Penjara Kolonial di Sumatras Westkust

PENJARA-PENJARA KOLONIAL
DI SUMATRA’S WESTKUST ABAD KE-19 DAN KE-20
Oleh Deddy Arsya
Penjara Padang
Pada bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa cikap
bakal penjara pertama untuk wilayah Sumatra’s Westkust
adalah penjara di benteng kompeni dagang Hindia Timur
di Padang pada abad ke-17 dan ke-18. Pada periode Hindia
Belanda yang dimulai sejak awal abad ke-19, penjara di
Padang semakin ditegaskan fungsinya. Pada bagian ini
pembahasan lebih banyak mengenai penjara ini, yang pada
awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tergolong kepada
Centrale Gevanenis Strafgevangenis penjara pusat yang
menampung terpidana berat dengan masa hukuman lebih
dari 1 tahun.
Padang diserahkan Inggris kepada Belanda pada
tahun 1819. Beberapa tahun di bawah kuasa Belanda, kota
ini belum juga mendapat perawatan yang berarti. Kolonel
Nahuijs yang mengunjungi Padang pada tahun 1824
mencatatkan dalam catatannya bahwa Padang, di mata
Nahuijs, adalah kota yang berantakan. Padang, dalam

pandangan Eropanya, hanyalah sebuah tempat kecil
hunian bangsa Eropa yang paling tidak berarti dan tidak
teratur di antara hunian bangsa Eropa lainnya yang
pernah dikunjunginya di Hindia. “... dan saya bisa
mengatakannya kepada Anda bahwa saya belum pernah
melihat tiga buah rumah yang terawat baik di seluruh
Padang,” tulis Nahuijs.1 Sementara itu, kondisi rumahrumah pribumi, kata Nahuijs lagi dalam catatan yang lain,
1 Freek Colombijn, Paco-paco Kota Padang (Jogjakarta: Ombak,
2006), hlm.41-42

hanya berupa rumah-rumah kecil yang terbuat dari
bambu.2
Pada kunjungannya itu, Nahuijs selanjutnya juga
mencatatkan, bahwa di Padang sangat sedikit tukang kayu
(de timmerlieden) dan tukang batu (metselaars),
sementara pemerintah Belanda harus segera membikin
begitu banyak bangunan publik. Di bawah pemerintahan
Letnan Kolonel Raaff, kata Nahuijs, Padang masih
membutuhkan banyak bangunan publik yang harus segera
dibikin, termasuk pembangunan penjara. Nahuijs

mencatatkan, bahwa rumah-penjara pemerintah di Padang
sangat kecil (het gouvernements gevangan-huis zoo weinig)
untuk tempat menahan para penjahat. Akibatnya, ketika
malam para penjahat harus dirantai sebagai jaminan agar
tidak melarikan diri. Penjara ini juga harus dijaga oleh
beberapa orang polisi—dijaga dengan ketat.3
Di awal-awal kehadirannnya, Belanda telah
disibukkan oleh keikut-sertaannya dalam perang padri.
Kota ini hampir-hampir terabaikan dan belum tersentuh
perbaikan sejak diserahkan ke tangan Belanda kembali
dari kekuasaan Inggris. Letnan Kolonel Raaff, penguasa
Padang masa itu, dengan giat dan penuh ambisi tengah
sibuk-sibuknya menggempur benteng-benteng padri di
darek Minangkabau. Seluruh tenaga dikerahkan untuk
menaklukan darek. Nahuijs menilai, Kolonel Raaff nyaris
tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi
wajah kota ini.4
Kedatangan De Stuers ke Padang pada periode
setelah Raaff barulah membawa angin yang lebih baik bagi
kepentingan Padang. Stuers dikirim ke Sumatera Barat

2 Nahuijs, Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van
Minangkabau, Rhiou, Singapoera en Poelo-Pinang (Breda: F. B.
Hollingerus Pijpers, MDCCCXXVII), hlm.42
3 Nahuijs, Brieven over Bencoolen... hlm. 42-43
4 Nahuijs, Brieven over Bencoolen... hlm. 43

pada tahun 1824. Dia menjabat Panglima Militer dan
Residen Sumatera Barat yang ke-3. Dia bertugas di
Sumatera Barat ketika upaya melanjutkan offensifisasi
dengan pihak padri—seperti yang gencar dilakukan
pendahulunya—sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
Belanda
tengah
berkonsentrasi
memadamkan
pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa. Perang
Jawa telah menyedot bukan hanya kas Belanda tetapi juga
konsentrasi pasukan yang dipindahkan ke sana dalam
jumlah besar. Dalam kondisi terjepit seperti itu, De Stuers
dengan cerdik berhasil membujuk kaum padri beberapa

