis sekali
nasib wanita.
Salah satu tindakan diskriminasi wanita yang sangat populer adalah tindakan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tindakan semena-mena suami yang terkadang
mempunyai maksud benar tetapi caranya yang salah. Atau ada yang bahkan memang
mempunyai niat untuk melakukan kekerasan kepada kaum wanita. Rata-rata alasan mereka
melakukan KDRT sebenarnya mulai dari masalah yang sepele dan akhirnya ada yang
sampai berujung pada kematian. Hal ini tentunya menjadi tugas bagi bangsa Indonesia
untuk memberikan solusi-solusi atas permasalahan tersebut.
B.
1.
2.
3.
Rumusan Masalah
Apa saja informasi tentang gender dan permasalahan gender?
Apa saja informasi tentang KDRT?
Apa kaitannya dengan adat istiadat, agama, dan pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Gender dan permasalahan gender
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis
kelamin’ (Echols dan Shadily, 1983: 265). Secara terminologis, Hilary M. Lips mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural
expectations
for
women
and
men)
(http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-
%2008110241024.pdf). Dalam Concise Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990,
kata ‘gender’ diartikan sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan
kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis
kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’.
Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena
konstruksi
sosial,
dan
bukan
sekadar
jenis
kelaminnya
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-studitentang-kesetaraan-gender-dalam-berbagai-aspek.pdf). Dan kemudian hal itu dapat berubah
sewaktu-waktu sesuai konstruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran lakilaki dan perempuan. Gender semacam fungsi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya yang
dipengaruhi oleh budaya.
Permasalahan gender adalah ketidakadilan gender atau kesenjangan gender, yaitu
berbagai tindak keadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender.
Diskriminasi berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang di buat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, dll oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara
perempuan
dan
laki-laki
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-
463085.html).
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut UU No. 23 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (http://jatim.kemenkumham.go.id/attachments/article/686/uuno-23-2004-pkdrt-indonesia.pdf).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan
fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional,
tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan
mengendalikan
untuk
memperoleh
uang
dan
menggunakannya
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.
%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA(Final).pdf ).
Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat
%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH
%20TANGGA(Final).pdf ) :
a. Kekerasan fisik (physical abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek,
membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan
membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
b. Kekerasan psikologis (psychological abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun
tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi
dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan
yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci
maki, dan penghinaan secara terus menerus.
c. Kekerasan ekonomi / penelantaran rumah tangga (material abuse or theft of
money or personal property) adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat
dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di
antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan
dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya
d. Kekerasan seksual (violation of right) adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a)
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
3. Kaitannya dengan adat istiadat, agama, dan pendidikan
A. ADAT ISTIADAT
Kasus kekerasan dalam rumah tangga jika dikaitkan dengan adat istiadat, tentu saja
melanggar norma adat. Namun ada juga hukum adat yang membenarkan hal tersebut boleh
terjadi. Dalam hukum adat Jawa, seorang istri harus patuh terhadap suaminya. Suami adalah
pemimpin keluarga, sehingga seorang istri harus mengikuti suaminya dengan setia. Nilai
tradisional yang dianut sebagian besar masyarakat Jawa menyatakan bahwa bila seorang
perempuan menikah dengan seorang laki-laki, maka ia menjadi milik suaminya dan orang
tuanya tidak punya kekuasaan lagi terhadap dirinya, sehingga kaum pria lebih berkuasa
dalam rumah tangga dengan begitu kaum pria akan merasa benar jika dalam mengaturnya
menggunakan kekerasan. Sama halnya dengan hukum adat papua, suami melakukan
kekerasan terhadap istri adalah sesuatu yang sah-sah saja.
Banyak kasus KDRT diselelesaikan melalui mekanisme adat. Jumlahnya mencapai
80
persen
(http://mvpivanaputra-show.blogspot.com/2013/03/kdrt-dari-sudut-pandang-
hukum-nasional.html). Mekanisme adat dipilih karena prosesnya cepat dan pelaku segera
mendapat sanksi sosial. Selama ini kasus yang banyak ditangani oleh peradilan adat adalah
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pemerkosaan, kekerasan dalam pacaran,
pengambilan harta gono-gini oleh suami setelah proses cerai, penelantaran ekonomi serta
persoalan tenaga kerja wanita (TKW). Dalam masyarakat adat, peradilan adat dianggap
lebih efektif karena dampak putusan dan sanksi sosial bisa langsung dirasakan. Sehingga
harapan agar ke depan terbangun sinergi antara hukum adat dan hukum formal untuk
menciptakan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.
B. AGAMA
Dalam agama, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya
agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang
yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6).
Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”
yang dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan
kaidah tertentu yang jelas.
Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa
sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan
kepadanya : Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”
[HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami'
No 660, 661).
Seorang istri apabila tidak taat kepada suami, tidak mau melayani suami, atau lalai
akan tugasnya sebagai seorang istri, maka suami berhak menegur, mengingatkan atau
bahkan memukul apabila sudah keterlaluan. Pukulan yang diberikan bukan pukulan yang
menyakitkan, apalagi sampai mematikan. Pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain
dan semua cara sudah ditempuh, untuk memberi hukuman/pengertian. Tidak diperbolehkan
memukul ketika dalam keadaan marah sekali karena dikhawatirkan akan membahayakan.
