Hubungan Opini WTP Dengan Indikasi Bebas

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

HUBUNGAN OPINI WTP DENGAN INDIKASI BEBAS KORUPSI
PADA ENTITAS PEMERINTAH
Paper Ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Pemerintahan II

Disusun oleh:
GIGIH SURYA PRAKASA
103060017337
Kelas 2L Akuntansi Pemerintahan

Mahasiswa Program Diploma III Keuangan
Spesialisasi Akuntansi Pemerintahan
Tahun 2012

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

A. Abstraksi

Banyak kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah berjuang mati-matian untuk mendapatkan
predikat laporan keuangan “wajar tanpa pengecualian”. Laporan Keuangan dengan predikat WTP adalah
predikat yang paling tinggi yang dikeluarkan BPK atas hasil pemeriksaan keuangan suatu entitas
pemerintah tersebut. Padahal masih ada pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
namun K/L dan Pemda hanya menonjolkan sisi pemeriksaan keuangan saja. Jika dilihat baik-baik,
banyak indikasi korupsi yang tidak dilaporkan oleh K/L dan Pemda hanya karena mereka tidak
mempublikasikan saran dan rekomendasi BPK atas hasil ketiga jenis pemerikaan tersebut. Bagaimana
cara mendeteksi adanya kecurangan dalam laporan yang memiliki predikat WTP? Tentu kita harus
mengetahui bagaimana hasil dan rekomendasi BPK atas kedua jenis pemeriksaan lainnya.

B. Pembahasan
Pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini apakah laporan keuangan sudah disajikan
secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sementara, pemeriksaan kinerja
dimaksudkan untuk menilai apakah pelaksanaan suatu program atau kegiatan entitas sudah ekonomis,
efisien, dan efektif. Sedang, pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) adalah pemeriksaan selain dua
jenis tersebut, termasuk disini adalah pemeriksaan investigatif untuk mengungkap adanya kecurangan
(fraud) atau korupsi, pemeriksaan lingkungan, pemeriksaan atas pengendalian intern, dan lain-lain,"
jelasnya.
Dari hasil itu, ujarnya, BPK dapat memberikan empat jenis opini yakni Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP/unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion), Tidak Memberikan

Pendapat (TMT/Disclaimer opinion) dan Tidak Wajar (TW/Adverse opinion).
Terdapat tiga jenis pemeriksaan BPK-RI sebagaimana diatur dalam undang-undang no. 15 tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, pasal 4, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu
1. Pemeriksaan Keuangan
Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah (Pusat, daerah,
BUMN maupun BUMD), dengan tujuan pemeriksaan memberikan pernyataan pendapat/opini
tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat/daerah
Kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan didasarkan atas empat
kriteria:
 Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah
 Kecukupan pengungkapan
2

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

 Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
 Efektifitas sistem pengendalian intern
Pernyataan pendapat/opini sebagai hasil pemerikasaan dimaksud terdiri dari pendapat ”Wajar
Tanpa Pengecualian”, pendapat ”Wajar Dengan Pengecualian”, pendapat ”Tidak Memberikan

Pendapat” dan pendapat ”Tidak Wajar”
a. Pendapat ”Wajar Tanpa Pengecualian”
Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian, disingkat dengan WTP, dalam bahasa inggrisnya
”unqualified opinion”, adalah pendapat pemeriksaan rangking tertinggi dimana dalam pemdapatnya
pemeriksa berpendapat laporan keuangan yang diperiksa itu telah menyajikan secara wajar apa yang
telah

dilaporkan

dalam

laporan

keuangannya

Ini berarti bahwa laporan keuangan yang diaudit telah menyajikan seluruh komponen/transaksi
pemerintah daerah yang material secara wajar, dengan kriteria:
 Laporan keuangan sudah lengkap ( terdiri dari: Laporan Perhitungan Anggaran, Laporan Aliran
Kas, Neraca dan Nota Perhitungan APBD)
 Bukti-bukti/dokumen pendukung cukup lengkap

