Sastra la wan Seni sebagai Instrumen Per

Sastra(la)wan: Seni sebagai Instrumen Perlawanan1
oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720
“The quarrels about “pure art” and about “art with a tendency” took place between the liberals
and the “populists”. They do not become us. Materialistic dialectics are above this; from the
point of view of an objective historical process, art is always a social servant and historically
utilitarian.” (Trotsky; 1923)
Ketika berbicara mengenai seni, maka perdebatan yang tidak pernah berakhir ialah bagaimana
posisi, tujuan, dan fungsi seni. Perdebatan yang berlangsung terkait dengan apakah seni ada
untuk seni itu sendiri atau seni ada untuk suatu tujuan tertentu. Dalam konteks lebih spesifik,
misalnya, kita dapat melihat perdebatan mengenai sastra di Indonesia. Pada masa Orde Lama,
terdapat perdebatan antara seniman Manipol atau Manifesto Politik dengan Manikebu atau
Manifesto Kebudayaan. Perdebatan ini, secara lebih spesifik, terjadi pula antara sastrawan dari
kubu yang berbeda. Sastrawan Manipol menyandarkan karya-karyanya pada realisme sosialis,
sedangkan sastrawan Manikebu menyandarkan karya-karyanya pada humanisme universal.
Pertanyaan antropologis yang dapat muncul ialah, bagaimana sastra sebagai produk seni
memiliki inter-relasi dengan aspek-aspek lain secara holistik?
Dalam esai ini, saya akan memfokuskan diri pada satu produk sastra, yaitu roman. Lebih
spesifik lagi, saya akan mengkaji roman “Gadis Pantai” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer. Melalui roman ini, saya akan melihat bagaimana sastra bersifat dialektis. Keberadaan
sastra, termasuk makna yang dikonstruksi di dalamnya, tidak dapat diceraikan dari kerangkakerangka kontekstual yang lebih luas, termasuk di dalamnya konteks ekonomi-politik terkait
kelas sosial dan globalisasi, konteks relasi gender, hingga konteks ekologis dan agama. Lebih

lanjut, esai ini akan memperlihatkan bagaimana sastra tidak lahir dari proses-proses
deterministik, melainkan terbentuk dari proses dialektik. Pada akhirnya, esai ini menawarkan
pandangan bahwa sastra, sebagai produk kesenian yang terkait erat dengan beragam konteks,
dapat menjadi instrumen pembebasan bagi jeruji-jeruji modernitas.

1

Esai ini merupakan esai wajib yang ditulis dalam rangka memenuhi tugas Ujian Tengah Semester matakuliah
Antropologi Kesenian pada program studi S1 Antropologi Sosial Universitas Indonesia

1

Membaca Roman “Gadis Pantai”
Roman Gadis Pantai ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan pertama kali pada
tahun 1962. Terdapat dua hal yang harus diketahui sebelum membahas alur “Gadis Pantai” lebih
lanjut, yaitu: (1)Roman ini merupakan roman semi-fiksi yang ditulis oleh Pramoedya dari
pengalaman neneknya sendiri yang mengalami hal serupa dengan Gadis Pantai. Nenek
Pramoedya, Satima, merupakan perempuan yang dijadikan istri sementara Haji Ibrahim. Setelah
melahirkan anak perempuan, Satima diceraikan dan diusir dari rumah Haji Ibrahim; dan
(2)Roman ini tidak selesai. Sejatinya, roman “Gadis Pantai” merupakan roman pertama dari

sebuah trilogi. Akan tetapi, seluruh roman ini diberangus oleh Angkatan Darat pada tahun 1965.
Mengacu pada pengantar dari Lentera Dipantara sebagai penerbit roman ini, “Gadis Pantai” pun
dipastikan tidak akan pernah ada jika tidak didokumentasikan oleh Australia National University
dan oleh Savitri P. Scherer, seorang mahasiswi yang menulis tesis mengenai proses
kepengarangan Pramoedya dan mengirimkan kopi “Gadis Pantai” yang ia miliki.
Roman ini bercerita mengenai seorang perempuan yang tidak diketahui namanya.
Sepanjang tulisan, ia dirujuk sebagai Gadis Pantai. Gadis Pantai dilahirkan di sebuah kampung
nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia dibesarkan di kampung nelayan dan nilai-nilai
budaya nelayan telah terinternalisasi padanya. Suatu ketika, ia dinikahkan dengan seorang
priyayi Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda, yang sepanjang tulisan dirujuk sebagai
Bendoro. Gadis Pantai dibawa ke kota menggunakan dokar dan dipertemukan dengan Bendoro.
Kehidupannya mengalami perubahan setelah ia dinikahkan dengan Bendoro.
Setelah dinikahkan dengan Bendoro, Gadis Pantai merasa bahwa ia kehilangan
kebebasan yang ia biasa dapatkan di kampung nelayan. Ia tidak lagi dapat makan dan minum
sesuka hati, ia terkurung dalam rumahnya sendiri, dan ia tidak dapat berbicara dengan siapapun
dengan bebas. Ia juga diharuskan belajar agama Islam dan melakukan sholat. Ia memiliki bujang
atau pembantu yang melayani hidupnya dan membantunya belajar agar dapat menjadi Bendoro
Putri atau istri Bendoro yang baik. Satu hal yang harus dipahami, Gadis Pantai tidak akan
menjadi istri tetap Bendoro. Ia diharuskan menjadi perempuan yang melayani kebutuhan seks
laki-laki priyayi hingga nantinya sang priyayi memutuskan akan menikah dengan perempuan

yang berada dalam kelas yang sama dengannya.
Selama menjadi Bendoro Putri, pembantu yang dipekerjakan untuk melayani Gadis
Pantai sempat diganti satu kali. Bujang yang sebelumnya, seorang perempuan tua yang berasal
2

