DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG

DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh Mat Rofi’i

NIM. E0007162

FAKULTAS HUKUM

Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT

Oleh MAT ROFI’I

NIM. E0007162

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT

Oleh:

MAT ROFI’I NIM. E0007162

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada :

Hari

: Jumat Tanggal : 13 Juli 2012

DEWAN PENGUJI

PERNYATAAN

Nama

: Mat Rofi’i

NIM

: E0007162

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG

NASABAH KARTU KREDIT adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 08 Mei 2012 yang membuat pernyataan

ABSTRAK

MAT ROFI’I. E0007162. KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui mengenai tentang tinjauan hukum pidana terhadap perbuatan yang dilakukan debt collector kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit dan mengetahui pertanggungjawaban menurut hukum pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt collector apabila penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan hukum. Penelitian ini merupakan termasuk dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan sekunder. Sumber bahan sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas tindak pidana yang dilakukan oleh debt collector dalam menagih utang kartu kredit.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan debt collector dalam menagih utang kartu kredit yang meresahkan nasabah bila dikaji dari hukum pidana termasuk dalam perbuatan pidana yang dapat dijerat dengan pasal didalam Kitab Undang-Undang Pidana. Pasal-pasal itu antara lain adalah Pasal 167 KUHP (memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum), Pasal 333 KUHP (perampasan kemerdekaan, penyanderaan debitur dengan melawan hukum), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 362, 363, dan 365 KUHP (pencurian, bila debt collector mengambil barang apa saja milik debitur), Pasal 362 dan 369 KUHP, serta Pasal 406 KUHP (perusakan barang).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi . tetapi dalam dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2012 pasal 21 ayat (1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pihak maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja sama tersebut. Hal ini diperjelas oleh bagian penjelasan yang mengatakan: Yang dimaksud dengan pihak-pihak di luar pihak lain dalam ayat ini misalnya perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran(sales agent) atau jasa penagihan (debt collector). Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh, dapat dikenai pasal 55 KUHP. Menurut ketentuan ini, orang yang menyuruh melakukan tindak pidana (doen plegen) ikut bertanggungjawab atas perbuatan

ABSTRACT

MAT ROFI’I. E0007162. THE STUDY OF CRIME BY BANK DEBT COLLECTOR COLLECT DEBTS GOVERNED CREDIT CARD CUSTOMERS. Faculty of Law University of Sebelas Maret.

The study aims to determine the law on judicial review of criminal acts committed against debt collectors to customers in charge of credit card debt and find criminal liability according to law by the bank as a debt collector giving the orders if the credit card debt collection is done by illegal means. This study is included in the normative legal research using secondary source material. Secondary source material consists of primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. Secondary legal materials obtained from the literature study through textbooks, legal dictionaries, law journals, and comments for the same offenses committed by the debt collector to collect credit card debt.

Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the acts of debt collectors collect debts in the credit card customer troubling when examined from the criminal law including the criminal act that can be charged with the article in the Book of Criminal Law. Those articles include Article 167 of the Criminal Code (breaks into the house, room, or enclosed yard which is used by someone else against the law), Article 333 of the Criminal Code (deprivation of liberty, hostage-taking against the debtor with the law), Article 351 of the Criminal Code (abuse ), Article 362, 363, and 365 of the Criminal Code (theft, when a debt collector take away any item owned by the debtor), Article 362 and 369 of the Criminal Code, and Article 406 of the Criminal Code (destruction of the goods).

Book of the Criminal Justice Act (Penal Code) does not recognize corporate criminal liability. but in the Act No. 10 of 1988 concerning Banking and Bank Indonesia Regulation Number 11/2/PBI/2012 article 21 paragraph (1) The Issuer cooperation with parties outside the party, the Issuer is responsible for co-operation them. This is made clear by the explanation that says: What is meant by the parties outside of the other party in this paragraph such as document delivery service companies, marketing agencies (sales agent) or billing services (debt collector). So that the bank, which is the principal, subject to Article 55 of the Criminal Code. According to this provision, the person who ordered a criminal offense (doen plegen) share responsibility for the acts committed were ordered. In this case even if the employer does not conduct its own criminal acts and who is his subordinate, the employer is seen as a principal and punishable as

a principal.

