Anjuran Menikah di Bulan Syawal

Anjuran Menikah di Bulan Syawal
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Pak Ustadz, saya mau tanya. Saya dan calon suami berniat menikah tapi pernikahan
kami akan dilaksakan setelah hari raya Idul Fitri (1 minggu atau 2 minggu setelah hari raya). Apakah boleh?
Mohon penjelasannya.
Dvyz (revit4_**@yahoo.***)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Ya, semacam itu diperbolehkan. Bahkan, sebagian ulama menganjurkan untuk menikah di bulan Syawal.
Dasarnya adalah riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan,

‫تزوجني رسول الله صلى الله عليه و‬
‫سلم في شوال وبنى بي في شوال‬
‫فأي نساء رسول الله صلى الله عليه‬
‫و سلم كان أحظى عنده منى ؟ قال‬
‫وكانت عائشة تستحب أن تدخل‬
‫نساءها في شوال‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama
denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?”
Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan
Syawal.” (H.R. Muslim, An-Nasa’i, dan yang lain)

Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama menganjurkan agar menikah atau melakukan malam pertama di
bulan Syawal. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan
terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan
menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak
memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarkat jahiliah yang meyakini adanya
kesialan di bulan Syawal.”
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/anjuran-menikah-di-bulan-syawal/#ixzz2TVybEoum

Mengapa di sunnahkan menikah setelah bulan
ramadhan
POSTED BY DHYMALK DHYKTA ON THURSDAY, AUGUST 18, 2011 WITH NO COMMENTS

Di hari ke 18 ramadhan, apakah semangat itu
masih ada? semoga kita masih menjaga
semangat itu, semangat menegakkan pundipundi ibadah ramadhan. Semoga kita semua
tidak ada bolong hingga hari kemenangan
tiba. Tapi godaan kan semakin merajalela,

coba saja rekan ke mall, atau public area
lainnya, banyak hal yang mengundang anda
untuk
membatalkan
puasa
terutama
dibukanya tempat-tempat makan, walaupun
kadang-kadang
beberapa
diantaranya
memakai penutup kain. Pemandangan orang
merokok,
makan
dan
hal
lain
yang
membatalkan
puasa
semakin

banyak
menjumpai kita, semoga iman kita tetap kokoh
hingga 1 syawal nantinya,amin.
Jikalau tidak salah ingat, 4 malam yang lalu
seorang ustad yang saya lupa namanya yang
berceramah ramadhan di mesjid kompleks ku
mengambil tema yang sangat jarang, bahkan
ini pertamakali di kuping saya yaitu tentang
perkara yang membatalkan puasa yang
biasanya disebabkan oleh perut dan "di bawah
perut". Dengan sedikit perubahan gaya
bahasa, saya berusaha share ke rekan
pembaca sekalian, puasa ramadhan adalah
hukumnya wajib dan Tuhan hanya mengajak

orang yang berakidah islam untuk berpuasa,
sebagaimana ayat Allah dalam Surat Al
Baqarah 183 yang intinya adalah ajakan
kepada orang yang beriman untuk berpuasa
sebagaimana ajakan kepada orang sebelum

kita, agar kita memperoleh derajat taqwa.
Sekiranya
anda
merasa
orang
yang
bersyahadat, orang yang beriman, silahkan
anda melanjutkan membaca tulisan ini, jika
tidak silahkan lanjut saja kepostingan yang
lain, hehe.
Anda orang beriman kan? anda wajib menahan
semua perbuatan yang dapat membatalkan
puasa anda. Pak ustad mengatakan jaga mulut
[makan
dan
minum],
jaga
hati
[amarah,dengki,hasut, dan perbuatan tercela
yang lain],serta menjaga kemaluan [hubungan

suami istri]. Kali ini saya ingin mengulang
kembali ceramah tadi tentang perkara yang
membatalkan puasa untuk hal yang terakhir.
Yup, berhubungan sex/berjima bagi yang
sudah halal [suami istri] disiang hari dengan
sengaja hukumnya membatalkan puasa, bagi
yang bukan suami istri? sudah sangat jelas
dosa
besar
sob,
jangan
sampai
deh,
Naudzubillah Mindzalik.
Rekan pembaca sekalian, coba kita renungi
salah satu hadits Rasul berikut ini:
"Siapa yangmembatalkan puasa 1 hari di
bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan)

atau sakit, tidak akan tergantikan walaupun

dengan
puasa
selamanya,
meski
dia
berpuasa. (HR Tirmizy, Abu Daud, Ibnu Majah,
An-Nasai)"
Jelas kan membatalkan puasa di bulan
ramadhan dengan sengaja adalah hal yang
sangat dilarang, tidak akan tergantikan puasa
pada hari itu di hari yang lain walaupun
dengan puasa selamanya.
Pak ustad mengambil tema yang jarang
menurut saya, beliau berkata bahwa penyebab
batalnya puasa kebanyakan selain makan dan
minum adalah berhubungan suami istri
terutama pengantin baru. Beliau berujar
tentang pengalaman nyata beliau", saya punya
rekan sesama ustad yang pengantin baru
(menikah seminggu sebelum ramadhan),

karena gelora yang sangat luar biasa bagi
pengantin bari akhirnya jebol deh puasanya.
Beliau yang batal puasa ini curhat kepada pak
ustad tentang kecerobohannya, dan pada akhir
pembicaraan pak ustad menyarankan untuk
menggantinya selama 2 bulan berturut-turut
di luar bulan Ramadhan.
Dalam ceramahnya, beliau tidak menyalahkan
rekannya itu secara langsung atau bahkan
menghakiminya, karena memang sebagai
pengantin baru berjima' adalah hal yang
hampir setiap waktu ada dalam pikiran suami
istri tidak hanya di malam hari, siang hari pun

