BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kolektibilitas Pembiayaan Bermasalah pada PT. Bank X Syariah Kantor Cabang Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bank Syariah

  Menurut Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Adapun menurut Undang-Undang No.

  21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah ”Bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.” Kehadiran Bank Syariah ditengah-tengah perbankan konvensional adalah untuk menawarkan sistem perbankan bagi umat Islam yang bebas dari sistem bunga atau riba.

  Bank Syariah bukan sekedar bank bebas bunga, tetapi juga memiliki orientasi pencapaian kesejahteraan. Adapun beberapa karakteristik Bank Syariah, 1) Penghapusan riba

  2) Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosio ekonomi Islam 3) Bank Syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari Bank komersial dan Bank investasi 4) Bank Syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap

  Bank komersial syariah menerapkan profit and loss sharing dalam konsinyasi, ventura, bisnis, atau industri 5) Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara Bank Syariah dan pengusaha 6) Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi kesulitan likuiditasnya dengan memanfaatkan instrumen pasar uang antar Bank Syariah dan instrumen bank sentral berbasis syariah.

  (Himpunan Peraturan Perundang-undangan: Perbankan Syariah)

2.2 Pembiayaan Bank Syariah

  Pembiayaan merupakan urat nadi penghidupan dari life circle-nya sebuah industri perbankan terlebih lagi pada perbankan syariah. Akan tetapi penyaluran pembiayaan yang dilakukan harus memenuhi prinsip kehati-hatian dan penerapan prinsip syariah. Pembiayaan di Bank Syariah seharusya berbeda dengan konvensional, Bank Syariah memiliki pendekatan yang berbeda dalam

  Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti Bank Syariah kepada nasabah.

  Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain.

  Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan Islam atau istilah dana Bank Islam baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing dalam benutk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga Islam, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen, dan kontinjensi pada rekening administratif serta sertifikat wadiah.

  Berbeda dengan pengertian kredit yang mengharuskan debitur mengembalikan pinjaman dengan pemberian bunga kepada Bank, maka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pengembalian pinjaman dengan bagi hasil berdasarkan kesepakatan antara Bank dan debitur. Misalnya, pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa.

2.3 Pembiayaan Bermasalah

2.3.1 Pengertian Pembiayaan Bermasalah

  Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti Bank Syariah yang dalam pelaksanaan tidak lancar, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran sehingga hal-hal tersebut memberikan dampak negatif bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).

  Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu dari risiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman A. Karim (2006) menjelaskan bahwa risiko memenuhi kewajibannya. Dalam Bank Syariah, risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait dengan pembiayaan korporasi.

  Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu risiko yang pasti dihadapi oleh setiap Bank karena risiko ini sering juga disebut dengan risiko kredit. Robert Tampubolon (2004) menjelaskan bahwa risiko kredit adalah eksposur yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya.

  Disatu sisi risiko ini dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional Bank seperti penyaluran pinjaman, kegiatan treasury dan investasi, dan kegiatan jasa pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam buku Bank. Disisi lain risiko ini timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan atau ketidakmauan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Dalam hal ini yang menjadi perhatian bank bukan hanya kondisi keuangan dan nilai pasar tetapi juga kondisi makro yang secara menyeluruh mempengaruhinya seperti Inflasi, suku bunga BI dan juga Kurs mata uang.

2.3.2 Pengertian Non Performing Finance (NPF)

  Dalam menyalurkan pembiayaan, bank mempunyai harapan agar pembiayaan tersebut mempunyai resiko minimal dalam arti dapat dikembalikan sepenuhnya tepat pada waktunya dan tidak terjadi pembiayaan bermasalah. Namun pada kenyataannya, bila Bank gagal dalam mengelola resiko tersebut dalam hubungannya dengan pembiayaan Bank akan timbul pembiayaan

  Non Performing Finance (NPF) adalah salah satu indikator kunci untuk

  menilai kinerja fungsi bank, karena NPF yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis antara lain timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), Rentabilitas (utang tidak bisa ditagih), Solvabilitas (Modal berkurang) . Sedangkan laba yang merosot adalah salah satu imbasnya karena praktis bank kehilangan sumber pendapatan di samping harus menyisihkan pencadangan sesuai kolektibilitas pembiayaan. Selektifitas dan kehati-hatian yang dilakukan manajemen dalam memberikan pembiyaan dapat mengurangi risiko pembiyaan bermasalah, oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik agar memiliki kinerja NPF yang baik.