MOTTO

“Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang- orang yang khusyuk” (QS. Al-Baqarah(2):45)

“Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar” (Khalifah Umar Bin Khatab)

“Orang hebat bukan yang berani mati tetapi yang mampu hidup dalam segala situasi”

(Penulis)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Allah Subhanahu wa-ta'ala

2. Ayah dan Ibuku tersayang

3. Adikku Zahrul Yunus dan Riza Pramiditya

4. Teman-teman yang saya banggakan

5. Almamaterku tercinta.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN

TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG

NASABAH KARTU KREDIT Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan hukum (skripsi) ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak R. Ginting, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana.

3. Bapak Ismunarno, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam penulisan hukum ini.

4. Bapak Sabar Slamet, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan serta mengarahkan dalam penulisan hukum ini.

5. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret 6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

8. Bapak dan Ibuku tercinta, yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa, motivasi dan kasih sayang selama ini.

9. Beta Wulansari yang selalu mendampingi dan memberi dukungan kepada penulis.

10. Teman-teman angkatan tahun 2007 yang selama ini selalu setia kebersamaannya serta dalam memberikan dukungan dan masukan.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu disini yang telah

membantu Penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dengan besar hati penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 2 Mei 2012 Penulis

Mat Rofi’i

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak zaman dahulu manusia menggunakan barang sebagai media pembayaran yang kita kenal sebagai sistem barter dimana untuk mendapatkan suatu barang harus ditukarkan dengan barang lain, seiring dengan perkembangan zaman cara ini mulai ditinggalkan setelah ditemukannya suatu alat pembayaran yang lebih praktis yang kita kenal saat ini dengan nama uang. Dengan uang kita bisa membeli semua kebutuhan yang kita inginkan, sehingga tak heran jika setiap orang berusaha untuk mendapatkan uang.

Kehidupan manusia, ada seseorang yang ketahanan mental yang tinggi dan stabil, meskipun kondisi ekonominya sulit, ia tidak sampai menempuh jalan yang menyimpang dan melanggar hukum untuk menghadapi pergaulan sosialnya, akan tetapi ada komunitas yang gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma positif sehingga untuk menyesuaikan pergaulan sosial digunakanlah cara-cara yang menyimpang dan melanggar hukum. Perbuatan yang menyimpang ini ada yang merugikan kehidupan masyarakat secara langsung ke masyarakat. Perusakan terhadap suatu kawasan hutan misalnya seringkali menimbulkan kerugian pada masyarakat secara tidak langsung, tetapi kerugiannya dapat dirasakan di kemudian hari. “Begitupun ketika suatu masyarakat gagal beradaptasi di tengah pengaruh informasi global dan menyerah menjadi budak globalisasi. Ada akibat yang langsung dirasakan, namun juga ada yang berjangka panjang” (Yahya Harahap,

2006 : 10). Perkembangan teknologi baru selalu mempengaruhi evolusi peradaban manusia. Penemuan-penemuan besar keilmuan telah mengakibatkan perubahan kebiasaan, sistem nilai, cara pandang sampai ketentuan hukum suatu negara. Dalam ilmu sosial, perubahan perilaku sosial (social behavior) bukanlah suatu hal 2006 : 10). Perkembangan teknologi baru selalu mempengaruhi evolusi peradaban manusia. Penemuan-penemuan besar keilmuan telah mengakibatkan perubahan kebiasaan, sistem nilai, cara pandang sampai ketentuan hukum suatu negara. Dalam ilmu sosial, perubahan perilaku sosial (social behavior) bukanlah suatu hal

kejahatan mengikuti perkembangan teknologi dan cara hidup manusia. Memahami makna dari kejahatan dalam hal perkembangan kehidupan perlu kiranya untuk mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan berbagai modus di antaranya adalah dalam bidang kompertisi yang dikenal dengan unfair competion berupa tindakan tying contract, exclusive dealing, price discrimination, price fixing , penggabungan perusahaan, false advertising (penipuan iklan) dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime) penyelenggara jasa keuangan dan bank (Endah Lestari,2010:14).