dalam kondisi berpuasa kadang hal itu juga
terjadi.
Oleh karenanya Rasulullah yang mulia pernah
menyampaikan
kepada
sahabat,

bahwa
menikah menjelang datangnya bulan suci
adalah makruh (lebih baik tidak dilakukan,
tetapi tidak haram), karena Rasul sudah
memprediksi umatnya akan melakukan hal
yang tidak pantas dilakukan orang yang
berpuasa. Beliau melanjutkan lagi, menikah
justru di sunnahkan (sangat dianjurkan) di
bulan syawal, atau seusai lebaran. Saya yang
masih bujangan pun mengangguk-angguk
mengerti dan insya Allah jika waktunya tiba
akan menikah setelah lebaran. Sungguh
sangat
berbahaya
menikah
menjelang
ramadhan, godaan untuk berjima' begitu besar
(bukan datang dari syaitho) tetapi datang dari
diri sendiri yang memang kita adalah mahluk
normal, mahluk yang memiliki nafsu, yang

manakala berdua-duaan dengan lawan jenis
akan terjadi hal yang tidak diinginkan itu.
Dengan senyum simpul saya pun berdo'a
untuk dihindarkan dari perkara yang bisa
membatalkan puasa ini.
Ditambahkan pula, termasuk melihat gambargambar, teks, dan hal lain yang mengundang
syahwat kita juga sebaiknya dihindari karena
dapat mengurangi kadar puasa kita bahkan
bisa membatalkan puasa kita. SMS / BBM-an

pacar
"sayang-sayangan"sedapat
mungkin
dipending ke malam hari atau setidaknya
hingga lebaran usai.
Semoga ilmu yang saya sharingkan bisa
bermanfaat bagi kita semua, terutama
pengantin baru agar kita bisa memuliakan
Ramadhan dengan menjaga kesucian di
dalamnya.


Nikah Yang Terlarang
Nikah adalah suatu jenjang yang amat sakral, sebagai jalan untuk mencari yang halal dari yang
sebelumnya terlarang. Namun nikah dengan seorang wanita tidak bisa asal-asalan. Ada syarat yang
mesti dipenuhi seperti mesti adanya wali dan mahar. Begitu pula ada bentuk nikah yang terlarang
dan membuat akadnya menjadi tidak sah yang sudah sepatutnya kita jauhi. Bentuk nikah seperti
apa sajakah itu? Simak dalam tulisan sederhana berikut.

Pertama: Nikah Syighor

Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, saudara atau yang berada di bawah

perwaliannya pada si B, namun dengan syarat si B harus menikahkan pula anak, saudara atau yang
di bawah perwaliannya pada si A. Bentuk nikah syighor terserah terdapat mahar ataukah tidak.
Keharaman bentuk nikah seperti ini telah disepakati oleh para ulama (baca: ijma’), namun mereka
berselisih apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah
seperti ini tidaklah sah. Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,


‫سوُ ل‬
‫ن ال ش‬
‫ل الل ل ر‬
‫ن غغهى غر ل‬
‫شغغاَرر‬
‫ ع غ ر‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

‫غ‬
‫غ‬
‫غ‬
‫ج ل‬
‫سوُ غ‬
‫ غوال ش‬، ‫شغغاَرر‬
‫ن ال ش‬
‫س‬
‫ه ال غ‬
‫ل الل ل ر‬
‫ن ي لغزوش غ‬
‫ه ع غغلى أ ي‬
‫ج اللر ل‬
‫ن ي لغزوش غ‬
‫شغغاَلر أ ي‬
‫أ ل‬
‫ن غر ل‬
‫خلر اب ين غت غ ل‬
‫ج ل‬
‫ل اب ين غت غ ل‬
‫ ل غي ي غ‬، ‫ه‬
‫ه – صلى الله عليه وسلم – ن غغهى ع غ ر‬
‫داقق‬
‫ص غ‬
‫ب غي ين غهل غ‬
‫ماَ غ‬

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya:
seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut
untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no.
5112 dan Muslim no. 1415)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

‫ل رللرجل زوجرنى ابنت غ ل‬
‫غ‬
‫ج غ‬
‫قوُ غ‬
‫سوُ ل‬
‫مي يرر غوال ش‬
‫ن ال ش‬
‫ك اب ين غرتى‬
‫ن يغ ل‬
‫يغغ‬
‫ل الل ل ر‬
‫ك وغأغزوش ل‬
‫ج ل ل ل ر غ ش ي‬
‫ل اللر ل‬
‫شغغاَلر أ ي‬
‫ن غغهى غر ل‬
‫ن نل غ‬
‫ غزاد غ اب ي ل‬.‫شغغاَرر‬
‫ ع غ ر‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫خت غ ل‬
‫ل‬
‫غ‬
‫ج غ‬
‫خرتى‬
‫ك أل ي‬
‫جرنى أ ي غ‬
‫ك وغأغزوش ل‬
‫أوي غزوش ي‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah syighor.” Ibnu Numair
menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah
putrimu padaku dan aku akan menikahkan putriku padamu, atau nikahkanlah saudara
perempuanmu padaku dan aku akan menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no.
1416)

Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata,

‫غ‬
‫غ‬
‫غ‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ه وغ غ‬
‫ة‬
‫مغعاَوري غ ل‬
‫داققاَ فغك غت غ غ‬
‫ص غ‬
‫كاَغناَ غ‬
‫ه ع غب يد ل اللر ي‬
‫ه وغأن يك غ غ‬
‫ن ال ي غ‬
‫ح ع غب يد غ اللر ي‬
‫س أن يك غ غ‬
‫أ ل‬
‫ب ل‬
‫ن اب ين غت غ ل‬
‫ح غ‬
‫ح ل‬
‫حك غم ر اب ين غت غ ل‬
‫ح غ‬
‫جعغل غ غ‬
‫ن ال يعغلباَ غ‬
‫ن بي غ‬
‫س بي غ‬
‫م ر‬
‫م ر‬
‫ن العغلباَ ر‬
‫ن ع غب يد ر اللهر ب ي ر‬
‫ي‬
‫سوُ ل‬
‫ماَ وغغقاَ غ‬
‫ذا ال ش‬
‫ل رفى ك رغتاَب رهر هغ غ‬
‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫ملره ل رباَلت ل ي‬
‫ل الل ل ر‬
‫شغغاَلر ال ل ر‬
‫ميرغوا غ‬
‫ه غر ل‬
‫ذىِ ن غغهى ع غن ي ل‬
‫ق ب غي ين غهل غ‬
‫ن ي غأ ل‬
‫إ رغلى غ‬‫ف ر‬
‫ري ر‬

“Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al ‘Abbas menikahkan puterinya dengan ‘Abdurrahman bin Al Hakam,
lalu ‘Abdurrahman menikahkan puterinya dengan Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas
Mu’awiyah menulis surat dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan Marwan untuk
memisahkan antara dua pasangan tadi. Mu’awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk
nikah syighor yang telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud no.
2075 dan Ahmad 4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar ketentuan
Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ماَ باَ ل ل‬
‫شغر غ‬
‫شير ق‬
‫شت غغر غ‬
‫شلرو ق‬
‫شت غرر ل‬
‫ن غ‬
‫ط غ‬
‫نا ي‬
‫ن ل‬
‫س يغ ي‬
‫ماَئ غ غ‬
‫ملرةر‬
‫ط ر‬
‫ه وغإ ر ي‬
‫طوُ غ‬
‫غ غ‬
‫طاَ ل غي ي غ‬
‫ة غ‬
‫س لغ ل‬
‫ب الل لهر غ‬
‫س ي‬
‫ب الل لهر فغل غي ي غ‬
‫س رفى ك رغتاَ ر‬
‫طاَ ل غي ي غ‬
‫ت رفى ك رغتاَ ر‬
‫م ر‬
‫ل أغناَ ر‬
‫غ‬
‫غ‬
‫شير ل‬
‫غ‬
‫ط الل لهر أ غ‬
‫حقق وغأويث غقل‬

“Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab
Allah? Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah merupakan persyaratan
yang batil, meskipun seratus persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan
persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 1504)

Kedua: Nikah Muhallil

Kita telah ketahui bahwa maksimal talak adalah sampai talak ketiga. Dua talak sebelumnya, masih
bisa ada rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa rujuk kembali
sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak diakal-akali.

Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang menikah wanita yang telah ditalak tiga,
kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama.
Nikah semacam ini terlarang, bahkan termasuk al kabair (dosa besar). Pria kedua yang melakukan
nikah muhallil terkena laknat sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata,

‫حل ل غ‬
‫حل ش غ‬
‫سوُي ل‬
‫ه‬
‫م غ‬
‫م غ‬
‫ه ع غل غي يهر وغ غ‬
‫ن غر ل‬
‫ل لغ ل‬
‫ل غوال ي ل‬
‫م ال ل‬
‫سل ل غ‬
‫صللى الل ل ل‬
‫ل اللهر غ‬
‫ل غعغ غ‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita
dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama)
dan al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri
tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no. 1934.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫حل ل غ‬
‫حل ش غ‬
‫حل ش ل‬
‫ غقاَ غ‬،‫ه‬
‫سوُي غ‬
‫ه‬
‫أ غل غ أ ل ي‬.
‫ل الل ر‬
‫م غ‬
‫م غ‬
‫م غ‬
‫ ب غغلى غياَ غر ل‬:‫وُا‬
‫م ي‬
‫ل لغ ل‬
‫ل غوال ي ل‬
‫ه ال ل‬
‫ن الل ل‬
‫ هلوُغ ال ي ل‬:‫ل‬
‫س ال ي ل‬
‫خب رلرك ل ي‬
‫ ل غعغ غ‬،‫ل‬
‫ست غغعاَرر؟ِ قاَ غل ل ي‬
‫م رباَلت لي ي ر‬

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?”
Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil.
Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata,

‫ل إغلى ابن ع لمر فغسأ غل غه ع غن رجل ط غل لق ا غ‬
‫ح ق غ‬
‫ هغ ي‬،‫ه‬
‫م غ‬
‫جغهاَ أ غ ق‬
ِ‫ل؟‬
‫ل تغ ر‬
‫ه لغ ر‬
‫ه ل ري غ ر‬
‫خي ي ر‬
‫مغرةر ر‬
‫ه ر‬
‫ فغت غغزول غ‬،َ‫ه ث غل غقثا‬
‫جاَغء غر ل‬
‫غ‬
‫حل ل ل‬
‫من ي ل‬
‫ؤا غ‬
‫ن غ غي يرر ل‬
‫خ لغ ل‬
‫مغرأت غ ل‬
‫غ ي‬
‫غ ل‬
‫ل ل رلول ر‬
‫م ي‬
‫ي غ ل ر‬
‫غ غ‬
‫ج ق ر‬
‫ي ر‬
‫ إ رل ل ن ر غ‬،‫ل‬
‫ غ‬:‫ل‬
‫غقاَ غ‬.
‫ ك للناَ ن غعلد ق هغ غ‬،‫ة‬
‫م‬
‫س غ‬
‫ح غرغ يي غ ر‬
‫فاَ ق‬
‫كاَ غ‬
‫ه ع غل غي يهر وغ غ‬
‫حاَ ع غغلى ع غهيد ر غر ل‬
‫ذا غ‬
‫سل ل غ‬
‫صللى الل ل ل‬
‫ل اللهر غ‬
‫سوُي ر‬