 Laporan

keuangan

telah

disajikan

sesuai

dengan

Standar

Akuntansi

Pemerintah

Pemakaian Standar yang konsisten
 Tidak ada kondisi yang memerlukan paragraf penjelasan

b. Pendapat ”Wajar Dengan Pengecualian”
Pendapat Wajar Dengan Pengecualian, disingkat dengan WDP, dalam bahasa inggrisnya
”qualified opinion” adalah pendapat pemeriksaan rangking berikut (rangking kedua), dimana pemeriksa
dalam memeriksa laporan keuangan berpendapat bahwa laporan keuangan yang diperiksa telah
menunjukan laporan yang wajar dengan beberapa pengecualian. Dengan istilah lain, ”Wajar Dengan
Pengecualian berarti, bahwa laporan keuangan yang di audit telah menyajikan komponen/transaksi
pemerintah daerah yang material secara wajar, kecuali untuk komponen-komponen tertentu.
Kriteria dari pendapat ”Wajar Dengan Pengecualian” adalah:
 Laporan keuangan sebagian kecil ( tidak material) disusun tidak memenuhi standar akuntansi
keuangan
 Ruang lingkup pemeriksaan dibatasi.
c. Tidak Memberikan Pendapat
Pendapat ketiga, dan ini termasuk pendapat yang jelek, yang saat ini menimpa pemerintah
provinsi DKI Jakarta, yaitu ”Tidak Memberikan Pendapat”. Dalam bahasa inggrisnya, ”disclaimer
3

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

opinion”. Pemeriksa memberikan pendapat ini, karena ketidak lengkapan dan ketidak jelasan dokumen
yang mendukung disiapkannya laporan keuangan tersebut. Pemeriksa/auditor tidak mempunyai

keyakinan untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang diaudit. Kriteria dari kelompok jenis opini
ini adalah:
 Ruang lingkup audit dibatasi (sangat material)
 Auditor tidak independen
 Tidak ada kriteria dalam menilai laporan keuangan
d. Pendapat ”Tidak Wajar” ( Adverse opinion)
Pendapat keempat, adalah pendapat yang paling jelek dengan opini ”Tidak Wajar”, dalam bahasa
inggrisnya ”adverse opinion”. Pemeriksa memberikan pendapat ”tidak wajar”, karena berdasarkan
dokumen yang ditemukan dalam menyusun laporan keuangan , ternyata laporan keuangan yang telah
disusun, tidak memenuhi kaidah-kaidah yang diharuskan dalam penyusunan laporan keuangan atau
dengan kata lain, laporan keuangan yang diaudit tidak disajikan sesuai dengan standar akuntansi
pemerintah.
Kriteria yang diperlukan:
 Prinsip akuntansi tidak dipakai
 Ketidak konsistenan dalam menggunakan prinsip akuntansi (material)

2. Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas
pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan
pemeriksaan kinerja pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan serta pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik

terhadap berbagai macam bukti/dokumen, untuk dapat melakukan penilaian secara objektive atas
kinerja organisasi atau program/kegiatan yang diperiksa.
Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu
organisasi/SKPD dan memudahkan pengambilan keputusan bagi gubernur selaku pimpinan tertinggi
dari unit kerja dilingkungan pemerintah daerah. Pemeriksaan kinerja menghasilkan temuan,
simpulan, dan rekomendasi.
Tujuan pemeriksaan yang menilai hasil dan efektivitas suatu program adalah mengukur sejauh
mana suatu program mencapai tujuannya. Sedangkan tujuan pemeriksaan yang menilai aspek
4

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu organisasi/SKPD telah menggunakan sumber
dayanya dengan cara yang paling produktif di dalam mencapai tujuan program.
Contoh tujuan pemeriksaan atas hasil dan efektivitas program serta pemeriksaan atas ekonomi
dan efisiensi adalah penilaian atas:
a. Sejauhmana

tujuan


peraturan

perundang-undangan

dan

organisasi

dapat

dicapai.
b. Kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan kinerja program atau menghilangkan
faktor-faktor yang menghambat efektivitas program.
c. Perbandingan antara biaya dan manfaat atau efektivitas biaya suatu program.
d. Sejauhmana suatu program mencapai hasil yang diharapkan atau menimbulkan dampak yang
tidak diharapkan.
e. Sejauhmana program berduplikasi, bertumpang tindih, atau bertentangan dengan program lain
yang sejenis.
f. Sejauhmana entitas yang diperiksa telah mengikuti ketentuan pengadaan yang sehat.
g. Validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi.

h. Kehandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu
program.
3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan dengan tujuan adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar
pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini
adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan
pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal
yang diperiksa. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat bersifat: eksaminasi , reviu , atau prosedur
yang disepakati Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal
lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, sering juga dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari pemeriksaan
laporan keuangan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Sebagai contoh adalah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta yang direncanakan dilakukan pemeriksaan dengan tujuan terntentu /pemeriksaan
investigatif, setelah BPK RI memberikan pendapat disclaimer.
Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan,
maka BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai bahwa sifat pemeriksaan
dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan.
Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK RI segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang

5

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan "Opini atas laporan keuangan
tidak mendasarkan kepada apakah pada entitas tertentu terdapat korupsi atau tidak.
Ini adalah ikhtisar hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2011 kepada DPD RI yang disampaikan
oleh Ketua BPK, Drs. Hadi Poernomo, Ak
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011
tersebut terdiri dari: 1) Ringkasan Eksekutif Hasil Pemeriksan atas LKPP Tahun 2011; 2) LHP atas LKPP
Tahun 2011; 3) LHP Sistem Pengendalian Intern (SPI) LKPP Tahun 2011; 4) LHP atas Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-Undangan LKPP Tahun 2011; 5) Laporan Pemantauan Tindak Lanjut Hasil
Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2005-2010; dan 6) Laporan Tambahan berupa Laporan Hasil Riviu atas
Pelaksanaan Transparansi Fiskal Tahun 2011.
Objek pemeriksaan LKPP Tahun 2011 terdiri dari Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2011
dan 2010, Laporan Realisasi APBN (LRA) dan Laporan Arus Kas, serta Catatan atas Laporan Keuangan
untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2011 dan 2010.
BPK RI memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion) atas LKPP Tahun 2011
dengan dua permasalahan. Pertama, adanya permasalahan dalam pelaksanaan dan pencatatan hasil
Inventarisasi dan Penilaian (IP) atas Aset Tetap, yaitu: (1) Aset Tetap pada 10 Kementerian

Negara/Lembaga (KL) dengan nilai perolehan Rp4,13 triliun belum dilakukan IP; (2) Aset Tetap berupa
Tanah Jalan Nasional pada Kementerian Pekerjaan Umum senilai Rp109,06 triliun tidak dapat diyakini
kewajarannya karena belum selesai dilakukan IP dan hasil IP tidak memadai; (3) Aset Tetap hasil IP pada 3
KL senilai Rp3,88 triliun dicatat ganda; (4) Pencatatan hasil IP pada 40 KL masih selisih senilai Rp1,54
triliun dengan nilai koreksi hasil IP pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN); (5) Aset Tetap pada
14 KL senilai Rp6,89 triliun tidak diketahui keberadaannya; dan (6) Pelaksanaan IP belum mencakup
penilaian masa manfaat Aset Tetap sehingga Pemerintah belum dapat melakukan penyusutan Aset Tetap.
Nilai Aset Tetap yang dilaporkan bisa berbeda secara signifikan jika Pemerintah menyelesaikan dan
mencatat seluruh hasil IP.
Kedua, terdapat kelemahan dalam pelaksanaan inventarisasi, perhitungan, dan penilaian terhadap
Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yaitu: (1) Pemerintah belum menemukan
dokumencessie atas Aset Eks BPPN berupa Aset Kredit senilai Rp18,25 triliun; (2) Aset Eks BPPN yang
telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) senilai Rp11,18 triliun tidak didukung oleh
dokumen sumber yang valid; (3) Aset Eks BPPN berupa tagihan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
(PKPS) senilai Rp8,68 triliun belum didukung kesepakatan dengan Pemegang Saham; (4) Aset Eks BPPN
berupa aset properti sebanyak 917 item belum dinilai; dan (5) Pemerintah belum dapat menyajikan nilai