Secara tidak langsung seluruh bidang kehidupan manusia terkena dampak dari teknologi, tidak terkecuali bidang perdagangan dan perbankan. Teknologi dimanfaatkan sebagai penunjang dalam transaksi perdagangan dan perbankan demi mewujudkan sistem perdagangan yang mudah dilakukan dan praktis. Pada era teknologi ini, alat pembayaran yang efektif dan efisien sangat diperlukan. Alat pembayaran yang berukuran kecil dan terbuat dari bahan plastik tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan kartu kredit.

Awal mula pemikiran menciptakan alat pembayaran yang canggih, efektif dan efisien bermula di New York Tahun 1950. Pada saat seorang wiraswastama terkenal mengundang mitra bisnisnya untuk bersantap bersama dalam melakukan negosiasi bisnis. Setelah selesai dan akan melakukan pembayaran, wiraswastawan tersebut mendapati dompetnnya tertinggal. Dengan perasaan malu ia memberikan kartu identitas kepada restoran yang bersangkutan sebagai jaminan untuk ditagih di kantornya keesokan harinya. Kejadian tidak terduga dalam kasus yang direstoran itu kemudian dikenal dengan nama Frank Mc Namara, sehingga mengilhaminya untuk menciptakan mekanisme pembayaran dengan menggunakan instrument kartu. Sejak itulah muncul kartu kredit yang digunakan sebagai alat pembayaran yang menggantikan uang tunai ( Johannes Ibrahim, 2004:13).

Masalah yang timbul saat ini adalah bagaimana jika seseorang tidak memiliki uang sedangkan harus memenuhi kebutuhan yang terdesak, Dengan kemajuan yang ada, hal ini dapat diatasi dengan kehadiran suatu sistem pembayaran yang mana seseorang dapat membeli barang tanpa harus membayar Masalah yang timbul saat ini adalah bagaimana jika seseorang tidak memiliki uang sedangkan harus memenuhi kebutuhan yang terdesak, Dengan kemajuan yang ada, hal ini dapat diatasi dengan kehadiran suatu sistem pembayaran yang mana seseorang dapat membeli barang tanpa harus membayar

Hadirnya sistem kredit sangat membantu kehidupan masyarakat bahkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara, namun keterbatasan saat ini adalah tidak semua barang yang dijual di pasar atau toko menawarkan system kredit terhadap barang yang mereka jual. Kerena disamping faktor kepercayaan , faktor- faktor lain dijadikan pedagang sebagai petimbangan untuk lebih nyaman jika menjual dengan cara tunai daripada kredit. Dalam perkembangannya untuk mengatasi akan hal ini, pihak perbankan berlomba-lomba menawarkan jasa pembayaran kredit kepada nasabahnya dimana bank siap menjadi jaminan untuk membayar barang-barang nasabahnya, yang bisanya nanti akan ditagih pada akhir bulan. Dengan suatu sistem canggih yang saat ini dikenal dengan kartu kredit.

Kartu kredit merupakan alternative untuk memudahkan pembayaran jika kita kehabisan uang sewaktu-waktu, hanya dengan sebuah kartu seseorang bisa membeli kebutuhan-kebutuhan kita ditoko-toko tertentu tanpa harus membawa uang tunai. Namun dibalik kemudahan-kemudahan tersebut, jika tidak digunakan secara bertanggung jawab kartu kredit dapat membawa masalah bagi para pengguna layanan tersebut kerena hadirnya kartu kredit membuat masyarakat terbiasa dengan sifat hedonisme yang mengarakan ke arah pemborosan dan akhirnya menghadapkan kepada debt collector bank untuk menagih sejumlah hutang. Dalam penagihan hutangnya biasanya pihak bank menyerahkan kuasanya kepada pihak ketiga yang biasa disebut debt collector. Atas kuasa tersebutlah para debt collector sering melakukan sejumlah cara bahkan sampai menggunakan ancaman dan kekerasan dalam penagihan hutangnya kepada debitur-debitur nakal.