kali menyepakati gencatan senjata. Pada masa gencatan
senjata itulah De Stuers memanfaatkan kesempatan untuk
beberapa keperluan. Di antaranya, De Stuers untuk
pertama kali memungsikan pemakaian dubalang-dubalang
Minangkabau, khususnya kesatuan dari Batipuah dalam
menghadapi kaum Paderi. Hal penting lainnya yang
dilakukan De Stuers adalah dia mengintervensi
pemerintah nagari dengan membentuk 80 nagari baru
sekaligus mengangkat kepala negeri sesuai keinginannya
sekalipun yang berhasil terealisasi hanya 30 nagari.5
Gebrakan De Stuers yang langsung berimbas kepada
Kota Padang dalam pada itu adalah kolonel bangsa
Belanda itu berhasil memperbaharui wajah kota dengan
membangun Padang secara lebih giat. Dalam catatannya,
De Stuers menuliskan bahwa pada tahun 1826, dua tahun
setelah dia menjabat residen, Padang tengah sibuk
memoles diri. Banyak gedung-gedung baru dirikan. Balai
kota, kantor pajak, gudang mesiu, gedung pabean, dan
perbaikan gereja baru saja selesai didirikan dalam dalam
kondisi yang cukup baik. Bersama bangunan-bangunan


5 Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (Padang: Pusat
Pengkajian Islam Minangkabau, 2003), hlm. 304-305

publik itu, penjara juga didirikan kembali dengan batu. 6
Penjara
ini,
berbeda
dengan
penjara
dalam
Bentengkompeni, sebagaimana dijelaskan di awal.
Bangunan Penjara Padang pada masa De Stuers
terletak di tepi sisi utara Muara Batang Arau. Kompleks
penjara dikelilingi oleh tembok yang tinggi, di mana pada
bagian depannya terdapat gerbang yang besar dengan satu
daun pintu. Di dalam komplek penjara itu terdapat dua
bangunan besar yang diperkirakan berfungsi sebagai
bangsal tahanan: satu untuk tahanan biasa dan satu lagi
untuk tahanan rantai (dwangarbeid). Sebuah bangsal

masing-masing memiliki dua jendela. Di tengah-tengah
kompleks penjara itu juga terdapat sebuah menara
pengintai.7

Gambar: Bangunan penjara di Padang pada tahun
1826 (Sumber: De Stuers, “Gevangenhuis te Padang 1826”,
[Koninklijk Instituut voor de Tropen/ Tropenmuseum])
6 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding der Nederlander ter
Westkust van Sumatra Vol. II, (Amsterdam: P.N. Van Kampen, 1850),
hlm.173
7 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding.... hlm.173

Gambar: Kehidupan dalam Penjara Padang pada
tahun 1826 (Sumber: De Stuers “Donanen-Kantoor
Gevangenhuis te Padang”, in De Vestiging en Uitbreiding....
hlm. 173)
Sementara tempat kerja (werkplat) terletak di depan
penjara. Di halaman depan penjara itu juga terdapat dua
bangunan lain yang diperkirakan adalah tempat menginap
para penjaga dan petugas penjara. Di depan salah satu

bangunan tumbuh sebatang pohon kelapa yang tinggi dan
lebat buahnya. Kompleks penjara itu secara umum di
kelilingi pohon-pohon yang didominasi pohon kelapa di
sekitarnya.8 Sekali pun sudah dibangun penjara yang lebih
luas, namun penjara tersebut, menurut De Stuers, tidak
mampu menampung jumlah tahanan. Penjara itu, tidak
berapa lama setelah dibangun, segera dipenuhi para

