EFEK HEPATOPROTEKTOR PROPOLIS TERHADAP KERUSAKAN SEL HEPAR MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

SEL HEPAR MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Apriany Darma Wulan G0008199 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

commit to user

ABSTRAK

Apriany Darma Wulan, G0008199, 2011, Efek Hepatoprotektor Propolis Terhadap Kerusakan Sel Hepar Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian propolis dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol dan efek peningkatan dosis propolis dalam meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only controlled group design . Jumlah sampel sebanyak 28 ekor mencit jantan,

galur Swiss webster, umur 2-3 bulan, berat badan + 20 gr. Teknik pengambilan sampel dengan incidental sampling. Sampel dibagi dalam 4 kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Pada kelompok K dan P1, mencit diberi aquades selama 14 hari. Kelompok P2 mencit diberi propolis dosis I dan kelompok P3 mencit diberi propolis dosis II, keduanya diberikan selama 14 hari. Parasetamol diberikan pada kelompok P1, P2 dan P3 pada hari ke-12, 13 dan

14. Hari ke-15, mencit dikorbankan dan organ hepar mencit dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan HE. Gambaran histologis hepar dinilai berdasarkan penjumlahan piknosis, karioreksis dan kariolisis. Data dianalisis dengan menggunakan uji One Way ANOVA ( α = 0,05) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) ( α = 0,05).

Hasil Penelitian : Dari hasil uji One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara keempat kelompok perlakuan. Pada hasil uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna

antara KK dan KP1, KK dan KP2, KK dan KP3, KP1 dan KP2, KP1 dan KP3, serta KP2 dan KP3.

Simpulan Penelitian : Propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol dan peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol.

Kata kunci : propolis, parasetamol, kerusakan sel hepar

commit to user

ABSTRACT

Apriany Darma Wulan, G0008199, 2011, The Hepatoprotector Effect of Propolis to Liver Cell Damage of Mice (Mus musculus) which is Induced by Paracetamol . Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective : The objectives of this research are to know about the effect of propolis in preventing the liver cell damage of mice by Paracetamol and also the increase of propolis dose can increase protection effect to the hepar cell damage of mice which is induced by paracetamol.

Methods : This was laboratory experimental research with post test only controlled group design . Samples were 28 male mice, Swiss webster type, 2-3 months old age and + 20 gr of each weight. Those samples divided into 4 groups, each group has 7 mice. Sampling technique was incidental sampling. The group of K and P1, mice were given aquades for 14 days. The group of P2, mice were given a first propolis dose and the group of P3, mice were given a second propolis dose for 14 days. Paracetamol was given to groups of P1, P2, and P3, on the 12 th ,

13 th , and 14 th day. The 15 th day, mice were sacrificed and hepars made preparations by the method of paraffin block and stained by HE. Hepar histological features were assessed based on quantifying of pyknosis, karyorhexis, and karyolysis. Data were analyzed using the One Way ANOVA test ( α = 0.05) and continued by Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) test (α = 0.05).

Result : The result of One Way ANOVA test showed that there was a significant difference between 4 groups. The result of Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) showed that there was a significant difference between KK and KP1, KK and KP2, KK and KP3, KP1 and KP2, KP1 and KP3, and also KP2 and KP3.

Conclusion : Propolis can prevent the hepar cell damage of mice which is induced by paracetamol and the increase of propolis dose can increase protection effect to the hepar damage of mice which is induced by paracetamol.

Key words : propolis, paracetamol, liver cell damage

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Desember 2011

Apriany Darma Wulan

NIM G0008199

commit to user

vi

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT dengan segala karunia dan rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Hepatoprotektor Propolis terhadap Kerusakan Sel Hepar Mencit (Mus musculus)

yang Diinduksi Parasetamol”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari hambatan dan kendala. Namun dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan oleh banyak pihak. Untuk itu, perkenankan

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M. Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Isdaryanto, dr., MARS., selaku Pembimbing Utama yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan nasihat bagi penulis. 4. Bagus Wicaksono, drs., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasihat bagi penulis. 5. Suyatmi, dr., M. Biomed., Sc., selaku Penguji Utama yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis. 6. Arif Suryawan, dr., AIFM, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis. 7. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Staf Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 9. Papaku sayang Kamarudin, the strong woman mamaku sayang Maryati dan kakakku sayang Erwin dan Bulan, serta my special one yang selalu memberikanku dorongan, kasih sayang, nasihat dan mendoakanku.

10. Teman-temanku STKB dan sahabatku terima kasih atas nasihat dan dorongannya. 11. Teman-temanku kelompok tutorial A4 terima kasih atas kebersamaannya. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik serta saran untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua.

Surakarta, 21 Desember 2011

Apriany Darma Wulan

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat saat ini cenderung untuk kembali ke alam (back to nature) dan lebih memilih memakai substansi bioaktif alami untuk agen terapeutik (Son et al., 2004). World Health Organization (WHO) juga memperkirakan 80% penduduk dunia saat ini bergantung pada pengobatan herbal dalam aspek kesehatan primer (Ernest et al., 2007).

Propolis merupakan produk lebah madu kaya akan zat-zat essensial yang bermanfaat bagi manusia. Propolis atau ’bee glue’ adalah suatu substansi yang mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket dan dikumpulkan dari berbagai sumber tanaman, terutama pucuk daun dan bunga. Komposisi propolis terdiri dari resin (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), pollen (5%), dan sisanya adalah mineral, vitamin dan senyawa organik lainnya (Sorkun et al,. 2001). Kandungan zat kimianya yang kompleks mempunyai banyak manfaat bagi manusia, diantaranya adalah sebagai antimikroba, antioksidan, imunitas tubuh, antibiotik, antiinflamasi, antikanker, serta hepatoprotektor (Russo et al,. 2002).