6

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

bersih yang dapat direalisasikan atas Aset Eks BPPN yang berupa piutang. Data yang tersedia tidak
memungkinkan BPK untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran saldo Aset Eks BPPN.
BPK RI juga menemukan permasalahan signifikan terkait kelemahan sistem pengendalian intern
(SPI) yaitu: (1) Inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh Migas dan perhitungan bagi
hasil Migas; (2) Pelaksaan monitoring dan penagihan atas kewajiban PPh Migas tidak optimal; (3) Terdapat
kelemahan dalam pencatatan dan penatausahaan Aset Tetap; (4) Terdapat kelemahan dalam pelaksanaan IP
atas Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS); (5) Pelaksanaan IP Aset Eks BPPN tidak berdasarkan
dokumen yang valid; (6) Penyelesaian Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS)
berlarut-larut dan penetapannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) dapat berbeda dengan penyerahan awal;
(7) Sistem pertanggujawaban dan pelaporan lembaga non struktural, yayasan, dan badan lainnya dalam
LKPP belum diatur secara konsisten dan komprehensif; dan (8) Terdapat selisih nilai Sisa Anggaran Lebih
(SAL) Tahun 2011 antara fisik dengan catatannya.
Permasalahan signifikan terkait kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu: (1)
Terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terlambat/belum disetorkan ke kas negara,
kurang/belum dipungut, digunakan langsung di luar mekanisme APBN, dan dipungut melebihi tarif PP; (2)
Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Migas atas areal onshore tidak sesuai dengan Undang Undang
PBB dan Undang Undang Migas; (3) Terdapat perbedaan realisasi pendapatan hibah antara LKPP dengan
LK Bagian Anggaran (BA) pengelolaan hibah yang tidak dapat dijelaskan dan penerimaan hibah langsung
KL belum dilaporkan kepada Bendahara Umum Negara (BUN) dan dikelola di luar mekanisme APBN; (4)
Pemerintah belum menetapkan status pengelolaan keuangan 7 perguruan tinggi yang telah dibatalkan status
Badan Hukum Pendidikan (BHP)-nya; dan (5) Penyelesaian kesepakatan antara Pemerintah, Bank Indonesia
(BI), dan Perum Jamkindo atas Risk Sharing tunggakan Kredit Usaha Tani Tahun Penyediaan (KUT TP)
1998/1999 pola channeling berlarut-larut.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan SPI dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut di atas, BPK RI merekomendasikan kepada Pemerintah antara lain agar: (a) Menindaklanjuti
rekomendasi BPK yang telah disampaikan dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2010; (b) Memperbaiki
kebijakan perencanaan, penganggaran, dan penetapan BPYBDS sebagai PMN serta menetapkan perlakukan
selisih nilai BPYBDS dan PMN yang ditetapkan; (c) Memperbaiki sistem pertanggungjawaban dan
pelaporan lembaga non struktural, yayasan, dan badan lainnya; (d) Melakukan pendataan dan monitoring
atas potensi PNBP di seluruh KL; (e) Mengatur sanksi yang tegas atas keterlambatan penyetoran dan
penggunaan langsung; (f) Merevisi UU PNPB terutama yang menyangkut kewenangan penetapan jenis dan
penyesuaian tarif PNBP yang memudahkan pelaksanaannya; (g) Menetapkan secara jelas objek pajak PBB
Migas sesuai dengan UU PBB dan UU Migas serta memperbaiki petunjuk pengisian SPOP dan mekanisme
penetapan PBB Migas; (h) Menetapkan peraturan mengenai monitoring penerimaan hibah langsung di
tingkat KL, pelaporan dan sanksi bagi satuan kerja yang tidak melaporkan hibah langsung yang diterimanya
7