dari Blora, diusir karena melaporkan pencurian yang dilakukan oleh kerabat Bendoro pada
Bendoro. Selanjutnya, ia digantikan oleh Mardinah, seorang perempuan muda asal Semarang
yang dikirimkan oleh Bendoro Putri Demak. Dari Mardinahlah, meski melalui proses yang
sangat pahit, Gadis Pantai dapat memahami posisinya. Meski demikian, harus diperhatikan
bahwa Mardinah sempat memiliki dorongan untuk mencelakai Gadis Pantai.
Pada akhirnya, Gadis Pantai hamil dan melahirkan anaknya, seorang perempuan. Ketika
bayinya berusia tiga setengah bulan, Gadis Pantai diceraikan oleh Bendoro. Meski demikian,
bayi yang dilahirkan oleh Gadis Pantai direnggut paksa oleh Bendoro. Dengan melakukan
perlawanan, Gadis Pantai diusir dari rumah Bendoro. Ia pun meninggalkan rumahnya dan tidak
kembali ke kampungnya. Ia pergi ke Blora, tempat di mana ia mengira mantan bujangnya pergi.
Apabila mengacu pada satu halaman yang dituturkan oleh Pramoedya, kita dapat melihat
bahwa pada akhirnya ia menikah dengan seorang laki-laki yang pekerjaannya tidak dijelaskan.
Gadis Pantai dideskripsikan Pramoedya sebagai seorang perempuan yang mendatangi rumah
para priyayi untuk membeli barang, pakaian, hingga rongsokan dan nantinya ia jual di pasar.
Ketika barang-barang itu tidak laku terjual, ia akan menyimpannya di bawah ambin tempat

tidurnya yang terbuat dari bambu. Ia menikah dengan seorang laki-laki yang pernah gagal
menjadi petani, penjual soto ayam pikul, dan perabot desa. Mereka tinggal di pinggir kota
sebelah Utara, di mana kota ini terletak tidak dijelaskan oleh Pramoedya. Kehidupan Gadis
Pantai kembali berubah pada masa kependudukan Jepang, Gadis Pantai kian lemah dan tua. Pada
akhirnya, Pramoedya pergi ke Jakarta dan Gadis Pantai meninggal dunia.

Memetakan Konteks: Ekonomi-Politik
Maxim Gorky, dikutip oleh Yuliantri dan Dahlan (2008:121), menyatakan bahwa sastrawan
adalah mata, telinga, dan suara kelasnya. Ia boleh jadi tak menyadari hal ini, namun ia adalah
pancaindra kelasnya. Berangkat dari pernyataan Gorky ini, kita dapat melihat bahwa tidak ada
karya sastra yang dapat diceraikan dari kondisi aktual yang dihadapi oleh penulisnya. Dengan
demikian, kita pun tidak dapat membahas roman “Gadis Pantai” tanpa melihat konteks sosial,
ekologi, dan ekonomi-politik yang ada di dalamnya. Seluruh konteks ini dapat kita lihat melalui
dialog yang dituturkan oleh para karakter dalam roman dan deskripsi dari Pramoedya sendiri.
Dalam roman “Gadis Pantai”, kita dapat melihat sejumlah aspek ekonomi-politik, di
antaranya ialah: (1)Kelas sosial; dan (2)Globalisasi. Aspek terkait kelas sosial setidaknya dapat
3

dilihat dalam polarisasi kelas yang muncul dalam roman ini. Pramoedya, melalui mata Gadis
Pantai, mengontraskan kehidupan priyayi di kota dengan nelayan yang tinggal di kampung

nelayan. Pengontrasan ini terjadi berkali-kali, misalnya pada saat Gadis Pantai tidur di sebelah
Bendoro dan melihat lekuk tubuh Bendoro dengan deskripsi mengenai Gadis Pantai yang telah
didandani oleh pembantunya.
“Betapa halus tangan itu: tangan seorang ahli-buku! Hanya buku yang dipegangnya, dan
bilah bambu tipis panjang penunjuk baris….. Orang mulia, pikirnya, tak perlu
terkelantang di terik matari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan
lemak muda!” (2003:33)
“Lihat,” katanya kemudian pada emak, „tubuh yang kecil mungil seperti kapas. Kulit
langsat selicin tapak setrika. Cuma tangannya yang harus direndam air asam, biar cepat
jadi tipis.” (2003:49)
Pernyataan di atas menunjukkan bagaimana kerja yang dialami oleh Bendoro yang
priyayi dan Gadis Pantai yang dibesarkan di kampung nelayan berbeda. Berbeda dengan Gadis
Pantai yang biasa membawa tali tambang seberat 20 kilogram, Bendoro hanya berurusan dengan
buku dan alat penunjuk baris yang terbuat dari bambu. Sebagai seorang yang bekerja pada
administrator Belanda, Bendoro tidak perlu melakukan kerja berat yang dapat meninggalkan
bekas pada tubuhnya sebagaimana bekas-bekas kerja yang terdapat pada tangan Gadis Pantai
sehingga tangannya tidak halus dan harus direndam dalam air asam agar menjadi lebih baik,
mengacu pada citra tubuh ideal menurut para priyayi.
Selain itu, posisi sosial Bendoro juga tampak pada bagaimana orang-orang
mendeskripsikan dirinya dan bersikap kepadanya. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan ibu

Gadis Pantai ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Bendoro dan dari pikiran
Gadis Pantai sendiri.
“Dia pembesar, nak, orang berkuasa. Sering dipanggil Bendoro Bupati. Tuan besar
residen juga pernah datang ke rumahnya, nak. Semua orang tahu.” (2003:14)
Lambat-lambat dengan pikiran yang tertindas beban, ia mulai mengerti di sini semua
takut terkecuali Bendoro. Mengapa semua takut padanya? Juga diriku sendiri? Dia
tidaklah nampak garang, tidak ganas, malahan halus dan sopan. (2003:52)

4

Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa Bendoro merupakan sosok yang
memiliki kekuasaan. Dalam proses kerjanya, ia memiliki relasi dengan Bendoro Bupati dan tuan
besar Residen yang merupakan penguasa pula, bahkan ibu Gadis Pantai menyatakan bahwa
semua orang tahu siapa Bendoro tersebut. Selain itu, ketakutan yang didasari pada rasa segan dan
hormat pada Bendoro juga diketahui oleh Gadis Pantai melalui sikap para pembantunya. Pada
titik ini, kita dapat melihat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh sang Bendoro meniscayakan
ketakutan para pembantunya karena Bendoro dapat melakukan apapun yang ia mau.
Hal menarik yang dapat kita lihat ialah bagaimana Gadis Pantai dapat mengalami
pergeseran status sosial. Gadis Pantai yang sejatinya berada dalam kelas nelayan 2 mengalami
pergeseran status ketika telah menikahi Bendoro. Meski demikian, hanya Gadis Pantai yang