8 Ilustrasi “Donanen-Kantoor Gevangenhuis te Padang” dalam De
Stuers, De Vestiging en Uitbreiding.... hlm. 173

tahanan, sehingga harus digunakan blok-blok tangsi
militer sebagai tempat penahanan lain.9
Dapat dimaklumi bahwa Penjara Padang tidak saja
menampung tahanan yang terkait Perang Padri yang
tengah berlangsung di darek Minangkabau, tetapi tahanan
di pesisir bagian selatan dan utara pantai barat juga
dikirim ke Padang. De Stuers misalnya mencatatkan, anak
seorang kepala desa di Bengkulu yang tertangkap mencuri
kerbau, penahanannya dikirim ke Penjara Padang. Begitu

juga dengan seorang Pariaman yang menyerang opas, juga
dikirim dan dipenjarakan di Penjara Padang.10 Bangunan
penjara yang kecil itu tidak bisa menampung jumlah
tahanan dalam kapasitas yang besar akibat gangguan
keamanan terus merebak luas di Sumatera Barat. Di
samping itu, overload penghuni penjara ini juga
berkemungkinan besar adalah akibat dari Perang Jawa:
tahanan dalam Perang Dipenogoro kebanyakan dikirim ke
penjara-penjara di luar Jawa, termasuk ke Sumatera Barat
Atas dasar kepenuhan penghuni, pada tahun 1845,
Penjara Padang diperbesar. Dirk Woortman, seorang opsir
Belanda yang ditugaskan di Padang, dalam suratnya
bertanggal 20 Juli 1845 mencatatkan, bahwa ketika ia
mengunjungi Padang, kota itu tengah sibuk membangun
penjara baru. Kuli-kuli paksa (dwangarbeiders) dari Jawa
didatangkan untuk bekerja, mereka adalah orang rantai,
tahanan kriminal karena kejahatan berat. Bangunan
penjara yang dibangun itu seluruhnya terbuat dari batu.11
Setahun kemudian, pada tahun 1846, pembangunan
penjara baru tersebut dirampungkan. Kompleks penjara

baru itu dalam laporan pemerintah Belanda, memiliki
9 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding... hlm. vii
10 De Stuers, De Vestiging en Uitbreiding... hlm. viii

11 F. C. Wilsen, Lain Dooeloe, Lain Sakarang, of Voorheen en Thans
Shetsen Uit Oost Indie, (Amsterdam: Firma Meijer, 1868), hlm.293

panjang 75 meter dan lebar 30 meter, dengan tinggi 5
meter. Kompleks Penjara Padang itu dibagi dalam dua
koridor. Koridor pertama merupakan koridor untuk
menampung para tahanan dengan rantai yang dikirim dari
luar daerah Sumatra’s Westkust. Sementara koridor kedua
adalah koridor untuk menampung para tahanan dari
daerah Sumatera Barat sendiri. Kompleks penjara seluas
itu dapat menampung 400 narapidana.12
Konstruksi Penjara Padang pada periode ini
berbentuk tapal kuda.13 Menurut Harsri Setiawan, jika
konstruksi penjara model tapal kuda ini, di tengah
bangsal-bangsal bangunan penjara yang melengkung
seperti letter U itu, biasanya terdapat lapangan yang cukup

luas yang biasanya digunakan untuk apel besar para
tahanan. Tembok tinggi mengeliling bangsal-bangsal itu.
Kantor administrasi, ruang pemeriksaan, dapur, dan
gudang, terletak berderet-deret di depan pada lingkaran
tapal kuda.14 Menurut Harsri lagi, sistem konstruksi
seperti ini biasanya tidak memperbolehkan tahanan bicara
satu sama lain, apalagi bergurau sampai menimbulkan
gelak-tawa.15
Berdasarkan konstruksi seperti dijelaskan di atas
itu, Koloniaal Verslag tahun 1855 dan 1856 melaporkan
bahwa, seperti dikutip C. J. van Asska, Penjara Padang
adalah penjara paling layak dan memadai untuk seluruh
penjara di Hindia Belanda. Kelayakannya disejajarkan
12 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen in
Nederlandsch-Indie” Themis Regtskundig Tijdschrift, Vol III Bagian 6,
(Gravenhage: Grebroeders Belinfante, 1859) hlm. 528
13 “Peta Kota Padang” (ANRI, Binnenlandsch Bestuur No. 237, jaar
1855)
14 Hersri Setiawan, “Penjara dan Tahanan Politik”, pengantar untuk
I. G. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (Jakarta, Pusaka LP3S