Terjadinya beberapa kasus tentang tindak pidana yang dilakukan debt collector beberapa waktu yang lalu membuat profesi ini menjadi pokok pembicaraan masyarakat, sejumlah seluk beluk profesi ini terus dibahas, mulai dari kewenangan, kuasa bahkan sampai pengaruh terhadap kepercayaan

“KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT ”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk membatasi masalah yang akan dikaji dalam pembahasan agar tidak memberikan penafsiran yang bermacam-macam serta sebagai upaya pemecahan masalah yang ingin dicapai dari uraian latar belakang di atas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan hukum pidana tentang perbuatan debt collector yang

melakukan tindak pidana kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit?

2. Bagaimana tanggung jawab pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt

collector apabila penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan hukum?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui tentang tinjauan hukum pidana terhadap perbuatan debt

collector yang melakukan tindak pidana terhadap nasabah kartu kredit.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban menurut hukum pidana pihak bank

sebagai pemberi perintah debt collector apabila penagihan utang kartu kredit

Untuk memperoleh bahan-bahan dan data-data yang diperlukan dalam menyusun penulisan hukum, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan akan dapat memberikan manfaat yang berguna terutama pada ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini, menggunakan pendekatan normatif maka hasilnya diharapkan berguna untuk kepentingan pengembangan teori-teori hukum tentang penegakan hukum yang harus dicapai, strategi penegakan hukum pidana yang efektif, hubungan peranan penegak hukum dan peran serta masyarakat dalam mencapai efektivitas hukum.

b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi jelas mengenai pemecahan permasalah yang akan di pecahkan penulis.

c. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan penegakan hukum guna mewujudkan ketertiban hukum dan ketertiban sosial.

b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,

E. Metode Penelitian

“Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi ” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu,

“penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi ” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41).

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah “peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya ” (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, “konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya ” (Johnny Ibrahim, 2006: 28).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based)

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis mengenai tindak pidana yang dilakukan debt collector atas perintah bank kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit, sehingga dibutuhkan “penalaran dari aspek hukum normatif, yang merukan ciri khas hukum normatif” (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat.

2. Sifat Penelitian

“Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep- konsep hukum, dan norma-norma hokum ” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi. Penelitian hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003:20).

Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beebeerapa pendekatan, yaitu “pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach ), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach) ” (Johnny Ibrahim, 2006: 300).

Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (satute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan “bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukkan merupakan dokumen- dokumen resmi, yan meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal- jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan ” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141).

hukum.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

“Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim ” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141).

b. Bahan Hukum Sekunder

“Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi ” (Peter Mahmud Marzuki,

2009: 141). Bahan hukum sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya, yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang saling berhubungan dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang hukum pidana, yang meliputi pengertian hukum pidana; pemaparan jenis-jenis hukum pidana, pemaparan asas-asas hukum pidana, tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi istilah tindak pidana, Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang hukum pidana, yang meliputi pengertian hukum pidana; pemaparan jenis-jenis hukum pidana, pemaparan asas-asas hukum pidana, tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi istilah tindak pidana,

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab tiga, penulis akan menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu berupa kajian tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Debt Collector atas perintah bank kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit. Dalam kajian tersebut akan diuraikan tentang tinjauan hukum pidana terhadap perbuatan yang dilakukan debt collector kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit dan pertanggungjawaban menurut hukum pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt collector apabila penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan hukum hokum

BAB IV : PENUTUP

Bab keempat ini merupakan bab terakhir dari keseluruhan penulisan hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari pembahasan rumusan masalah hasil penelitian dalam penulisan hukum dan disertai saran yang didasari dari simpulan hasil penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana

Rumusan mengenai pengertian hukum pidana mempunyai lebih dari satu rumusan. Tidak ada rumusan mengenai pengertian hukum pidana yang sempurna yang dapat diberlakukan secara umum. Rumusan hukum pidana ini sulit dibatasi karena isi dari hukum pidana itu sendiri sangat luas dan mencakup banyak aspek yang tidak mungkin untuk dimuat dalam suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Para sarjana ternyata mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian hukum pidana ini.

Hukum pidana menurut Moeljatno, bahwa hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu, dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno,2008 : 1).