mengalami pergeseran status ini dan keluarganya tetap dilihat sebagai orang kebanyakan atau
rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan.
“Mak, bawa aku pulang.”
“Apa dia bilang?” terdengar suara bapak. Dan tahu-tahu bapak telah berada di samping
Gadis Pantai.
“Apa kau bilang?” tanyanya sekali lagi dan suaranya mengeras membentak.
“Tak ada orang berani berlaku kasar terhadap wanita utama,” bujang memperingatkan.
Bapak terkulai di atas kursi. Tenaganya yang biasa diadu dengan badai dan gelombang,
remuk di dalam kamar pengantin ini. Terdengar nafasnya megap-megap. Kedua belah
tangannya lunglai di atas kursi.
“Kalau wanita utama suka,” bujang itu meneruskan, “Mas Nganten bisa usir bapak dari
kamar.” (2003:44-45)
“Biarlah emak kawani aku di sini, kalau aku tak boleh tidur di kamar dapur.”
“Itu tidak layak bagi wanita utama.”
“Dia emakku, emakku sendiri, mBok.”
“Begitulah Mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanyakan, dia tetap
seorang sahayanya.”
“Tidak, tidak, akulah sahaya emakku. Di kampungku aku lakukan segala perintahnya,
aku akan terus lakukan perintahnya.”
“Itulah salahnya, Mas Nganten, adat priyayi tinggi lain lagi. Dan ini kota, bukan

kampung di tepi pantai.”
2

Saya pikir, kelas sosial keluarga Gadis Pantai serupa dengan kelas petani kecil yang digagas oleh Marx. Keluarga
Gadis Pantai bukanlah buruh nelayan karena memiliki perahu sebagai alat produksi, namun tidak mempekerjakan
buruh dan tetap harus menghadapi kerentanan saat sedang mencari ikan di laut.

5

“Ah, lantas apa aku mesti kerjakan di sini?”
“Cuma dua, Mas Nganten, tidak banyak: mengabdi pada Bendoro dan memerintah para
sahaya dan semua orang yang ada di sini.” (2003:58)
Ketika telah menjadi istri seorang Bendoro, maka Gadis Pantai telah berpindah ke kelas
sosial yang lebih tinggi. Ia diharuskan memerintah para sahaya yang berasal dari kelas yang
lebih rendah. Lebih luas lagi, Gadis Pantai diharuskan memerintah semua orang yang ada di
rumah itu, kecuali Bendoro sendiri yang harus ia abdikan. Meski demikian, orangtuanya tetap
berada dalam kelas bawah sehingga berbeda kelasnya dengan Gadis Pantai sendiri. Kutipan di
atas menunjukkan bahwa bapak Gadis Pantai tidak dapat lagi memukul Gadis Pantai seperti yang
biasa ia lakukan karena Gadis Pantai telah menjadi wanita utama. Gadis Pantai bahkan dapat
mengusir bapaknya dari ruangan jika ia ingin. Ia juga tidak diperkenankan tidur dan bertemu

dengan ibunya sendiri karena ia sekarang berada di kelas sosial yang berbeda dengan ibunya.
Semua hal ini dilegitimasi oleh adat priyayi. Hal serupa juga tampak ketika Gadis Pantai pulang
ke kampungnya ketika ia masih menjadi istri Bendoro dan tidak ada orang yang berani berjalan
di sampingnya, bahkan orangtuanya sendiri yang memilih berjalan di belakangnya. (Pramoedya,
2003) Gadis Pantai juga memperoleh perlakuan istimewa ketika kembali ke kampungnya.
“Emak sediakan sate ayam siang ini.”
Kata-kata itu membuat Gadis Pantai seakan terasa lengang. Tak pernah seumur hidup
emak buatkan dia sate. Ayam yang hanya beberapa ekor, hanya diambil telurnya buat
obat kuat bapak. Entah berapa ekor dari yang sedikit itu kini harus membuktikan, bahwa
ia memang lain daripada seluruh penduduk kampung selebihnya. (2003:182)
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana terdapat polarisasi kelas dalam roman ini,
yaitu kelas priyayi yang merupakan aristokrat dan kelas nelayan yang tinggal di kampung
nelayan, baik yang memiliki kapal sebagai alat produksi sendiri maupun tidak. Selain kedua
kelas tersebut, terdapat orang-orang seperti sang bujang tua dari Blora yang dipekerjakan sebagai
sahaya atau pembantu di rumah Bendoro dan tidak memiliki alat produksi. Dengan demikian,
komoditas yang ia tawarkan adalah tenaga dan keberadaannya sendiri.
Selain kelas sosial, aspek ekonomi-politik yang dapat kita temukan dalam roman “Gadis
Pantai” ini ialah globalisasi. Apabila kita melihat bahwa globalisasi meniscayakan perputaran

6


dan pertukaran komoditas dalam skala global, maka terdapat sejumlah deskripsi dalam roman
“Gadis Pantai” yang dapat menjadi ilustrasi.
Pada dinding-dinding bergantungan pigura dengan kaligrafi huruf Arab. Mungkin ayatayat Qur‟an. Sebuah cermin besar berbingkai kayu tebal terukir dengan motif-motif
Tionghoa tergantung di dekat pintu. (2003:23)
Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang kering. Tak ada babon tongkol
tergantung di atas pengasapan. Tak ada yang bergantungan di dinding terkecuali
kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau. (2003:26)
Di dalam kamar tidur bujang meletakkan bungkusan di atas meja rias, membukanya dan
mengeluarkan anduk, sikat gigi, pasta, selop jerami buatan Jepang, sisir penyu yang
bertangkai perak, berbagai macam minyak wangi, bedak dalam kaleng jelas buatan luar
negeri. (2003:26)
Celak Arab itu kembali memperbawakan wajahnya. Dan rouge buatan Prancis itu
menyalakan wajahnya. (2003:47)
Sejumlah deskripsi di atas merupakan ilustrasi dari arus komoditas global yang terjadi
pada saat itu. Gadis Pantai tinggal di rumah seorang Bendoro yang berada di Rembang, Jawa
Timur. Meski demikian, Bendoro memiliki akses pada kaligrafi Arab, cermin dengan motif
Tionghoa, selop dari Jepang, bedak kalengan buatan luar negeri, celak Arab, hingga rouge dari
Perancis. Pramoedya memang tidak menjelaskan apakah kaligrafi dan celak di atas diimpor dari
Arab atau dari mana asal cermin dengan motif Tionghoa. Akan tetapi, kita dapat melihat bahwa

sistem pengetahuan yang mendasari adanya komoditas tersebut berasal dari luar Hindia Belanda.
Selain itu, jelas bahwa bedak kalengan, selop, dan rouge yang digunakan oleh Gadis Pantai
merupakan komoditas yang diimpor dari luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi,
dalam hal pertukaran komoditas lintas batas negara, memiliki posisi penting dalam kehidupan
priyayi karena komoditas yang dikonsumsi harian merupakan produk globalisasi.
Selain itu, kita dapat melihat bahwa pertukaran komoditas global ini tidak dialami di tiap
kelas sosial. Bendoro yang berasal dari kelas priyayi-aristokrat memang memiliki akses pada
komoditas-komoditas global ini. Akan tetapi, Gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan
sebelumnya tidak pernah bertemu dengan komoditas-komoditas semacam ini. Hal ini, misalnya,
dapat kita lihat pada saat Bendoro dan Gadis Pantai sedang makan pagi.
7