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (i) Segera menetapkan status hukum pengelolaan keuangan atas 7
Perguruan Tinggi eks Badan Hukum Milik Negara (BHMN); dan (j) Membahas dengan pihak BI dan Perum
Jamkrindo untuk menyepakati risk sharing atas KUT TP 1998/1999 secara akuntabel dengan
mempertimbangkan rasa keadilan.
Hasil reviu atas pelaksanaan transparansi fiskal yang dilakukan atas pemenuhan 45 kriteria
transparansi fiskal yang dikeluarkan oleh International Monetery Fund (IMF) yang meliputi kejelasan peran
dan tanggung jawab pemerintah, proses anggaran yang terbuka, ketersediaan informasi bagi publik, dan
keyakinan atas integritas data yang dilaporkan, menunjukkan bahwa pemerintah sudah memenuhi sebanyak
22 kriteria, belum sepenuhnya memenuhi sebanyak 22 kriteria, dan belum memenuhi sebanyak satu kriteria.
Hasil pemantauan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan atas LKPP sebelumnya menunjukkan dari 36
temuan yang belum selesai ditindaklanjuti, pemerintah telah selesai menindaklanjuti sebanyak 16 temuan
sesuai saran yang diajukan oleh BPK, dan masih memproses tindak lanjut sebanyak 20 temuan.
Permasalahan yang telah ditindaklanjuti oleh Pemerintah antara lain: (1) Menetapkan seluruh sistem
akuntansi sehingga lingkup pelaporan di LKPP menjadi jelas, terakhir dengan menetapkan Sistem Akuntansi
Investasi Pemerintah, Transaksi Khusus, dan Badan Lainnya pada Tahun 2011; (2) Menyempurnakan
sistem-sistem penyusunan LKPP yaitu Sistem Akuntansi Hibah sehingga dapat memudahkan pengesahan
hibah langsung, Sistem Penerimaan Negara sehingga dapat memantau transaksi reversal dan menjelaskan
selisih yang terjadi, dan sistem pencatatan dan rekonsiliasi Piutang Perpajakan sehingga catatan Piutang
didukung dokumen sumber; (3) Mengubah penyelesaian PPN Ditanggung Pemerintah menjadi Subsidi PPN
atas penyerahan jenis BBM tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah; (4) Menetapkan peraturan atas
pengelolaan Badan Milik Negara (BMN) yang berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan; (5) Menetapkan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, Lembaga
Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia dan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang sebagai Pengguna
Anggaran di APBN Tahun 2012.
Sementara itu permasalahan yang masih dalam proses tindak lanjut antara lain: (1) Mengupayakan
amandemen formulasi perhitungan sharing antara Pemerintah dengan KKKS yang disesuaikan dengantax
treaty; (2) Perbaikan sistem pengelolaan perpajakan KKKS; (3) Perbaikan peraturan penetapan objek PBB
Migas; (4) Penertiban pungutan PNBP dan/atau penyetoran PNBP dan hibah langsung di KL; (5) Penertiban
dan penyempurnaan sistem pencatatan transaksi-transaksi non anggaran dan transaksi lain yang
mempengaruhi SAL; (6) Penyempurnaan regulasi dana pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
penyusunan aturan teknis mengenai tata cara pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban potongan
gaji PNS untuk iuran dana pensiun yang dititipkan Menteri Keuangan kepada PT Taspen (Persero); dan (7)
Penyelesaian IP Aset tetap, Aset KKKS, dan Aset Eks BPPN serta penyempurnaan pembukuannya.
8

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

Opini atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL) dan bagian anggaran bendahara umum
negara (BA BUN) banyak mengalami peningkatan. Opini atas LKKL dan LK BA BUN yang merupakan
elemen utama LKPP, menunjukkan kemajuan yang signifikan. Jumlah KL/BA BUN yang memperoleh opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 terdapat
45 KL/BA BUN yang memperoleh opini WTP, kemudian meningkat menjadi 53 KL/BA BUN pada tahun
2010 dan 67 KL/BA BUN pada tahun 2011.
Perkembangan Opini Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) Tahun
2009-2011
Opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
Tidak Wajar (TW)
Jumlah Entitas Pelaporan

2009
45
26
8
79

Tahun
2010
53
29
2
84

2011
67
18
2
87

BPK RI berharap DPR RI dapat membantu tindak lanjut LHP atas LKPP oleh Pemerintah sehingga
tidak ada masalah yang sama pada tahun berikutnya dan kualitas LKPP dapat terus ditingkatkan oleh
Pemerintah.
IHPS II Tahun 2011 memuat: (1) hasil pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2011, (2) hasil
pemantauan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, dan (3) hasil pemantauan
penyelesaian kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya hasil pemantauan terhadap tindak lanjut laporan
hasil pemeriksaan BPK yang mengandung unsur pidana yang disampaikan kepada instansi yang berwenang
(aparat penegak hukum).
Objek pemeriksaan BPK pada Semester II Tahun 2011 terdiri atas entitas pemerintah pusat,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan BHMN/BLU yang mengelola keuangan negara, seluruhnya
berjumlah 927 objek pemeriksaan.
Pemeriksaan diprioritaskan pada pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
(PDTT). Selain prioritas pemeriksaan tersebut, BPK juga melakukan pemeriksaan keuangan atas laporan
keuangan pemerintah daerah (LKPD) tahun 2010 yang belum diperiksa dan atau dilaporkan pada semester I
Tahun 2011 dan pemeriksaan atas laporan keuangan (LK) badan lainnya.
Temuan pemeriksaan BPK dalam Semester II Tahun 2011 meliputi 12.612 kasus senilai Rp20,25
triliun, diantaranya sebanyak 4.941 kasus senilai Rp13,25 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang
mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan. Dari temuan senilai Rp13,25 triliun
tersebut,

telah

ditindaklanjuti

oleh

entitas

yang

diperiksa

dengan

penyetoran

ke

kas

negara/daerah/perusahaan senilai Rp81,71 miliar. Selain temuan ketidakpatuhan, dilaporkan pula temuan
9