  Menurut Mahmoedin (2002), menambahkan pengertian kredit/pembiayaan bermasalah dalam dua konsep yang berbeda yaitu:

  1. Pengertian Konsep Perbankan, yaitu kredit yang berada dalam klasifikasi diragukan dan macet (Non Performing Finance). Bank yang konservatif memandang pembiayaan yang diberikannya sebagai aset yang beresiko (risk pemberian pinjaman. Jika risk management ini tidak ada, maka pembiyaan menjadi bermasalah.

  2. Pengertian Konsep Akuntansi, yaitu pemberian kredit yang beresiko tinggi, sehingga memaksa bank harus menyisihkan sebagian keuntungannya guna menghadapi resiko kegagalan pengembalian pembiayaan.

2.3.3 Aspek Penilaian Pengajuan Pembiayaan

  Berkaitan dengan pembiayaan di lembaga keuangan syariah, dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan BankSyariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah, sehingga bisa mengurangi tingkat pembiayaan bermasalah calon nasabah. Menurut Kasmir (2002) di dunia perbankan aspek penilaian dikenal dengan 5 C + 1 S , yaitu :

  1) Character

  Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya.

  2) Capacity

  Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.

  3) Capital

  Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya.

  Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu risiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.

  5) Condition

  Bank Syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan.

  6) Syariah

  Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan diberikan pembiyaan benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah

  “Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah.”

  Selain dari aspek prinsip dari 5P+1S di atas, dalam penilaian pengajuan pembiayaan dan kredit, perlu di perhatikan pula penilaian aspek dengan Prinsip

  5P, yaitu:

  Yang dimaksud dengan party disini adalah mencoba menggolongkan calon peminjam kedalam kelompok tertentu menurut character, capacity, dan capital dengan jalan penilaian atas ke 3 C tersebut. 2) Purpose (Tujuan)

  Yaitu tujuan penggunaan kredit yang diajukan, apa tujuan yang sebenarnya (real purpose) dari kredit tersebut, apakah mempunyai aspek- aspek sosial yang positif dan luas atau tidak. Bagaimana backward linkage (keterkaitan kehulu) dan forward linkage (keterkaitan kehilir).

  Selanjutnya juga sebagai kreditur, maka Bank harus memperhatikan apakah kreditnya benar-benar sesuai dengan tujuan semula.

  3) Payment (Sumber Pembayaran)

  Setelah mengetahui real purpose dari kredit tersebut maka hendaknya diperkirakan dan dihitung kemungkinan-kemungkinan besarnya pendapatan yang akan dicapai atau dihasilkan.

  4) Profitability (Kemampuan Untuk Mendapat Keuntungan)

  dicapai oleh debitur semata-semata, melainkan pula dinilai dan dihitung keuntungan-keuntungan yang mungkin akan dicapai oleh bank, apabila memberikan kredit terhadap debitur tertentu, dibandingkan dengan jika kepada debitur lain atau kalau tidak memberi kredit sama sekali.

  5) Protection (perlindungan)

  Yaitu untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diduga antara lain dengan jalan meminta collateral/jaminan/agunan dari debiturnya bahkan mungkin pula baik jaminannya/agunannya maupun kreditnya diasuransikan.

  Terdapat satu asas lagi yang harus dianalisis sebelum memberikan kredit yaitu asas 3R.

  1) Returns

  Returns adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon

  debitur setelah memperoleh kredit. Apabila hasil yang diperoleh cukup untuk membayar pinjamannya dan sekaligus membantu perkembangan usaha calon debitur bersangkutan maka kredit diberikan dan begitu pula sebaliknya.

  2) Repayment

  Repayment adalah memperhitungkan kemampuan, jadwal, dan jangka

  waktu pembayaran kredit oleh calon debitur, tetapi perusahaanya tetap 3) Risk Bearing Ability

  Risk bearing ability adalah memperhitungkan besarnya kemampuan

  perusahaan calon debitur untuk menghadapi risiko, apakah risikonya besar atau kecil. Kemampuan perusahaan menghadapi risiko ditentukan oleh besarnya modal dan strukturnya, jenis bidang usaha dan manajemen perusahaan bersangkutan. Apabila risk bearing ability perusahaan besar

2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Bermasalah

  Terjadinya pembiayaan bermasalah merupakan hal yang umum dalam dunia perbankan. Munculnya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh kesalahan bank dan atau nasabah tetapi dapat juga karena faktor Eksternal (Makro) antara lalin disebabkan karena menurunnya kondisi ekonomi dan moneter negara atau sektor usaha, resesi ekonomi, kejutan disisi penawaran seperti naiknya harga minyak yang melanda negara-negara maju tahun 1974, maupun krisis yang melanda Indonesia tahun 1997-1998