Menurut catatan sejarah, penggunaan propolis sebagai obat sudah dilakukan sejak abad ke-12. Orang-orang Yunani dan Romawi telah menggunakan propolis untuk mengobati luka. Di Mesir selain sebagai obat, juga memakainya sebagai simbol keagamaan (Awan, 2009).

commit to user

Krell (1996) menyatakan bahwa kandungan flavonoid yang tinggi di dalam propolis berfungsi sebagai antioksidan dan antibiotik, dimana dapat memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler. Berbagai penelitian juga menegaskan bahwa flavonoid dapat mencegah terjadinya oksidasi oksigen akibat dari radikal bebas sehingga dapat mencegah kerusakan organ tubuh, termasuk hepar. Pada antioksidan fenol efektif untuk pertahanan tubuh melawan stres oksidatif (Russo et al., 2002). Turunan asam fenolik yang berupa asam dicaffeoylquinic diketahui dapat memberikan perlindungan terhadap kerusakan hati yang disebabkan oleh alkohol (Basnett et al., 2003). Namun, penelitian tentang propolis di Indonesia baru diketahui akhir-akhir ini karena penelitiannya yang belum banyak dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efek hepatoprotektor pada propolis.

Penelitian akan dilakukan terhadap mencit (Mus musculus) yang dirusak heparnya dengan parasetamol dosis toksik (Burke et al., 2006). Peneliti memilih parasetamol karena penggunaannya yang sudah banyak di masyarakat sehingga dapat menyebabkan semakin meluasnya penggunaan parasetamol sebagai obat analgetik antipiretik (Sunarsih, 1995). Hal ini dapat memicu penggunaan parasetamol yang salah, dalam dosis tinggi dan waktu lama sehingga dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, diantaranya adalah efek hepatotoksisitas yang dapat menyebabkan rusaknya

commit to user

parasetamol berupa N-asetil-p-benzokuinon (NAPQI) yang tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. NAPQI bersifat toksik dan sangat reaktif sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi radikal bebas (Wilmana dan Gunawan, 2007). Maka dari itu, diharapkan dari penelitian ini pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit akibat induksi parasetamol, serta dapat meningkatkan efek proteksinya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol?

2. Apakah peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui efek pemberian propolis dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

2. Untuk mengetahui efek peningkatan dosis propolis dalam meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

commit to user

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh propolis dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Aplikatif Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menggunakan propolis sebagai obat alternatif untuk mencegah kerusakan sel hepar.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hepar

Hepar atau hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar, dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa. Hepar terletak pada rongga perut bagian bawah diafragma dan menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks, dimana fungsinya dalam sistem sirkulasi adalah untuk menampung, mengubah, menimbun metabolit, menetralisasi dan mengeluarkan substansi toksik yang terbawa oleh aliran darah. Sebagian besar darah yang menuju ke hepar dipasok dari vena porta dan sebagian kecilnya dipasok dari arteri hepatika (Amirudin, 2007; Junqueira et al., 2005).

Makroskopis hepar terbagi atas beberapa lobus dan tiap lobusnya terbagi lagi menjadi struktur yang dinamakan lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Secara mikroskopis, di dalam hepar manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli. Setiap lobulus berbentuk heksagonal dan terdiri dari lembaran-lembaran sel hepar berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hepar, terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid, dimana merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Selain cabang-cabang vena porta dan

commit to user

saluran empedu yang membentuk kapiler empedu, yaitu kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran-lembaran sel hepar (Amirudin, 2007; Price dan Wilson, 1994).

a. Lobulus Hepar

Lobulus hepar berbentuk prisma poligonal dengan vena sentralis sebagai pusatnya. Lobulus-lobulus ini dipisahkan oleh jaringan ikat dan pembuluh darah. Daerah ini disebut trigonum portae yang berisi cabang arteri hepatika, cabang vena porta, cabang duktus biliferus dan anyaman pembuluh limfe (Junqueira et al., 2005).

Gambar 1. Histologis Lobulus Hepar (Black, 2005)

commit to user

1) Zona 1: zona aktif, sel-sel paling dekat dengan pembuluh darah, akibatnya zona ini yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan darah yang masuk.

2) Zona 2: zona intermedia, sel-selnya memberi respon kedua terhadap

darah.

3) Zona 3: zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan meningkat (Leeson et al., 1996).

Gambar 2. Pembagian Zona Lobulus Hepar (Junqueira et al., 2005)

b. Parenkim Hepar

Parenkim hepar terdiri atas sel-sel hepar (hepatosit) yang tersusun berderet secara radier di dalam lobulus hepar. Lempeng-lempeng hepatosit ini secara radial bermula dari tepian lobulus menuju ke vena sentralis sebagai pusatnya. Lempeng-lempeng tersebut bercabang dan beranastomosis bebas. Sel hepar berbentuk poligonal dengan enam atau lebih permukaan, berukuran sekitar 20-35 um, membran sel jelas, inti

commit to user

Permukaan sel hepar kontak dengan dinding sinusoid melalui celah Disse dan kontak dengan permukaan hepatosit lain (Junqueira et al., 2005; Lesson et al., 1996).

c. Sinusoid Hepar

Sinusoid merupakan pembuluh melebar yang tidak teratur dan hanya terdiri dari satu lapis endotel yang tidak kontinyu. Sinusoid terdapat diantara lempeng-lempeng sel hepar dan mengikuti percabangannya, serta mempunyai pembatas yang tidak sempurna sehingga memungkinkan terjadi pengaliran makromolekul dengan mudah dari lumen ke sel-sel hepar dan sebaliknya. Sinusoid dikelilingi dan disokong oleh selubung serabut retikuler halus untuk mempertahankan bentuknya. Sel-sel endotel dipisahkan dari hepatosit yang berdekatan oleh celah subendotel yang disebut celah Disse (Eroschenko, 2000).