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hakhaknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman
Allah SWT: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf." (Qs. al-Baqarah [2]: 228).
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan
hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, maka harusnya tidak dibutuhkan kekerasan dalam
menyelaraskan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan
apabila rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih
sayang dan diarahkan oleh peta iman.
C. PENDIDIKAN
KDRT bisa juga terjadi apabila memang masing-masing suami istri tidak pernah
mengemban dunia pendidikan. Biasanya hal seperti ini dialami oleh penduduk yang ada di
desa. Namun biasanya penduduk desa masih terikat dengan hukum adat. Maka persoalan
tersebut dapat diselesaikan menggunakan hukum adat setempat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Dalam suatu tatanan masyarakat, pria dan wanita mempunyai peranan masingmasing yang terbentuk secara umum dan diakui oleh masyarakat. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa pria dan wanita dapat bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada.
Kemudian pria dan wanita membentuk suatu komunitas baru seperti keluarga. Dalam
pembentukan itu, diperlukan berbagai macam adaptasi untuk menyesuaikan. Pastinya dalam
proses adaptasi tersebut, akan timbul beberapa ketidakcocokan. Tergantung bagaimana
pihak-pihak dalam keluarga itu menyikapi perbedaan tersebut.
Dalam sudut pandang apapun, tidak ada yang menginginkan adanya kekerasan
dalam rumah tangga. Selain melanggar hukum, agama, dan hak asasi manusia, hal tersebut
adalah hal hewani, sangat tidak manusiawi. Sedangkan manusia mempunyai beribu-ribu
bahkan berjuta-juta akal pikiran untuk berfikir dengan jernih untuk menyikapi segala
sesuatu yang terjadi.
2. SARAN
Salah satu penyebab populernya diskriminasi perempuan dalam KDRT adalah tidak
efisiennya hukum yang berlaku. Ada baiknya pemerintah memberi penegasan dan
menegakkan hukum setegak-tegaknya. Agar jaminan perlindungan terhadap korban-korban
tersebut jelas dan oknum-oknum yang melakukan KDRT menjadi jera. Sehingga akhirnya
tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Sudah cukup banyak kasus-kasus KDRT
yang terbengkalai dan korbannya pun tidak dijamin perlindungannya. Hal ini perlu
diperhatikan agar tidak merusak moral-moral penerus bangsa.
Peran wanita dewasa ini sebenarnya sangat rawan. Jika langkahnya benar maka akan
menjadi sebuah inspirasi untuk kesetaraan gender di Indonesia. Namun jika salah langkah,
maka hal tersebut menjadi momok bagi wanita-wanita di seluruh Imdonesia. Berfikir jernih
dan berfikir kedepan adalah salah satu kuncinya.
DAFTAR PUSTAKA
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia. Cet. XII.
http://eprints.uny.ac.id/9812/2/BAB%202%20-%2008110241024.pdf Diakses pada tanggal
9 Juni 2014
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-studitentang-kesetaraan-gender-dalam-berbagai-aspek.pdf Diakses pada tanggal 9 Juni 2014
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-463085.html Diakses pada tanggal 9 Juni
2014
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.
%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA(Final).pdf
pada tanggal 10 Juni 2014
http://mvpivanaputra-show.blogspot.com/2013/03/kdrt-dari-sudut-pandang-hukumnasional.html Diakses pada tanggal 11 Juni 2014
http://jatim.kemenkumham.go.id/attachments/article/686/uu-no-23-2004-pkdrtindonesia.pdf Diakses pada tnggal 11 Juni 2014
Diakses
LAMPIRAN
Contoh Kasus
Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara-gara Ditegur
http://m.liputan6.com/news/read/819398/kejam-suami-gunting-lidah-istri-gara-gara-ditegur
PERISTIWA · 06 Feb 2014 03:26
Kejam benar kelakuan Gumalang Beatus Tamba alias Beatus ini. Gara-gara tidak diterima
ditegur karena membuang puntung dan abu rokok, Beatus tega menggunting lidah istrinya,
Debora Darmauli br Situmorang.
Kejadian itu dipaparkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam (JPU) sidang perdana yang
digelar di Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara, Rabu 2 Februari 2014.
Dalam surat dakwaan itu, Beatus yang juga penduduk Jalan Bona-Bona Nagori Dolok
Marlawan itu menggunting lidah Debora pada 6 November 2013.
Jaksa Julius Michael menguraikan pada waktu itu Debora menegur Beatus yang membuang
puntung rokok dan abu di dalam kamar secara sembarangan. Tidak terima dengan teguran
itu, Beatus marah sehingga terjadi pertengkaran.
Pertengkaran itu berujung pada penganiayaan. Beatus memegang mulut Debora. Saat lidah
Debora keluar, Beatus mengguntingnya hingga berdarah.
"Terdakwa kita kenakan Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun
2004 Pasal 44 ayat 20 dan 1," kata Julius.
Sedangkan, Debora yang menjadi saksi bersedia berdamai dengan Beatus. Namun tidak mau
rujuk kembali karena perbuatan Beatus yang selalu memukulnya sejak mereka menikah 3
tahun lalu. (Ant/Eks)