  Secara Makro, faktor-faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah adalah sebagai berikut:

  1. Inflasi Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus Sukirno (2002). Sebagai akibat dari inflasi adalah turunnya nilai uang , meskipun pembiayaan bank berjalan lancar waktu, nilai uang tetap turun karena inflasi, sehingga daya beli uang menjadi lebih rendah dibanding sebelumnya yaitu pada saat pembiayaan diberikan, apalagi bila pembiayaan tidak berjalan lancar (bermasalah)

  2. Margin keuntungan bank Pengaruh perubahan margin keuntungan bank terhadap perubahan

  NPF adalah dengan naiknya margin mengakibatkan nasabah menambah harga barang produksinya, semakin tinggi harga barang yang dijual maupun diproduksi maka minat masyarakat untuk membeli akan berkurang sehingga memilih barang substitusi lainnya. Jika ini terjadi maka kemungkinan terjadinya kolektibilitas pembiayaan bermasalah (non

  performing finance) semakin besar dan meningkat

  3. Kurs Penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing tertentu. Biasanya tujuan pemerintah melakukan perubahan Kurs ini adalah dalam rangka peningkatan ekspor, agar kemampuan mata uang asing membeli barang-barang dalam negri bertambah. Tetapi dibalik usaha ini dapat berakibat negatif bagi impor.

  Jika sebagian atau beberapa bagian komponen dari produksi dalam negeri menggunakan barang impor, maka perencanaan yang sudah disesuaikan dengan bantuan kredit selama ini menjadi terganggu. Harga pembiayaan selama ini menjadi teranggu. Harga barang impor menjadi mahal dan biaya produksi menjadi lebih tinggi . Jika kenaikan biaya diikuti dengan kenaikan harga jual dapat berakibat turunnya volume penjualan.

  Sebaliknya jika kenaikan harga beli tidak diikuti dengan kenaikan harga jual, dapat berakibatnya tipisnya keuntungan bahkan dapat menimbulkan kerugian.

  Akibat yang lebih berbahaya lagi adalah jika nasabah baru saja mencairkan pembiayaan investasi dengan mendatangkan mesin-mesin dari luar negri, lalu devaluasi menyebabkan harga barang investasi yang dibeli dengan mata uang asing menjadi lebih mahal. Hal ini akan merusak secara total investasi tersebut. (Mahmoedin 1995)

2.3.5 Penggolongan Kolektibilitas Pembiayaan

  Penggolongan kualitas kredit berdasarkan Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998, yaitu sebagai berikut:

  1. Lancar (Kolektibilitas 1) yaitu apabila memenuhi kriteria :

  a) Pembayaran angsuran pokok dan/ atau margin tepat

  c) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral)

  2. Dalam perhatian khusus (Kolektibilitas 2) yaitu apabila memenuhi kriteria:

  a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau margin yang belum melampaui 90 hari b) Mutasi rekening relatif rendah

  c) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau d)

  3. Kurang Lancar (Kolektibilitas 3) yaitu apabila memenuhi kriteria:

  a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 90 hari b) Sering terjadi cerukan

  c) Frekuensi mutasi rekening relatif rendah

  d) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari

  e) Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau dokumen yang lemah.

  4. Diragukan (Kolektibilitas 4) yaitu apabila memenuhi kriteria :

  a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 180 hari b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen

  c) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari

  d) Terjadi kapitalisasi bunga pengikatan jaminan.

  5. Kredit Macet (Kolektibilitas 5)

  a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 270 hari b) kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

  Kredit dengan kolektibilitas lancar (Kolektibilitas 1) adalah masuk dalam criteria Perporming Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian khusus (Kolektibilitas 2), kurang lancar (Kolektibilitas 3), diragukan (Kolektibilitas 4), dan kredit macet (Kolektibilitas 5) masuk dalam kriteia kedit bermasalah (non-performing finance). Walaupun suatu kredit memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, dan diragukan, namun apabila menurut penilaian keadaan usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas yang lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan yang ditentukan oleh Bank Indonesia.