Beberapa menit kemudian suami-istri itu telah duduk pada meja makan. Roti hangat yang
masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja.
Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk udang, dan
bubur havermouth, telah terderet di atas meja. Kopi mengepul-ngepul dari cangkir
porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak putih mengkilat berderetderet memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat buah dari perak begitu
menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia lapar. Tapi apa guna alat sebanyak
itu dan serba mengkilat? (2003:42)
Gadis pantai menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula
selai. (2003:42)
Dengan menggunakan ilustrasi di atas, kita dapat melihat bahwa pertukaran komoditas
global tidak dialami oleh Gadis Pantai yang berada di kelas nelayan. Gadis Pantai dihadapkan
dengan makanan yang tidak biasa ia santap: roti, selai, coklat, gula-kembang, mentega Friesland,
hingga bubur havermouth. Ketidakpahamannya dapat kita terjemahkan menjadi simpulan bahwa
Gadis Pantai tidak menghadapi pertukaran komoditas global ini dan para nelayan di kampung
nelayan tidak mengonsumi roti dan bubur havermouth.
Pembahasan pada bagian ini memperlihatkan bahwa roman “Gadis Pantai” amat terkait
dengan dua aspek ekonomi-politik, yaitu kelas sosial dan globalisasi. “Gadis Pantai”
mengerangkakan polarisasi kelas sepanjang romannya, yaitu priyayi dan nelayan. “Gadis Pantai”
juga menampilkan pertukaran komoditas global yang terjadi dalam globalisasi. Selain itu, sejak
awal kita dapat melihat bahwa terdapat globalisasi di Rembang karena terdapat kolonialisasi
yang dilakukan oleh Belanda dan Bendoro dapat bekerja pada administrator Belanda.

Memetakan Konteks: Relasi Gender
Ketika membahas roman “Gadis Pantai”, maka pembahasan mengenai relasi gender merupakan
satu hal yang penting dan mendasar. Sejak awal, “Gadis Pantai” bercerita mengenai perempuan
yang dibawa dari kampung nelayan untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki priyayi yang
tinggal di kota. Meski telah terdapat pernyataan jelas pada sinopsis bahwa perempuan berada
dalam posisi subordinat, khususnya perempuan nelayan jika dibandingkan dengan laki-laki
priyayi, karena berfungsi sebagai pelayan seks priyayi dan akan dibuang nantinya, terdapat

8

sejumlah deskripsi yang dapat memperjelas bagaimana subordinasi perempuan dikerangkakan
dalam “Gadis Pantai”.
Relasi gender dalam “Gadis Pantai” dapat dengan jelas kita lihat jika kita merujuk pada
sejumlah deskripsi mengenai hubungan Bendoro dan Gadis Pantai sebagai pasangan suami istri.
Deskripsi mengenai hubungan ini dapat kita lihat dari dialog yang dituturkan oleh Gadis Pantai
dan ibunya, perbincangan Gadis Pantai dengan bujangnya, perbincangan Gadis Pantai dan
Bendoro, hingga pernyataan Gadis Pantai sendiri. Dengan melihat hubungan antara Bendoro dan
Gadis Pantai sebagai pasangan suami istri, kita dapat menganalisis bagaimana relasi gender pada
masa kolonial di Jawa feodal, khususnya Rembang.
Sejak awal, Pramoedya telah menunjukkan, dalam perbincangan antara Gadis Pantai dan
ibunya, bahwa kualitas seorang perempuan terkait dengan laki-laki. Dengan demikian, kualitas
diri seorang perempuan tidak dapat dilepaskan dari laki-laki yang menjadi suaminya. Pada titik
ini, kita dapat menyatakan bahwa dalam roman “Gadis Pantai”, perempuan merupakan sosok
yang liyan di mana posisi dan kualitasnya dinilai dengan mengandaikan keberadaan laki-laki
yang menjadi suaminya.
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali
khatam Qur‟an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya
laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (2003:14)
Selain diposisikan sebagai liyan, perempuan bahkan tidak memiliki kedaulatan atas
tubuhnya sendiri. Dunia, sebagai ruang sosial, dikonstruksikan merupakan milik laki-laki.
Perempuan dipandang tidak memiliki apapun, kecuali kewajiban menjaga setiap milik laki-laki,
termasuk dirinya sendiri yang merupakan hak-milik laki-laki.
“Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota –dunia kepunyaan lelaki.
Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang
dipunyai lelaki, Mas Nganten.”
“Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?”
“Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali….”
“Ya?”
“Kewajiban menjaga setiap milik lelaki.”
“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”
“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik laki-laki.” (2003:88)
9

Apabila kita mencoba mencari persoalan yang lebih mendasar, maka dapat kita temui
bahwa perempuan tidak sekadar berada dalam posisi liyan dan tidak memiliki kedaulatan atas
dirinya sendiri. Sejak baru lahir pun, perempuan telah berada dalam posisi subordinat. Jika
merujuk pada Widiantini (2013)3, manusia tidak hanya dilahirkan dari rahim biologis, melainkan
dilahirkan pula dari rahim sosial. Rahim sosial ini yang kemudian memberikan label dan
mengurung manusia dalam jeruji-jeruji yang berbeda, mulai dari rasisme, patriarki, hingga
heteronormativitas. Dalam roman “Gadis Pantai”, kita dapat melihat bahwa perempuan tidak
sekadar dilahirkan sebagai perempuan, namun ia menjadi perempuan secara sosial dan memiliki
label-label tertentu. Hal ini, misalnya, dapat kita lihat dalam perbincangan antara Bendoro dan
Gadis Pantai setelah Gadis Pantai melahirkan.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”
“Sahaya, Bendoro.”
“Jadi cuma perempuan?”
“Seribu ampun, Bendoro.” (2003:253)
Selain itu, kita dapat pula melihat bagaimana relasi kelas sosial dan relasi gender.
Menurut saya, relasi antara kelas sosial dan gender bersifat dialektik dan tidak deterministik.
Perbedaan kelas sosial, di satu sisi, dapat melegitimasi ketimpangan relasi gender. Di sisi lain,
relasi gender antara laki-laki dan perempuan dapat memperkuat keberadaan kelas sosial. Relasi
antara kelas sosial dan relasi gender, misalnya, dapat kita lihat pada pernikahan yang dilakukan
antara Bendoro dan Gadis Pantai.
Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu:
kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris,
wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (2003:12)
Pada malam pernikahannya, Bendoro tidak hadir sehingga ia diwakilkan oleh sebilah
keris. Hal ini sempat dipertanyakan oleh Gadis Pantai dan ia mengetahui bahwa hanya laki-laki
yang dapat menikah dengan diwakili oleh sebilah keris. Dengan demikian, cara yang sama tidak
Ikhaputri Widiantini, S.Hum, M.Si dalam seminar dan diskusi terbuka bertajuk “Diskriminasi LGBTI di Indonesia”,
diadakan oleh Program Studi Filsafat dan Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia pada tanggal 14 Mei
2013 di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