“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan menanyakan tentang
seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya
menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut
halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya
yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap
hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al
Hakim dalam Mustadroknya 2: 217. Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari

Muslim. Adz Dzahabi pun menyatakan demikian)

Nikah muhallil dinilai terlarang dan nikahnya tidak sah, terserah apakah dipersyaratkan di awal
bahwa si wanita akan dicerai supaya halal bagi suami pertama ataukah tidak disyaratkan tetapi
hanya diniatkan.

Ketiga: Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’).
Bentuk nikah ini adalah seseorang menikahi wanita pada waktu tertentu selama 10 hari, sebulan
atau lebih dengan memberi biaya atau imbalan tertentu.

Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram
hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan
para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99).

Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

‫غ‬
‫سوُ ل‬
َ‫حلتى ن غغهاَغناَ ع غن يغها‬
‫م ال ي غ‬
‫م نغ ي‬
‫ن دغ غ‬
‫مت يعغةر غ‬
‫مك ل غ‬
‫ح ر‬
‫ج ر‬
‫ل الل ل ر‬
‫من يغهاَ غ‬
‫خلر ي‬
‫عاَ غ‬
‫مغرغناَ غر ل‬
‫م لغ ي‬
‫ة ثل ل‬
‫خل يغناَ غ‬
‫ رباَل ي ل‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫أ غ‬.
‫حي غ‬
‫فت ي ر‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami
meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no.
1406)

Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,

‫غ‬
‫غ‬
‫سوُ ل‬
‫س عغ ي‬
‫ت‬
‫مغناَ ب رغهاَ غ‬
‫ل الل ل ر‬
‫ن ل غي يل غةر وغي غوُيم ر – فغأذ ر غ‬
‫ما ي‬
‫مت يعغةر الن ش غ‬
‫ن ل غغناَ غر ل‬
‫مت غعي ل‬
‫ست غ ي‬
‫ساَءر … ث ل ل‬
‫ رفى ل‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫خ ي‬
‫فغأقغ ي‬
‫م غ‬
‫ن ب غي ي غ‬
‫شغرة غ – ث غل غرثي غ‬
‫سوُ ل‬
‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫م أغ ي‬
‫ل الل ل ر‬
‫ ر‬-.
‫حلتى غ‬
‫ج غ‬
‫خلر ي‬
‫مغهاَ غر ل‬
‫حلر غ‬
‫من يغهاَ فغل غ ي‬

“Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita. …

Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah,
turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no.
1406)

Dalam lafazh lain disebutkan,

‫فغك لن معناَ ث غل غقثاَ ث ل غ‬.
‫سوُ ل‬
‫ن‬
‫ ب ر ر‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬
‫ل الل ل ر‬
‫ل غ غ غ‬
‫مغرغناَ غر ل‬
‫مأ غ‬
‫ل‬
‫فغراقرهر ل‬

“Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka.” (HR. Muslim no. 1406)

Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh Al Juhaniy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫غ‬
‫غ‬
‫م ذ غل ر غ‬
‫مة ر‬
‫ك إ رغلى ي غوُيم ر ال ي ر‬
‫ع ر‬
‫ه قغد ي غ‬
‫ساَءر وغإ ر ل‬
‫حلر غ‬
‫ن الن ش غ‬
‫م رفى ال ر ي‬
‫قغياَ غ‬
‫ن الل ل غ‬
‫ست ر ي‬
‫ت ل غك ل ي‬
‫ت أذ رن ي ل‬
‫س إ رشنى قغد ي ك لن ي ل‬
‫غياَ أي قغهاَ اللناَ ل‬
‫م غ‬
‫مغتاَ ر‬

“Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan
para wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.”
(HR. Muslim no. 1406)

Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah nikah yang fasid, tidak
sah. Sehingga dari sini pasangan yang menikah dengan bentuk nikah semacam ini wajib dipisah.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dipisah dalam hadits Sabroh
di atas.

Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu jika si pria kembali ke
negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda dengan nikah mut’ah di awal. Yang kedua adalah
nikah dengan niatan cerai, si istri awalnya tidak tahu dengan niatan ini.

Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat, namun dalam hati
sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya tetap sah. Alasannya, karena niatan
seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja tidak. Namun ulama lainnya menganggap nikah bentuk
kedua ini masih termasuk nikah mut’ah seperti pendapat Al Auza’i dan Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 101).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

‫غ‬
‫فغأ غ غ‬
‫غ‬
‫غ‬
‫شت غرر غ‬
‫ذا ” ن ر غ‬
‫ج غ‬
‫ماَ إ غ‬
‫ت فغهغ غ‬
‫ن يغ ي‬
‫م‬
‫ذيِ ات ل غ‬
‫ة ايل غيرب غعغ ل‬
‫م ل‬
‫ري ر‬
‫مت يعغةر ” ال ل ر‬
‫ج ايل غ‬
‫وُىِ اللزوي ل‬
‫م ع غغلى ت غ ي‬
‫كاَ ل‬
‫ماَ أ ي‬
‫ل وغل غ ي‬
‫مهر … وغأ ل‬
‫ة وغغ غي يلرهل ي‬
‫فقغ ايلئ ر ل‬
‫ح ال ي ل‬
‫ط الت لوُيرقي غ‬
‫ل‬
‫ذا ن غ غ‬
‫ح ر‬
‫شاَفعري ويك يرهله ماَل ر ق غ‬
‫غ‬
‫ فغهغ غ‬: ‫ميرأ غةر‬
َ‫ما‬
‫حرني غ‬
‫ ي لغر ش‬: ‫ذا رفيهر ن رغزاع ق‬
‫ف غ‬
‫ك وغأ ي‬
‫ص رفيهر ألبوُ غ‬
‫مد وغغ غي يلرهل غ‬
‫ح غ‬
‫ة غوال ل ر ق غ غ غ ل غ‬
‫ي لظ يهريره ل ل رل ي غ‬
‫خ ل‬

“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah
mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. …
Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si
wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para
ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini.
Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al
Fatawa, 32: 107-108)

Dinukil dari Imam Nawawi,

‫غ‬
‫غ‬
‫غ‬
‫س نر غ‬
‫هاَ فغن ر غ‬
‫م ل‬
‫ح نر غ‬
‫غقاَ غ‬
‫كاَح‬
‫مط يل غ ق‬
‫ل ال ي غ‬
‫ص ر‬
‫وُا غ‬
‫قاَ ر‬
‫حيح غ‬
‫م ل‬
‫كاَ ق‬
‫ن ن غك غ غ‬
‫ملعوُا ع غغلى أ ل‬
‫ وغأ ي‬: ‫ضي‬
‫معغغهاَ إ رلل ل‬
‫كثُ غ‬
‫قاَ وغن رليته ألل ي غ ي‬
‫حاَ ل‬
‫ن غ‬
‫ج غ‬
‫ وغل غي ي غ‬، ‫حغلل‬
‫كاَحه غ‬
‫دة ن غ غ‬
‫م ي‬
‫مذ ي ل‬
‫ماَ ن ر غ‬
‫قاَ غ‬
‫ن غقاَ غ‬
‫ وغ غ‬، ‫خغلق اللناَس‬
‫س هغ غ‬
‫ماَ وغقغعغ رباَل ل‬
‫ي فغ غ‬
‫ن أغ ي‬
‫شذ ل ايل غويغزا ر‬
‫ذا ر‬
‫شير ر‬
‫ل غ‬
‫ط ال ي غ‬
‫مت يغعة غ‬
‫كاَح ال ي ل‬
‫ وغإ رن ل غ‬، ‫مت يغعة‬
‫ل‬
‫ ل غي ي غ‬: ‫ماَرلك‬
‫ هلوُغ‬: ‫ل‬
‫ع ق‬
‫م ي‬
‫ وغل غك ر ي‬، ‫كوُر‬
‫نر غ‬
‫ وغغل غ‬، ‫مت يغعة‬
‫خيير رفيهر‬
‫كاَح ل‬

Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya
tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang
dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah. Disebut nikah mut’ah jika
ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai
bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini,
beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama
sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182)

Demikian sajian singkat mengenai kawin kontrak. Dari sini kita dapat simpulkan haramnya nikah
semacam itu, walau dilakukan oleh turis Arab sekalipun. Kalau orang Arab salah, maka kita katakan
salah. Karena yang melakukan nikah semacam ini sengaja melegalkan zina, namun dikelabui
dengan merubah nama. Jika diselidiki lebih jauh tentang kelakukan turis Arab di Bogor, ternyata para
wanita yang kawin kontrak tidak jauh dari para WTS. Nikahnya pun dilakukan tanpa izin wali atau

dengan wali yang asal comot. Pak Naib yang biasa memandu mengucapkan akad nikah tidak tahu
pula asal-usulnya. Yang jelas -setahu kami-, kawin kontrak di negeri kita termasuk dalam tindakan
pidana. Namun begitulah karena fulus, kawin kontrak masih tetap terus menjamur.

Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah

Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui
kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas
meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala
berfirman,

‫غ‬
‫قد غة غ الن ش غ‬
‫ه‬
‫موُا ع ل ي‬
‫بأ غ‬
‫ى ي غب يل لغغ ال يك رغتاَ ل‬
‫ح غ‬
‫جل غ ل‬
‫وغغل ت غعيزر ل‬
‫حت ل ى‬
‫كاَ ر‬

“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS.
Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada
masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika
kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun
jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)

Apa saja masa ‘iddah bagi wanita?

‘Iddah itu ada tiga macam:
‘Iddah hitungan quru’
‘Iddah hitungan bulan
‘Iddah wanita hamil

1. ‘Iddah hitungan quru’

‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya
adalah dengan hitungan quru’.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ة قللرورء‬
‫ن ب رأ غن ي ل‬
‫مط غل ل غ‬
‫ن ث غغلث غ غ‬
‫ف ر‬
‫قاَ ل‬
‫غوال ي ل‬
‫ت ي غت غغرب ل ي‬
‫سهر ل‬
‫ص غ‬

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah:
228).

Apa yang dimaksud tiga quru’?

Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah
suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula
ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.

Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali
haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.01/09 05/09 – 11/09 11/09 – 05/10 05/10
– 11/10 11/10 – 05/11 05/11 – 11/11 11/11
Talak ketika Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci

Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat
dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di
sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal
5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai
secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.

Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.

Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?

Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’
adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,

‫عرقق غفاَنظ لرىِ إ غ غ‬
‫ماَ ذ غل ر غ‬
‫صشلى فغإ ر غ‬
‫قيررء‬
‫قيررء إ رغلى ال ي ل‬
‫ن ال ي ل‬
‫ملر قليرؤ ل ر‬
‫ذا أغتى قليرؤ ل ر‬
‫صشلى غ‬
‫رىِ ث ل ل‬
‫ذا غ‬
‫إ رن ل غ‬
‫م غ‬
‫ك فغل غ ت ل غ‬
‫ماَ ب غي ي غ‬
‫ك ر ي‬
‫ك فغت غط غهل ر‬
‫ي ر ر‬

“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah
shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR.
Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh.
Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud,
sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah
satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci.
Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)

Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang
kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al
Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin
Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).

Catatan:
Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.

2. ‘Iddah hitungan bulan

‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:

(1) masa ‘iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai ganti
hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh lagi) karena
sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah mencapai usia haidh,
namun belum juga mendapati haidh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫ة أغ ي‬
‫ن‬
‫م يغ ر‬
‫ن ث غغلث غ ل‬
‫م ر‬
‫ض ر‬
‫ن ر‬
‫ح ي‬
‫ن نر غ‬
‫غوالللرئي ي غئ ر ي‬
‫شهلرر غوالللرئي ل غ ي‬
‫ن ايرت غب يت ل ي‬
‫ساَئ رك ل ي‬
‫ن ال ي غ‬
‫ض غ‬
‫م فغعرد لت لهل ل‬
‫م إر ر‬
‫م ي‬
‫م غ‬
‫س غ‬
‫حي ر‬

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).

(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh
ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita
hamil. Allah Ta’ala berfirman,

‫ذا بل غغي غ‬
‫وال لذين يتوُفلوُن منك لم ويذ غرو غ‬
‫شهلرر وغع غ ي‬
‫ة أغ ي‬
‫ن رفي‬
‫ن ب رغأن ل‬
‫ن أ غيرب غعغ غ‬
‫ف ر‬
‫جغناَ غ‬
‫ن فغغل ل‬
‫نأ غ‬
‫ن أيزغوا ق‬
‫غ ر غ لغ غ ي غ ر ي غغ ل غ‬
‫م رفي غ‬
‫ح ع غل غي يك ل ي‬
‫جاَ ي غت غغرب ل ي‬
‫ماَ فغعغل ي غ‬
‫جل غهل ل‬
‫شقرا فغإ ر غ غ غ‬
‫سهر ل‬
‫ص غ‬
‫خربيقر‬
‫غأن ل‬
‫ن غ‬
‫ف ر‬
‫مللوُ غ‬
‫معيلرو ر‬
‫ماَ ت غعي غ‬
‫ه بر غ‬
‫ف غوالل لـَّ ل‬
‫ن رباَل ي غ‬
‫سهر ل‬

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ل لمرأ غة تؤ يمن باَلل له وال ييوُم ال ر غ‬
‫غ‬
‫شهلرر وغع غ ي‬
‫ة أغ ي‬
‫شقرا‬
‫ج أ غيرب غعغ غ‬
‫ن تل ر‬
‫ل غيغ ر‬
‫ت فغوُيقغ ث غل غ ر‬
‫مي ش ر‬
‫خر ر أ ي‬
‫حد ل ع غغلى غ‬
‫ث ل غغياَ ر‬
‫ح ق ري غ ر ل ر ل ر ر غ غ ي ر‬
‫ إ رل ل ع غلى غزوي ر‬، ‫ل‬

“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung
atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat
bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)

3. ‘Iddah wanita hamil

Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena
persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah
untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman,

‫لأوغلت ايل غحماَل أ غجل له غ‬
‫ن‬
‫ن غ‬
‫ن أن ي غ غ‬
‫ح ي‬
‫ل‬
‫مل غهل ل‬
‫ضع ي غ‬
‫ي غ ر غ ل ل‬

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).

Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan
hamil?

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik
masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya
suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.

Kelima: Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga

Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh
suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar
(bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman,

‫غ‬
‫غ‬
‫دود غ الل لهر وغت رل ي غ‬
‫ح ق‬
‫ك‬
‫ن ط غل ل غ‬
‫ن ط غل ل غ‬
‫قغهاَ فغغل ت غ ر‬
‫ن يل ر‬
‫ه ر‬
‫ح ل‬
‫ماَ ل‬
‫ن ظ غلناَ أ ي‬
‫جغعاَ إ ر ي‬
‫ن ي غت غغرا غ‬
‫ماَ أ ي‬
‫جغناَ غ‬
‫قغهاَ فغغل ل‬
‫جاَ غ غي يغره ل فغإ ر ي‬
‫ح غزوي ق‬
‫حلتى ت غن يك ر غ‬
‫ن ب غعيد ل غ‬
‫فغإ ر ي‬
‫قي غ‬
‫ح ع غل غي يهر غ‬
‫ل لغ ل‬
‫م ي‬
‫ن‬
‫موُ غ‬
‫ح ل‬
‫ل‬
‫دود ل الل لهر ي لب غي شن لغهاَ ل رقغوُيم ر ي غعيل غ ل‬

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukumhukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada
suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur
(bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya
yang pertama. Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam,

‫أ غتريدي غ‬
‫ه وغي غ ل‬
‫حلتى ت غ ل‬
‫ك‬
‫جرعى إ رغلى ررغفاَع غ غ‬
‫سي يل غت غ ر‬
‫ة لغ غ‬
‫نأ ي‬
‫ذوقغ ع ل غ‬
‫ذورقى ع ل غ‬
‫سي يل غت غ ل‬
‫ن ت غير ر‬
‫ل ر ر غ‬

“Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau
merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)

Keenam: Kawin Lari

Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah,
atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan
kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin
hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang
tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si
wanita, bukan laki-laki.

Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat
urutan:
Ayah
Kakek
Saudara laki-laki
Anak saudara laki-laki (keponakan)
Paman
Anak saudara paman (sepupu)

Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika
masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti
paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah
kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan
ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 3: 142-145).

Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah.

‫ أ غيماَ ا غ‬: ‫ل الله‬
‫سل ي غ‬
‫ن وغل ري شغهاَ فغن ر غ‬
‫ل غباَط ر ق‬
‫ل غباَط ر ق‬
‫حغهاَ غباَط ر ق‬
‫سوُي ل‬
‫ غقاَ غ‬: ‫ت‬
‫نا ي‬
‫عاَئ ر غ‬
‫ي‬
‫ن غ‬
‫ش غ‬
‫ر‬
‫طاَ ل‬
‫شت غ غ‬
‫كاَ ل‬
‫مغرأةر ن غك غ غ‬
‫جلريوا غفاَل ق‬
‫ل غر ل‬
‫ح ي‬
‫ق غ ي‬
‫ة غقاَل غ ي‬
‫ن وغل ر ق‬
‫ل فغإ ر ر‬
‫ت ب رغغي يرر إ رذ ي ر‬
‫عغ ي‬
‫ه‬
‫ي لغ ل‬
‫غ‬
‫ن ل غ وغل ر ل‬
‫م ي‬

Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka
bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no.
2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan)

‫عغ غ‬
‫ ل غ ن ر غ‬: ‫ل اللهر‬
‫سوُي ل‬
‫ غقاَ غ‬: ‫ل‬
‫شعغرريِش غقاَ غ‬
‫سى ال غ ي‬
‫ي‬
‫كاَ غ‬
‫ل غر ل‬
‫موُي غ‬
‫ي ل‬
‫ح إ رل ل ب روُغل ر ي‬
‫ن أب ر ي‬
‫ي‬

Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880
dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

‫ل ل غ تزوج ال يمرأ غة ل ال ي غ‬
‫ن أ غربى هلغري يغرة غ غقاَ غ‬
َ‫ن وغل ري شغها‬
‫ح نغ ي‬
‫ميرأ غة ل ن غ ي‬
‫سغهاَ غواللزان ري غ ل‬
‫ة ال لرتى ت لن يك ر ل‬
‫ميرأة غ وغل غ ت لغزوش ل‬
‫لغ ش ل‬
‫ف غ‬
‫ف غ‬
‫ج ال ي غ‬
‫غ‬
‫سغهاَ ب رغغي يرر إ رذ ي ر‬
‫غ ي‬
‫عغ ي‬

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita
menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad
Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)

Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka
mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan
pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan
sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I,
Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah,
Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 4041).

Demikianlah sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari sama saja
dengan zina karena status nikahnya tidak sah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wallahu a’lam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

BID’AHNYA ANGGAPAN SIAL MENIKAH DI BULAN SYAWWAL
Penulis: Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry

Ibnu Mandzur berkata, “Syawwal adalah termasuk
nama bulan yang telah dikenal, yaitu nama bulan setelah bulan Ramadhan,
dan merupakan awal bulan-bulan haji.” Jika dikatakan Tasywiil
(syawwalnya) susu onta berarti susu onta yang tinggal sedikit atau
berkurang. Begitu juga onta yang berada dalam keadaan panas dan
kehausan.
Orang Arab menganggap bakal sial/malang bila melangsungkan aqad
pernikahan pada bulan ini dan mereka berkata : “Wanita yang hendak
dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta

betina yang menolak onta jantan jika sudah kawin/bunting dan mengangkat
ekornya.”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membatalkan anggapan sial mereka
tersebut, dan Aisyah berkata, “Rasulullah menikahiku pa¬da bulan Syawwal dan
berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau
yang lebih beruntung dariku?” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, VI/54, Muslim
dalam shahihnya II/1039, kitab An-Nikah, hadits nomor 1423, At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya II/277, Abwab Annikah, hadits nomor 1099. Beliau berkata: Ini hadits
hasan shahih. An-Nasai dalam Sunan-nya, VI/70, kitab An-Nikah, bab “Pernikahan
pada Bulan Syawal. Ibnu ¬Majah dalam Sunan-nya, I/641, kitab An-Nikah, hadits
nomor 1990.)
Maka yang menyebabkan orang Arab pada jaman jahiliyah dulu
menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah keyakinan mereka
bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta betina yang
mengangkat ¬ekornya, setelah kawin/bunting.
Berkata Ibnu Katsir – rahimahullah – : “Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam dengan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pada bulan syawwal merupakan
bantahan terhadap keraguan sebagian orang yang membenci untuk berkumpul/
menikah dengan isteri mereka di antara dua hari raya, karena kawatir bakal terjadi
perceraian antara suami-isteri tersebut, yang hal ini sebenarnya tidak ada
sesuatupun padanya.” (Al Bidayah Wan Nihayah III/253)
Anggapan sial menikah pada bulan Syawwal adalah perkara batil, karena anggapan
sial itu secara umum termasuk ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi
Shallallahu Alaihi wassallam pada sabda beliau :
‫ل عدوى و ل طيرة‬
“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan/nasib sial”. (HR. Al Bukhari
dalam shahihnya cetakan bersama Fathul Bari (X/215) kitab At Thib. Hadits nomor :
5757. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al jami’ No. 7530)
Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
‫الطيرة شرك‬
“Ramalan nasib adalah syirik.” “ (HR. Ahmad dalam musnadnya (I/440). Abu
Daud dalam sunannya (IV/230) kitab at Thib Hadits nomor : 3910. At Tirmidzi dalam
sunannya (III/74,75) Abwab As Sair, hadits nomor : 1663. beliau berkata : hadits
hasan shahih. Ibnu Majah dalam sunannya (II/1170) Kitab At Thib nomor hadits :
3537. Al Hakim dalam Mustadzraknya (I/17,18) kitab Al Iman beliau berkata : hadits
yang shahih sanadnya, stiqah rawi-rawinya dan bukhari dan muslim tidak
mengeluarkan dalam shahih keduanya. Dan disepakati Ad Dzahabi dalam
talkhishnya. Dishahihkan pula Al Albani di Shahih Al Jami’ No : 3960)
Begitu juga sama halnya dengan itu adalah anggapan sial di bulan Shafar.
Berkata Al Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menjelaskan hadits Aisyah
Radhiyallahu’anha, di atas : “Hadits itu menunjukkan bahwa disunnahkan menikahi,
memperistri wanita dan berkumpul/menggauli pada bulan Syawwal dan shahabatshahabat kami juga menyebutkan sunnahnya hal itu dan mereka berdalil dengan
hadits tersebut.”
Aisyah sengaja berkata seperti tersebut diatas untuk membantah tradisi orang-