2.3.6 Mananjemen Risiko Pembiayaan Syariah

  (1) Resiko Pembiayaan Risiko pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko pembiayaan dapat

  (penyediaan dana), treasury, dan investasi, dan pembiayaan perdagangan yang tercatat dalam banking book ataupun trading book. Risiko pembiayaan merupakan risiko yang paling krusial dalam dunia perbankan. Hal ini dikarenakan kegagalan bank dalam mengelola risiko ini, dapat memicu munculnya risiko likuiditas, suku bunga, penurunan kualitas asset dan risiko-risiko lainnya.Tingkat risiko pembiayaan yang dimiliki bank, memiliki efek negatif bagi kualitas aset yang

  Setelah dijelaskan mengenai prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pembiayaan (5C+1S) untuk menilai dan mengetahui tingkat dari suatu pembiayaan bermasalah tersebut, maka dalam manajemen perbankan syariah, khususnya dalam masalah yang dihadapi oleh setiap perbankan dan lembaga keuangan seperti dalam hal risiko pembiayaan perlu kita kaji bagaimana manajemen pembiayaan atau kredit pada Bank Syariah atau Lembaga Keuangan Syariah.

  Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Khaerudin Syah Nasution mengenai masalah manajemen kredit syariah dijelaskan bahwa Risiko Bank Syariah sebetulnya lebih kecil dibanding Bank konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di Bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.

  Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit, yang

  a) Aspek pemasaran. Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat, keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain sebagainya

  b) Aspek teknis. Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi, mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku c) Aspek manajemen. Meliputi struktur dan susunan organisasi, d) Aspek yuridis. Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin usaha dan legalitas barang jaminan e) Aspek sosial ekonomi. Meliputi keadaan keuangan perusahaan debitur yang dibiayai.

  (2) Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi Komisaris bertanggungjawab dalam melakukan persetujuan dan peninjauan berkala atau sekurang kurangnya secara tahunan mengenai strategi dan risiko pembiayaan pada bank. Strategi dan kebijakan tersebut harus:

  (a) Mencerminkan batas toleransi bank (bank’s tolerance) terhadap risiko dan tingkat probabilitas pendapatan yang diharapkan akan diperoleh secara terus menerus dengan memperhatikan siklus dan perubahan kondisi ekonomi

  (b) Memperhatikan siklus perekonomian domestik dan internasional, dan perubahan-perubahan yang dapat memengaruhi komposisi dan kualitas (c) Dirancang untuk keperluan jangka penjang dengan penyesuaian yang di perlukan Direksi bertanggung jawab untuk mengimplikasikan strategi dan kebijakan risiko pembiayaan serta mengembangkan prosedur identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko pembiayaan. Kebijakan dan prosedur yang

  (a) Mendukung standar pemberian pembiayaan yang sehat, (b) Memantau dan mengendalikan risiko pembiayaan, dan (c) Mengidentifikasi dan menangani pembiayaan bermasalah.

  Bank harus mengidentifikasikan dan mengelola risiko pembiayaan yang melekat pada seluruh produk dan aktivitas baru serta memastikan bahwa risiko dari produk dan aktivitas baru telah melalui proses pengendalian manajemen risiko yang layak sebelum diperkenalkan atau dijalankan, dan harus disetujui oleh Direksi atau direkomendasikan oleh Komite Manajemen Risiko terlebih dahulu.

  (3) Proses Identifikasi, Pengukuran Manajemen Risiko Pembiayaan (1) Identifikasi Risiko Pembiayaan

  a) Bank harus mengidentifikasi risiko pembiayaan yang melekat pada seluruh produk dan aktivitasnya. Identifikasi risiko pembiayaan tersebut merupakan hasil kajian terhadap karakteristik risiko pembiayaan yang melekat pada aktivitas

  

treasury dan investasi, dan pembiayaan perdagangan

  b) Untuk kegiatan pembiayaan dan jasa pembiayaan perdagangan, penilaian risiko pembiayaan harus memperhatikan kondisi keuangan debitur, dan khususnya kemampuan membayar secara tepat waktu, serta jaminan atau agunan yang diberikan. Untuk risiko debitur, penilaian harus mencakup analisis terhadap saham dan manajer, kondisi laporan keuangan terakhir, serta proyeksi arus kas, kualitas rencana bisnis, dan dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung analisis menyeluruh terhadap kondisi dan kredibilitas debitur.

  c) Untuk kegiatan treasury dan investasi, penilaian risiko pembiayaan harus memperhatikan counterparty, rating, karakteristik, instrumen, jenis transaksi yang dilakukan dan likuiditas pasar serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi risiko pembiayaan.