3

10

dapat dilakukan oleh perempuan ketika ia menikahi laki-laki. Seorang perempuan tidak dapat
diwakili oleh sebilah keris ketika ia sedang dalam prosesi pernikahan. Selain itu, kita dapat
melihat bahwa posisi Gadis Pantai hanyalah istri sementara dan tidak dianggap sebagai “nyonya”
Bendoro.
“Bendoro, sahaya dengar ada bajak menyerbu kampung nelayan….”
“Kampung nelayan mana?”
“Kampung… beribu ampun. Bendoro… kampung nyonya Bendoro.”
“Nyonyaku?” Bendoro setengah berteriak. “Aku belum punya nyonya!” (2003:240)
“Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia
di kampung nelayan sana? Ia anak seorang bangsawan, tak mungkin diasuh secara
kampung.”
“Aku tak suruh kau mengasuh anakku.” (2003:257)
Kutipan di atas dapat menunjukkan bahwa Gadis Pantai, sebagai seorang perempuan dari
kelas nelayan yang menikah dengan seorang laki-laki priyayi, berada pada posisi subordinat.
Bendoro tidak melihat Gadis Pantai sebagai “nyonya” atau pasangannya yang sah, melainkan
hanya perempuan yang dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, meski tidak dinyatakan secara
eksplisit. Selain itu, dapat kita lihat pula bahwa Gadis Pantai tidak memiliki hak untuk berdaulat
atas tubuh dan ketubuhannya sendiri. Gadis Pantai bahkan tidak memiliki hak asuh atas anak
yang ia lahirkan, meski anak itu dirujuk oleh Bendoro sebagai anaknya.
Kutipan-kutipan di atas dapat menjadi rujukan bagi kita untuk memetakan konteks relasi
gender yang terdapat dalam roman “Gadis Pantai”. Apabila pada bagian sinopsis terdapat
pernyataan: Roman ini menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan
tepat langsung di jantungnya yang paling dalam, maka kita dapat melihat bahwa ketimpangan
relasi gender dengan jelas diperlihatkan dalam roman ini. Secara umum, terdapat tiga kondisi
yang melekat pada perempuan dalam roman ini, yaitu: (1)Perempuan berada di posisi subordinat
dengan laki-laki berada di posisi superordinat; (2)Kualitas diri perempuan ditentukan bukan oleh
dirinya sendiri, melainkan given dari kualitas laki-laki yang menjadi suaminya; dan
(3)Perempuan tidak memiliki kedaulatan atas tubuh dan ketubuhannya sendiri.

Memetakan Konteks: Ekologi dan Agama

11

Pada dasarnya, pembahasan mengenai ekologi dan agama tidak dapat dilakukan tanpa
menimbang aspek lainnya. Kita tidak dapat membahas konteks ekologis tanpa mengacu pada
konteks ekonomi-politik yang terkait dengannya. Pembahasan mengenai agama pun tidak dapat
dilakukan jika dicerabut dari konteks ekonomi-politik dan ekologis yang memiliki keterkaitan
erat dengannya. Oleh karena itu, pembahasan dalam bagian ini akan menelisik bagaimana
konteks ekologis dalam “Gadis Pantai” serta bagaimana aspek terkait agama dimunculkan dan
memiliki relevansi dengan aspek ekonomi-politik dan ekologis.
Secara umum, aspek ekologis dan aspek agama dapat kita lihat berada pada posisi yang
berbeda karena yang satu terkait dengan aspek material sedangkan yang satunya terkait dengan
„keimanan‟ yang kerap dilihat sepenuhnya spiritual dan tidak terkait dengan aspek material.
Dalam pembahasan ini, saya akan melihat bagaimana pembahasan mengenai agama tidak dapat
dilepaskan dari konteks ekologis dan ekonomi-politik. Pembahasan mengenai konteks ekologis
pun tidak dapat diceraikan dari pembahasan mengenai aspek terkait agama dan konteks
ekonomi-politik. Dengan demikian, pada bagian ini, kita dapat melihat bagaimana inter-relasi
holistik yang terdapat dalam roman “Gadis Pantai” sebagai sebuah produk sastra.
Sejak awal roman dibuka, Pramoedya telah menggambarkan bahwa Gadis Pantai,
sebelum dinikahkan dengan Bendoro, sangat akrab dengan laut dan pantai. Lanskap inilah yang
harus ia tinggalkan, ia harus menuju kota yang kondisi lingkungannya sangat berbeda dan harus
dapat adaptif.

Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandanganya oleh perahu-perahu yang
berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan
ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka. (2003:11)
Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan
beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya,
kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pekan
diperbaikinya, dan layar tua yang tergantung di dapur –juga bau laut tanahairnya.
(2003:11-12)
Mengacu pada kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa sistem pengetahuan Gadis Pantai
mengenai lingkungan alam di sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi-politik
yang terkait dengannya, yaitu moda produksi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Sebagai
12