Pada sinusoid terdapat sel-sel fagosit dari retikuloendotelial yang dikenal sebagai sel Kupffer, selnya berbentuk stelat, bervakuola jernih, lisosom dan retikuloendoplasmanya granular yang tersebar di seluruh sitoplasma. Inilah yang membedakan sel-sel Kupffer dengan sel-sel endotel. Pada ruang-ruang sinusoid berbeda dengan kapiler, dimana garis tengahnya lebih besar (9-12 um) dan sel pembatasnya tidak seperti endotel biasa. Kemudian lamina basal pada sinusoid terputus-putus (Lesson et al., 1996; Junqueira et al., 2005).

commit to user

2. Parasetamol

Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin yang memiliki efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana dan Gunawan, 2007). Di Indonesia, parasetamol tersedia sebagai obat bebas dan dapat dengan mudah mendapatkannya. Parasetamol bertanggung jawab atas efek analgesik dan antipiretiknya, serta tidak termasuk golongan AINS karena efek antiinflamasinya yang sangat kecil. Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam susunan saraf pusat yang mempengaruhi pusat hipotalamus untuk pengontrolan suhu tubuh. Efek analgesiknya yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia dan keadaan lain. Sebaiknya parasetamol tidak diberikan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik. Parasetamol tidak menimbulkan gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Reaksi alergi karena parasetamol jarang terjadi, yaitu berupa eritema atau urtikaria. Parasetamol juga dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pemakaian kronik. Hal ini dapat terjadi karena mekanisme autoimun, defisiensi G6PD dan metabolit yang abnormal (Katzung, 2004; Wilmana dan Gunawan, 2007).

Parasetamol diberikan secara peroral, dimana absorbsinya cepat dan sempurna melalui saluran cerna, tergantung pada kecepatan pengosongan lambung (Katzung, 2004). Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam, yang tersebar ke

commit to user

plasma dan sebagian lagi dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Pada kondisi normal parasetamol mengalami glukoronidasi dan sulfasi, 80% akan dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecilnya dengan asam sulfat, kemudian hasil akhirnya akan dieliminasi lewat urin. Selain itu, dalam jumlah kecil (4%) parasetamol akan diubah menjadi senyawa yang reaktif dan toksik yaitu N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) (Brunton et al., 2006).

Gambar 3. Metabolisme Parasetamol Dosis Toksik Menjadi NAPQI

(Mycek et al., 2001)

Kemudian oleh glutation hati, NAPQI akan segera diubah menjadi metabolit sistin dan merkapturat yang non toksik. Namun pada dosis tinggi, jalur konjugasi parasetamol akan menjadi jenuh sehingga banyak yang menjadi metabolit NAPQI, akibatnya terjadi deplesi glutation hati, bahkan

commit to user

(Rochmah, 2000). Akibatnya NAPQI membentuk ikatan kovalen dengan protein sel hati secara irreversibel sehingga menyebabkan terjadinya kematian sel atau nekrosis sel hati. Nekrosis tubular ginjal dapat juga terjadi (Mycek et al., 2001). Metabolit ini juga dapat menyebabkan pengikatan kovalen pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Jika demikian, maka dapat berakibat buruk terhadap fungsi sel yang akan segera terlihat nyata (Murray et al., 2003).

Parasetamol aman diberikan dengan dosis 325-500 mg 4 kali sehari pada orang dewasa dan untuk anak-anak dalam dosis yang lebih kecil yang sebanding (Katzung, 2004). Pemberian parasetamol juga dapat menimbulkan efek samping, namun tergantung pada dosis yang diberikan. Akibat dari dosis toksik parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati, nekrosis tubulus renalis, serta koma hipoglikemi. Hepatotoksisitas dapat terjadi apabila pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kg BB) setelah 48 jam menelan parasetamol. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrolobularis (Wilmana dan Gunawan, 2007). Dosis 20-25 gram atau lebih dapat berakibat fatal. Sekitar 10% pasien keracunan yang tidak mendapatkan pengobatan spesifik akan berakibat buruk menjadi kerusakan hati yang hebat, 10-20% akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Kegagalan ginjal akut juga terjadi pada beberapa pasien (Suarsana dan Budiasa, 2005). Hepatotoksisitas karena parasetamol pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1966 (Sheen et al., 2002).

commit to user

3. Propolis

Gambar 4. Lebah Madu Menggunakan Propolis Sebagai Pertahanan Sarangnya Terhadap Ancaman Dari luar (Krell, 1996)

Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu pertahanan kota, dimana digunakan oleh lebah sebagai pertahanan sarang terhadap ancaman virus, bakteri, jamur, serangga, cuaca, serta memperkuat stabilitas stuktural sarang lebah (Brumfitt et al,. 2000). Propolis atau ‘bee glue’ adalah suatu substansi resin dan lilin lebah, yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai sumber tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun (Suranto, 2010). Sifatnya pekat, lengket, biasanya berwarna coklat kehitaman, mempunyai bau yang khas dan rasanya agak pahit (Toprakci, 2005).

Komposisi propolis terdiri dari resin 50%, lilin dan asam lemak 30%, minyak essensial 10%, pollen 5%, serta sisanya mineral, vitamin dan zat-zat organik lainnya (Sorkun et al,. 2001). Namun karena dari sumber dan waktu pengambilan yang berbeda-beda, maka warna, komposisi dan aroma dari propolis dapat bervariasi (Brown, 2009). Propolis diketahui mengandung ratusan bahan kimia, terutama terdiri dari flavonoid, fenol, semua vitamin

commit to user

serta zat aktif lainnya (Marcucci, 1995).