  (4) Pengukuran Risiko Pembiayaan Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengukuran risiko pembiayaan adalah sebagai berikut: a) Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk melakukan pengukuran risiko yang memungkinkan untuk: Sentralisasi eksposur on balance sheet dan off per kelompok debitur dan atau counterparty tertentu mengacu pada konsep single obligor. Penilaian perbedaan kategori tingkat risiko pembiyaan dengan menggunakan kombinasi aspek kualitatif dan kuantitatif data dan pemilihan kriteria tertentu.Distribusi informasi hasil pngukuran risiko secara lengkap untuk tujuan pemantauan oleh satuan kerja terkait

  b) Sistem pengukuran risiko pembiayaan sepatutnya mempertimbangkan: debitur/counterparty serta persyaratan dalam perjanjian pembiayaan seperti dalam jangka waktu dan tingkat interest, Jangka waktu pembiayaan (maturity profile) dikaitan dengan perubahan potensial yang terjadi di pasar, aspek jaminan/agunan dan/atau garansi, potensi terjadinya kegagalan membayar (default), baik berdasarkan hasil penilaian pendekatan konvensional maupun hasil penlaian pendekatan yang menggunakan proses pemeringkatan yang dilakukan secara interen (internal risk rating), kemampuan Bank untuk menyerap potensi kegagalan (default) c) Bagi Bank yang menggunakan teknik pengukuran risiko dengan menggunakan pendekatan internal risk rating harus menggunakan validasi data secara berkala

  d) Parameter yang digunakan dalam mengukur risiko pembiayaan antara lain mencakup:

1. Non Performing Finance (NPF)

  3. Kecukupan agunan

  4. Pertumbuhan pembiayaan

5. Non Performing Portofolio treasury dan investasi (non pembiayaan).

  6. Komposisi portofolio treasury dan investasi (antar Bank, surat berharga dan penyertaan)

  7. Kecukupan cadangan transaksi treasury dan investasi

  9. Konsentrasi pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan.

  (5) Upaya Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah hanya dianjurkan bilamana bank mempunyai keyakinan bahwa operasi bisnis dan kondisi keuangan debitur masih dapat diperbaiki. Untuk itu harus dilakukan analisis khusus guna menilai prospek masa depan perusahaan debitur.

  A. Wangsawidjaja (2012) menjelaskan untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah, bank dapat melakukan berbagai macam upaya. Tiga macam upaya diantara berbagai macam upaya penyelamatan yang sering kali dilakukan oleh bank adalah:

  1) Penjadwalan kembali (rescheduling) Tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit atau jangka waktu angsuran. Dalam hal ini si debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu kredit pembayaran kredit, misalnya perpanjangan waktu yang lebih lama utuk mengembalikannya. Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu angsuran kreditnya diperpanjang pembayaranyapun missal 36 kali menjadi 48 kali dan halitu tentu saja jumlah angsurannya pun menjadi mengecil seiring denganpenambahan jumlah angsuran.

  2) Penataan kembali persyaratan pembiayaan (reconditioning)

  Reconditioning maksudnya adalah bank mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti :  Kapitalisasi bunga, yaitu bunga dijadikan hutang pokok  Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu. Dalam hal ini penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.

   Penurunan margin keuntungan bank. Penurunan ini dimaksudkan agar lebih meringgankan beban nasabah.sebagai contoh jika margin per tahun sebelumnya dibebankan 20 % per tahun diturunkan menjadi 18% per tahun. Hal ini tergantung dari pertimbangan bank yang bersangkutan. Penurunan margin akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah. 3) Restruktur (restructuring) Retructuring merupakan tindakan bank kepada nasabah dengan cara menambah modal nasabah dengan pertimbangan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang masih layak. Tindakan ini meliputi dengan menambah jumlah kredit yaitu menambah equity dengan menyetor uang tuani atau tambahan dari pemilik.

  4) Kombinasi Merupakan kombinasi dari ketiga jenis di atas. Seorang nasabah dapat misalnya jangka waktu diperpanjang pembayaran bunga ditunda atau Reconditioning dengan Rescheduling misalnya jangka waktu diperpanjang modal ditambah.

  5) Penyitaan jaminan Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah benar- benar tidak punya etikad baik ataupun sudah sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua hutang-hutangnya.

2.4 Inflasi

  Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Sukirno, 2002). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar dan terus-menerus, bukanlah merupakan inflasi. Kenaikan sejumlah bentuk barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus- menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.

  Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity

  

effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional

masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Sukirno, 2002).

  1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect).

  Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang di mana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat.

  2. Efek terhadap Efisiensi ( Efficiency Effects).

  Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu.

  3. Efek terhadap Output (Output Effects).

  Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output.

  Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent ( kalau perlu uang, cetak saja ). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka inflasi inti masih lebih besar daripada 5 persen setahun.