orang jahiliyyah dan apa yang dihayalkan sebagian orang awam pada saat ini,
berupa ketidak sukaan mereka menikah dan berkumpul pada bulan Syawwal. Dan
hal ini adalah batil dan tidak ada dasarnya, dan termasuk peninggalan jahiliyyah
dimana mereka meramalkan hal tersebut dari kata syawwala yang artinya
mengangkat ekor ( tidak mau dikawin).” (Syarah shahih Muslim karya Imam an
Nawawi (IX/209).
Wallaahu a’lam Bishawab.
(Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul
Fadhilah Riyadh, Hal. 348-349. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)
Sumber :

PERISTIWA NIKAH DI MUARADUA TURUN
DRASTIS
Kamis, 11 Oktober 2012 – Bimas Islam & Penye. Syariah

KUA MUARADUAHumas.
Setiap datang bulan Zulqa’‘’‘’‘’‘idah khususnya di Kecamatan Muaradua atau mungkin di
KabupatenOKU Selatan pada umumnya yang namanya tradisi kegiatan dimasyarakat,
seperti bercocok tanam, menempati rumah baru, atau akan memulai bangunan rumah,
mencari rizki seperti berburu rusa, apalagi yang berkaitan dengan persedekahan
pernikahan, menikahkan anak, mengkhitan anak, kegiatan ini tidak dilakukan sama sekali
sampai masuk bulan haji. Kalaupun ada persedekahan yang ada dimasyarakat, itu
persedekahan yang berkaitan dengan syukuran anak yang baru lahir atau yang dikenal

dengan istilah marhabah, persedekahan yang berkaitan dengan orang meninggal (meniga
hari), persedekahan syukuran keberangkatan jamaah calon haji.
Bulan Zulqa’‘’‘’‘’‘idah dinamakan juga oleh masyarakat dengan istilah bulan apit sebutan
bulan apit ada persepsi pemahaman oleh masyarakat, ada yang mengatakan bahwa jangan
melakukan pernikahan diantara dua khutbah yakni Idul Fitri dengan khutbah Idul Adha,
masyarakt memahami hadist Nabi Muhammad SAW seperti itu, padahal maksud dua
khutbah dalam hadist itu adalah waktu jeda sesaat yang dilakukan oleh khotib, setelah
selesai khutbah pertama, untuk melaksanakan khutbah kedua, ya bagaimana mungkin
melangsungkan pernikahan diantara dua khutbah, waktunya saja sangat singkat.
Namun yang jelas bulan apit (Zulqa’‘’‘’‘’‘idah) seperti yang dipahami oleh masyarakt, ini
sangat erat kaitannya dengan ajaran-ajaran animisme dan warisan turun-temurun dari nenek
moyang, yang mereka hidup masih zaman sebelum Islam datang ke Indonesia, ini masih
mengakar dan mentradisi dimasyarakat.
Selain bulan Zulqa’‘’‘’‘’‘idah masih ada bulan lain yaitu bulan Muharram. Bulan Muharram
menurut kepercayaan taradisi masyarakat sama dengan bulan Zulqa’‘’‘’‘’‘idah (Apit), juga
tidak bagus untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas. Menurut
masyarakat kalau ini dilaksanakan maka akan sial (membawa petaka).
Untuk merubah kepercayaan masyarakat seperti ini, kita terus melakukan kegiatan seperti,
memberikan pemahaman pada saat ada pengajian-pengajian dan melakukan pendekatan
sosial keagamaan. Di KUA Kec. Muaradua sampai dengan hari ini (Kamis, 11/10) baru ada
tiga peristiwa N, padahal Kecamatan Muaradua adalah Kota Kabupaten.

BULAN APA YANG BAIK UNTUK MENIKAH ?
PERTANYAAN
Baigmana menentukan hari pernikahan menurut quran sunah! kata
temen saya pd wktu musim haji ! tp saya tidak tau ilmux ! monggo
jwbx
!
JAWABAN