Sebagai produk organik yang dihasilkan oleh lebah, penggunaan propolis sebagai obat sudah dilakukan sejak abad ke-12. Di Yunani dan Romawi, propolis telah dikenal sebagai pengobatan berbagai luka dan semua zat-zat beracun. Orang Mesir menggunakan propolis selain sebagai obat, juga menggunakannya untuk simbol keagamaan. Hipocrates bapak kedokteran modern (460-377SM), sering mengobati luka dan tukak dengan menggunakan propolis, baik untuk luka dalam maupun luar tubuh. Pada perang Boer (1888-1902) antara penduduk Afrika Selatan dan Inggris, propolis digunakan untuk membersihkan dan menyembuhkan luka dengan cepat (Awan, 2009).

Penelitian tentang propolis mulai berkembang setelah ditemukannya seekor tikus yang mati dalam sarang lebah lebih dari 5 tahun tidak mengalami pembusukan (Wikipedia, 2011). Kini dengan dukungan riset dan teknologi, telah membawa manusia menemukan manfaat propolis dalam berbagai segi kehidupan, yaitu:

• Kosmetik dan kesehatan kulit • Industri makanan • Pestisida dan pengawet alami • Industri lain • Kesehatan dan kedokteran

commit to user

Pada penelitian farmakologi, efek propolis mencakup sebagai anestetik, antialergi, antibiotik, antijamur, antiperadangan, antiradiasi, pengawet, antiseptik, antikanker, immunostimulator, serta antioksidan (Suranto, 2010).

Kandungan flavonoid dalam propolis yang berupa pinocembrin, pinostrobin dan ester asam kafeat, dapat berkhasiat sebagai anestetik. Khususnya pinocembrin dan ester asam kafeat, yang terbukti mempunyai efek anestetik sepersepuluh kali daripada lidokain (Suranto, 2010).

Aktifitas antibiotik dari propolis antara lain disebabkan oleh berbagai turunan asam organik seperti cinnamic, ferrulic, benzoic, caffeic, coumaric, terpenes dan turunan-turunan berikutnya seperti limonene, p-cymene, eugenol, galangin dan quercetin (Faten et al., 2002). Kelebihan propolis dibanding antibiotik lainnya adalah efek sampingnya yang sangat kecil dan tidak menimbulkan resistensi. Asam ferulat selain efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif, juga bersifat agglutinating (sebagai pembekuan darah) (Santoso, 2010). Pada pinocembrin, quercetin dan sakauranetin dapat bersifat sebagai antifungal (Rumah madu, 2010). Quercetin diketahui juga bersifat sebagai antialergi (Suranto, 2010).

Ikatan fenol yang dikenal sebagai Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE), berfungsi sebagai antikanker. Ini dibuktikan oleh S. Scheller, dkk yang menguji efektifitas antikanker dari ekstrak etanol propolis (EEP) pada mencit yang diinduksi dengan Ehrlich Carcinoma Cells, menunjukkan mencit dapat bertahan hidup lebih banyak setelah diberi EEP. Efek antikanker EEP terhadap

commit to user

terdapat dalam propolis (Grunberger et al., 2008).

Propolis juga efektif digunakan sebagai pencuci mulut, sudah dilakukan di Brazil dan Jepang. Bahkan pasien bedah mulut di Jepang menggunakan propolis sebagai pencuci mulut, khasiatnya lebih cepat sembuh dibanding dengan pencuci mulut pabrik. Propolis yang dicampur madu terbukti menyembuhkan luka lebih cepat dari Silver Sulfadiazine (Scott et al,. 2002).

Propolis mengandung zat-zat aktif yang dapat berperan melindungi hepar dari kerusakan (hepatoprotektor), baik melalui peningkatan glutation maupun sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan di dalam tubuh, dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Beberapa senyawa yang diketahui sebagai antioksidan di dalam propolis diantaranya adalah flavonoid, fenol, vitamin (A, C dan E), beberapa mineral (Se, Zn, Cu, Fe, Mn), asam ferulik dan caffeic, serta zat aktif lainnya (Krell, 1996).

Menurut penelitian, kandungan flavonoid dalam satu tetes propolis setara dengan flavonoid yang dihasilkan dari 500 buah jeruk (Wikipedia, 2011). Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang diketahui dapat menghambat oksidasi lipid dan pembentukan lipid peroksida melalui mekanisme penangkapan radikal bebas dan metal chelation (Hegazi dan El-Hady, 2007). Menurut Wade (2005), kandungan flavonoid dalam propolis bersifat sebagai

commit to user

kerusakan jaringan, serta meningkatkan tumbuhnya jaringan. Dari hasil penelitian pada ekstrak propolis, ditemukan bahwa terdapat empat senyawa dari asam dicaffeoylquinic yang dapat melindungi hati dari kerusakan (hepatoprotektor) akibat alkohol (Basnett et al., 2003). Bankova et al. (2006) menambahkan bahwa ekstrak propolis berperan sebagai antioksidan karena mengandung kafeik dan asam ferulik beserta esternya.

4. Mikroskopis Kerusakan Sel Hepar Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik

Hepar memiliki kapasitas regenerasi yang luar biasa karena paling sering menerima jejas. Pada jejas ringan, hepar dapat segera beregenerasi kembali pada fungsi semula. Namun kapasitas cadangan hepar dapat habis apabila hepar terkena penyakit yang menyerang seluruh parenkim hepar sehingga dapat timbul kerusakan pada hepar (Crawford, 2007). Kerusakan stuktur hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam zat, diantaranya adalah alkohol, zat halotan (CCL4), zat kimia makanan, serta obat-obatan (Murray et al., 2003).