2.5. Margin Bank

  Hutapea dan Kasri (2010) mengatakan margin bank umumnya didefinisikan sebagai selisih pendapatan pembiayaan dalam aktiva bank dan beban pembiayaan dalam kewajiban bank yang mana kemudian dibagi aktiva bank atau aktiva produktif (Ho dan Saunders, 1981; Angbazo, 1997; Saunders dan Schumacher, 2000). Sebagai perantara keuangan, Bank Syariah dan Bank Konvensional menghadapi hal yang sama dalam operasional mereka. Antara lain mereka harus menghadapi waktu kedatangan asimetris permintaan pembiayaan dan simpanan, volatilitas bagi hasil, dan risiko pembiayaan. Margin bank pembiayaan. Sebagai cabang dari ilmu bank behaviour, sebelum 1981, tidak ada perkembangan signifikan dalam literatur mengenai margin bank. Pada waktu itu, literatur mengenai margin bank hanya merujuk pada Pyle (1971).

  Sebelumnya tidak jelas apakah margin bank yang tinggi baik atau buruk dalam perspektif kesejahteraan sosial. Disatu sisi margin yang kecil mungkin mengindikasikan sistem perbankan yang kompetitif dengan biaya intermediasi lain margin bank yang tinggi menggambarkan stabilitas dari sistem perbankan. Bank dapat menambahkan margin yang tinggi kedalam profitabilitas dan modal sehingga dapat melindungi dari risiko. Perlu diketahui, kegagalan sebuah bank dapat menyebabkan biaya sosial dan eksternal yang tinggi. Jika fungsi pasar modal tidak berjalan dengan baik, mungkin hanya margin dan keuntungan bank yang dapat digunakan untuk menambah modal bank (Saunders dan Schumacher,2000).

  Dari perspektif bank, margin bank sangat mempengaruhi profitabilitas, dimana dalam pandangan ekonomi, dipadukan dengan risiko suatu negara, variabel makroekonomi, risiko klien, persaingan, dsb. Margin bank adalah salah satu dari faktor utama yang mempengaruhi yang mempengaruhi tingkat bunga dari sektor swasta. Di sistem bank-sentris yang dominan di Eropa dimana pinjaman bank adalah adalah sumber utama dari pendanaan, faktor yang mempengaruhi kesediaan pinjaman juga mempengaruhi stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan (Dumicic dan Ridzak, 2013) efisiensi sektor perbankan, ditandai dengan biaya yang tinggi karena ketidakefisienan dari biaya operasional, dan mempunyai efek negatif dalam perkembangan perbankan dengan rendahnya investasi dan rendahnya aktivitas ekonomi. Tingginya margin bank juga dapat mengindikasikan tingginya risiko karena kebijakan yang tidak tepat dari sektor perbankan atau karena asimetri informasi yang signifikan. Disisi lain rendahnya margin bank biasanya mengindikasikan sudah berkembangnya pasar perbankan, mendorong aktivitas investasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Tetapi, keuntungan dari rendahnya biaya intermediasi akan efektif bila bank menilai risiko dengan cara yang hati-hati (Dumicic dan Ridzak, 2013).

  Margin bank dapat digunakan untuk mengukur performa bank sebagai lembaga intermediasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagai lembaga intermediasi, sektor perbankan berperan dominan dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Bank Syariah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor riil.

  Peran utama Bank Syariah adalah mendistribusikan dana untuk pembiayaan produktif berdasarkan prinsip bagi hasil. Distribusi pembiayaan syariah di sektor riil dapat dioptimalkan jika bagi hasil atau beban pembiayaan ditetapkan tidak terlalu tinggi. Beban pembiayaan yang normal akan membuat pengusaha yang meminjam uang di Bank Syariah tidak terbebani dengan beban pembiayaan yang tinggi. Beban pembiayaan yang terlalu tinggi akan mengubah pasar, mengurangi keinginan berbisnis dan juga mengurangi efektifitas dari fungsi intermediasi bank. menjadi kontra produktif (Ascarya dan Yumanita, 2010).

2.5.1 Landasan Teori dari Margin Bank

  Menurut Hutapea dan Kasri (2010), literatur mengenai margin bank dapat diklasifikasikan menjadi dua pendekatan:

1. Dealership Approach

  Dealership approach dikembangkan oleh Ho dan Saunders pada tahun

  1981 untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi NIM atau margin bank. Menurut mereka, dalam memainkan perannya sebagai dealer dan menetapkan bagi hasil pinjaman dan deposito, bank menghadapi ketidakpastian dan biaya karena permintaan pinjaman dan penyediaan simpanan adalah stokastik dalam arti bahwa mereka tiba pada waktu yang berbeda. Dengan demikian, bank harus memegang posisi panjang atau pendek di pasar uang antar bank untuk menyeimbangkan ketidakpastian yang membuatnya terkena risiko bagi hasil dan pasti mempengaruhi margin bank. Hal ini menunjukkan bahwa risk aversion yang lebih besar, ukuran transaksi bank yang lebih besar dan variasi yang lebih besar dari tingkat bagi hasil terkait dengan spread bank yang lebih besar. Ini menyiratkan bahwa meskipun pasar perbankan sangat kompetitif, asalkan manajemen bank mau menanggung risiko dan menghadapi ketidakpastian transaksi, margin bank positif akan tetap ada karena bank menyediakan dan