seseorang yang tinggal di kampung nelayan, maka Gadis Pantai telah terbiasa dengan proses
kerja sebagai nelayan dan pencarian ikan serta hasil laut lainnya. Oleh karena itu, deskripsi
Pramoedya tentang lingkungan alam sekitar Gadis Pantai amat terkait dengan kerja sebagai
nelayan yang dapat kita lihat pada keberadaan perahu, jala, dan layar tua. Selain itu, kita dapat
melihat pula bagaimana sistem pengetahuan Gadis Pantai mengenai priyayi dikejewantahkan
dalam pernyatannya yang terkait dengan lingkungan alamnya.
“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini… Seganas-ganas laut, dia lebih
pemurah dari hati priyayi… Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya
yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.” (2003:5)
Dalam perbincangan lain, kita dapat melihat dengan lebih spesifik bagaimana
pengetahuan pembantu Gadis Pantai terkait dengan aspek ekonomi-politik, yaitu mengenai tanah
yang telah dikomodifikasi oleh para aristokrat.
“Kau tidak mengabdi kepadamu, man, tidak, man! Kalau kau cuma mengabdi kepadaku,
kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi? Kau cari
Bendoro baru? Kalau dia juga tewas? Tidak, man tidak. Kau mengabdi pada tanah ini,
tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati
sudah jual tanah keramat ini pada Belanda.” (2003:121)
Dalam pernyataan di atas, dapat kita lihat bahwa tanah dilihat sebagai sumber
penghidupan. Ia adalah objek material yang menghasilkan sumber pangan dan air, sehingga
meniscayakan kehidupan. Akan tetapi, tanah tersebut, yang sejatinya hanya memiliki nilai guna,
dikomodifikasi sehingga memiliki nilai tukar. Nilai tukar tersebut yang mendasari pertukaran
yang dilakukan oleh para aristokrat sehingga tanah-tanah di Rembang dapat dijual pada Belanda.
Persoalan agama pun terkait dengan konteks ekologis dan ekonomi-politik. Dalam roman
“Gadis Pantai”, agama tidak sekadar terkait dengan spiritualitas, namun memiliki keterkaitan
dengan konteks ekologis dan ekonomi-politik. Saya akan memaparkan dua ilustrasi yang dapat
menjadi contoh, yaitu pandangan agama menurut Bendoro dan menurut warga kampung nelayan,
termasuk di dalamnya Gadis Pantai sendiri.

13

“Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini.
Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah dating ke kampungmu. Kotor,
miskin, orangnya tak pernah berbibadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang
yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka
Tuhan, rezeki mereka tidak lancer, mereka miskin.”
“Sahaya Bendoro.”
“Kebersihan, Mas Nganten, adalah bagian penting dari iman. Itu namanya kebersihan
batin. Ngerti Mas Nganten?”
“Sahaya Bendoro.” (2003:41)
“Tasbih?”
“Dari Bendoro, buat bapak saja. Hitam. Dari kayu keras, buatan Mekah.”
“Buat apa tasbih? Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum punya surau,
Bendoro bersedia membiayai pendiriannya.‟
“Betapa mulianya.”
„Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu. Semua sibuk ke laut dan ikan tak
semudah itu ditangkap.”
“Jangan menyindir.”
“Ah, bapak. Mana bias aku sindir bapak? Kita semua tahu, buat dapatkan jagung pun
tenaga tak cukup, jangankan dirikan surau, jangankan membuka-buka kitab!” (2003:177)
“Bendoro bilang kita bisa dikirim guru ngaji.”
“Bagaimana kita mesti upahi dia?”
“Bendoro yang upahi.”
“Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kita ngaji, ya?”
“Barangkali, belum dicoba.” (2003:178)
Tiga kutipan di atas menunjukkan bagaimana agama dipandang oleh kelas yang berbeda.
Kutipan pertama merupakan pernyataan dari Bendoro yang seorang priyayi. Ia melihat bahwa
kebersihan lingkungan terkait erat dengan keimanan. Lebih lanjut, ia melihat bahwa kebersihan
lingkungan terkait dengan ekonomi. Dengan demikian, lingkungan yang kotor akan
meniscayakan kerugian ekonomi. Dalam kehidupannya, Bendoro juga amat dekat dengan aspekaspek agama. Ia memiliki surau di daerah rumahnya hingga mengajarkan Gadis Pantai untuk
melakukan sholat.
Di sisi lain, bagi orang-orang yang berada dalam kelas nelayan, agama Islam yang
merupakan produk globalisasi tidak sekadar diterima begitu saja. Ketika Gadis Pantai
menawarkan tasbih, pembangunan surau, dan guru mengaji dari Bendoro, bapak Gadis Pantai
14

tidak serta merta menerima produk-produk tersebut, melainkan mempertanyakan apa kegunaan
guru mengaji. Selain itu, penerimaan ajaran agama juga terkait dengan kondisi ekologis-material
yang dihadapi oleh bapak Gadis Pantai.
Mewujudkan Sastra melalui Proses Dialektika
Udenta (dalam Chukwu-Okoronkwo, 2011) menyatakan bahwa seni merupakan bentuk dari
kesadaran sosial yang mengalami relasi dialektik dengan aspek sosial lainnya. Seni hanya ada
dalam konteks dari negasi dari realitas kontradiktif yang ada dalam masyarakat berkelas. Lebih
lanjut, dialektika ini dapat muncul melampaui suatu ideologi tertentu dan mampu
mengembangkan sistem baru yang dapat menantangnya. Selain Udenta, Nedozchiwin (1972)
menyatakan bahwa Marxisme-Leninisme melihat bahwa karakter utama dari kesadaran, dalam
hal relasinya dengan estetika, terkait erat dengan interaksi dialektik antara realitas objektif dan
pemikiran-pemikiran dalam koneksi organiknya dengan praksis. Pernyataan terkait seni sebagai
dialektika juga diutarakan oleh Chernyshevsky (1853) yang melihat bahwa seni merupakan
reproduksi realitas. Dengan demikian, seni bukan sekadar imitasi dari alam, sebagaimana
pandangan yang khas pada masa itu, namun seni dapat pula mereproduksi realitas sehingga dapat
memproduksi kebenaran. Apabila mengacu pada ketiga teoritikus di atas, kita dapat melihat
bahwa seni tidak dapat dilepaskan dari realitas objektifnya dan mengalami relasi dialektik
dengan aspek sosial lainnya.
Ketika membaca “Gadis Pantai”, kita dapat melihat bahwa roman ini tidak muncul
dengan sendirinya tanpa terkait dengan konteks-konteks dan aspek sosial lain yang lebih luas.
Pada pembahasan sebelumnya, esai ini telah memperlihatkan bagaimana roman “Gadis Pantai”
terkait erat dengan konteks ekonomi-politik, relasi gender, serta ekologis dan agama. Dengan
demikian, roman “Gadis Pantai” sebagai sebuah produk seni terbentuk dari proses dialektika.
Dengan merujuk pada Udenta, kita dapat melihat bahwa roman “Gadis Pantai” berangkat dari
kesadaran sosial, yaitu kesadaran perempuan dari kelas nelayan yang disarikan oleh Pramoedya
yang menolak subordinasi perempuan oleh priyayi di kota, yang mengalami relasi dialektik
dengan aspek sosial lainnya, yang meliputi kelas-kelas sosial, institusi sosial seperti keluarga,
pernikahan, serta hukum, hingga sistem patriarki yang memang telah melekat kuat pada
masyarakat Jawa feudal. Dengan demikian, roman “Gadis Pantai” muncul sebagai negasi dari
realitas yang telah ada, yaitu subordinasi perempuan dalam ruang sosial priyayi di perkotaan.