Pada kondisi normal, parasetamol dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan asam sulfat, lalu sebagian kecilnya dihidroksilasi oleh sitokrom P-450 menjadi metabolit N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI). Oleh glutation hepar, metabolit ini akan diubah menjadi metabolit sistin dan merkapturat, kemudian hasil akhir dibuang melalui urin (Wilmana dan Gunawan, 2007). Namun jika jumlah parasetamol yang dikonsumsi melebihi dosis terapi, maka

commit to user

terbentuklah metabolit reaktif yang berlebihan. Selama glutation tersedia untuk mendetoksifikasi NAPQI tersebut, maka tidak akan terjadi reaksi radikal bebas. Namun, jika glutation terus terpakai hingga akhirnya terjadi pengosongan glutation dan penimbunan metabolit NAPQI (Katzung, 2004).

NAPQI merupakan metabolit minor parasetamol yang reaktif dan toksik bagi hepar dan ginjal. Metabolit ini akan bereaksi dengan makromolekul sel hepar, seperti protein sehingga dapat menyebabkan nekrosis sel hepar (Wilmana dan Gunawan, 2007). Selain itu, NAPQI dapat menimbulkan stres oksidatif sehingga juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid. Dimana peroksidasi lipid merupakan bagian dari proses atau rantai reaksi terbentuknya dari radikal bebas (chain reaction). (Widjaja, 1997).

Kerusakan hepar akibat parasetamol dapat terjadi karena toksik, alergi dan radikal bebas. Biasanya kerusakan yang terjadi merupakan nekrosis di sekitar sentrolobularis karena aktivitas sitokrom P-450 paling banyak terdapat didaerah tersebut (Wenas, 1996). Kematian sel dapat terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Perubahan morfologis awal berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel dan terjadi pembengkakan mitokondria yang progresif dengan kerusakan krista. Stadium selanjutnya, sel dapat mengalami degenerasi hidropik, fragmentasi sel, dan inti sel piknotik (kariopiknotik). Kemudian inti sel hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar dalam sel, proses ini disebut

commit to user

terjadilah penghancuran serta pelarutan inti sel sehingga inti sel menghilang, membran plasma pecah, dan terjadilah nekrosis sel (Wilson, 2006).

5. Mekanisme Perlindungan Propolis terhadap Kerusakan Sel Hepar akibat Induksi Parasetamol

Propolis mengandung berbagai jenis zat aktif yang dapat meningkatkan kadar glutation dan bersifat sebagai antioksidan. Kandungan antioksidan di dalam propolis diantaranya adalah flavonoid, fenol, asam dicaffeoylquinic, asam caffeic dan ferulik, vitamin C, E dan A, mineral Se, fe, Cu dan Zn, serta asam amino essensial (Krell, 1996). Senyawa antioksidan tersebut mampu meredam dampak negatif dari oksidan dengan cara memberikan elektronnya sehingga dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya (Bagiada, 1995). Antioksidan juga dapat mencegah pembentukan radikal bebas dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Widjaja, 2007).

Flavonoid merupakan sekelompok senyawa polifenol tanaman yang tersebar luas dalam berbagai konsentrasi. Senyawa flavonoid dapat menghambat oksidasi lipid dan pembentukan lipid peroksida melalui mekanisme penangkapan radikal bebas (Hegazi dan El-Hady, 2007). Disamping itu, flavonoid memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat mengkatalisis beberapa beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai pengkelat Fe (Morel et al., 2003).

commit to user

yang terdapat di dalam propolis (Suranto, 2010), yang berfungsi sebagai kofaktor SOD (Superoksida Dismutase). Kofaktor adalah suatu elemen yang dengannya suatu faktor lain harus bersatu untuk dapat berfungsi. Selenium (Se) berperan sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam oksidasi asam lemak (Hartanto et al., 2000). Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak, berperan dalam menghambat peroksidasi lipid sehingga dapat mencegah kerusakan sel membran yang lebih lanjut. Pada vitamin C bekerja sebagai donor elekron, dengan cara memindahkan satu elektronnya. Vitamin C berinteraksi dengan senyawa radikal bebas di bagian cairan sel, karena senyawa ini mudah larut dalam air. Selain itu, vitamin C juga berperan sebagai penyetabil keberadaan vitamin E (Almatsier, 2002). Senyawa fenol, asam caffeic dan ferulik, asam dicaffeoilquinic beserta esternya, dan vitamin A bermanfaat dalam menghambat radikal bebas (Shetty et al., 2000).

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan: : memacu : menghambat

Flavonoid Fenol Vit C, E, A Se, Zn, Fe, Cu, Mn As. Cafeic danFerulic As. Amino essensial

Lipid

peroksidas e

Stres Oksidatif

Radikal

bebas

Jalur glukuronidasi dan sulfasi menjadi jenuh

Meningkatkan (NAPQI)

Bioaktivasi sitokrom P450

Meningkatkan glutation

Antioksidan

Deplesi glutation

Ikatan kovalen NAPQI dgn makromolekul

Kerusakan makromolekul

Nekrosis sel

hepatosit

Kerusakan hepar

Variabel luar yang tak terkendali: kondisi psikologis, keadaan awal hepar dan reaksi

hipersensitivitas

As. Dicaffeoylquinic

Parasetamol dosis toksis

Propolis

Meningkatkan Total Antioxidant

Status (TAS)

alergi

toksik

commit to user

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus ) yang terpapar parasetamol.

2. Peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang terpapar parasetamol.

commit to user

22

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi : Mencit jantan dengan galur Swiss webster berusia 2-3 bulan

dengan berat badan ± 20 gram.