  Menurut Saunders dan Schumacher (2000) keengganan bank menghadapi risiko pada waktu kedatangan asimetris permintaan pinjaman dan kebutuhan simpanan membuat bank harus menetapkan suku bunga atau bagi hasil yang tepat untuk pinjaman dan simpanan untuk meminimalkan risiko dari pinjaman atau ketidakcukupan simpanan. Hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

  L

  R = (r+b)

  D dan marginnya :

  L D

  R -R = (a+b) dimana :

  L :

  R tingkat bagi hasil pinjaman

  D :

  R tingkat bagi hasil simpanan r : tingkat bagi hasil bebas risiko a dan b adalah biaya yang dibebankan oleh bank untuk menyiapkan dan menanggung risiko bagi hasil.

  NIM atau margin bank yang dirumuskan oleh Ho dan Saunders (1981) adalah: α/β adalah simbol risiko spread bank. Ketika α lebih besar dari β akan menghasilkan α/β yang besar dan spread yang besar (s). Rasio α/β adalah simbol terhadap market power atau monopoli pinjaman yang terkait dengan margin bank atau spread, R adalah simbol tingkat keengganan bank menghadapi risiko atau

  2

risk averse, adalah simbol tingkat variasi bagi hasil pinjaman dan simpanan

   bank, dan Q adalah simbol dari ukuran transaksi pinjaman perbankan.

   diatas mempunyai implikasi penting sebagai landasan bagi intermediasi keuangan.

  2 Penyesuaian risiko bank tergantung pada tiga faktor yaitu R, dan Q. Persamaan

  (Saunders dan Schumacher, 2000).

2. Model Mikrostatis

  Sebaliknya, pendekatan kedua adalah analisis perbankan dalam keadaan statis dimana permintaan pinjaman dan simpanan diketahui dengan jelas.

  Pendekatan mikrostatis dikembangkan dari kritik bahwa dealership approach gagal mempertimbangkan beberapa yang aspek relevan tentang operasional bank, seperti biaya administrasi untuk mempertahankan kontrak pinjaman atau simpanan dan struktur kelembagaan pasar perbankan (Lerner, 1981). Zarruck (1989) merintis penelitian dan menemukan bahwa bank yang menghindari risiko, beroperasi dengan spread yang lebih kecil dari bank yang mengambil risiko netral.

  Temuan ini kemudian ditentang oleh Wong (1997) yang memperluas penelitian Zarruck dengan memasukkan risiko pinjaman dan risiko bagi hasil ke dalam model. Berbeda dengan temuan Zarruck, Wong menyarankan margin bank yang lebih besar bagi bank yang menghindari risiko dibandingkan dengan bank yang mengambil risiko netral. Artinya, spread melebar ketika risiko yang dihindari berbeda, sehingga kebanyakan studi empiris pada margin bank menggunakan dealership approach (Hutapea dan Kasri, 2010).

2.6. Kurs

  2.6.1 Pengertian Kurs

  Kurs adalah jumlah satuan atau unit dari mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh atau membeli satu unit atau satuan jenis mata uang lainnya.

  Menurut Jeff Madura (2006) Kurs adalah nilai tukar untuk mata uang yang diperdagangkan secara luas disajikan setiap hari pada The Wall Street Jurnal dan pada bagian bisnis surat kabar.

  Pemerintah Indonesia biasanya berperan dalm penentuan kurs agar sampai pada tingkat yang kondusif bagi dunia usaha. Kurs khususnya kurs rupiah per Dollar sangat berkaitan erat dan mempengaruhi arus barang dan jasa serta modal dari dalam dan keluar Indonesia.