Indonesia, 2000), hlm. xxii
15 Hersri Setiawan, “Penjara dan Tahanan Politik”... hlm. xxiii

dengan penjara untuk orang Eropa yaitu Penjara Witlem I
di Weltevreden. Kelayakan itu diukur dari struktur
konstrukti bangunan penjara itu sendiri, ruang-ruang
penahanan yang tersedia (kamar yang tersedia untuk
tahanan Pribumi dan Eropa), ruang untuk bezoek, dan
pengelolaan di dalam penjara tersebut.16
Pada akhir abad ke-19, Penjara Padang dibangun
kembali, konstruksinya diperbaharui. Tidak jelas alasan
pembangunan penjara baru ini, bisa jadi dikarenakan daya
tampung tidak memadai pada penjara sebelumnya. Tidak
didapat sumber yang lebih baik untuk menjelaskan proses
pembangunan Penjara Padang pada kurun waktu ini.
Laporan tahun 1894 hanya menyebutkan bahwa, Penjara
Padang dapat menampung 600 tahanan—satu setengah
kali lipat lebih banyak dari penjara lama. 17 Orang-orang
hukuman berat (‘strapan’ dalam pengucapan pribumi)
masih dipasok ke penjara ini, yang pada akhir abad ke-19
itu banyak yang ditugas-paksakan membantu serdadu
Belanda dalam Perang Aceh. Begitu pun pembawa artileri
dalam menggempur benteng-benteng Sisingamangaraja di
pedalaman Batak menggunakan tahanan rantai yang
dikirim dari Penjara Padang.18 Maupun para pekerja
proyek-proyek jalan, pelabuhan Emma Haven dan kereta
api yang gencar-gencarnya dilakukan pada akhir abad
(tentang ini akan dibicarakan lebih lanjut pada pasal
berikutnya).
Dilihat dari sebuah poto Penjara Padang pada akhir
abad ke-19, dapat diterangkan bahwa setelah dibangun
16 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen... hlm. 528
17 R. A. van Sandick & J. E. de Meyier, “Raming der ontvangsten n

uitga ven van de Indische Administratie” De Indische Gis vol. 16, tahun
1894, hlm. 281
18 R. P. Suyono, Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial:
Penelusuran Kepustakaan Sejarah (Jakarta: Grasindo, 2005), khususnya
bab 10, “strapan untuk patroli dan perang”, hlm. 157-162

ulang konstruksi Penjara Padang tidak lagi berbentuk
letter U atau tapal kuda sebagaimana konstruksi penjara
lama pada pertengahan abad ke-19. Tetapi kali ini
berbentuk persegi panjang. Sebuah koridor membujur
membagi bangunan penjara itu menjadi dua. 19 Setiap sel
dilengkapi dengan jendela kecil berjeruji pada bagian
tembok yang menghadap keluar bangunan penjara. Pintu
gerbangnya adalah pintu besi besar berkepak dua. Dari
model konstruksi seperti itu dapat diperkirakan bahwa
ruang administratur Penjara Padang tidak lagi berada di
depan bangunan penjara sebagaimana pada periode
sebelumnya. Penjara baru20 yang terletak di pingggir
pantai Padang ini (Maisir: 1992, 65), menempatkan ruang
pegawai,
kantor
administratur,
maupun
ruang
pemeriksaan, berada di tengah-tengah, seakan-akan
menjadi poros dari bangunan penjara itu sendiri yang
mengawasi apa pun yang berada di sekelilingnya.
Bangunan penjara dengan arsitektur seperti
digambarkan di atas itu dikenal, dalam catatan Foucault,
sebagai model Penjara Jeremy Benthams. Dalam sistem ini,
bangunan arsitektur penjara terdiri dari deretan sel dan
seakan-akan menyebar ke sekeliling bangunan poros.
Blok-blok sel diatur seperti jari-jari sebuah roda yang
mengelilingi bangunan kantor yang berada di tengah.21
Model ini senada dengan apa yang dikatakan Michel
Foucault sebagai model pengawasan yang menyediakan
justifikasi dan sarana pengawasan umum untuk ketertiban
19 Rusli Amran, Padang, Riwayatmu Dulu, (Bandung: Sinar Harapan,
1985), hlm. 53
20 Djamaluddin Tamin menyebut bahwa ketika dia dipenjarakan di
Padang pada 1924, dia ditempatkan “di penjara baru” ini, "Pada 2 Augus
1924 saja dimasukkan pendjra baru di Padang", sebut Tamin. Lihat
wawancara khusus wartawan Haluan dengan Tamin (Haluan, 27
Februari 1951), hlm. 2
21 Hersri Setiawan, “Penjara dan Tahanan Politik”... hlm. xxii

warga penjara. Michel Foucault menyebutnya sebagai
“Panopticon” —semua terlihat. Dalam konsepsi ini, setiap
orang diawasi tanpa terkecuali, dan setiap orang selalu
merasa diawasi.22 Menurut Foucault lagi, untuk
mengendalikan individu di penjara, bangunan penjara
dibuat dalam bentuk bundar. Penjara bundar
memungkinkan sipir mengamati dan mengendalikan napi
secara konstan dan terus menerus. Bangunan penjara
bundar melahirkan anggapan pada diri napi, bahwa
dirinya sedang diawasi.23 Suatu model konstruksi penjara
yang memang sedang populer pada abad ke-19 dan ke-20
di dunia Barat sendiri.