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

pemeriksaan berupa ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebanyak 1.056 kasus senilai
Rp6,99 triliun dan temuan penyimpangan adminstrasi dan kelemahan system pengendalian intern (SPI)
sebanyak 6.615 kasus.
Pemeriksaan Keuangan dilakukan atas 158 LKPD Tahun 2010 serta 8 laporan keuangan BUMN
dan badan lainnya. Dengan telah diselesaikannya pemeriksaan keuangan atas 158 LKPD Tahun 2010, maka
dalam tahun 2011 BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan atas 516 LKPD Tahun 2010 dari 524
pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang wajib menyusun LKPD Tahun 2010. Dari 516 LKPD Tahun
2010 yang diperiksa tahun 2011, BPK telah memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas 34
LKPD (7%), opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas 341 LKPD (66%), opini tidak wajar (TW) atas
26 LKPD (5%), dan opini tidak menyatakan pendapat (TMP) atas 115 LKPD (22%).
Terhadap pemeriksaan keuangan atas 8 laporan keuangan BUMN dan badan lainnya, BPK memberikan
opini WTP untuk LK BP Migas Tahun 2009 dan 2010, dan opini WDP untuk LK PDAM Kota Padang dan
PDAM Tirta Kerja Raharja Kabupaten Tangerang Tahun 2010, LK Dana Abadi Umat (DAU) Tahun 2008,
2009, 2010, dan LK BP Batam Tahun 2010.
Pemeriksaan Kinerja dilakukan atas 143 objek pemeriksaan, terdiri atas 30 objek pemeriksaan di
lingkungan pemerintah pusat, 56 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah, 9 objek pemeriksaan
di lingkungan BUMN, 29 objek pemeriksaan di lingkungan BUMD, dan 19 objek pemeriksaan di
lingkungan BLU. Pemeriksaan meliputi : (1) pelayanan kesehatan rumah sakit dan dinas kesehatan; (2)
pengelolaan PDAM; (3) pengelolaan pendidikan; (4) upaya pengendalian korupsi; (5) efektivitas
pengendalian pertumbuhan penduduk; (6) penetapan formasi dan pengadaan PNS; dan (7) efektivitas
perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan monitoring dalam kegiatan bisnis perbankan. Hasil pemeriksaan
kinerja pada umumnya mengungkapkan belum efektifnya suatu kegiatan atau program, diantaranya : (1)
pelayanan kesehatan rumah sakit dan dinas kesehatan kurang efektif karena kelemahan-kelemahan seperti
pelayanan kesehatan di ruang rawat inap kelas tiga belum sesuai standar dan adanya tambahan kenaikan
harga obat yang dibebankan pada pasien; (2) pengelolaan pendidikan belum efektif yang ditunjukkan
dengan antara lain entitas yang masih belum memiliki database kependidikan dan belum terpenuhinya
standar pelayanan minimal pemenuhan sarana dan prasarana serta tenaga pendidik.
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dilakukan atas 618 objek pemeriksaan, terdiri atas
190 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah pusat, 363 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah
daerah, 28 objek pemeriksaan di lingkungan BUMN, 36 objek di lingkungan BUMD, dan 1 objek
pemeriksaan di lingkungan BHMN/BLU/badan lainnya. PDTT dikelompokkan dalam 10 tema yaitu : 1)
pengelolaan pendapatan; 2) pelaksanaan belanja; 3) pengelolaan barang milik negara/daerah; 4) penyertaan
modal daerah; 5) pelaksanaan kontrak kerjasama minyak dan gas bumi; 6) pelaksanaan kewajiban
pelayanan umum; 7) reviu sistem pengendalian intern BUMN; 8,) operasional BUMN; 9) operasional
RSUD/RSKD, PDAM dan BUMD lainnya; 10) operasional bank daerah. Hasil PDTT mengungkapkan
10