Sampel : Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Federer

(Ratnasari, 2009) yaitu: (k-1)(n-1) > 15 (4-1)(n-1) > 15

3(n-1) > 15 3n > 15 + 3 >6≈7 n

Keterangan: k : jumlah kelompok n : jumlah sampel dalam tiap kelompok

commit to user

7 ekor mencit (n > 6). Jumlah kelompok mencit ada 4, sehingga pada penelitian ini membutuhkan 28 ekor mencit dari populasi yang ada.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang dipakai adalah incidental sampling. Sampel diperoleh dengan mengambil begitu saja subjek penelitian yang ditemui dari populasi yang ada. Kemudian mencit tersebut dimasukkan kedalam 4 kelompok secara random.

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only controlled group design (Taufiqqurohman, 2008).

Gambar 5. Skema Rancangan Penelitian

Keterangan: KK

: Kelompok kontrol tanpa diberi propolis maupun parasetamol. KP 1 : Kelompok perlakuan 1 diberi parasetamol tanpa diberi propolis.

KP 2 : Kelompok perlakuan 2 diberi parasetamol dan propolis dosis I. KP 3 : Kelompok perlakuan 3 diberi parasetamol dan propolis dosis II.

Sampel Mencit

28 ekor

Dibandingkan dengan uji statistik

commit to user

selama 14 hari berturut-turut.

(X 1 ) : Pemberian aquades peroral 0,1 ml/20 gr BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit perhari.

(X 2 ) : Pemberian propolis peroral dosis I yaitu 0,0104 ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah pemberian propolis.

(X 3 ) : Pemberian propolis peroral dosis II yaitu 0,0208 ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah pemberian propolis.

O 0 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok kontrol.

O 1 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok perlakuan 1.

O 2 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok perlakuan 2.

O 3 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok perlakuan 3.

commit to user

dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra servicalis agar efek dari perlakuan masih tampak nyata. Selanjutnya dilakukan proses pembuatan preparat hepar dengan metode blok parafin dan pengecatan hematoksilin eosin (HE).

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas Pemberian propolis

2. Variabel Terikat Kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus)

3. Variabel Luar Variabel luar terdiri dari variabel yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan Variasi genetik, jenis kelamin, umur, berat badan, dan jenis makanan mencit semuanya diseragamkan.

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan

Kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas, dan keadaan awal hepar mencit.

commit to user

1. Variabel bebas : pemberian propolis. Propolis yang dipakai dalam penelitian ini adalah propolis cair asli Indonesia, dengan nama dagang PropolisKU. Setiap 1 ml propolis mengandung 150 mg ekstrak propolis asli Indonesia dengan zat aktif flavonoid tidak kurang dari 3%. Dalam proses ekstraksi maupun seluruh tahap produksinya tidak menggunakan alkohol sehingga aman untuk dikonsumsi ibu hamil dan anak, penduduk di negara muslim, atau konsumen yang memiliki faktor kesehatan tertentu (Suranto, 2010).

Propolis diberikan peroral dengan sonde lambung (ukuran 1,0 ml) dalam 2 dosis mencit dalam 2 dosis, yaitu:

Dosis I : 0,0104 ml/20 gr BB mencit yang diencerkan hingga 0,2 ml

diberikan pada mencit KP 2.

Dosis II : 0,0208 ml/20 gr BB mencit yang diencerkan hingga 0,4 ml

diberikan pada mencit KP 3. Skala pengukuran variabel ini adalah ordinal.

2. Variabel terikat : kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus)

Kerusakan sel hepar mencit adalah gambaran mikroskopis sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol setelah diberi propolis. Hal ini dinilai dari jumlah sel hepar yang mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis yang dihitung dari 100 sel pada zona sentrolobuler. Kemudian dari jumlah sel yang mengalami kerusakan dihitung jumlah skor kerusakannya.

commit to user

a. Sel yang mengalami piknosis intinya kisut dan bertambah basofil, berwarna gelap batasnya tidak teratur.

b. Sel yang mengalami karioreksis inti mengalami fragmentasi atau hancur degan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel.

c. Sel yang mengalami kariolisis yaitu kromatin basofil menjadi pucat, inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja (Wilson, 2006).

Pada penelitian ini, masing-masing dari derajat kerusakan diberi skor 1. Skala pengukuran variabel ini adalah rasio.

3. Variabel Luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan. Variabel ini dapat dikendalikan melalui homogenisasi.

1) Variasi genetik

Jenis hewan coba yang digunakan adalah mencit dengan galur Swiss webster .

2) Jenis kelamin Jenis kelamin mencit yang digunakan adalah jantan.

3) Umur Umur mencit pada penelitian ini adalah 2-3 bulan.

commit to user

Berat badan hewan percobaan + 20 gr.

5) Jenis makanan

Makanan yang diberikan berupa pellet dan minuman dari air PAM (Perusahaan Air Minum).

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan.

1) Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan yang berulang kali dan perkelahian antar mencit dapat mempengaruhi kondisi psikologis mencit.

2) Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi karena adanya variasi

kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan.

3) Keadaan awal hepar mencit tidak diperiksa pada penelitian ini sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan heparnya sudah mengalami kelainan.

H. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

a. Kandang mencit 4 buah masing-masing untuk 7 ekor mencit

b. Timbangan hewan

c. Timbangan obat

d. Alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja lilin)

commit to user

f. Alat untuk pembuatan preparat histologi

g. Mikroskop cahaya medan terang

h. Gelas ukur dan pengaduk

i. Optilab

2. Bahan

a. Parasetamol

b. Makanan hewan percobaan (pellet)

c. Aquades

d. Bahan untuk pembuatan preparat histologi dengan pengecatan HE (Hematoksilin Eosin)

e. Propolis

I. Cara Kerja

1. Dosis dan Pengenceran Propolis Propolis yang digunakan dalam penelitian ini adalah propolis cair dengan nama dagang propolisKU. Setiap 1 ml propolis mengandung 150 mg ekstrak propolis. Pada manusia, dosis konsumsi propolis untuk perawatan atau pemeliharaan kesehatan adalah dua sendok makan sehari atau setara dengan 400-600 mg ekstrak propolis per hari (Suranto, 2010). Penentuan dosis yang diberikan kepada mencit adalah berdasarkan pada hasil konversi dari manusia ke mencit (Ngatidjan, 1991), yang setara dengan pemberian 600 mg ekstrak propolis pada orang dewasa dengan

commit to user

dosis, yaitu dosis I = 0,0104 ml/20 gr BB mencit dan dosis II = 0,0208 ml/20 gr BB mencit. Masing-masing dosis propolis yang diberikan dengan menggunakan sonde lambung (ukuran 1,0 ml) adalah propolis yang telah diencerkan dengan aquades menjadi volume 0,2 ml dan 0,4 ml. Propolis dosis I diberikan pada KP 2 sehari sekali selama 14 hari berturut-turut, sedangkan propolis dosis II diberikan pada KP 3 sehari sekali selama 14 hari berturut-turut.

Perhitungan dosis propolis :

a. Dosis I propolis setara dengan 600 mg ekstrak propolis pada manusia.

1 ml Propolis mengandung 150 mg ekstrak propolis

4 ml Propolis mengandung 600 mg ekstrak propolis

Dosis I

= Nilai konversi x 4 ml propolis = 0,0026 x 4 ml

Pengenceran Propolis:

5,2 ml propolis + aquades  100 ml larutan propolis Dalam 1 ml larutan mengandung 0,052 ml propolis Dalam 0,2 ml larutan mengandung 0,0104 ml propolis

Propolis yang disondekan adalah propolis yang diencerkan. Propolis yang disondekan pada 1 ekor mencit (20 gr) pada KP 2 sebanyak 0,2 ml dan diberikan selama 14 hari berturut-turut.

= 0,0104 ml

commit to user

Propolis dosis II adalah 2 kali propolis dosis I. Jadi, propolis yang disondekan pada 1 ekor mencit (20 g) pada KP 3 sebanyak 0,4 ml dan diberikan selama 14 hari berturut-turut.

Pemberian propolis selama 14 hari berturut-turut bertujuan untuk memberikan cadangan glutation di hepar sehingga ketika diinduksi parasetamol dosis toksik, glutation dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar dapat dicegah. Di luar jadwal perlakuan, mencit diberi makan pellet dan minum air PAM ad libitum.

2. Dosis dan pengenceran Parasetamol Dosis fatal (LD-50/Lethal Dossage-50) untuk mencit peroral yang telah diketahui adalah 338 mg/kg BB atau 6,76 mg/20 gr BB mencit (Wishart dan Knox, 2006). Dosis parasetamol yang digunakan untuk menimbulkan efek kerusakan hepar berupa nekrosis sel hepar tanpa menyebabkan kematian mencit adalah dosis 3 / 4 LD-50 perhari (Alberta dan Canada dalam Ratnasari, 2009). Dosis yang digunakan adalah 338 mg/Kg BB × 0,75 = 253,5 mg/Kg BB = 5,07 mg/20 gr BB mencit. Parasetamol 500 mg dilarutkan dalam aquades hingga 9,86 ml, sehingga dalam 0,1 ml larutan parasetamol mengandung 5,07 mg parasetamol.

Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada hari ke-12,

13 dan 14. Pemberian parasetamol dengan cara ini bertujuan untuk menimbulkan kerusakan berupa nekrosis sel hepar yang berupa nekrosis pada daerah sentrolobularis tanpa menimbulkan kematian pada mencit. Menurut

commit to user

dapat menimbulkan kerusakan sel hepar berupa nekrosis pada daerah sentrolobularis dalam waktu 2 hari setelah pemberian parasetamol.

3. Persiapan Mencit Mencit diadaptasikan terlebih dahulu selama tujuh hari di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sesudah adaptasi, keesokan harinya dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan.

4. Pengelompokan Subjek Pada minggu kedua mulai dilakukan percobaan. Subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok secara random, dan masing-masing kelompok terdiri dari 7 mencit. Adapun pengelompokan subjek adalah sebagai berikut:

a. KK : Kelompok kontrol diberi aquades peroral sebanyak 0,1 ml/20 gr

BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut.

b. KP 1 : Kelompok perlakuan 1 diberi aquades peroral sebanyak

0,1 ml/20 gr BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 juga diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit peroral perhari.

c. KP 2 : Kelompok perlakuan 2 diberi propolis peroral dosis I yaitu 0,0104 ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana pada hari ke-12, 13, dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah pemberian propolis.

commit to user

ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana pada hari ke-12, 13, dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah pemberian propolis.

Setiap sebelum pemberian parasetamol dan propolis, mencit dipuasakan dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan lambung. Pemberian parasetamol dilakukan ± 1 jam setelah pemberian propolis agar terabsorbsi terlebih dahulu.

5. Pemberian Perlakuan

Gambar 6. Skema Langkah-langkah Penelitian

Aquades 0,1ml/20 gr BB mencit

Sampel 28 ekor mencit

Kelompok Kontrol

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok Perlakuan 3

Kelompok Perlakuan 2

Dipuasakan selama + 5 jam

Setelah + 1 jam

Propolis 0,0208 ml/20 gr BB mencit selama 14 hari

Propolis 0,0104 ml/20 gr BB mencit selama 14 hari

Perlakuan diberikan sampai hari ke-14. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15.