22 Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis (Yogyakarta: Pustaka
Relajar, 2002), hlm. 338-339
23 Sugeng Pujileksono, “Masalah-masalah di Penjara dalam Studi
Sosial” Jurnal Salam Volume 12 (Nomor 2 Juli - Desember 2009), hlm.
25-25

Gambar: Penjara Padang (bangunan besar paling
belakang) dilihat dari Gunung Padang pada kira-kira akhir
abad ke-19 (Reproduksi dari: Rusli Amran, Padang
Riwayatmu Dulu... hlm. 53)

Gambar: Penjara Padang pada kira-kira awal abad
ke-20
(“Gevangenis
Padang”,
http.www.ebay.comitmindonesia.com)
Sementara, pada awal abad ke-20, aturan
pemenjaraan baru dikeluarkan pemerintah kolonial.
Reglement Gestichten tahun 1917 menempatkan Penjara
Padang sebagai penjara kelas II, penjara untuk
menampung hukuman 10 tahun ke bawah, ‘turun’ derajat
dari sebelumnya yang merupakan penjara pusat yang

dapat menampung tahanan hukuman berat. Namun, pada
awal abad ini pula, justru kapasitas penghuni Penjara
Padang terus menanjak naik. Ini terjadi akibat berbagai
pergolakan politik yang terjadi di daerah ini dan juga
karena perubahan sosial Sumatera Barat yang
menyebabkan
meningkatnya
angka
kriminalitas.
Terkadang, karena kelebihan penghuni, tahanan di Penjara
Padang juga dialihkan ke tansi-tansi militer dan gudanggudang dalam kota.24 Apalagi, meletusnya pemberontakan
kaum komunis pada tahun 1927 yang berimplikasi pada
penangkapan-penangkapan yang luas di hampir seluruh
Sumatera Barat menyebabkan Penjara Padang menjadi
penuh sesak.25
Penjara-penjara Lain di Sumatra’s Westkust
Sebagaimana telah pula disinggung sebelumnya,
untuk kasus Darek Minangkabau, sebelum hukum kolonial
dilegal-formalkan pada pertengahan abad ke-19, penjara
sesungguhnya sudah lebih dulu fungsional artinya di
kawasan ini. Fungsionalisasinya dijalankan oleh
pemerintah kolonial akibat meletusnya Perang Padri pada
24 Freek Colombijn, Paco-paco Kota Padang, (Jogjakarta: Ombak,
2006), hlm. 147
25 Sebagai perbandingan, lihat misalnya bagaimana kondisi penuh
sesak penjara di Medan pada tahun 1928, satu tahun lebih pascapemberontakan komunis di Silungkang. Chalid Salim mencatatkan
bahwa, ketika dia melewati “suatu bangsal besar yang berterali dengan
banyak tahanan politik di dalamnya”, terdengar gemuruh dan soraksorak dari bangsal tahanan politik itu. “Mereka ramai-ramai memberi
salam kepada saya, dan saya membalas kembali dengan ramah,” catat
adik Haji Agus Salim itu. Dapat dibayangkan betapa sesak Penjara
Padang karena hampir sebagian besar pemberontak komunis
dijebloskan ke penjara ini karena lebih dekat dari pusat pemberontakan
dibandingkan dengan kota Medan. Lihat: Chalid Salim, Lima Belas tahun
Digul: Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian
Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 43