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

2.309 kasus kelemahan SPI dan 5.744 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan
senilai Rp18.32 triliun, diantaranya sebanyak 3.507 kasus senilai Rp11,83 triliun merupakan temuan
kerugian, potensi kerugian, kekurangan penerimaan. Selama proses pemeriksaan temuan tersebut telah
ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp61,04 miliar.
Pemantauan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan menunjukkan bahwa dari sebanyak
216.122 rekomendasi senilai Rp121,34 triliun dalam hasil pemeriksaan tahun 2005 sampai dengan Semester
II Tahun 2011. Sebanyak 127.310 rekomendasi senilai Rp51,53 triliun telah ditindaklanjuti sesuai dengan
rekomendasi. Sebanyak 47.094 rekomendasi senilai Rp45,43 triliun ditindaklanjuti belum sesuai dengan
rekomendasi atau dalam proses tindak lanjut, dan sebanyak 41.718 rekomendasi senilaiRp24,37 triliun
belum ditindaklanjuti. Entitas telah menindaklanjuti rekomendasi BPK Tahun 2005 s.d. Semester II Tahun
2011 berupa penyetoran sejumlah uang ke kas atau penyerahan aset ke negara/daerah/perusahaan senilai
Rp30,33 triliun.
Pemantauan penyelesaian kerugian negara/daerah menunjukan dari sebanyak 16.778 kasus
kerugian negara senilai Rp4,32 triliun periode akhir Tahun 2003 s.d. Semester II Tahun 2011 telah
dilakukan penyelesaian berupa angsuran terpantau sebanyak 4.401 kasus senilai Rp550,01 miliar, pelunasan
sebanyak 6.794 kasus senilai Rp712,83 miliar, dan penghapusan kerugian negara/daerah atas 125 kasus
senilai Rp12,43 miliar. Sisa kasus kerugian negara/daerah adalah sebanyak 9.859 kasus senilai Rp3,04
triliun.
Pemantauan

terhadap hasil pemeriksaan

BPK berindikasi tindak pidana korupsi yang

disampaikan kepada instansi yang berwenang (aparat penegak hukum) menunjukkan bahwa sejak
tahun 2003 s.d. akhir tahun 2011, jumlah LHP BPK berindikasi tindak pidana yang telah disampaikan
kepada instansi berwenang adalah sebanyak 318 kasus senilai Rp33,87 triliun, diantaranya 13 kasus telah
disampaikan BPK kepada aparat penegak hukum pada periode Semester II Tahun 2011. Dari 318 kasus yang
diserahkan tersebut, instansi yang berwenang yaitu Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) telah menindaklanjuti 186 kasus berupa pelimpahan kepada jajaran/penyidik lainnya
sebanyak 37 kasus, ekspos/telaahan/koordinasi sebanyak 21 kasus, penyelidikan sebanyak 30 kasus,
penyidikan sebanyak 10 kasus, proses sidang sebanyak

2 kasus, penuntutan sebanyak 11 kasus,

vonis/banding/kasasi sebanyak 64 kasus, dan SP3 sebanyak 11 kasus. Sisa kasus yang belum ditindaklanjuti
atau tidak ada data tindak lanjutnya sebanyak 132 kasus.

C. Kesimpulan
Yang dapat saya simpulkan adalah penilaian BPK dalam audit laporan keuangan yang dilakukannya
ditujukan bukan untuk menilai kinerja apalagi mencari adanya tindak pidana korupsi sehingga jika
memperoleh opini WTP belum tentu bebas dari korupsi.
11