15

Dengan merujuk pada Nedozchiwin yang menggunakan kacamata Marxisme-Leninisme,
roman “Gadis Pantai” dapat dilihat sebagai praksis yang mengalami interaksi dialektik dengan
realitas objektif, yaitu, sebagaimana telah dipaparkan di atas, relasi antara perempuan nelayan
dengan laki-laki priyayi di perkotaan yang menjadi suaminya. Roman “Gadis Pantai”, dengan
demikian, dibentuk melalui kesadaran sosial yang didasari oleh interaksi dialektik. Roman
“Gadis Pantai”, jika mengacu pada gagasan Chernyshevsky, dapat kita lihat pula sebagai
reproduksi realitas, yang dengan demikian, keberadaannya sebagai produk seni mengalami relasi
dialektik dengan realitas objektif.
Secara umum, dengan menggunakan metode dialektika klasik, roman “Gadis Pantai”
sebagai produk sastra yang terkait dengan konteks-konteks yang lebih luas dapat dilihat sebagai:

Tesis

: Keterkelindanan antara feodalisme dan patriarki di Rembang yang
menyebabkan perempuan dari kelas bawah dapat dinikahi sementara oleh
laki-laki priyayi hingga nantinya diceraikan karena perbedaan kelas.

Antitesis

: Adanya kesadaran sosial mengenai ketimpangan relasi gender yang
dilegitimasi oleh feodalisme dan patriarki.

Sintesis

: Penulisan roman “Gadis Pantai” oleh Pramoedya Ananta Toer yang
bercerita mengenai Gadis Pantai yang dinikahkan dengan Bendoro dan
diceraikan setelah melahirkan anak perempuan.

Dengan melihat proses dialektika di atas, kita dapat melihat bahwa roman “Gadis Pantai”
terbentuk dalam proses dialektis dengan aspek-aspek sosial dan ekonomi-politik lainnya. Roman
ini berangkat dari realitas objektif yang meniscayakan realitas kontradiktif. Lebih lanjut, kita
perlu melihat bahwa proses dialektika merupakan proses yang tak berkesudahan. Sintesis yang
telah dilahirkan dari dialektika tesis dan antitesis akan menjadi tesis baru yang nantinya dapat
direspon oleh antitesis lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada dialektika roman “Gadis Pantai”
sebagai produk sastra dengan peristiwa politik lainnya yang mempengaruhi roman “Gadis
Pantai” itu sendiri.
Tesis

: Penulisan roman “Gadis Pantai” oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang
sastrawan yang terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra
16

dan dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang bercerita
mengenai Gadis Pantai yang dinikahkan dengan Bendoro dan diceraikan
setelah melahirkan anak perempuan.
Antitesis

: Terjadi Gerakan Satu Oktober atau Gestok pada 1 Oktober 1965 dengan
PKI sebagai kambinghitam sehingga muncul sentimen anti-kiri dan antigerakan kiri, termasuk di dalamnya anti-seniman yang tergabung dalam
Lekra dan menyandarkan karya pada Manifesto Politik.

Sintesis

: Pemusnahan trilogi roman “Gadis Pantai” oleh Angkatan Darat pada 13
Oktober 1965

Penjelasan di atas dapat menunjukkan bahwa roman “Gadis Pantai” sebagai produk sastra
tidak muncul begitu saja dan tercerabut dari akar-akar kontekstualnya, melainkan mengalami
proses dialektika yang berlangsung terus menerus. Penjelasan proses dialektika di atas
menunjukkan bahwa inter-relasi holistik yang terjadi antara seni dan aspek-aspek lain di luar
dirinya tidak hanya terjadi pada saat seni tersebut ditulis, dirancang, atau dipertunjukkan, namun
dapat pula terjadi setelah seni tersebut ditulis, dirancang, atau dipertunjukkan. Pemusnahan
trilogi roman “Gadis Pantai” oleh Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 dapat menunjukkan
bahwa peristiwa sejarah terkait aspek ekonomi-politik (Gestok pada 1 Oktober 1965) dan aktor
ekonomi-politik (Angkatan Darat) dapat terlibat dalam proses dialektika dengan karya seni,
dalam hal ini roman “Gadis Pantai” sebagai produk sastra.
Ancangan Aksiologis: Sastra sebagai Instrumen Perlawanan
Pembahasan mengenai sastra dalam proses dialektika membawa kita pada satu pemahaman,
yaitu sastra, sebagai produk seni, tidak dapat dilepaskan dari konteks-konteks ekonomi politik,
relasi gender, hingga ekologis dan agama. Hal ini senada dengan pernyataan Gorky bahwa
sastrawan merupakan pancaindra kelasnya (dalam Yuliantri dan Dahlan, 2008), pernyataan
Udenta bahwa seni merupakan bentuk dari kesadaran sosial (dalam Chukwu-Okoronkwo, 2011),
pernyataan Nedozchiwin (1972) bahwa seni terkait dengan realitas objektif, hingga pernyataan
Chernyshevsky (1853) bahwa seni merupakan reproduksi realitas. Pertanyaan selanjutnya ialah,
ketika kita telah memahami bahwa seni dihasilkan dalam proses dan relasi dialektik, maka