awal abad ke-19. Keikutsertaan Belanda dalam kecamuk
perang di daratan tinggi Minangkabau itu memaksa
Belanda membangun pos-pos pertahanan atau bentengbenteng.
Dua benteng yang terpenting dan termula adalah
Fort de Kock (1824) dan Fort van der Capellen (1822). 26
Dua benteng ini, sebagaimana benteng VOC di Padang
pada abad-abad sebelumnya, yang telah kita bicarakan di
pasal sebelumnya, masing-masing memiliki ruang
tahanan. Fort van der Capellen misalnya, menurut
Muhamad Radjab, benteng yang berdiri tahun 1822 ini
awalnya hanya berupa kumpulan bambu dan kayu yang di
dalamnya ditegakkan bangsal-bangsal yang juga dari
bambu. Kemudian di dalam benteng itu juga dibangun
tangsi tentara dan gudang perbekalan.27 Tansi militer
inilah yang dalam berbagai kasus berfungsi sebagai ruang
penahanan awal. Tawanan-tawanan berkemungkinan
ditahan di sini sebelum dikirim ke penjara yang lebih
memadai di Padang.
Dalam rangkaian upaya penaklukan daratan tinggi
Minangkabau pada periode perang padri pula kota-kota
kolonial yang lebih kecil bermunculan. Padangpanjang dan
Solok (Singkarak) misalnya, adalah kota-kota yang
bermula sebagai kota-kota militer pada periode yang
sama. Padangpanjang, misalnya, adalah salah satu pos
pertahanan dan sekaligus batu loncatan yang penting bagi
26 Selain benteng, pemerintah kolonial juga membangun kubu dan
pos pertahanan yang tidak sebesar benteng dan tersebar di wilayah
darek, seperti di Gunung, Suruaso, dan Padang Ganting. Benteng di sini
dalam arti benteng pertahanan yang kuat dan hanya dua benteng yang
cukup besar yaitu Fort van der Capellen dan Fort de Kock. Lihat: Najmi,
“Sejarah Kota Batusangkar” thesis master, (Padang: Universitas Andalas,
2013), hlm. 23
27 Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838),
(Jakarta: Balai Pustaka, 1950), hlm. 64.

Belanda untuk menggempur benteng-benteng padri di
pedalaman. Padangpanjang sebagai daerah yang
menghubungkan wilayah pedalaman dan pesisir pantai
memang sangat strategis sebagai basis pertahanan. Kaum
padri yang menguasai kebanyakan daerah di Agam—
kawasan-kawasan yang akan sangat efektif jika dijangkau
dari Padangpanjang. Sebagaimana kota benteng militer
pada umumnya, di Padangpanjang terdapat tansi militer.
Tansi militer adalah bagian yang penting dalam sejarah
Padangpanjang pada periode ini. Pada tansi militer
tersebutlah pulalah terdapat ruang-ruang pemenjaraan.
Tidak didapatkan keterangan yang lebih memadai
bagaimana kondisi persisnya penjara-penjara di kota-kota
dataran tinggi Minangkabau ini pada periode padri.
Gambaran yang lebih terang berasal dari pertangahan
abad itu, beberapa dasawarsa setelah berakhirnya perang.
Pada pertengahan abad ke-19, tidak seperti Penjara
Padang yang dipuji-puji, penjara-penjara lain di beberapa
kota Sumatra’s Westkust, terutama penjara di kota-kota di
daratan tinggi, dalam kondisi yang bertolak-belakang.
Penjara di Padangpanjang dan Fort de Kock, dicatatkan,
dalam kondisi yang sangat jelek dan memprihatinkan.
Dindingnya hanya ditutupi dengan alang-alang, dan
banyak sisi bangunannya yang somplak.28
Pada tahun 1850, Fort de Kock dan Padangpanjang
sesungguhnya telah mengirimkan proposal anggaran ke
Gubernur Jenderal di Batavia untuk pembangunan penjara
baru, namun tidak ada jawaban dari pemerintah.29 Tahun
1857, proposal baru diajukan lagi, 30 akan tetapi baru tiga
28 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen... hlm. 528
29 Verslag van het Beheer en den staat der nederlandsche bezittingen

en kolonien in oost en west indie en ter kust van guinea over 1854 –
Ingediend door den minister van kolonie (Utrecht: Kemink en Zoon,
1858), hlm. 45-46
30 C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen... hlm.527