Sedangkan menurut Lemaire telah merumuskan hukum pidana sebagai berikut : Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke geboden en

verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sanctie straf,

d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het

Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro hukum pidana adalah “peraturan hukum mengenai pidana berarti hal yang dipidanakan yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya ” (Wirjono Prodjodikoro, 1999:1).

b. Jenis-Jenis Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antar lain sebagai berikut :

1) Hukum pidana dalam keadaan diam dan keadaan bergerak yaitu:

a) Hukum pidana materiil, memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan- aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidananya.

b) Hukum pidana formil, memuat aturan-aturan bagaimana negara dengan perantaraan alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana, hukum pidana formil disebut juga hukum acara pidana.

2) Hukum pidana dalam arti Obyektif dan Subyektif yaitu :

a) Hukum Pidana Obyektif atau Ius Poenale diartikan sebagai hak dari negara atau alat-alat pelengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu.

b) Hukum Pidana Subyektif atau Ius Puniendi hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Hukum Pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja, contoh : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT).

4) Hukum pidana atas dasar wilayah berlakunya hukum yaitu :

a) Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara.

b) Hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintah daerah tersebut.

Atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional.

5) Hukum pidana atas dasar bentuknya yaitu :

a) Hukum pidana tertulis disebut juga hukum pidana undang-undang.

b) Hukum pidana tidak tertulis atau disebut dengan hukum pidana

adat (Adami Chazawi,2002 : 14).

6) “Hukum Pidana yang dikodifikasikan (KUHP dan KUHPT) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan yakni yang terdapat di luar KUHP tersebar dalam berbagai undang- undang dan peraturan lain” (Sudarto,1990 : 11).

c. Asas-Asas Hukum Pidana

Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian serta ketertiban. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Indonesia terdapat batasan berlakunya.

Berlakunya hukum pidana tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu

Asas ini berlaku mutlak bagi negara-negara yang hukum pidananya telah dikodifikasi dalam satu wetboek seperti negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental termasuk Indonesia. Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ” (R.Soesilo, 1995:27).

Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dikenal dengan asas “nulum delictum nulla poena sina praevia legepoenali”

yang artinya tidak ada tindak pidana dan tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, terdapat tiga pengertian dasar dalam asas legalitas, yaitu :

a) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dulu secara

tertulis;

b) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak

pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi;

c) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau

retro aktif).

Berdasarkan asas legalitas ini timbul suatu asas yang disebut lex temporis delicti, artinya suatu perbuatan pidana harus diadili berdasarkan peraturan yang ada pada waktu perbuatan tersebut dilakukan.

2) Asas lex specialis derogate legi generali Secara sederhana asas ini berarti aturan yang bersifat khusus 2) Asas lex specialis derogate legi generali Secara sederhana asas ini berarti aturan yang bersifat khusus

Dalam hukum pidana Indonesia asas ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :

“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain ” (R.Soesilo, 1995:107)

3) Asas geen straf sonder schuld atau asas tiada pidana tanpa kesalahan Asas tiada pidana tanpa kesalahan artinya untuk dapatnya dipidana pada seseorang yang perbuatannya nyata melanggar larangan hukum pidana diisyaratkan bahwa perbuatannya itu dapat dipersalahkan padanya ialah si pembuat itu mempunyai kesalahan.

Perwujudan dari asas tiada pidana tanpa kesalahan itu terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni Pasal 44 tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya dan Pasal 48 tentang tidak dipidananya si pembuat karena dalam keadaan daya paksa (overmacht).

4) Asas actus non facit reum nisi mens sit rea Asas ini mempunyai maksud bahwa sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bilamana dilakukan dengan niat jahat. Asas ini meliputi kata actus reus yang artinya menyangkut perbuatan yang melawan hukum dan kata mens rea mencakup unsur- unsur pembuat delik yaitu sikap batin.

5) Asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, ini dikenal ada empat

Asas berlakunya hukum pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu telah dilakukan, dan tempat tersebut haruslah terletak di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Asas ini dirumuskan secara tegas dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Asas kebangsaan (personaliteits-beginsel)

Asas berlakunya hukum pidana bergantung atau mengikuti subjek hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun keberadaannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Asas perlindungan atau Asas nasional pasif (beschermings-

beginsel ) Asas berlakunya hukum pidana tidak bergantung pada tempat seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut. Negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasaran tindak pidana itu berwenang menghukum pelaku tindak pidana tersebut.

d) Asas persamaan (universaliteits-beginsel)

“Asas persamaan bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-bangsa dunia. Menurut asas ini berlakunya hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun ” (P.A.F. Lamintang, 1996 : 89-90).