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

Pemeriksaan keuangan tidak ditujuan untuk menemukan fraud atau korupsi tapi jika auditor menemukan
ada kecurangan akan memperluas pemeriksaan.
Kementerian dan lembaga pemerintah yang laporan keuangannya mendapat opini wajar tanpa
pengecualian belum tentu bebas dari korupsi. Pemeriksaan keuangan bukan untuk melihat ada tidaknya
korupsi, melainkan untuk mengetahui apakah laporan keuangan disajikan secara sesuai standar akuntansi
pemerintah atau belum.
Dengan demikian, opini wajar tanpa pengecualian (WTP) tidak bisa dijadikan tameng untuk menyatakan
suatu kementerian atau lembaga bersih dan korupsi.
Banyak kesalahpahaman mengenai opini BPK. Banyak yang beranggapan, kementerian yang mendapat
opini WTP dari BPK berarti bersih dari korupsi. Kondisi ini akhirnya menimbulkan polemik, salah satunya
terkait laporan keuangan Kementerian Agama tahun 2011.
Pada tahun 2011, BPK memberikan opini WTP untuk laporan keuangan Kemenag. Namun, kemudian
terungkap ada korupsi pengadaan AL Quran pada kementerian tersebut.
Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan
laporan keuangan. Jadi, sepanjang disajikan secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan keuangan bisa
saja mendapat opini WTP meskipun sebenarnya mengandung korupsi.
Meski demikian bukan berarti BPK tidak menemukan kejanggalan atau penyelewengan saat
memeriksa keuangan kementerian atau lembaga. Namun, untuk mengusut kasus korupsi, BPK akan
melakukan pemeriksaan lain, yakni pemeriksaan dengan tujuan tertentu, seperti pada Kemenag.
Terkait pemeriksaan keuangan, ada empat opini yang bisa diberikan BPK., yakni berturut-turut WTP, wajar
dengan pengecualian (WDP), tidak memberikan pendapat (disclaimer), dan tidak wajar.
predikat WTP itu cuma pertanda tercapainya tertib administrasi sesuai standar prosedural, bukan jaminan tak
ada lagi korupsi.
Pertama, karena BPK hanya mengaudit berkas untuk memastikan semua dilakukan sesuai ketentuan
dan procedural. Kedua, juga BPK tidak mengaudit proses on the spot yang mengawasi setiap tahapan
pekerjaan.
Audit proses (seharusnya) dilakukan internal auditor (inspektorat), tapi cenderung absen fungsinya.
Juga bukan audit investigasi, mencari penyimpangan dengan mengusut kembali prosesnya secara post
factum Jadi, WTP bukan ukuran tak ada lagi korupsi. Sebaliknya, tertib administrasi itu justru menambah
sulit pengungkapan korupsi karena selama ini malah cenderung digunakan untuk menyelubungi korupsi.
Administrasi keuangan pemerintah seharusnya berjalan dengan tiga dimensi due process of control
—pertama, kontrol prosedural sejalan dengan kontrol materinya, seperti belanja semen 10 sak apakah
prosedur

administrasinya

benar,

lalu

apakah

yang diterima dan dipakai.
12

materinya

benar

10

sak

semen

Gigih Surya Prakasa 103060017337 e-mail: gigihprakasa@gmail.com

Kedua, kontrol internal (inspektorat) sejalan dengan eksternal (BPK). Ketiga, kontrol proses penerimaan
anggaran sejalan dengan kontrol pengeluarannya.

D. Referensi
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan
Negara
4. http://widiyaiswaradki.blogspot.com/2008/07/mengenal-jenis-pemeriksaan-badan.html. “Mengenal Jenis
Pemeriksaan Badan Pmeriksa Keuangan”. diunduh pada tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
5. http://www.bandarlampung.bpk.go.id/web/?p=2119, ”KPK Curigai BPK Mengobral WTP?”, diunduh
pada tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
6. http://www.bpk.go.id/web/?p=12408. “Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2011”. diunduh pada
tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
7. http://www.bpk.go.id/web/?p=12826. “Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2011 Wajar Dengan
Pengecualian. diunduh pada tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
8. http://www.bpk.go.id/web/?p=13299. “Opini WTP Tidak Menjamin Entitas Bebas Korupsi. diunduh
pada tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
9. http://www.bpk.go.id/web/?p=13302. “Opini WTP Belum Tentu Bebas Korupsi. diunduh pada tanggal
29 Juli 2012 pukul 22.53
10. http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/04/05/89719/
bpk_opini_wtp_tidak_jamin_bebas_indikasi_korupsi/#.UBVOOLQ0Mk0. “BPK: Opini WTP Tidak
Jamin Bebas Indikasi Korupsi”. diunduh pada tanggal 29 Juli 2012 pukul 22.53
11. http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/07/19/106918/
bpk_kementerian_atau_lembaga_dapat_wtp_belum_tentu_bersih/#.UBVONLQ0Mk1.

“BPK:

Kementerian atau Lembaga Dapat WTP? Belum Tentu Bersih!”. diunduh pada tanggal 29 Juli 2012
pukul 22.53

13