tahun kemudian proposal yang kedua itu mendapat
respon dari pemerintah pusat di Batavia, itupun yang
disetujui hanya untuk pembangunan penjara di Fort de
Kock.
Pada tahun 1860, penjara baru sedang dibangun di
Fort de Kock. Pekerja-pekerja paksa (yang berasal dari
tahanan hukuman berat yang dikirim dari Penjara Padang)
didatangkan ke Fort de Kock untuk menyelesaikan
pembangunan penjara baru tersebut. 31 Penjara di
Bukittinggi ini, sampai abad kemudian, masihlah tergolong
penjara kecil yang terdiri hanya belasan kamar dan
diperuntukkan hanya bagi tahanan hukuman tiga bulan ke
bawah. Kantor kepala penjara terletak di sebelah depan
dekat pintu gerbang, yang berjejer dengan bilik-bilik
tahanan, dan dapur—yang masing-masing dipisahkan oleh
gang-gang (Maisir: 1992, 65-67). Penjara itu, catat Maisir,
bagaikan pulau-pulau terpencil di tengah lautan yang
terputus hubungannya dengan daerah sekelilingnya,
sekalipun letaknya berseberangan jalan dengan gedung
Bioskop RE yang ramai, di tengah kota Bukittinggi (Maisir:
1992, 66).
Sementara kota-kota penting daratan tinggi lain, di
Fort van der Capellen dan Singkarak, baru terdapat tempat
penahanan kecil (kleine straften). Di Fort van der Capellen,
misalnya, kondisi penjara sampai akhir abad ke-19 belum
tampak memadai. Pada 1876, Belanda memang telah
memperluas kawasan Fort van der Capellen, membangun
kompleks bangunan yang cukup kokoh di dalam benteng
itu. Misalnya, Belanda membangunan gerbang benteng
yang di halamannya terdapat dua buah meriam, yang juga
dilengkapi tiga buah ruangan di sebelah kanan dan kiri
31Algemen verslag ven het Gouvernement Sumatra’s Westkust over
het1Jaar 1860 – Eerste Afdeling Algemen Bestuur (ANRI: SWK, No.
127/9)

gerbang serta empat ruangan di bagian belakang yang
berfungi sebagai kantor, bangsal militer, gudang
perbekalan, dan sel tahanan atau penjara. Namun, kondisi
penjara tersebut masih kecil saja, pemerintah kolonial
Belanda menempatkan satu orang kepala penjara yang
berasal dari orang pribumi yang juga digaji oleh Belanda
sebesar f 25 (dua puluh lima gulden) perbulan.32
Bangunan penjara ini terdiri dari ruang-ruang untuk
kantor di bagian depan dan kamar-kamar untuk para
tahanan yang di bagian belakang.33 Ruangan kantor dan
ruang tahanan dipisahkan oleh pintu dari besi dan sebuah
bagian lain untuk ruang penjaga. Kamar
tahanan
berjumlah 7 buah, yang pada masing-masing kamar
terdapat jendela kecil yang ditempatkan di bawah langitlangit.

32 Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1876 No. 37.

33 Lihat: Najmi, “Sejarah Kota Batusangkar... hlm. 24

Gambar: Fort van der Capellen sekitar tahun 1890,
tiga banguan di bagian belakang satu di antaranya adalah
penjara
(Sumber:
KITLV,
http://kitlv.pictura-dp.nl,
diunggah tanggal 13 Agustus 2012.)
Pada periode berikutnya dari abad yang sama,
laporan tahun 1894 menyebutkan bahwa, penjara telah
menyebar hampir ke seluruh daerah-daerah penting di
Sumatera Barat.34 Penjara Padang masih tetap menjadi
penjara utama, centrale gevangenis, dengan daya tampung
paling besar, 600 tahanan. Sementara penjara-penjara lain
yang lebih kecil di Sumatra’s Wesktust tersebar di daerahdaerah seperti Lubuak Bagaluang (Loebeo Begaloeng),
Kayu Tanam (Kajoe Tanam), Palembayan, Fort van der
34 R. A. van Sandick & J. E. de Meyier, “Raming der ontvangsten n
uitga ven van de Indische Administratie” De Indische Gis vol. 16, tahun
1894, hlm. 281

Capellen, Singkarak (Singkarah), Buo (Boea), Sijunjung
(Sidjoendjoeng), Solok, Padang Panjang. Penjara-penjara
tersebut dapat menampung jauh lebih kecil, antara 6
sampai 50 tahanan. Penjara di Kayu Tanam misalnya
hanya berkapasitas 6 orang, sementara penjara di
Padangpanjang dapat menampung sampai 50 tahanan.35

Gambar: Penjara Sawahlunto (Sumber: “De
provoost en de gevangenis te Sawahloento”, www.kitlv.nl)
35 R. A. van Sandick & J. E. de Meyier, “Raming der ontvangsten n
uitga ven van de Indische Administratie”... hlm. 282