  2.6.2 Penentuan Nilai Tukar atau Kurs

  Pasar valas merupakan sebuah contoh baik dari pasar yang sangat kompetitif. Di pasar ini ada banyak pembeli dan penjual dari suatu produk yang homogen. Setiap pembeli dan penjual relative kecil dibanding seluruh pasar, sehingga tidak ada seorang pembeli atau penjual pun yang dapat mempengaruhi nilai tukar secara berarti. Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, pemerintah tidak melakukan intervensi di pasar valas dan membiarkan nilai tukar dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di pasar bebas. Pada sistem nilai tukar mengambang terkendali, pemerintah kadang kala melakukan intervensi sebagai upaya untuk mencegah pergerakan nilai tukar yang dipandang ekstrim

  Sebagai contoh Bank Indonesia berkali-kali melakukan intervensi dipasar valas untuk mendukung nilai rupiah terhadap Dollar AS dengan jalan menambah pasokan valas di pasar. Bahkan pemerintah melalui BUMN pada triwulan satu 2001 ikut serta memperkuat upaya yang dilakukan pihak Bank Indonesia. Hasil yang diperoleh dari intervensi tersebut sangat terbatas, yaitu hanya menahan nilai rupiah untuk sementara waktu dan tak mampu menolong rupiah dari keterpurukan. Namun perlu disadari, bahwa dewasa ini walaupun pemerintah ikut melakukan intervensi, volume dari kegiatan tersebut relative kecil sekali terhadap jumlah total kegiatan pihak swasta di pasar valas. Hal ini juga merupakan fenomena global.

  Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penentuan nilai tukar mata uang asing yaitu :

  1. Pendekatan Tradisional Pendekatan berdasarkan pada arus perdagangan dan paritas daya beli yang kedudukannya sangat penting untuk menjelaskan pergerakan kurs jangka panjang.

  2. Pendekatan Keuangan Pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada pasar modal dan arus permodalan internasional dan berusaha menjelaskan gejolak kurs jangka pendek yang kecenderungannya mengalami lonjakan-lonjakan tak terduga.

2.6.3 Jenis Kurs

  Terdapat beberapa jenis kurs atau nilai tukar, yaitu :

  1. Kurs Beli (Bid Price) adalah besar satuan mata uang negara lain yang harus diserahkan untuk membeli tiap unit uang asing kepada Bank atau money changer.

  2. Kurs Jual (selling price) adalah besaran satuan mata uang negara lain yang akan diterima dari bank atau money changer jika membeli mata uang asing.

  3. Kurs Spot adalah nilai valuta asing yang digunakan untuk transaksi spot dipasar valuta asing.

  4. Kurs Forward, adalah nilai tukar yang berlaku dan digunakan untuk transaksi forwad dipasar valas.

  5. Kurs Silang adalah nilai antara dua valas yang diperoleh dari nilai tukar masing-masing valuta terhadap valuta lain.

  6. Kurs Opsi adalah kurs yang ditetapkan dimuka Kurs mata uang dapat diibaratkan sebagai harga dari mata uang itu. Sama seperti harga produk, harga suatu mata uang juga ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Kurs terbentuk pada saat jumlah dan harga mata uang yang diminta sama dengan jumlah dan harga mata uang yang ditawarkan. Kondisi ini tersebut sebagai kondisi keseimbangan atau ekuilibrium

  Kondisi keseimbangan dapat berubah setiap saat, jika faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan/atau penawaran berubah. Permintaan terhadap suatu mata uang terbalik dengan harganya. Semakin tinggi nilai USD (misalnya terhadap Rupiah), maka keinginan untuk menukarkan Rupiah dengan USD akan semakin berkurang, dan begitu pula sebaliknya.

  Penawaran terhadap USD berbanding lurus dengan USD tersebut. Sebagai contoh ilustrasi, apabila USD terapresiasi Rupiah (berarti USD semakin mahal), maka harga produk-produk yang diimpor dari Indonesia menjadi lebih murah (di mata konsumen di Amerika Serikat). Konsumen di Amerika Serikat lebih suka membeli produk Indonesia karena lebih murah. Akibatnya penawaran USD akan meningkat

2.7. Penelitian sebelumnya

  Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur tingkat Non Performing Loan khususnya perbankan. Dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa penelitian yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.

  Sumatera Utara tahun 2007 yang lalu telah melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Non

  Performing Loan (NPL) pada Perbankan di Sumatera Utara”. Hipotesis

  penelitian menyatakan, terdapat pengaruh positif antara tingkat suku bunga SBI dan Inflasi terhadap penigkatan Non Performing Loan, dan berpengaruh negatif antara PDRB Sumatera Utara terhadap peningkatan bunga SBI dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan namun pengaruh nya sangat kecil, serta PDRB berpengaruh negatif dan signifikan.

  Berdasarkan uji T dan uji F juga menjelaskan bahwa tingkat suku bunga SBI, inflasi dan PDRB berpengaruh nyata terhadap peningkatan NPL perbankan di Sumatera Utara.