0,1 ml parasetamol dosis 5,07mg / 20 grBB mencit pada hari ke-12, 13, 14

Aquades 0,1ml/20 gr BB mencit

commit to user

Pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra servicalis, kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histologi dengan metode blok paraffin dengan pengecatan HE. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15 agar efek perlakuan tampak nyata. Lobus hepar yang diambil adalah lobus kanan dan irisan untuk preparat diambil pada bagian tengah dari lobus tersebut, hal ini dilakukan untuk mendapatkan preparat yang seragam. Dari tiap lobus kanan hepar dibuat 3 irisan dengan tebal tiap irisan 3-8 um. Jarak antar irisan satu dengan yang lain kira-kira

25 irisan.

Tiap hewan percobaan dibuat 3 preparat. Dari masing-masing preparat diambil 1 daerah di sentrolobuler yang terlihat kerusakannya paling berat. Dari 1 zona tersebut akan didapatkan 1 skor untuk tiap 100 sel sentrolobuler. Sehingga didapatkan 3 skor dari 1 hewan percobaan. Dalam percobaan ini menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 skor untuk tiap kelompok percobaan. Pengamatan preparat dengan pembesaran 100 kali dan 400 kali untuk mengamati seluruh lapang pandang, kemudian ditentukan daerah yang akan diamati pada sentrolobuler lobulus hepar dan dipilih 1 daerah yang kerusakannya terlihat paling berat.

commit to user

pembesaran 1000 kali kemudian ditentukan jumlah inti yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel.

Hasil yang diperoleh kemudian diberi skor dengan ketentuan :

a. Piknosis diberi skor 1,

b. Karioreksis diberi skor 1 dan,

c. Kariolisis diberi skor 1. Jadi, misalnya dari satu daerah zona sentrolobuler dari 100 sel yang

diamati, ternyata terdapat 25 sel dengan inti piknosis, 15 dengan karyoreksis dan 5 dengan karyolisis maka jumlah skor dari satu daerah zona sentrolobuler tersebut adalah (25x1) + (15x1) + (5x1) = 45. Sehingga dari tiap preparat diperoleh satu nilai skor. Jadi dari 3 preparat akan didapatkan 3 skor dari 1 hewan percobaan. Dalam percobaan ini menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 skor untuk tiap kelompok percobaan. Selanjutnya rata-rata skor dari masing-masing kelompok dibandingkan dengan uji Oneway ANOVA dan jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc.

commit to user

J. Teknik Analisa Data Statistik

Data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan uji statistik Oneway ANOVA (Analysis of Variance). Jika terdapat perbedaan yang bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD). Apabila data yang diperoleh ternyata tidak memenuhi syarat uji statistik parametrik Oneway ANOVA, maka sebagai alternatifnya akan digunakan uji statistik non parametrik yaitu Kruskal Wallis. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05 (Dahlan, 2007). Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) 15.0 for Windows.

commit to user

37

37

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tentang efek hepatoprotektor propolis terhadap kerusakan sel hepar mencit akibat induksi parasetamol, didapatkan data hasil pengamatan pada masing-masing kelompok perlakuan. Hasil pengamatan jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis untuk masing-masing kelompok, serta jumlah total sel hepar yang rusak disajikan pada lampiran 4 tabel 5 – 8. Hasil rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol pada masing-masing kelompok disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Skor Kerusakan Sel Hepar Mencit yang Diinduksi

Parasetamol pada Masing-masing Kelompok.

Kelompok

Rata-rata Jumlah

Standar Deviasi

KK (aquades)

24,57

3,823

KP 1 (parasetamol) 82,43 5,287

KP 2 (dosis propolis I)

41,14

2,268

KP 3 (dosis propolis II)

34,43

4,962

(Sumber: Data Primer, 2011)

commit to user

Keterangan :

KK : Kelompok Kontrol KP 1 : Kelompok Perlakuan 1 KP 2 : Kelompok Perlakuan 2 KP 3 : Kelompok Perlakuan 3

Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah kerusakan hepar mencit yang paling tinggi adalah pada KP 1 (parasetamol dosis toksik) yaitu 82,43 ± 5,287, sedangkan rata-rata jumlah kerusakan yang paling rendah adalah pada KK (hanya aquades) yaitu 24,57 ± 3,823.

Gambaran kerusakan histologis (fotomikrograf) pada zona sentrolubuler lobulus hepar mencit pada KK, KP 1, KP 2 dan KP 3 yang ditandai dengan piknosis, karioreksis dan kariolisis dapat dilihat pada lampiran 5.

B. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian mula-mula dianalisis secara statistik dengan uji One-Way ANOVA (ANOVA tidak berpasangan) untuk mengetahui adakah perbedaan rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit pada zona sentrolobuler yang bermakna antara keempat kelompok. Jika terdapat perbedaan yang bermakna, maka analisis data dapat dilanjutkan dengan Uji Post Hoc Multiple Comparisons. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Analisis data pada penelitan ini dilakukan dengan

commit to user

Solution) 15.0 for Windows.

Syarat menggunakan uji One-Way ANOVA :

1. Hanya digunakan pada masalah skala pengukuran numerik. Masalah skala pengukuran numerik pada hipotesis komparatif adalah masalah skala pengukuran variabel yang mencari asosiasi antara skala variabel numerik (interval atau rasio) dan kategorik (ordinal atau nominal).

2. Skala variabel numerik harus memiliki sebaran data normal, dibuktikan dengan uji normalitas data metode analitik yaitu uji Kolmogorov-Smirnov atau Saphiro-Wilk yang memiliki nilai p lebih besar daripada nilai α. Misal, α = 0,05 maka nilai p untuk uji sebaran data normal harus p > 0,05.

3. Varians data harus sama. Kesamaan varians data dapat diketahui dengan menggunakan uji Homogenity of Variances. Jika varians data sama, maka nila p > ni lai α.

Jika ketiga syarat diatas tidak terpenuhi, maka dapat digunakan uji hipotesis alternatif, yaitu berupa uji hipotesis non-parametrik Kruskall-Wallis (Dahlan, 2007).