Sementara setahun setelah itu, pada tahun 1897,
penjara baru juga telah rampung dibangun di Sungai
Durian, Sawahlunto. Penjara baru ini diperuntukkan bagi
narapidana hukuman berat yang akan dipekerjapaksakan
di tambang-tambang batubara yang baru dibuka. Tahanan
yang mengisi penjara ini pada mulanya berasal dari
Penjara Padang, penjara yang memang terkenal sebagai
pusat pemenjaraan bagi tahanan hukuman berat (Centrale
Gevanenis voor Strafgevangenis) sejak awal abad ke-19.
Namun, kebutuhan akan pekerja paksa dari para tahanan
ini tidak sebanding dengan jumlah tahanan yang ada di
penjara itu. Pemerintah Belanda kemudian mendatangkan
juga narapidana dari penjara di Cipinang dan Glodok di
Batavia. Beberapa dari tahanan yang dianggap berbahaya,
dikalungkan rantai besi yang melingkari pegelangan
tangan dan kaki mereka. Ahli sejarah menyebut mereka
kettingganger atau ”orang rantai”. Mereka biasanya adalah
orang-orang dari luar Sumatra Barat. 36 Penjara Sungai
Durian ini terhubung ke lubang-lubang tambang tempat
di mana penghuninya dipekerjakan sebagai kuli paksa. 37
Praktek ini baru berakhir pada tahun 1917, ketika undangundang penjara (Reglemen Gestichten) baru dikeluarkan
pemerintah pusat di Batavia, yang menghilangkan
hukuman kerja paksa bagi tahanan di penjara mana pun di
seluruh Hindia Belanda.
Marah Rusli menggambarkan dengan sangat hidup
satu potongan dari kisah kedatangan tahanan yang akan
dikirim ke Penjara Sawahlunto dalam roman Sitti Nurbaya.
36 Para tahanan hukuman berat dari Sumatera Barat, diatur dalam
undang-undang, tidak ada yang dikirim ke penjara di daerahnya sendiri,
tetapi dibuang ke penjara di luar daerahnya. Ini akan dibahas pada subpasal berikutnya.
37 R. A. Koesnoen, Politik Penjara Nasional, (Bandung: Sumur
Bandung, 1961), hlm.162.

Di Teluk Bayur, tulis Rusli, Syamsul teringat seorang
tahanan dalam kapal dengan tangan terikat rantai. Dengan
wajah putus asa, lelaki itu melompat ke dalam laut dan
tidak timbul lagi. Syamsul Bahri, tokoh utama roman awal
abad ke-20 itu, dengan jantung berdegup kencang
menunggu tahanan itu muncul ke permukaan air yang saat
itu gelombangnya sangat besar. “Rupanya karena putus
asa, lebih suka ia mati di dalam laut daripada menanggung
kesengsaraan, kehinaan, dan malu. patutlah acap kali
hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang
menangis di sisi kapal; makan pun kerap tiada suka ...
Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu
dihukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke
Sawah Lunto,” tulis Marah Rusli pula.
Pada abad ke-20, pertumbuhan jumlah penjara di
Sumatra’s Westkust terus meningkat bagai tentakeltentakel gurita yang terus bertambah banyak. Selain
Penjara Sungai Durian, berdasarkan Staatsblad tahun
1914, di Sumatra’s Westkust telah terdapat penjarapenjara lain yang jumlahnya hampir dua kali lipat dari
jumlah penjara pada abad sebelumnya. Penjara-penjara
tersebar di berbagai daerah, mulai dari ujung selatan
pesisir hingga yang paling utara, dan memenuhi hampir
seluruh daerah di daratan tinggi dari yang paling barat
hingga yang paling timur: Painan, Balai Salasa, Pariaman,
Airbangih, Pulau Telo, Fort de Kock, Maninjau,
Payokumbuah, Suliki, Bangkinang, Pangkalan Koto Baru,
Fort van der Capellen, Sijunjuang, Si Tiung, Solok, Muaro
Siberut, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Sawah Lunto,
Lubuak Bagaluang, Padang Panjang, Lubuk Sikapiang, dan
Talu.38 Untuk sementara, ini membuktikan bahwa
perkembangan kekuasaan kolonial memiliki hubungan
yang paralel dengan pertumbuhan penjara di daerah ini.
38 Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1914, No. 289

Semakin kuat kekuasaan kolonial di Sumatera Barat,
semakin luas pula jejaring penjara melingkupi hampir
seluruh kawasan bagai panu di pantat.