6) Asas ne bis in idem Asas ne bis in idem menyatakan bahwa seseorang tidak boleh 6) Asas ne bis in idem Asas ne bis in idem menyatakan bahwa seseorang tidak boleh

Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Dalam perundang-undangan dan kepustakaan Belanda hanya ada satu istilah yaitu Strafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam KUHP Belanda. Sedangkan dalam perundang-undangan di Indonesia sering dijumpai istilah tindak pidana walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Banyak istilah yang pernah digunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dan istilah Strafbaar feit antara lain tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan pidana.

Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu, terjemahkan juga dengan hokum ternyata Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002 : 69).

Secara literlijk, kata Straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah Strafbaar feit secara utuh, ternyata Straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Padahal sudah lazimnya hukum itu adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti Straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Untuk terjemahan dari kata baar dan feit secara literlijk bisa diterima secara lazim.

b. Pengertian Tindak Pidana

Para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda Para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda

1) Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

2) Simons, merumuskan Strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi, 2002 : 72).

Sedangkan pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Pandangan monisme juga dianut banyak ahli, antara lain adalah :

1) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2) Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum (Adami Chazawi, 2002 : 71-72).

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut :

1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III;

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);

3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten) ; 3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten) ;

6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus;

7) Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu);

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten);

9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten);

10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;

11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten.) (Adami Chazawi, 2002 : 121-122).

d. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya agar suatu perbuatan memenuhi syarat-syarat untuk disebut sebagai tindak pidana, maka harus memenuhi beberapa unsur- unsur. Unsur-unsur tindak pidana ada yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ada pula yang terdapat diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu menurut pendapat para sarjana.

1) Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam KUHP Tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam

“Unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya” (Adami

Chazawi, 2002 : 83). Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c) Macam-macam atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

“Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada diluar keadan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur

mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana” (Adami Chazawi, 2002 : 83). Unsur-unsur obyektif dari suatu

tindak pidana itu adalah :

a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

b) Kualitas dari si pelaku misalnya keaadaan sebagai seorang pegawai

negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau kewadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

c) Unsur kesalahan;

d) Unsur akibat konstitutif;

e) Unsur keadaan yang menyertai;

f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

i) Unsur obyek hukum tindak pidana; j) Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana; k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana (Adami

Chazawi, 2002 : 82).

2) Unsur-Unsur Tindak Pidana di Luar KUHP Unsur-unsur tindak pidana di luar KUHP dibedakan

berdasarkan sudut pandang teoritis. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :

a) Perbuatan;

b) Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) (Adami Chazawi,

“Menurut Van Hamel, unsur-unsur strafbaar feit adalah :

a) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b) Melawan hukum;

c) Dilakukan dengan kesalahan; dan

d) Patut dipidana” (Van Hamel dalam Sudarto, 1990 : 41).

Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah : " a) Perbuatan;

b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d) Dipertanggungjawabkan” (Adami Chazawi, 2002 : 81).

a. Pengertian Debt Collector

Kualitas penjualan dapat dikatakan baik apabila penjualan tersebut dapat menghasilkan dana kembali dari penagihan. Penjualan yang tinggi tidak akan ada arti apa-apa apabila pada akhirnya tidak bisa dikumpulkan. Sehingga pada saat ini banyak perusahaan mulai menaruh perhatian besar terhadap penerimaaan dan penagihan. Fungsi penjualan tidak dapat berdiri sendiri dengan hanya ingin mencapai target penjualan saja.

Perusahaan harus dapat menyeimbangkan antara target penjualan dan collectibility dari client. Artinya perusahaan harus dapat menganalisa calon dan existing customer/klien.Ada customer yang mampu membayar tetapi tidak mau membayar (bed character). Pengelolaan piutang dan penagihan (collection) bila dilakukan secara profesional akan membantu Lokakarya ini dirancang secara khusus untuk membekali Anda dengan konsep dan metode dalam menganalisa customer (analisa kredit), pengelolaan piutang beserta sistem yang efektif dalam penagihannya sebagai bagian dari penataan arus kas di perusahaan perbankan.