17

bagaimana dialektika ini berlanjut sehingga seni dapat menemukan ancangan aksiologisnya
sebagai instrumen pembebasan, atau dengan kata lain, perlawanan?
Trotsky (1923) menyatakan bahwa seni, dari sudut pandang materialis, selalu memiliki
akar dan fungsi sosial. Konsepsi Marxis melihat bahwa seni tidaklah berdiri sendiri, namun
memiliki keterkaitan dengan aspek sosial lainnya dan memiliki kegunaan secara sosial. Menurut
Trotsky, sastra menemukan akarnya dalam sejarah dan pengalaman akumulatif yang terkait
dengan pemikiran, perasaan, mood, sudut pandang, dan harapan dari tiap kelas. Dengan
demikian, sastra tidak sekadar diwujudkan melalui proses dialektika. Keberadaan sastra sendiri
dapat menimbulkan dialektika baru karena ia memuat harapan dari kelas-kelas yang berangkat
dari pemikiran dan sudut pandang masing-masing, atau, dengan kata lain, sistem pengetahuan
tiap kelas.
Dengan merujuk pada gagasan Trotsky di atas, kita dapat melihat bahwa roman “Gadis
Pantai”, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, menemukan akarnya dalam
proses dialektika dengan realitas objektif yang ada dalam masyarakat Rembang feudal. Roman
ini pun memuat pemikiran, perasaan, dan sudut pandang Gadis Pantai yang dilihat sebagai
representasi perempuan dari kelas nelayan yang dinikahkan dengan laki-laki priyayi. Sepanjang
penuturan Pramoedya, kita dapat melihat bagaimana penolakan-penolakan Gadis Pantai pada
sistem diancangkan, meski gagasan-gagasan penolakannya selalu diluruskan oleh karakterkarakter di luar dirinya.
Pada bagian sebelumnya, esai ini telah memperlihatkan bagaimana proses dialektika
merupakan proses yang akan terus berjalan dan tidak berkesudahan. Menurut saya, ancangan
aksiologis dari karya sastra ialah dorongannya pada perubahan. Sebagaimana dinyatakan Lenin
(dalam Diamond, 1943), seni seharusnya dimiliki dan melibatkan rakyat; seni harus
mengombinasikan perasaan, pemikiran, dan kehendak rakyat dan mengangkatnya. Saya pikir,
jika seni tidak dapat mendorong perubahan, maka seni dapat menjadi kanal propaganda agar
perubahan dapat dilakukan. Diamond (1943) menyatakan bahwa seniman-seniman sosialis
memiliki peran yang penting dalam gerakan melawan invasi Nazi.
Apabila kita ingin melihat inter-relasi holistik dari roman “Gadis Pantai”, maka kita dapat
melihat bahwa dialektika yang terjadi tidak sekadar membentuk roman “Gadis Pantai”,
melainkan memunculkan tanggapan pada roman ini sebagai produk sastra. Dengan demikian,
roman ini, pun sastra pada umumnya, saya pikir dapat menjadi instrumen perlawanan pada
18

jeruji-jeruji modernis. Jika dalam hal ini, roman “Gadis Pantai” dapat melawan patriarki dan
feodalisme, maka saya pikir sastra pada umumnya dapat pula melawan jeruji-jeruji modernis
lainnya, semisal kapitalisme, rasialisme, hingga heteronormativitas. Hal ini, lebih lanjut, dapat
kita lihat pada beragam karya sastra yang menyandarkan dirinya pada realisme sosialis yang
melihat bahwa karya seni, termasuk sastra di dalamnya, harus memperhatikan realitas objektif
yang material, mendorong perubahan, dan memperkuat gerakan politik.

Simpulan
“Gadis Pantai” merupakan roman yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan pertama kali
diterbitkan pada tahun 1962. Roman ini bercerita mengenai Gadis Pantai, seorang perempuan
dari kampung nelayan yang dinikahkan dengan seorang priyayi di kota yang disebut sebagai
Bendoro. Setelah melahirkan anak perempuan, Gadis Pantai diusir dari rumah sang priyayi
tersebut dan anak yang ia lahirkan diambil. Gadis Pantai memang tidak dimaksudkan akan
menjadi istri tetap Bendoro, namun hanya melayani kebutuhan seksualnya hingga akhirnya
Bendoro nantinya akan menikah dengan perempuan yang berasal dari kelas yang sama
dengannya.
Pembahasan mengenai sastra, saya pikir, seharusnya tidak dapat mengabaikan kontekskonteks yang lebih luas yang terkait dengan keberadannya. Dalam roman “Gadis Pantai”,
konteks-konteks terkait ialah konteks ekonomi-politik yang memuat kelas sosial dan globalisasi,
konteks relasi gender, serta konteks ekologis dan agama. Inter-relasi holistik antara roman ini
dengan aspek lain terwujud dalam proses dialektika yang terjadi. Proses dialektika antara roman
“Gadis Pantai” dengan aspek lainnya mewujudkan kelahiran dan pemberangusan roman itu
sendiri.
Pada akhirnya, saya pikir pembahasan kita tidak dapat berhenti pada bagaimana sastra
dibangun melalui proses dialektika. Menurut saya, kita harus dapat melihat bagaimana dialektika
terkait sastra berlanjut sehingga sastra dapat menemukan fungsi sosialnya. Dengan menemukan
fungsinya, khususnya yang terkait dengan kelas sosial, maka kita dapat menemukan ancangan
aksiologis dari karya sastra, yaitu untuk memperhatikan realitas objektif yang material,
mendorong perubahan, dan memperkuat gerakan politik.

19

Referensi

Buku dan Jurnal
Chernyshevsky, Nicholas G. (1853). “The Aesthetic Relations of Art to Reality”. dalam Russian
Philosophy Volume II: The Nihilists, The Populists, Critics of Religion and Culture. Quadrangle
Books.
Chukwu-Okoronkwo, Samuel Okoronkwo. (2011). “Art and Societal Dialectics in Sub-Saharan
Africa: a Critique of Wa Thiong‟o and Osofisan as Dramatists” Journal of African Studies and
Development 3(4):76-86
Diamond, D. (1943). “Art and the Struggle”. Communist Review: 151-153
Gorky, Maxim. (1934). “Soviet Literature” Soviet Writer‟s Congress 1934: 25-69
Nedozchiwin, G.A. (1972). “What Is Aesthetics?” Marxism & Art: Writings in Aesthetics and
Critisism. David McKay Company, Inc.
Puspita, Ida. (2012). “Women‟s Identities and Resistance in Pramoedya Ananta Toer‟s The Girl
from the Coast and Katharine Susannah Prichard‟s Coonardoo”. University of Wollongong.
Toer, Pramoedya Ananta. (2003). “Gadis Pantai”. Jakarta: Lentera Dipantara
Trotsky, Leon. (1923). “The Social Roots and the Social Function of Literature”
Trotsky, Leon. “Revolutionary and Socialist Art” dalam Literature and Revolution
Yuliantri, Rhoma D.A. dan Dahlan, Muhidin M. (2008). “Lekra Tak Membakar Buku – Suara
Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”. Jogjakarta: Merakesumba

Seminar
Ikhaputri Widiantini, S.Hum, M.Si dalam seminar dan diskusi terbuka bertajuk “Diskriminasi
LGBTI di Indonesia”, diadakan oleh Program Studi Filsafat dan Komunitas Mahasiswa Filsafat
Universitas Indonesia pada tanggal 14 Mei 2013 di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

20